Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Kedaulatan Rakyat
Tipe: Koran
Tanggal: 2017-03-10
Halaman: 24

Konten


4cm Color Rendition Chart JUMAT WAGE, 10 MARET 2017 (11 JUMADILAKIR 1950) Kaca Gamelan dan Band Bertemu Mewarnai Budaya G₁ Penampilan Es Teh Anget di Panggung Sekolah Hutan Pinus. BEL AMELAN telah menjadi budaya Indonesia yang tak ternilai. Suaranya memikat, dan layak untuk dinikmati. Dalam suatu perhelatan gamelan, alunan irama yang saling melengkapi satu sama lain turut membawa keunikan tersendiri. Gamelan pun menjadi magnet bagi anak muda untuk turut memainkannya. Bahkan, seni yang identik dimainkan orang tua itu kini juga digandrungi oleh para generasi kekinian. Tak jarang gamelan justru bertemu dengan band untuk berkolaborasi membentuk harmoni yang indah. Muhammad Pramono Ari Wibowo (17) salah satunya. Remaja yang bergabung dalam grup gamelan sejak usia 15 tahun telah menekuni belajar gamelan. "Dulu ikut karawitan karena diajak teman. Terus gabung di "Es Teh Anget" singkatan dari esemu tansah angangeni ati. Artinya senyumanmu membuatku kangen di hati," jelas siswa SMA N 2 Banguntapan. "Es Teh Anget itu kumpulan anak muda yang mayoritas anak laki-laki tapi ada perempuan juga. Berdiri tahun 2000 anggotanya remaja asal Butuh Sriharjo Imogiri Bantul," imbuh Bowo sapaan akrabnya. Di Es Teh Anget para pesertanya belajar tanpa guru. Hanya mengandalkan SANTOSO Kaca-Vera Wahmawati Santoso Seba ANTOSO (46) sering memainkan rebab dalam pementasan gamelan. Santoso menggeluti dunia karawitan sejak tahun 1988. Keluarganya yang beraliran kesenian Jawa membuat Santoso kesemsem gamelan. Tak Lupa Budaya Jawa Menurutnya gamelan dibuat oleh Wali Sanga sebagai sarana masuk Agama Islam. Sunan Kalijaga merupakan pencetusnya. Setelah dikembangkan gamelan berlanjut menjadi bermacam- macam. Sunan Bonang membuat bonang, Sunan Kalijaga membuat kendang, Sunan Muria membuat saron dan seterusnya," cerita abdi kraton yang berpangkat jajar. "Dulu yang mau memainkan dan melihat gamelan harus wudhu," jelasnya. Zainab Ratu S (Kelas X IPS 2 SMA Negeri 1 Bantul) zainabtsya email: zainabratu@gmail.com Selain itu, Santoso juga memiliki kebanggaan tersendiri dengan gamelan. Selain bisa nguri-nguri kabudayan Jawi, tujuannya agar tidak punah. "Kebanggan Generasi muda menabuh gamelan. senior yang sudah berpengalaman. Rasa kekeluargaan yang lekat serta belajar saling melengkapi, membuat Es Teh Anget eksis berkiprah di dunia gamelan. Dari situlah Bowo mulai mengenal gamelan yang tidak membosankan. "Alunan klasik yang lebih pakem dan lambat temponya saya karena lewat gamelan bisa menghibur teman-teman maupun masyarakat. Bisa mengajar dan berpentas juga karena gamelan," urai Santoso dengan tegas. Kaca-Istimewa Saat ini ia juga melatih anak-anak dengan gamelan yang ada di rumahnya. Anak usia 8-12 tahun dilatih setiap hari Minggu Pukul 12.00 sampai 14.00 tanpa dipungut biaya. "Kalau ada yang ingin latihan mayang, sinden dan tembang Jawa, saya terima tanpa dipungut biaya. Karena anak mudalah yang kelak akan melestarikan budaya kita," tegas Santoso. "Harapan saya supaya anak- anak tidak melupakan kesenian Jawa. Setidaknya ada pengenalan, kwi to sik jenenge gamelan, kwi to sik jenenge gong, itu kendang. Jadi setiap sekolah harus ada gamelan. Pengenalan dari SD dulu, kalau sudah SMA mulai sulit diarahkan," pungkasnya. (Vera Wahmawati)-e Aina Dwi Rifial (Kelas XI IPA 1 Madrasah Muallimaat Muhammadiyah Yogyakarta) ainarifial email: ainarifialadr@gmail.com Vera Wahmawati (Kelas XII IPA 1 SMA Negeri 2 Banguntapan) @verawahmawati email: verawahmawati@gmail.com Aksi panggung Band Klub Penerjang Hujan (KPH). kami bisa selingi gamelan kontemporer bergenre lebih cepat. Tujuannya agar tidak membosankan," urai pemain saron dan bonang di grup tersebut. Menurut Bowo gamelan dapat menghibur ketika rasa malas muncul di benaknya. Dengan memainkan gamelan, Bowo merasakan semangat belajarnya menjadi membara bak api yang menyala. Nguri-nguri kabudayan Jawi merupakan tujuan Bowo agar gamelan tidak punah. Selain itu, dengan belajar gamelan, ia menjadi mengenal lagu-lagu Jawa, alat- alat musik Jawa dan bisa mengenal arti penting kebudayaan yang sudah menjadi jati diri bangsa. ILUSTRASI JOS Kaca-Istimewa Di sisi lain budaya Indonesia juga mulai tergerus arus globalisasi. Datangnya budaya kebarat-baratan membuat remaja masa kini lebih menyukai aliran musik bergenre modern. Namun tak semua band dalam MAYA Merasuk dalam raga Suatu angan nan semu Tak terbayang