Fenomena Estetika Konsumtif dalam Dunia Literasi

Fenomena book haul alias pamer buku belakangan ini makin ramai di linimasa. Rak buku yang estetik, cover warna buku yang cantik, sampai foto berlatar belakang kafe atau ruang baca menjadi konten andalan pada bookfluencer. Tapi, dibalik itu muncul pertanyaan besar, apakah buku yang mereka jadikan konten benar-benar dibaca atau hanya pemanis media sosial dan pemuas gaya hidup saja?

Budaya Baca yang Bergeser ke Visual

Tagar #bookhaul, #bookstagram, dan #bookfluencer tengah menjamur di platform media sosial TikTok dan Instagram. Dilansir dari pemberitaan Forbes pada April 2025 yang langsung mendapat data dari TikTok, #BookTok telah mengumpulkan 370 miliar tampilan. Konten-kontennya sendiri berisi ulasan buku, rekomendasi, dan diskusi terkait buku. 

Dalam fenomena pamer buku ini, pengguna media sosial buku biasanya membagikan tumpukan buku yang dibeli, menyusunnya di rak buku yang ditata rapi, kemudian memotretnya dengan pencahayaan yang sinematik. Aktivitas ini membangun kesan cinta buku, namun realita lapangannya tidak sedikit yang mengaku belum membaca satu halaman pun. 

Fenomena ini disebut literasi performatif—di mana aktivitas membaca dilakukan hanya demi tampilan sosial, bukan untuk mendalami isinya. Dalam pandangan penganut paham ini, mereka tidak perlu membaca buku sampai selesai. Hal pertama yang perlu mereka penuhi adalah mengunggah aktivitas membaca mereka ke media sosial. 

Hal tersebut terjadi karena adanya budaya konsumtif yang berkembang di era digital ini. Visualisasi dirasa lebih mendominasi dan menggiurkan dibanding bagaimana substansi akan suatu hal.

Menurut Aulia Novia (21), mahasiswa pencinta buku dari Surakarta, dia sendiri lumayan giat membeli buku. “Ya misal ada promo tanggal kembar, biasanya ikut kalap dan beli banyak buku. Tapi saya punya target satu bulan satu buku,” tambahnya.

Antara Manfaat dan Kekhawatiran

Penerbit dan penjual buku justru merasa terbantu dengan tren ini. Book haul dianggap sebagai promosi gratis yang efektif. Misalnya saja, ada akun Instagram @pasarliterasi, yang sering mengadakan bazar buku. Bazar buku tersebut digelar di beberapa lokasi di Indonesia. Buku-buku yang ditawarkan di bazar buku tersebut, tidak sedikit merupakan buku yang viral dan sering lewat di media sosial.

Buku lokal yang tampil di akun bookstagram bisa naik penjualannya secara signifikan. Contohnya saja, buku-buku yang diulas oleh beberapa pembaca melalui media sosialnya. Salah satunya, ada Alwi Johan Yogatama, seorang pecinta buku yang juga suka bepergian. Ada banyak buku yang diulas oleh pemilik akun Instagram @alwijo ini. Banyak yang kemudian tertarik untuk membeli buku setelah melihat konten dari Alwi. Sebagai seorang pegiat literasi, Alwi mengingatkan bahwa membaca seharusnya menjadi proses merenung dan berpikir—bukan hanya demi unggahan media sosial.

Peran Literasi Substansi  dan Monumen Pers Nasional

Fenomena ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi lembaga literasi, seperti Monumen Pers Nasional. Beberapa kegiatan literasi berbasis digital yang diselenggarakan Monumen Pers, misalnya aktif aktif menggelar program penguatan literasi berbasis digital, seperti lokakarya, digitasi bahan pustaka, pelatihan jurnalistik, dan audiensi dengan komunitas literasi.

Upaya yang dilakukan oleh Monumen Pers ini mengarahkan generasi muda agar tidak hanya membaca, tetapi juga memahami dan mengkritisi informasi. Hal ini sesuai dengan visi Monumen Pers dalam menjaga semangat literasi yang otentik di era digital.

Fenomena estetika dalam dunia literasi tak sepenuhnya buruk. Bagi sebagian orang, visual bisa menjadi pintu awal yang menggugah rasa ingin tahu. Selama buku tidak hanya difoto tapi juga dibuka, dibaca, dan direnungkan—literasi tetap bisa hidup.

(Artikel ditulis Fauziah Luluk Fitriani, mahasiswa magang program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Message Us on WhatsApp