Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Berita Yudha
Tipe: Koran
Tanggal: 1995-02-05
Halaman: 06

Konten


HALAMAN VI Srihadi Soedarsono dari ITB ketika tampil pada pameran lukisan kontemporer tiga tahunan di Brisbane bersama Jim Supangkat dan Michael O'Ferrall, kurator lukisan Aborijin dan Asia dari Art Gallery Australia Barat. (KPA) Ulap Doyo Seni Kerajinan Dayak Benuang putan yang banyak tumbuh ra Laka, Kecamatan Muaa liar di hutan dan semak Muntai. Di daerah-daerah belukar. Meski terbuat dari tersebut juga bisa kita te- serat daun, ulap doyo cukup mukan kerajinan lemas walau tidak selemas Khasanah seni budaya Pulau Kalimantan ternyata banyak yang menarik. Apa- kah itu seni tari, seni ukir dan pahat, dan kesenian lainnya. Bahkan beberapa tahun terakhir ini, khasanah seni budaya dari Pulau Kali- mantan banyak berbicara baik di tingkat nasional maupun internasional. ulap doyo yang dikelola masyarakat setempat sebagai home industri yang tumbuh subur. Perkembangan ini tentunya tidak lepas dari perhatian instansi pemerintah di bidang industri masyarakat atau industri kecil, terutama Begitu juga dengan seni kerajinan tenunnya. Salah satunya adalah dari Kali- mantan Timur. Provinsi ini memiliki seni tenun yang cukup menarik sebagai ba- Agus Dermawan, Kusnadi, Dan Suwarjono (Almarhum) Jim Supangkat dan Ipong Punomosidi serta kritikus- ktirikus lainnya yang masih belum banyak menulis kritik. Tetapi meihat surat kabar Republika yang terbit pada hari Minggu tanggal 8 Januari 1995 di halaman 9, diungkap- kan suatu wawancara Bam- bang Bujono dengan warta- wan Republika itu sendiri. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan wartawan ter- sebut di jawab Bambang Bu- jono. Terjelaslah suatu keke- liruan yang fatal terhadap kri- tikus seni rupa kita sekarang ini. Kelihatannya Bambang Bujono mengecilkan nilai pribadi dan nama kritikusnya. Bahkan menuding satu per- satu tentang buruk baiknya para kritikus tersebut. Ter- nyatalah seorang bernama Bambang Bujono itu bodoh kelihatannya dari kritikus yang dicelanya itu. gian dari kebudayaan masyarakatnya. Walau kita ketahui bahwa seni tenun di Pulau Kalimantan, apakah itu Kalimantan Barat, Se- latan, Tengah maupun Ka- limantan Timur sendiri, ke- banyakan memiliki persa- maan baik dari segi bahan bakunya, corak atau motif- nya. Tapi di Provinsi Kali- mantan Timur ini ada yang menarik, yakni kain tenun ikat doyo yang biasa disebut sebagai ulao doyo. Kain tenun ikat ini merupakan tenunan adat dan kerajinan Betapa tidak dikatakan demikian, karena ia lupa se- orang kritikus itu punya pen- dapat dari penafsirannya masing-masing. Bagaimana cara menelusuri suatu karya lukis itu tergantung dari tek- nik penulisannya. Kecuri- gaan kita makin tumbuh terhadap Bambang Bujono, sa lain menghormati kita yang tetap bersatu dalam rasa nasionalisme dan patriotis- yang disinyalir berambisi sebagai kritikus nomor satu di Jakarta ini. Bahkan kita merasa ada semacam "pe- maksaan" agar keinginannya cara menulis sepertinya dan para kritikus lain musti ber- kiblat kepadanya. Padahal belum tentu Bam- bang Bujono itu paham benar tentang seni lukis. Mungkin saja apa yang dikatakannya tradisional yang khas ma- syarakat Dayak Benuaq yang banyak tinggal di Kabupaten Kutai, terutama di peda- lamannya. Ulap doyo dahulu biasa digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Bahkan digunakan