Menyibak Mitos Kuburan Koran di Kota Solo

Di tengah riuhnya geliat budaya, batik, dan tradisi yang lekat dengan Solo, ternyata ada satu julukan bagi kota ini yang asing tetapi juga unik. Siapa sangka, dulunya Solo juga ditabalkan sebagai kota kuburan koran. 

Sebutan kuburan koran ini tidak serta merta muncul asal-asalan. Julukan ini justru berasal dari fenomena dari banyaknya media yang lahir dan gugur pada saat itu. 

Kota yang Subur, tetapi Rentan

Sejak masa kolonial, Kota Solo dikenal sebagai salah satu pusat lahirnya surat kabar di Jawa. Dalam riset yang dilakukan Mulyanto Utomo (2007), antara 1855-2006 ada lebih dari 110 koran terbit di kota asal presiden ke-7 ini. Ironisnya, meski lahir di tanah yang subur, kebanyakan media tersebut tak mampu bertahan lama.

“Julukan ini muncul karena Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pertama kali berdiri di Solo, dan banyak media cetak lahir di sana, seperti Darmo Kondo, Bromartani — koran berbahasa Jawa pertama pada 1800-an (sekitar 1855). Namun, kebanyakan media cetak di Solo hanya bertahan sebentar lalu mati, sehingga disebut ‘kuburan koran’,” terang Penata Layanan Operasional Monumen Pers Nasional, Febriyanti Kusumadewi.

Hal ini pun dipengaruhi oleh banyak faktor. Keterbatasan tenaga yang terampil, biaya cetak yang tidak murah, hingga minimnya sokongan pemerintah daerah membuat banyak media hanya sempat mengisi lembaran sejarah sebentar sebelum akhirnya terkubur. 

Dari situlah lahir mitos “kuburan koran”. Bukan karena pers di Solo mati, melainkan karena begitu banyak koran yang lahir dan tumbang di kota ini.

Salah Kaprah tentang Monumen Pers Nasional

Seiring waktu, muncul salah kaprah yang mengaitkan istilah “kuburan koran” dengan Monumen Pers Nasional. Hal ini bisa dimaklumi, sebab sejak awal berdiri dan resmi pada masa pemerintahan Soeharto pun, Monumen Pers Nasional banyak menyimpan berbagai koleksi media dari berbagai daerah.

“Sebenarnya julukan ‘kuburan koran’ lebih mengarah pada Kota Solo secara umum, bukan khusus Monumen Pers Nasional,” lanjut Febriyanti.

Ketika kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) masih berbentuk Departemen Penerangan (Deppen) oleh pimpinan Menteri Harmoko, media-media di Indonesia dituntut untuk mengirimkan karya cetaknya ke Monumen Pers Nasional. Karena kebijakan inilah, Monumen Pers Nasional menjadi tempat berlabuh berbagai karya cetak lebih dari 200-an media di Indonesia.

“Setelah itu barulah surat izin edar dan izin terbit dikeluarkan, sehingga kewajiban ini membuat semua koran dikirim ke Monpers setiap hari,” jelasnya.

Pengiriman ini berdasar supaya media-media tersebut dapat diawasi dan mendapatkan izin edar. Namun, hal ini berhenti sejak Keppen dibekukan pada 1999, era pemerintahan Abdurrahman Wahid, atau yang banyak dikenal Gus Dur. Menurutnya, ini justru merupakan pembungkaman kebebasan berpikir dan Keppen dianggap bertindak otoriter dalam lanskap media Republik.

Tak ayal, bagi sebagian orang, Monumen Pers Nasional tampak seperti tempat beristirahatnya ribuan koran.

Arsip yang Bermanfaat 

“Dulu, koran memuat berbagai informasi penting, seperti pengumuman SNMPTN, jadwal televisi, teka-teki, lowongan pekerjaan, berita duka, ucapan selamat, hingga iklan jual-beli,” kata Febriyanti.

Berangkat dari situ, banyak orang berbondong-bondong dari berbagai daerah datang ke Monumen Pers Nasional dengan berbagai cerita. Mulai dari pencarian orang hilang bahkan pencarian bukti penjualan surat tanah ilegal.

Monumen Pers Nasional agaknya bukan sekadar kuburannya koran., namun sebagai pusat rujukan sumber-sumber data autentik. Mulai dari konservasi hingga digitalisasi, semuanya berhasil menjadi manfaat bagi masyarakat. 

Monumen Pers Nasional hadir bukan sebagai tempat peristirahatan dari karya-karya lawas, melainkan sebagai ruang hidup bagi ingatan kolektif nasional.

Di sinilah mitos itu perlahan luruh. “kuburan koran” bukanlah tanda mati, melainkan potret dinamika pers di Solo. Lahir, tumbang, lalu lahir kembali. Melalui Monumen Pers Nasional, Kota Solo menjadi saksi, bahwa sejarah pers Indonesia tak pernah benar-benar terkubur.

Jika kamu masih penasaran dengan seluk beluk dari julukan Solo ini, kamu bisa menjelajahnya lewat pergerakan pers secara lengkap di Monumen Pers Nasional, ya!

(Artikel ditulis Aulia Novia, mahasiswa magang program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Message Us on WhatsApp