Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Analisa
Tipe: Koran
Tanggal: 1999-10-14
Halaman: 10

Konten


ANALISA: Kamis, 14 Oktober 1999 Nyaris Ditelan Selat Malaka Oleh: Rizal Nasti nya perusahaan ayah harus di imbangi". "Bagus sekali". "Oh yah...... bagaimana pe rusahaan ayah ?" "Tentu ada pengaruhnya. Tetapi tidak terjadi PHK. Se bab kondisi keuangan perusa haan ayah tetap stabil". AYAH Ganda sebagai konglomerat sangat gelisah se kali. Bukan uangnya yang di pikirkan saat ini, tetapi ting kah laku sekelompok orang yang ingin mengacaukan per ekonomian Indonesia. "Ayah sangat menyesal se kali. Mengapa nggak bisa membantu perekonomian kita. Dollar yang ayah simpan di bank luar negeri sudah di simpan di bank dalam negeri. Tetapi toh tidak mengangkat rupiah", katanya kepada Ganda di ruang kerja anak nya. "Soalnya masyarakat su dah tidak percaya dengan ke bijaksanaan pemerintah. Bah kan ada isu masyarakat juga sudah tidak percaya dengan pemerintah". "Susahnya di sini, ganggu an ekonomi juga berarti gang guan politis". "Jelas ayah. Ekonomi de ngan politik tidak bisa dipisah kan. Keduanya seperti uang lo gam, di mana dua sisinya sa ling mendukung". "Benar juga. Bahkan sa ngat mempengaruhi kehidup an rakyat. Sandang dan pa ngan tak terkendali lagi. Se muanya naik". "Tetapi rakyat kecil yang menjadi korban. Rakyat kecil menangis dan menjerit. Se dangkan kelompok elit keta wa. Buktinya sewaktu ada per temuan kelompok mereka, ke tawanya sampai kedengaran ke tetangga". "Bagaimana nasib juragan Langka? Apakah ada yang di PHK ?". "Tidak ayah. Seluru peker ja berjalan seperti biasa. Se bab hasil juragan Langka dijual ke luar negeri. Apabila pembelinya melalui dollar yah.... sangat menguntungkan sekali. Karena itu setahun la lu didirikan eksportir juragan langka". "Jalan juga otakmu, Gan da". "Percuma keturunan ayah. Tetap jalan dong otak. Pokok B 17 7 OVI membelokkan motornya dengan sekuat tenaga. Nyaris me- nyerempet pintu gerbang yang sedang ditarik pak Madi. Mengi- tari lapangan olah raga dan nong- krong diparkiran. Upacara kenaikan bendera se- gera dimulai. Disambarnya tas- nya lalu berlari-lari kembali kela- pangan olah raga. Saf-saf barisan sudah mulai diatur. Ovi sampai kebarisannya. Ia langsung ke saf depan, menggeser Nina yang ngomel panjang pendek. "Yang waras ngalah. Na, ya waras ngalah!" Dewi cekikikan di belakangnya. "Mejeng ni yee. Udah pake parfum biar kecium Han! yang lain nimpalin, Ovi cuma masem- masem. Seluruh isi kelasnya memang tau, Ovi lagi kasmaran berat sa ma Han. Cowok yang menurut Tami teman sebangkunya, punya bodi model kuli labuhan. Tam- pang kayak penyanyi Orkes, ini kata Santi, dan kantong laksana pegawai negeri dibulan tua. Ini tambahan Udin. "Mending kamu pilih aku, tiap hari traktirin es bon bon Vi". Gara-gara Kereta Ovi tak bergeming. Itulah cinta. Setiap Senin ia akan me- nunggui pangerannya dibarisan depan. Maklum Han, yang berna- ma asli Handoko jadi tukang aba- aba nyanyi lagu kebangsaan. Upacarapun dimulai. Mata Ovi tak lepas dari Han. Cowok dengan seragam abu abu itu be- gitu istimewa, sisiran rambutnya yang acak-acakan tertiup angin justru bikin dia tampak jantan. Bak ayam jantan abis berantam. "Mungkin dia nggak pernah liat iklan Brisk di TV atau karena nggak punya televisi. "Ini ko- mentar Udin waktu itu. "Tak ada pengaruhnya ge jolak ekonomi kita". "Ada juga. Tetapi bisa di kendalikan. Toh keuntungan tahun-tahun yang lalu disim pan. Karena itu kondisinya te tap