pula sebagai pakaian untuk Upacara adat dan tari-tarian. Tenun ikat doyo barangkali belum sepopuler tenun tradisi lain seperti troso, lurik, song- ket, ulos, atau tenun ikat dari Sumba. Namun bila disimak dari keistimewaan bahan dasar yang dipakai, juga melalui wawancara tersebut untuk menjatuhkan harkat atau kewibawaan para kri- tikus tersebut supaya Bam- bang Bujono "laris" dan di- katogorikan sebagai kritikus Indonesia yang terbaik. Apa- kah Bambang Bujono itu su- dah pasti mengetahui sampai di mana wawasan pemikiran para kritikus tersebut. me. Dunia seni rupa sekarang ini cukup menggembirakan dengan adanya kritikus se- perti Ipong Purnomosidi, Sri Warso Wahono, Agus Der- mawan, Sudarmadji, Jim Su- pangkat, Kusnadi dan lain- nya. Merekalah yang banyak tampil di media surat kabar dan majalah untuk mengkri- tik hasil karya lukis para pe- lukis yang berpameran. Se- dangkan Bambang Bujono sendiri belum mempunyai andil sedikit pun atas perkem- bangan dan kemajuan seni rupa sekarang ini. Boleh dikatakan mereka lebih ba- nyak berbuat dari pada Bam- bang Bujono. Seni lukis di Indonesia kini sedang tumbuh dan berpro- ses. Kritikus seperti mereka cukup arif dan bijaksana tentang keberadaan seni lukis kita sekarang ini. Karena itu inisiatif yang dilakukan me- reka sebagai kritikus membe- rikan peluang bertumbuhnya terus para pelukis. Kemudian serat dijemur sampai kering, biasanya sekitar tiga jam, lalu dipintal, disambung, digulung. Be- nang serat daun doyo itu disusun, dan dihitung sampai 100. 125, atau 150 bilangan. Usai dihitung, benang disu- sun di telagak, alat dari kayu/ bambu, dan dibuatkan motif. Seperti pada batik Madura, motif itu tidak digambar lebih dahulu. Bila ada batik Ma- dura kain langsung di batik, pada ulap doyo benang serat daun yang sudah tersusun itu langsung diikat bagian-ba- giannya dengan serat daun. Seusai pewarnaan dengan pewarna dari buah atau akar- akaran, benang dicelup pada abu damar untuk mendapat kan warna hitam. Lalu dipakai pucuk daun lempehe atau daun kapuk, untuk menahan warna hitam dari abu damar tersebut. Pena- hanan ini dimaksudkan agar warna hitam abu damar tidak mengotori. Proses selanjutnya dije- mur, ikatan dibuka, benang dipasang di alat penyusun benang yang disebut pengo- rak. Dan mulailah nemonak ataumenenun. Satu teenunan bisa memiliki empat warna. Untuk menyelesaikan se- lembar ulap doyo dibutuhkan waktu sekitar sebulan, di- hutung dari pemetikan daun doyo. Sedang untuk mene- nunnya saja dibutuhkan waktu lima hari, dengan catatan perajinan menenun "purna waktu", tidak sekedar sambilan. Pengaruh modernisasi Sekarang, ulap doyo yang Kekeliruan Bambang Bujono Melihat Kritikus Kita Depo Seni Jakarta Media Pelukis Jakarta Sebenarnya kritik seni rupa kita di Indonesia saat ini telah mengisi dan mengembang- kan kemajuan seni rupa di Indonesia. Di tilik dari kri- tikus yang ada, boleh dikata- kan masih kurang. Keadaan atau suasana kemampuan mereka berada dalam kwali- tas tertentu. Dan hal ini boleh dikatakan berkat usaha kri- tikus Sri Warso Wahono, Di Indonesia saat ini me- merlukan tenaga dan pemi- kiran kritikus tersebut dalam memantapkan nilai-nilai kwalitas karya lukis di Indo- nesia. Seorang manusia yang baik dan budiman tidak akan berprasangka buruk terhadap orang lain bahkan mencela nama orang dihadapan umum, dikatakannya hal-hal yang tak pantas dipublikasi- kan. Sebenarnya