Abdul Rivai adalah seorang dokter, jurnalis, dan pemikir modern. Namanya memang tidak setenar tokoh pergerakan lainnya seperti Soetomo bahkan Hatta. Namun, eksistensi Abdul Rivai dapat membuktikan bahwa pisau pena tampaknya lebih tajam dari pisau bedah.
Lewat buku Jagat Wartawan Indonesia, Soebagijo Ilham Notodijoyo menghidupkan kembali sosok jurnalis sekaligus dokter ini. Dalam buku terbitan 1981 ini, Soebagijo bercerita tentang cuplikan hidup dan karier jurnalisme bumiputera pertama yang belajar ilmu dokter hingga Eropa itu.
Buku setebal 635 halaman tersebut bukan cuma menyebut Abdul Rivai saja, tetapi juga mengekspos puluhan cerita juang tokoh-tokoh jurnalistik nasional. Profilnya pun lengkap dari generasi perintis hingga tokoh abad ke-20. Di antara deretan nama besar itu, Abdul Rivai mendapat tempat khusus, karena namanya ditabalkan dengan ikon bintang (*) sebagai Perintis Pers Indonesia.
Dari Dokter Belok Sedikit Ke Wartawan
Dari latar belakangnya, Abdul Rivai lahir sebagai anak seorang guru Sekolah Melayu, Abdul Karim. Awalnya, lelaki kelahiran 1877 tersebut menempuh pendidikan di Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Setelah rampung pada 1894, dokter Rivai kemudian ditempatkan di Medan. Namun, karena semangat belajar yang membara, berbekal simpanan 25 ribu gulden, Rivai melanjutkan perjalanan kedokterannya ke Belanda lima tahun setelahnya, pada 1899.
Dalam misi belajarnya, dokter kelahiran Palembayan, Sumatera Barat tersebut justru mengalami hambatan. Rivai sempat terjegal untuk belajar di sana karena dianggap belum mencukupi syarat dan masih harus menunggu putusan. Mengisi ketidakjelasan posisi tersebut, Rivai memanfaatkan waktunya dengan menulis di berbagai koran dan majalah.
Dari tangannya lahir berbagai tulisan kritis yang menohok sistem kolonial. Melalui artikel-artikel di Bintang Hindia dan surat kabar Pewarta Wolanda, ia menyampaikan gagasan tentang kemajuan, pendidikan, dan kesadaran kebangsaan. Bahkan, dalam buku Jagat Wartawan Indonesia disebutkan artikel-artikel Rivai yang tembus media internasional, seperti Oost en West serta Algemeen Handelsblad yang terbit di Amsterdam.
Baru setelah benar-benar menyelesaikan studinya di Universitas Utrecht pada 1907, Rivai kembali meniti pendidikan doktoral di Universitas Gent, Belgia. Selesai hanya dalam kurun waktu satu tahun, membuat asmanya tercatat sebagai bumiputera pertama yang mendapat titel doktor di Eropa.
Membuat Belanda Merah Padam
Salah satu cerita menarik yang diangkat dalam Jagat Wartawan Indonesia, adalah polemik perang pena Abdul Rivai dengan Dr. A.A. Fokker. Fokker adalah seorang Belanda yang dengan percaya diri menyatakan bahwa dia lebih fasih berbahasa Melayu ketimbang orang Melayu asli.
Rivai membalas klaim itu dengan kritik tajam. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seorang Belanda bisa merasa lebih “Melayu” daripada mereka yang hidup, tumbuh, dan bernapas dalam bahasa itu setiap hari. Hingga dalam perdebatan itu, Fokker menjadi marah. Merah mukanya bukan karena panas ruangan, melainkan malu dan kalah argumen. Dan yang keluar hanyalah argumen-argumen yang tidak karuan.
Dari peristiwa ini, bisa kita tangkap bahwa si dokter sekaligus wartawan itu mampu membuat kolonialis hilang muka. Tak berlebihanlah kalau Soebagijo menyebut Rivai adalah wartawan pelopor jurnalistik modern di Indonesia.

Mengapa Harus Membaca Jagat Wartawan Indonesia?
Mengenal Abdul Rivai lewat Jagat Wartawan Indonesia karya Soebagijo adalah pengalaman sejarah yang membuka mata. Buku ini tidak hanya mengisahkan biografi singkat, tetapi juga menggambarkan atmosfer zaman, dilema intelektual, serta pergulatan tokoh pers dalam memperjuangkan suara bangsanya.
Dengan membaca langsung buku tersebut, kita bisa melihat bagaimana tokoh seperti Rivai, Abdul Muis, Marco Kartodikromo, hingga Adam Malik memaknai jurnalisme sebagai jalan perjuangan.
Kamu bisa membaca kisah-kisah perjuangan tokoh jurnalis lainnya juga lewat Jagat Wartawan Indonesia yang tersedia di Perpustakaan Monumen Pers Nasional!
(Artikel ditulis Aulia Novia, mahasiswa magang program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)