stabil". Oleh: "Basar" "Mau pake minyak goreng, ja ngan-jangan maminya nggak bi- sa masak". "Bagaimana ayah menga tasi gejolak perekonomian kita ?". Acara yang ditunggu Ovi ha- dir juga. Nyanyi lagu Indonesia Raya. Langkah Han yang gagah, tak lepas dari pandangannya. Dan Han siap untuk "Ambil suara!", Ovi selalu ngerasa Han pasti me- mandang mesra padanya seorang. "Ah, kamu aja yang kege eran" ujar Santi sambil ngakak. "Yah.... bersatu. tidak ada sikut-menyikut, jatuh menja- tuhkan. Dan persatuan dan ke satuan diutamakan". "Tetapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan terjadi si kut-menyikut, saling menja tuhkan. Semuanya itu ambisi golongan dan pribadi untuk terus bercokol di golongan elit. Tak mau berkorban demi negara. Pribadinya saja yang ditonjolkan. Bila keadaan eko nomi kacau barulah sibuk min ta persatuan dan kesatuan. Ini namanya penipu politik". "Seharusnya kita bersatu. Seperti di Korea Selatan se mua tahanan politik dibebas kan. Semua dilakukan demi terwujudnya persatuan nasio nal. Mengapa di negara kita tidak dilakukan demikian? Malahan secara mudah ditu duh ini-itu walaupun bukti nya tidak ada. Bagaimana rak yat mau bersatu bila negara sa kit, negara sehat toh tak diper hatikan ?". "Persatuan dan kesatuan kunci utama. Semua golong an diikutsertakan. Tidak mem beda-bedakan. Semuanya ber satu. Bila demikian mudah- mudahan perekonomian bisa kembali normal". "Memang seharusnya demi kian, tetapi kenyataan golong an elit gengsi untuk melaku kan hal seperti itu. Mau beker ja sendiri, manalah berhasil". Fangg "Tadi dia ngelirik aku lho!. Apa dia naksir aku?" sahut Udin yang bikin kelompoknya terping- kal pingkal. Tapi Ovi tetap teguh pada pendiriannya. Han selalu melirik padanya, karena dia suka Ovi. Dia mencari kekuatan pada yang dicintainya itu sebelum menjalankan tugas. "Ceilee ro- mantis sekali. Kayak ingin maju perang aja!", Ledek Ros terkekeh kekeh. Han melihat padanya senyum tak jelas. Ovi dengan siap me- nyungging senyumnya yang pa- ling maut. Dengan takzim dan semangat 45 Ovi menyanyikan lagu kebangsaan. Matanya tak lepas dari aba-aba tangan Han, sampai upacara selesai. Biasanya setelah upacara gan- drungnya Ovi makin berat, sehari an sambil ngikutin pelajaran, ta- ngannya akan usil nulis nama Han ditiap buku yang dihadapi- nya. "Nich ku kasih buku tulis spe- sial buat nyatet nama gacoanmu itu, kamu ngerusak bukuju juga!" kata Risti suatu kali. Ovi cuma masem aja. "Harusnya tuh kamu nyamper ke kelas Han, ajak nonton malam minggu nah baru dia liat kamu!" nasehat Udin. "Atau bikin surat cinta, serahin ke dia!". "Sehingga rupiah jatuh sampai delapan ribu dua ratus rupiah per dolar. Bahaya kan? Berarti sudah di ambang kehancuran". ke sini!". "Seandainya saya jadi men teri keuangan yah.... sudah ter jadi pemotongan uang. Dari pada rakyat menderita terus... bahan-bahan pokok naik terus sampai kertas. Di dalam ke sempitan pedagang dan pengu saha menaikkan harga-harga. Contohnya harga kertas naik sehingga banyak penerbitan surat kabar gulung tikar. De ngan matinya penerbitan ko ran berarti membodohkan rak yat". Impian Ovi terlaksana, ini pa- gi yang ajaib disebuh hari Senin. Motornya mogok di jalanan de kat shalter yang masih jauh dari sekolah. Ovi mendorongnya de- ngan kesal kepinggir dan dengan putus asa memikir apa yang harus dilakukannya dengan motor mo- "Mengapa pengusaha mo dal seperti ini masih dipakai di bumi Indonesia ? Seharus nya dicampakkan dari Indone sia. Cari makan di