kita saat ini tak perlu menjelekkan bangsa sendiri, baik kekurangan maupun kelemahannya. Yang penting sekarang ini kita bicarakan persoalan yang harus diselesaikan dengan pembangunan negeri kita. Pembangunan adalah jawa- ban dari setiap persoalan yang muncul, bagaimana bangsa kita maju dan berkembang menjadi bangsa yang pintar dan berbudaya, supaya bang- Cara pandang Bambang Bujono melihat seni rupa kita ini terlalu picik dan "sno- bisme art Qualitiy" padahal proses itu salah satu hukum alam yang memungkinkan kematangan suatu hasil. Tak usahlah mengomongi orang lain jika diri sendiri tak mampu melihat perkemba- ngan zaman dari suatu proses. Andaikata Bambang Bujono bertukar pikiran atau adu argumentasi secara berhada- pan dengan para pelukis yang dicelanya itu, pasti Bambang dilihat dari keindahan mo- tifnya, agaknya tak berlé- bihan kalau di katakan tenun ulap doyo kelak mencapai tingkat seperti tenun-tenun terkenal lainnya. Ulap dalam bahasa Dayak Benuaq berarti kain. Ke- unikan ulap doyo terletak dari bahan dasarnya. Berbeda dengan keebanyakan tenun lain, ulap doyo tidak meng- gunakan benang dari kapas, tetapi menggunakan serat dari daun pohon doyo (Cur- celegs latifalialind), yakni sejenis ilalang atau rerum- Bujono tidak akan berkutik dibuat mereka. Tahun 1995 ini nampaknya dimulai caci maki. Sedang- kan usia Kemerdekaan negeri kita telah mencapai usia 50 tahun. Namun begitu diantara 180 juta manusia Indonesia yang ada, cuma Bambang Bujono sendiri yang masih ketinggalan zaman. Globa- lisasi tidak menerima orang semacam Bambang Bujono. Karena moralitas dan wawa- san pemikirannya tidak ma- nusiawi terhadap keadan atau suasana zaman kini. Orang yang tak memahami orang lain berarti orang tersebut mementingkan dirinya sen- diri. Itu berarti arti kemerde- kaan 50 tahun negeri kita ini, tidak mempengaruhi Bam- bang Bujono. Sebetulnya ke- majuan dan perkembangan yang dirasakan negeri kita ini membuka peluang kesa- daran setiap orang sekarang untuk lebih memantapkan diri dalam pembangunan, bersosialisasi dan bercita-cita daripadamenghina, mencela dan bermusuhan satu sama lain. Indonesia butuh kriti- kus-kritikus yang bersifat membangun, bukan orang yang menyalahkan orang lain. (Anggia Putra) ● ● • Penyalur/Agen "BY" TERUNA AGENCY • Jl.Panca Marga No.10 Karet Tengsin 581622 583205 SENI www. Jakarta Pusat * tenunan serat kapas. Se- karang masyarakat luas di Kalimantan Timur, terutama di Kabupaten Kutai, sudah mengerti manfaat pohon tersebut. Makanya di bebe- rapa desa banyak dilakukan pembudidayaan. Hal ini bisa kita temui di Desa Tanjung Isui dan Desa Tanjung Jan, Kecamatan Jempang. Juga di Desa Mua- Mayor Jendral Syaukat kehancuran sebuah orga- pernah berkata dalam sambutan pameran lukisan Depo Seni Jakarta tahun lain "Kita semua patut ber- 1994 di Balai Budaya antara sukur dan berharap. Kiranya niat mulia para pelukis Kelompok Desarta (Depo seni Jakarta) ini mendapat tanggapan positif dari pen- cinta lukisan" Itulah yang diharapkan Depo Seni Jakarta mengenai keberadaannya di tengah perkembangan dan kemajuan kelompok ini merupakan satu zaman ini. Memang dilihat satunya lagi organisasi pe- lukis Jakarta setelah HIPTA (Himpunan pelukis Jakarta) makin hilang dari kegiatan dan kemajuannya dan ber- cerai berai anggotanya. Himpunan Pelukis Jakarta sekarang ini tinggal merck- nya saja. Desarta tak menginginkan hal yang