
Fenomena ledakan pengangguran dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di Indonesia sedang marak dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dilatarbelakangi oleh pandemi COVID-19 yang berdampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, serta semakin kompetitifnya persaingan kerja, minimnya lapangan pekerjaan, dan krisis global. Pertumbuhan tenaga kerja jauh lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga jumlah pengangguran terus meningkat.
Fenomena diatas juga terjadi di masa lalu, mengutip dari majalah Ma’moer edisi No.3 terbit pada tanggal 25 Januari 1946 salah satu koleksi Monumen Pers Nasional, dengan judul artikel ” Soal penganggoeran dan kelebihan barang (over produksi)”. Dalam artikel tersebut menyebutkan tentang jaman ‘krisis meleset‘ sekitar tahun 1930-1939, di mana perusahaan-perusahaan banyak yang merugi. Pabrik-pabrik gula menjual produknya dengan harga yang lebih murah dari biaya produksi dikarenakan ada larangan ekspor ke luar negri. Pengangguran yang terus meningkat dengan adanya alih teknologi dari tenaga manusia ke tenaga mesin untuk produksi barang sehingga tidak lagi membutuhkan banyak tenaga manusia.
Sebagai contoh, kain batik tulis yang dikerjakan sampai satu bulan lamanya, digantikan dengan kain batik cap dimana dalam satu bulan bisa menghasilkan berpuluh-puluh ribu kain sehingga harga batik cap lebih murah daripada batik tulis. Untuk memproduksi kain batik cap ini tidak lagi membutuhkan banyak tenaga manusia.
Pabrik-pabrik yang tidak mampu bersaing untuk membeli mesin baru pada akhirnya banyak yang mengalami gulung tikar dan memberhentikan pekerjanya. Jika dulu si pembeli barang akan mencari barang yang akan dibeli, maka pada waktu itu, karena alih teknologi ini, berganti barang yang mencari pasar. Sistem ini dikenal dengan istilah ”Hoorkoop” perjanjian jual beli yaitu barang diserahkan kepada pembeli, namun kepemilikannya baru beralih setelah semua pembayaran angsuran lunas. Untuk masa kini istilah tersebut sering disebut pembelian secara kredit.

Persaingan penjualan sangatlah hebat. Banyak perusahaan yang menjual barangnya lebih murah dari biaya produksi untuk memperbanyak pembeli. Akibat jaman ’meleset’ tersebut, para buruh dan juga pegawai negeri banyak yang menganggur disebabkan banyak pabrik yang tutup atau mengurangi pegawainya dengan melakukan PHK. Pemerintah juga melakukan hal yang sama dengan mengurangi pegawai karena pendapatannya sendiri dari hasil pajak perusahaan dan perniagaan.
Lebih ironis lagi, para pemuda yang baru lulus sekolah kesulitan mendapatkan pekerjaan dan menjadi beban bagi orangtua. Kondisi ini bisa membahayakan susunan masyarakat, para pemuda banyak yang memberontak dan meresahkan masyarakat. Kejahatan dan kekacauan merajalela, pada akhirnya pemerintah melakukan tindakan sebagai berikut: 1) Mencari jalan dengan meringankan beban pengangguran; dan 2) Mencari jalan dengan menjual barang-barang dengan harga yang sesuai dengan biaya produksi supaya perusahaan-perusahaan bisa mendapatkan keuntungan.
Kejadian serupa juga terjadi di Amerika. Di negara bagian Texas seorang pedagang yang bernama Mile Perkins mengusulkan pendapatnya ke pemerintah Amerika untuk memberi sokongan berupa voucher kepada para pengangguran yang kemudian ditukar dengan barang kebutuhan sehari-hari (food stamp plan). Usul Perkins diterima oleh pemerintah Amerika dengan mempraktekkan di negara California karena di negara ini banyak barang over produksi. Percobaan ini berjalan dengan baik dimana barang-barang yang kelebihan produksi tadi dapat terjual habis walaupun untung sedikit. Selain memberikan bantuan berupa voucher kepada pengangguran tadi, pemerintah Amerika juga membuat peraturan dengan melarang peredaran barang dari negara lain. Jika percobaan tadi bisa dipraktikkan di Indonesia, voucher yang diberikan pemerintah sebaiknya dipergunakan dengan tepat, selain itu pemerintah Indonesia harus membuat peraturan larangan impor dari luar negeri. (Eti Kurniasih)
