Sindanglaya adalah sebuah desa di Bandung yang memiliki lahan pertanian yang luas dan subur. Pertumbuhan padi sangat optimal dan mengahasilkan panen yang melimpah. Berita mengenai Sindanglaya berikut ini dikutip dari majalah Pandji Poestaka koleksi Monumen Pers Nasional yang terbit pada 2 Juli 1929. Majalah Pandji Poestaka diterbitkan oleh Balai Pustaka pada masa pendudukan Belanda. Majalah ini terbit setiap hari Selasa dan Jumat dengan menggunakan bahasa Melayu.
Mengawali berita tentang Sindanglaya ini, saat panen tiba harga padi mencapai f.4.50 atau sebesar 4,5 gulden sepikul. Padi ini dibeli oleh orang-orang dari Cianjur dari golongan bumiputra dan Tionghoa. Kemudian oleh mereka, padi ini dijual kembali ke Sindanglaya dalam bentuk beras dengan harga tiga kali lipat, yaitu sebesar 12.5 gulden. Hal ini terjadi karena di Sindanglaya tidak memiliki tempat penggilingan padi. Masyarakat harus menjual padi dengan harga murah sementara beras dibeli dengan harga mahal.
Suatu ketika, ada seorang camat di daerah Patjet bernama Mas Irfan Sastradidjaja, terpikir olehnya untuk membuat penggilingan padi walaupun masih sangat sederhana. Camat ini bekerja sama dengan saudagar kaya yang bernama Tuan Haji Makmoer dari Nagrak yang letaknya tidak jauh dari Sindanglaya. Setelah berdirinya penggilingan padi ini, ada peluang pekerjaan baru. Petugas penggilingan padi mengerjakannya secara perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian karena pekerjaan ini belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dalam sehari penggilingan itu bisa menggiling beras kurang lebih 13 karung, maka harga beras di Sindanglaya bisa ditekan lebih murah sekitar 10 sampai 11.
Akan tetapi ada saja pihak yang mencari kelemahan dari penggilingan padi di Nagrak ini. Penggilingan ditutup dengan paksa karena dianggap tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Ini disayangkan karena apabila penggilingan padi Tuan Haji Makmoer ini bisa berjalan baik, akan ada rencana selanjutnya untuk membangun penggilingan padi lain di sekitar Sindanglaya. Jika melihat hasil panen yang begitu besar di Sindanglaya, seharusnya dibutuhkan penggilingan padi kurang lebih 50 unit. Dengan adanya penutupan ini, masyarakat Sindanglaya mengurungkan niatnya. Sindanglaya pada akhirnya kembali seperti semula: padi mengalir keluar dari Sindanglaya dengan harga murah dan kembali dalam bentuk beras dari Cianjur dengan harga yang mahal.
Gebrakan lain dari camat muda ini adalah ide untuk memperbaiki jalan yang rusak dan membuka jalan baru. Alasannya karena beliau melihat Sindanglaya menjadi daerah yang sulit dilalui. Jalan yang biasa dipakai hanya sejengkal dua jengkal saja lebarnya dari rumah penduduk atau hanya tepi-tepi sawah. Bagi para pemikul padi, sayuran maupun bunga jalan ini terlalu sempit untuk dilewati. Camat mendapatkan donasi yang cukup untuk membangun jalan, banyak juga dari penduduk yang ikut membantu dalam bentuk tanah maupun uang. Setelah jalan selesai dibangun, masyarakat Sindanglaya bersuka cita, dengan jalan baru ini mereka merasa banyak sekali kemudahan, jalan tidak licin dan becek serta lebih lebar.
Beginilah gambaran kehidupan masyarakat Sindanglaya pada masa itu. Hadirnya tokoh camat muda Mas Irfan Sastradidjaja membuat Sindanglaya mengalami banyak perkembangan. Penduduknya rajin bekerja, rajin beribadah, hidup tenang, hidup sehat, dan saling bergotong-royong. Daerahnya yang makmur padi bisa menjadi salah satu penyokong perekonomian. Pemimpin yang baik dengan tulus menyumbangkan pikiran dan tenaganya demi kemajuan desanya sehingga desa Sindanglaya layak menjadi desa percontohan. (Eti Kurniasih)