Agresi Militer Belanda I dalam Majalah Daulat Rakjat Tahun 1947

Tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan Indonesia. Rakyat Indonesia bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan dengan penuh semangat keberanian agar negara ini tidak terjajah lagi. Akan tetapi, Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia dan ingin berkuasa lagi. Konflik tiada henti berkobar antara Indonesia dengan Belanda yang dibonceng Sekutu, seperti pertempuran Surabaya yang menimbulkan banyak korban jiwa. Untuk menyelesaikan konflik ini, pihak Inggris yang bertindak sebagai penengah membujuk kedua belah pihak melakukan perundingan di Kuningan, Jawa Barat. Pertemuan itulah yang kemudian menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan perjanjian Linggarjati. Dari hasil perjanjian ini, Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera, dan Madura. Kedua belah pihak juga sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Belanda ternyata ingkar janji dan mengkhianati perjanjian tersebut dengan melakukan Agresi Militer I. Dalam artikel majalah Daulat Rakjat yang terbit pada 3 Agustus 1947, disebutkan pada tanggal 20 Juli 1947 pada malam harinya, Belanda secara tiba-tiba melakukan penangkapan besar-besaran di kota-kota yang telah didudukinya. Di Jakarta terjadi penahanan para delegasi seperti Dr. AK Gani dan Mr. Tamzil. Walikota Jakarta Soewirjo serta Joesoef Jahja juga ditangkap. Walikota Padang Azis Chah yang sedang berada di Jakarta dan akan kembali ke Padang dibunuh oleh Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang bernama Hubertus Van Mook melalui pamflet dan siaran radio menyerukan agresi baik melalui darat laut dan udara ke wilayah-wilayah Indonesia. Momen inilah yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda I. Penyerangan terjadi dilapangan terbang milik Republik Indonesia, jalur kereta api, pelabuhan serta melemparkan bom-bom roket ke arah penduduk.

Agresi militer ini terjadi di berbagai daerah seperti di Surabaya, Malang, Banyuwangi, Semarang, Ambarawa, Sukabumi, Medan, Padang, Palembang. Belanda betul-betul melanggar kesepakatan, dengan seluruh tenaga angkatan perangnya berusaha melumpuhkan kekuatan Republik dan menguasai seluruh nusantara. Empat hari sudah Belanda melancarkan aksinya, tidak mau berlama-lama berdiam diri melihat tanah airnya dirampas bangsa asing, rakyat Indonesia akhirnya bangkit untuk menangkis serangan Belanda itu. Lawang dan Singosari yang berada di Malang akhirnya berhasil direbut kembali oleh tentara RI. Jalan di Ungaran, Kabupaten Semarang dipotong untuk memutus jalan penghubung dengan musuh. Tentara RI menyerbu Kota Semarang dan pertarungan sengit pun tak terelakkan lagi.

Di tengah-tengah kekacauan itu, Bung Tomo seorang pemuda revolusioner memimpin grup barisan pemberontakan rakyat Indonesia. Beliau menyerukan untuk merebut kembali salah satu benteng di Mojokerto. Dengan bantuan rakyat, beliau melakukan penyerbuan dan pengepungan hingga pada tengah malam tanggal 23 Juli 1946, Mojokerto berhasil direbut kembali. Mayat-mayat serdadu Belanda banyak yang jatuh bergelimpangan ada pula yang di tawan. Semangat ”Arek-arek Suroboyo” kini hidup kembali.

Untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo membentuk “Barisan Berani Mati”, dimana anggotanya harus sanggup membunuh 8 orang serdadu Belanda. Barisan ini harus memiliki semangat juang yang tinggi dan rela mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan

Kota Medan juga berhasil dikuasai oleh tentara RI, musuh terdesak dan lari kocar-kacir ke bagian pelabuhan di Belawan. Mendengar berita ini, serdadu Belanda yang berada di Cimahi melarikan diri. Di Padang, tentara musuh tak dapat beranjak walaupun sejengkal. Banyak rakyat Indonesia ikut terjun ke medan pertempuran walaupun dengan senjata seadanya maupun dengan senjata hasil rampasan perang, mereka maju dengan gagah berani pantang menyerah. Rencana Belanda untuk mematahkan perlawanan rakyat Indonesia akhirnya gagal hingga akhirnya Belanda berhasil dipukul mundur dan meninggalkan pos-pos militernya. (Eti Kurniasih)

Message Us on WhatsApp