membuat nama pelukis jelek di mata masya- rakat karena perbenturan yang sepele lalu organisa- sinya ambruk. Apa yang dialami organisasi Hipta, sebisanya dihindari. Karena kejadian pada tubuh orga- nisasi Hipta itu merupakan "kepicikan seorang seniman" terhadap kebersamaan dalam pola kreatifitas. pengarahan serta kerjasama nya yang baik dalam upaya pengembangan kerajinan itu. Stilisasi bentuk Tidak diketahui, sejak Terbentuknya Organisasi Desarta menurut pendirinya yang juga merangkap Ketua Syafil Koto, Desarta ini dibentuk dari keinginan para pelukis yang semula hanya kumpul kumpul pelukis yang ingin berpameran, lalu ber- kembang keinginan mem- bentuk satu organisasi. Prosesnya pembentukan ini tidak asal jadi saja, sebab dipelajari juga mengenai kendala kendalanya dan terjadinya kemandekan atau kapan mereka mulai me- ngenal perlengkapan tanun. Namun yang pasti, dibanding suku dayak lain, hanya Da- yak Benuaq yang sejak dulu sudah mengenal busana lengkap. Mereka menenun sendiri untuk keperluan busana itu. nisasi. Dari sinilah dite- mukan alternatif yang men- jadi pegangan yaitu sifat dan watak "kebersamaan" itu. Pada zaman pendudukan Jepang, ketika pakaian me- rupakan sesuatu yang sulit dan langka di kota-kota Kalimantan Timur, Ulap doyo boleh dibilang satu- satunya bahan pakaian dan sangat populer. Kehidupan suku Dayat Benuaq tidak mengenal sistem berpindah melainkan menetap, dan mereka sudah mengenal pemilikan tanah. Mata pencaharian mereka beragam, dari mencari ikan dan danau sampai berkebun. Menenun termasuk peker- jaan kaum wanita, biasanya dikerjakan secara sambilan di sela-sela mengurusi rumah tangga. Perlengkapan tenun mere- ka terdiri dari tiga unit, masing-masing pengorak (penyusun benang), telegang (pengikat benang) dan da (alat tenun). Seluruh bahan dasar untuk pembuatan ulap doyo diambil dari apa yang ada di sekitar. Untuk pewar- na, mereka menggunakan buah atau akar-akaran. Mi- salnya, buah biksa untuk memperoleh warna jingga, akar oter untuk merah, arang damar untuk hitam, dan sebagainya. Motif-motif ulap doyo lumayan indah. Ragamnya pun tidak sedikit. Menurut catatan di Kanwil Depar- temen Perindustrian Kaltim, yang pada tahun 1976 pernah mengadakan penelitian ter- hadap ulap doyo, sedikitnya terdapat 60 motif. Bentuk motif berkisar pada gambar-gambar binatang, tapi terkadang juga gambar manusia atau benda. Yang digambar sejauh ini adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan mereka sehari- hari, atau sesuatu yang ter- masuk dalam mitologi spi- ritual mereka, seperti naga, limar (perahu), timang (ha- rimau), sranggang (tumpuan kaki), tengkulun tongkau (burung enggang), pupu (kupu-kupu), tipa kuala (gigi binatang), tekulut (jelmaan manusia dan hewan), era tengka tukai (anak tangga), kinas (ikan), kadal, nusia (manusia), dan sebagainya. Gambar motif itu kadang- kadang memukau. Wujud binatang atau benda tidak dibuat realistis, namun sudah distilasi. Bahkan, stilisasinya kadang demikian jauh, se- hingga sulit mengenali lagi maksud gambarnya. Affandi, Sudjoyono, Hendra Gunawan, Nashat, Zaini, Oesman Effendi. Sedangkan keinginan kita semua, seni lukis itu punya keunggulan dari seni seni yang ada di Indonesia ini. Kenyataannya malah seni lukis "pajangan" dan "picisan" yang berkem- bang. Inilah yang menye- dihkan seni lukis kita se- karang. YUDHA MINGGU, 5 FEBRUARI 1995 Jakarta ini banyak sekali