Pada masa pendudukan Jepang, media massa memiliki peran yang sangat penting dalam upaya untuk menyebarkan informasi bagi kepentingan politik Jepang pada masa perang dunia ke II. Jepang menunjukkan keinginannya untuk mendoktrin pikiran masyarakat Indonesia mengenai kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Salah satu media massa yang digunakan sebagai propaganda adalah majalah Djawa Baroe. Majalah ini menggunakan dua bahasa pada redaksi kalimat beritanya, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jepang karena majalah ini tidak hanya untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk bangsa Jepang.
Monumen Pers Nasional memiliki koleksi majalah Djawa Baroe mulai dari tahun 1944 sampai tahun 1945. Salah satu judul artikel menarik yang dimuat pada majalah Djawa Baroe edisi ke 12 terbit tanggal 15 Juni 1944 (2604 tahun Jepang), adalah ” Benteng Perdjoeangan Djawa Telah Terbentoek ”. Dalam artikel tersebut dikatakan pada tanggal 10 Juni 1944 dibentuk ”Benteng Perjuangan Jawa” di seluruh pulau Jawa.
Apakah ”Benteng Perdjoeangan Djawa” itu? Yaitu segala sesuatu yang ada di pulau Jawa harus dipergunakan sebagai tenaga perang yang disusun serapi-rapinya seperti segala bangunan, alat-alat atau tenaga benda dan juga tenaga manusia. Penduduk di seluruh pulau Jawa harus memperkuat diri baik dengan tenaga benda dan tenaga manusia. Hal ini dilakukan untuk menyokong pemerintah Jepang pada masa perang. Tiap-tiap penduduk harus berjuang sebagai prajurit di lapangan dengan semangat yang berkobar. Maksud dari tenaga benda adalah segala barang seperti mesin, hasil pabrik, pertanian, perikanan, dan segala sumber daya alam lainnya diatur sedemikian rupa sehingga bisa dimanfaatkan untuk pasokan perang.
Sementara itu, tenaga manusia berupa 50 juta penduduk di tanah Jawa, seperti para pegawai negeri, pemuka agama, murid-murid sekolah, para pekerja, pedagang, dan sebagainya hendaknya berjiwa laksana prajurit yang berjuang dengan sungguh-sungguh. Jepang menjanjikan 50 juta penduduk Jawa ini nantinya akan dicatat jasa-jasanya dalam sejarah dunia dengan tinta emas dalam menyumbangkan tenaga masing-masing bagi pembangunan Asia Timur Raya pada umumnya dan bagi pembangunan Jawa pada khususnya.
Di seluruh tanah jawa, para penduduk diwajibkan mengumpulkan hasil panen dari berbagai jenis tanaman kepada pemerintah Jepang. Akan tetapi usaha pengumpulan hasil panen ini masih ada kendala di antaranya alat transportasi yang kurang memadai sehingga terjadi keterlambatan. Untuk mengatasi hal ini, Gunseikanbu memberikan petunjuk untuk mempermudah pengumpulan bahan makanan yaitu :
- Dibentuk suatu perkumpulan dalam tiap-tiap shu (provinsi) yang dinamai Syokuryo Hanso Tai Shin Tai untuk mengangkut bahan makanan. Tujuannya agar hasil panen bisa segera di serahkan kepada pemerintah.
- Pembangunan kereta api dan jalur kereta api di hutan. Hal ini dilakukan untuk pengangkutan kayu bakar dan kayu-kayu sebagai bahan pembuatan kapal. Pembangunan ini harus dilakukan dengan cepat yang diperkirakan dalam jangka waktu satu bulan.
Dari artikel di atas diperoleh gambaran bahwa pemerintah Jepang berusaha melakukan eksploitasi sumber daya alam dan manusia di tanah Jawa. Jepang melakukan perbaikan sarana dan prasarana semata-mata untuk memudahkan kepentingan pasokan sumber daya alam kepada balatentara Jepang. Seluruh bangunan berada dalam pengawasan Jepang, dan semua hasil panen dari berbagai jenis tanaman harus disetorkan kepada balatentara sebagai upeti untuk memenuhi kebutuhan pangan militer Jepang. Sumber daya manusia yang ada ditanah Jawa dimanfaatkan menjadi pekerja Jepang.
Majalah Djawa Baroe sebagai media propaganda Jepang, hanya menampilkan segala kebaikan balatentara Jepang. Segala kekejaman Jepang terhadap para pekerja Indonesia (Romusha) tidak sedikitpun diceritakan. (Eti Kurniasih)
