Mengapa “Cantik Itu Luka” Begitu Populer?

Eka Kurniawan adalah penulis Indonesia yang bisa dibilang masyhur kariernya. Di tengah geliat sastra Indonesia kontemporer, dengung-dengung nama Eka Kurniawan muncul sebagai salah satu penulis paling diperbincangkan. Lahir di Tasikmalaya, lulusan Filsafat dari Universitas Gajah Mada itu telah melahirkan karya-karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengusik pikiran dan menggugah nurani. 

Mulai dari Lelaki Harimau, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Anjing Mengeong Kucing Menggonggong, dan karya-karya menggugah lainnya. Namun, ada satu buku yang reputasinya sangat besar di kalangan pendoyan buku, yakni Cantik Itu Luka. Dari sini saja, semua orang sepakat bahwa judulnya sudah amat menggigit.

Sejak terbit pertama kali pada tahun 2002, novel ini telah mengantongi perhatian pembaca karena berbagai alasan. Mulai dari tajuknya yang provokatif, kisahnya yang aneh, sampai narasinya yang sesak kejutan. 

Cantik Itu Luka sebagai jejak debut Eka Kurniawan yang dipublikasi pertama kali tahun 2002. Meski saat itu masih terbilang “rookie” di dunia kepenulisan, karya ini menjadi pijakan awal sekaligus jebolan besar bagi perjalanan karier penulisnya. 

Bak hujan turun di gurun pasir, Cantik Itu Luka seperti ledakan di tengah dunia sastra Indonesia yang saat itu didominasi oleh karya-karya realis dan romantik. Novel ini pula yang membawa dirinya dinobatkan menjadi The Next Pramoedya Ananta Toer. 

Julukan tersebut tentu tidak muncul tanpa sebab. Cantik Itu Luka bukan sekadar kisah fiksi yang menghibur, tetapi karya sastra yang sarat makna. Ia memuat sejarah, budaya, dan trauma kolektif bangsa Indonesia, dibungkus dalam gaya tutur yang memikat — jenaka sekaligus tragis.

Membuka Luka Sejarah dan Identitas Bangsa

Cerita berpusat pada tokoh Dewi Ayu, seorang perempuan Indo — berdarah Belanda dan Indonesia — yang bekerja sebagai pelacur di kota fiktif Halimunda. Ia meninggal dan bangkit kembali dari kubur setelah 21 tahun, dengan membawa serta trauma dan luka yang belum tuntas. Dari sinilah cerita berkelindan ke masa lalu dan masa kini, menyingkap kisah kelam keluarganya, termasuk empat anak perempuan yang masing-masing membawa jejak nasib yang tragis. 

Salah satu alasan utama mengapa Cantik Itu Luka begitu populer adalah keberanian kisah yang ditawarkan. Nekat mengangkat tema-tema yang tabu dan menyuguhkan kekerasan tanpa malu-malu. Patut diacungi jempol, karena novel ini juga bernyali besar dalam menyindir masyarakat yang terlampau memuja kecantikan tanpa pernah menyoal luka yang menyertainya. Novel ini pun menjadi semacam kritik sosial yang tajam sekaligus pahit, terutama terhadap posisi perempuan yang sering kali menjadi korban atas nama cinta, kehormatan, bahkan sejarah.

Melalui keluarga Dewi Ayu, Eka membentangkan kanvas besar yang memotret sejarah Indonesia. Mulai dari penjajahan Belanda dan Jepang, kemerdekaan, hingga kekerasan dan pembantaian tahun 1965. Tidak semua penulis berani mengangkat bab-bab gelap ini secara frontal, tetapi Eka melakukannya dengan lihai. Suami dari penulis novel Gadis Kretek, Ratih Kumala itu tidak berceloteh membosankan macam buku sejarah. Eka berkisah seperti sedang cerita di warung kopi, dengan nada sinis, jenaka, kadang vulgar, tetapi menyimpan kesedihan yang dalam.