pelukis, untuk itu diperlukan satu organisasi penampung "aspirasi" dan selektifitasnya tetap dilakukan agar ter- hindar dari suatu masalah yang dapat menciutkan atau menghilangkan rasa keber- samaan itu. Karena itu wawasan berpikir diperlukan selain kreatifitas yang di- menjadi anggota kelompok miliki. Setiap pelukis dapat organisasi yang tidak terikat. Namun begitu Depo Seni Jakarta punya harapan ter- Kemudian Syafril Koto mengungkapkan konsep dasar Desarta itu antara lain, organisasi ini bergerak ke konsep dasar karya seni di mana setiap pelukis berada dalam berkarya itu penuh total dan intens kreatifi- tasnya. Hal ini perlu diga- hadap para pelukis yang mau lakkan supaya tidak terjadi bergabung atau bekerja sama "kesalah pahaman" ketika dengan organisasi ini yaitu sudah menjadi anggota or- dapat menjadi "pendobrak" ganisasi baik secara aktif dengan kebebasan kreatif maupun pasif. Dan yang sangat diperlukan sekali bila yang dimiliki pelukisnya. mau mengadakan pameran, akan terjadi seleksi ketat yang memungkinkan karya yang masuk setiap pelukis itu dapat saja di tolak untuk ikut pameran. Tentu saja hal ini diperlukan kejujuran Pendobrakan terhadap seni Lukis Indonesia itu perlu sekali dilakukan karena de- wasa ini tampak pelukis banyak sekali muncul ke permukaan, baik pelukis wa- nita maupun pelukis prianya. Kebanyakan pelukis tanpa diatas sifat dan wataknya ada "sesuatu" yang baru dalam karya seni, berarti seni lukis kita tidak mempunyai dinamika kreatifitas. Dan ini menunjukkan pelukis Indo- nesia itu "kedodoran" di saat Pembangunan Ekonomi ber- hasil dan berkembang maju. Karena pelukis itu sendiri bukan memikirkan "Seni"- nya tetapi mematookkan diri untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan saja, atau boleh disebutkan tidak lagi bertanggungjawab kepada keseniannya. Dari sini kita dihadapkan lagi kepada persoalan dunia seni lukis di Indonesia belum memun- culkan seniman seperti organisasi yaitu kebersa- maan. Jadi anggaplah itu suatu kritik seni lukisnya dan jangan menimbulkan "kasus" sentimentalisme atau pra- duga jelek kepada Dewan penyeleksinya. Karena pra- duga dan sentimen yang timbul dihati pelukis berarti berjangkitnya permusuhan, hal inilah yang sebenarnya perlu dicegah secepatnya. Selain itu juga pencegahan terhadap pelukis yang meng- hendaki karya lukis itu men- jadi kerja dari suatu "home industri". Pencegahan ini perlu digalakkan agar karya lukisan itu adalah karya seni, yang bisa satu karya lukis itu Cita rasa penduduk Tan- jung Isui yang cenderung menstilisasi bentuk-bentuk sungguh sesuatu yang me- narik, terutama bila hendak memahami persepsi hidup dan rasa seni mereka. Warna dasar yang selalu mendominasi motif ulap doyo ialah hitam, coklat dan merah. Disamping stilisasi bentuk tadi, komposisi warga juga merupakan hal yang menonjol pada ulap doyo ini. Proses pembuatan Proses pembuatan tenunan ini cukup panjang. Dimulai dengan pengambilan daun doyo muda, dibawa ke sungai atau danau untuk diambil seratnya. Caranya dengan mengikis (mengesat, bahasa Dayaknya) sambil dice- lupkan ke air. Kalau air pem- bilasnya bersih, serat daun yang hijau menjadi putih, sedang bila airnya kotor maka serat daun jadi ber- warna kehitaman. Lima menit dibutuhkan untuk me- nyesat dengan alat bambu seperti pisau. asli tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat sebagai- mana mestinya, yakni