akan mengadu Dengan jiwa yang tak tentu Ruang ini mengajakku berlari Jauh... Terlalu jauh... Hingga menggerus batas khayalku Kutatap sosok di ujung sana Berdiri dengan kokoh Menatap daku yang ada di seberangnya Kutatap lekat-lekat Kuingat dengan sangat Itulah diriku Aku yang tak seperti biasa Kini berdiri Namun sesungguhnya Mulut yang tak mampu berucap Telinga yang tak kuat menyimak Membuat jiwa meronta hebat Dalam khayal yang begitu kuat Inilah angan Benar-benar angan dengan segala pemberian Sang Maha Kuasa Dengan guna yang bukan main eloknya Yang berkamuflase belaka Dengan hal yang mustahil ada Karena inilah yang disebut Maya. Karya : Salsabilla Amiyard Siwi Kelas XII S SMA N 1 Yogyakarta zu Hentikan! Enyahlah dikau yang hanya membuatku menjerit Menatap panorama asing Dalam balok ruang sempit ini penampilannya menggeser budaya asli Indonesia. Misalnya Band Titik Nol, asal SMA N 1 Bantul. Band justru melestarikan budaya lewat cara moderen. Ayo kirim karya. Kaca-Aina Dwi Rifial Band ini dibentuk secara tidak sengaja karena seringnya mereka berkumpul bersama untuk latihan persiapan lomba. Hari-hari yang dilalui bersama membuat satu sama lain merasa nyaman sehingga mereka memutuskan untuk bergabung menjadi sebuah band. "Filosofi nama Titik Nol bahwa kami berjuang dari nol bareng- bareng sampai pada akhirnya berhasil meraih banyak nol bareng, alias sukses," ungkap Nur Mutia Mayangsari (17) vokalis band tersebut. Kaca Zainab Ratu S Nur Mutia Mayangsari Band ini sering menang dalam berbagai kejuaraan. Awalnya, mereka mengikuti lomba di salah satu event dan langsung menang juara pertama. Dari situlah muncul semangat untuk terus berkarya. "Lagu yang kami bawakan sering mengambil tembang daerah. Jadi, meski nggak ikut karawitan tapi kami tetap bisa melestarikan budaya," jelasnya. Mutia juga beralasan di keyboard juga bisa disetel instrumen seperti saron dan lain-lain. Sehingga cara itu bisa dicoba untuk ILUSTRASI JOS memperkenalkan budaya lewat cara kekinian. Mutia berharap semoga ke depan bandnya lebih kompak dan dapat membanggakan semua termasuk sekolahnya. Hal sama dilakukan Klub Penerjang Hujan (KPH). Nama KPH terinspirasi saat suatu malam hujan deras. Karena ada jadwal pentas, mereka tetap saja menerobos hujan. Dari kejadian inilah tercetus nama KPH yang digawangi strid (vokalis), Bila (vokalis), Ulun (gitaris dan "KEDAULATAN RAKYAT" HALAMAN 16 Kaca-Vera Wahmawati Muhammad Pramono Ari Wibowo Ulun Nuha vokalis), Fawwaz (gitaris), Rasif (bass) dan Rouf (drum/cajon). "Kami terbentuk awal tahun 2016, tujuannya sih pengen ekspresi diri aja," kenang Ulun (21). Sering nyanyi dari panggung ke panggung, diakui mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini membawa banyak manfaat. "Bagi saya sendiri sih banyak, seperti menambah pengalaman bermusik dan nambah relasi," jelas Ulun. Karawitan maupun band sama-sama mewarnai budaya tanah air. Dari situlah sebagai anak muda, harus pintar-pintar memilah dan memilih agar budaya Jawa tetap lestari. (Vera Wahmawati, Zainab Ratu S, Aina Dwi Rifial)-e Sebuah Syair dari Ujung Hati Udara berbisik, burung-burung mendayu Bangku reot berdecit, dimakan usia Kaca-Aina Dwi Rifial Matahari beranjak pulang ke peraduan Penghujung hari, ayah bernyanyi kian menyentuh hati Syairpun beliau enggan melodikan Tiada gitar pun sebuah biola Ritme kacau, nyanyian balau Cuma aku seorang yang mau dengar Ayah tak bersenandung, tak pula memetik senar Liriknya dari hati, bukan dari musisi kondang di negeri Syair bak mutiara, enggan kulupa Terus teringat, pun tanpa kaset lama Nyanyian buat putrinya seorang Bab kehidupan yang enggan henti berputar Tak kuasa beliau tinggalkan anak perempuan Di dunia sulit kian memilukan Nyanyiannya tidaklah sarat akan bualan Tuturkan tuntunan hidup bagi seorang putri Maghrib itu pula yang jadi saksi Seorang ayah tinggalkan pesan-pesan Karya: Ghiena Rohadatul Liza ILUSTRASI JOS Di antara kebisingan malam Terbekas sepatah dua patah kata di ujung hati Petuah sang ayah yang enggan mati SMAN 2 Yogyakarta Email: ghienaliz@gmail.com Line: official_griz R UBRIK Kaca SKH Kedaulatan Rakyat menerima kiriman karya kreatif cerpen, komik dan fotografi. Untuk tulisan panjang maksimal 2 halaman kwarto, spasi 1,5 Times telepon yang mudah dihubungi serta media sosial yang dimiliki. Rubrik Kaca juga menerima karya puisi dari pelajar SMP-SMA. Bagi karya yang dimuat akan mendapat honor tulisan. Kirimkan karya ke email rubrikkaca@gmail.com. Follow twitter dan instagram @rubrikkaca. לכש