Cantik yang Melukai

Judul Cantik Itu Luka sendiri sudah menjadi semacam sindiran. Kecantikan dalam novel ini bukan anugerah, tapi kutukan. Dewi Ayu sangat cantik, begitu juga anak-anaknya — tiga di antaranya memiliki paras memikat. Namun justru karena kecantikan itulah mereka menjadi samsak kekerasan, pemerkosaan, pelecehan, dan obsesi bejat para jantan. Eka seolah menegaskan dalam masyarakat patriarkal, kecantikan bisa menjadi senjata yang melukai si pemiliknya.

Lebih jauh, novel ini bentuk nyata kritik sosial atas posisi perempuan dalam sejarah dan masyarakat. Perempuan-perempuan dalam Cantik Itu Luka dipotret sebagaimana menjadi korban sistem. Bukan dibuat seakan-akan pasrah dengan keadaan, tetapi Eka membuat lakon-lakonnya kuat dengan cara mereka sendiri. Dewi Ayu adalah sosok yang sinis, kasar, bahkan kejam, tapi di balik itu semua ada semangat bertahan hidup yang luar biasa. Dia bukan perempuan ideal, tapi perempuan nyata — dengan segala kerumitannya.

Bahasa, Humor, dan Kacau yang Harmoni

Narasi Eka juga teramat nyeni. Tuang pikirnya yang terkadang panjang dan berkelok, terkadang pendek dan menohok. Salah satu kekuatan terbesar Eka adalah gayanya yang bebas dan liar. Dalam satu bab, kita bisa dibuat ketawa-tiwi dengan absurditas cerita, tetapi di halaman berikutnya hati kita seperti diremukkan oleh kenyataan pahit yang diungkap.

Namun satu hal yang pasti, semuanya hidup. Tokoh-tokohnya absurd tapi nyata. Dunia yang dibangun fiktif, tetapi begitu dekat dengan kenyataan hidup masyarakat Indonesia. Inilah rasa yang membuat pembaca terus terpikat. 

Lewat mantra-mantra narasinya, Eka Kurniawan memadukan realisme magis dengan sejarah Indonesia yang getir. Penjajahan, kekerasan 1965, serta patriarki yang mendarah daging. Sosok-sosok hantu, kutukan, kebangkitan dari kematian, dan kejadian-kejadian aneh bin supranatural bukan semata-mata bumbu, tetapi terbangun utuh menjadi vitalnya cerita. 

Nuansa novel ini mengingatkan kita pada karya-karya Gabriel García Márquez atau Isabel Allende. Namun, bukan sekadar mengimitasi penulis kelahiran 1975 itu menciptakan warnanya sendiri yang pekat dengan sentuhan lokal.

Luka yang Digemari Dunia

Tidak memakan banyak waktu bagi Cantik Itu Luka menyapa panggung internasional. Novel ini mujur diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa. Bak durian yang terus runtuh, Dewi Ayu juga yang membawa Eka Kurniawan sebagai penulis Indonesia pertama yang karyanya masuk nominasi Man Booker International Prize. 

Namun, terlepas dari pengakuan internasional itu, Cantik Itu Luka tetap terasa “milik kita”. Di dalamnya tajam mengupas Indonesia secara apa adanya — dengan segala keburukan, keindahan, luka, dan harapannya.

Pada akhirnya, popularitas Cantik Itu Luka bukan hanya karena judulnya yang unik atau penulisnya yang hebat. Namun, karena novel ini berhasil menyentuh satu titik dalam diri setiap pembacanya, bahwa di balik sesuatu yang cantik, selalu ada luka. Dari luka itu, sebagaimana Dewi Ayu, akan terus hidup selama kita tidak pernah benar-benar menyembuhkannya.

Buku ini dapat dibaca dan dipinjam di Perpustakaan Monumen Pers Nasional.

(Artikel ditulis Aulia Novia, mahasiswa magang program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Message Us on WhatsApp