pa- kaian sehari-hari. Karena pengaruh modernisasi yang berkembang ke daerah ini. Kecuali bagi masyarakat pedalaman. selesai satu minggu atau le- bih. Bukan satu hari dapat menyiapkan lima atau sepu- luh lukisan. Bagaimana dapat dipercaya seorang pelukis itu dapat menghasilkan sepuluh atau lima lukisan sehari, dikatakan karya seni. Seka- lipun trampil memperguna- kan kwas, palet dan jari tangannya untuk melukis, karya seni itu tak mungkin lahir dalam ketergesaan pem- buatannya. Tetapi inilah yang terjadi sekarang. Makin banyak orang memesan lu- kisan, makin kelihatan ke- giatannya membuat lukisan dan itu dilakukannya tanpa memikirkan baik atau bu- ruknya karya lukisannya. Yang terpenting selesai me- nurut waktu yang dijanjikan pemesannya. Kalau uang merupakan satu satunya impian dapat diraih dengan melukis itu Para perajin Ulap doyo mencoba memanfaatkan pe- ngaruh modernisasi itu, sehingga ulap doyo berubah fungsi menjadi barang hiasan rumah yang sangat berharga, treutama bagi masyarakat perkotaan. Bagi masyarakat Dayak Benuaq sendiri, me- makai ulap doyo yang asli yang terbuat dari serat tumbuhan doyo itu dianggap ketinggalan zaman. Mereka mencoba meman- faatkan warisan budayanya itu dengan memadukan de- ngan alam modeen, dimana ulap doyo dimodifikasi men- jadi lebih baik lagi. Artinya, ulap doyo yang sekarang, dipadukan dengan bentuk tenun ikat yang memanfa- atkan benang yang biasa kita kenal terbuat dari kapas sebanyak 90 persen. Sepuluh atau dua puluh persen sisanya adalah dari serat daun pohon doyo, yang biasanya meng- hiasi bagian tengah dari kaun tenun ikat itu. Tenun ikat doyo model baru ini lebih digemari masyarakat Dayak Benuaq ketimbang yang aslinya yang seratus persen menggunakan serat tumbuh- an doyo. Tenun ikat doyo juga dija- dikan komoditi masyarakat Dayak Benuaq untuk ma- bisa dibuat sesuai selera syarakat perkotaan, sehingga pasar, baik sebagai kain atau selendang, bahkan diguna- kan untuk kerajinan lainnya seperti dompet, tas, sepatu, dan sebagainya. Harga ulap doyo ternyata cukup mahal. Yang sudah dimodifikasi bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Bahkan ukurarn 40x50 sentimeter saja yang biasa digunakan untuk hiasan dinding dan cukup artistik harganya Rp 25 ribu. "Inilah sebuah karya artistik. Harganya pun me- narik," kelakar Sumiati, salah seorang perajin ulap doyo. Sumiati, yang mulai mene- kuni tenun ikat doyo sejak 1982 ikut pula memanfa- atkan peluang ini. Di ru- mahnya di Jalan Mangkuraja, Tenggarong, Kabupaten Ku- tai, dia mempekerjakan 300 tenaga keja yang seluruhnya keturunan Dayak Benuaq. Hasilnya, kata ibu empat anak itu, cukup lumayan. (Puji Astuti) wajar saja. Namun begitu buatlah karya itu sebaik betul sesuai dengan dasar konsep seni. Karena karya seni bukan karya yang dipajang tetapi satu karya yang dapat dilihat dengan peresapan batin, pemikiran dan spiritual kita atas penglihatan kita pada karya seni tersebut. Pajangan karya seni lain dari mema- jang karya komersialisasi. Karya seni punya tempat tertentu. Karya komersia- lisasi. Karya seni punya tempat tertentu. Karya ko- mersialisasi bisa saja dipa- jang disembarang tempat, terlebih bila ada dinding tembok rumah yang lowong. Memang sulit untuk men- dirikan organisasi pelukis itu aman tentram. Hal ini disadari Syafril Koto selaku Ketua Organisasi Depo Seni Ke Halaman VII Syafril Koto, ketua Depo Seni Jakarta.