Indonesia, tetapi tindakannya menyusah kan rakyat. sama dengan mem bodohkan rakyat. "Berarti tingkah lakunya sama dengan penjajah. Bila Indonesia dijajah Belanda de ngan memakai pembodohan, maka zaman yang sudah mer deka ini juga masih dijajah oleh kelompok-kelompok yang mencari kesempatan da lam kesempitan". "Pengusaha yang memen tingkan pribadinya sama de ngan penghianat bangsa, wa lau dengan alasan apa pun. Se bab kepentingan rakyat no mor satu". "Seharusnya memang demi kian. Tetapi kenyataannya yah.... jauh dari harapan". "Kepentingan bangsa dan negara di atas segala-gala nya". "Tetapi........" "Sudahlah..... mikirin mere ka kita stres sendiri. Lebih baik merenungkan diri dan membantu perekonomian yang sedang sakit". Ayah dan anaknya bila ber temu saling ngobrol tentang ekonomi. Kebetulan ayah dan anak sama-sama pengusaha yang nasionalismenya tinggi. Sehingga pembicaraan me- gok begini. Lalu muncullah dewa penolong. "Kuli pelabuhan itu muncul dari kerumunan orang yang nunggu di bus shalter. "Kenapa motornya?" sapanya dengan suara bak Michel Bolton. Ovi nyaris pingsan karena baha gia”. "Nggak tahu nih!". Otomatis tangan Han terulur dan otomatis Ovi mengarahkan motornya pada cowok yang kata Udin kantongnya laksana pega wai negeri bulan tua itu. "Kamu kelas satunya?" tanga Han tanpa memandangnya. Ta ngannya repot memutar kontak. "Iya" jawab Ovi dengan tak- zim seperti mengatakan iya pada lamaran cowok yang nginya ini. Aneh bin ajaib, derun halus motor terdengar. Eh, kena- pa itu tadi, pikir Ovi dengan tak- jub. Trims Tuhan tentu kamu yang kasih jalan buat kenalan de- ngan Han tanpa ia harus ngacir menawarkan diri didepan cowok itu,pikirnya dengan riang. "Nah, aku bisa nebeng kalo begini. "Han, ketawa lebar, gigi nya putih dan bagus sekali deret- annya. Kenapa dia nggak jadi model iklan pasta gigi saja, pikir Ovi sambil hati-hati membon- ceng Han. Seperempat jam lewat, lalu seperempat jam berikutnya lagi. Wah aku bisa terlambat pikir Han, tapi untuk beranjak pergi ia segan. Ingin menunggu cewek mungil lucu itu. Bus pun datang. Tak ada "Ih, amit-amit! aku nggak mau pilihan lain. Teman-teman berge- pake cara kayak itu! Mauku dia rombol dan ribut banget ketika ia kelas I yang ia tahu badungnya memasuki halaman. Udin, anak lumayan kondang berlari meng- hampirinya. datang ke aku karena dorongan cintanya!. "Alaa, kuno itu, Vi!". "Mana dia merhatiin kamu, tinggimu aja semampai, semeter nggak sampai!" Deni ngakak. "Mau ikutan melawat Han?" "Ya?" "Dikira kamu anak SD nyasar Begitu memasuki halaman, se luruh temannya melihat adegan tanpa rencana itu. Mereka berso- rak sorai. Dan ketika dengan riang Ovi melangkah ke kelasnya. Ulur an tangan, acakan rambut, towel- an manis menyerbunya. "Oke, deh aku yang motret kalo kamu jadi kawin ntar!" teriak Udin. Hari itu matahari bersinar se- juk, Ovipun tak bisa konsen bela- jar. Matipun aku rela kalau Han memang cinta, pikirnya sambil senyum-senyum sendiri. Pulang sekolah, dengan takjub ia melihat Han menunggu di gerbang. "Boleh nebeng lagi?" permin- taan itu seperti rayuan ditelinga Ovi. Maklum lagi gandrung, apa pun yang diucapkan doi seraya rayuan pulau kelapa. Ovi berada diboncengan Han. Angin mener- pa mengacak rambut mereka, la- ngit menjadi warna-warni karena hepi. Han menunggu seperempat jam lebih pagi dari biasanya pagi itu. Cewek mungil yang lucu,pi- kirnya sambil senyum-senyum, tapi menyenangkan. "Apa karena Uh, kenapa kata itu melintas di aku belum punya pacar? Pacar? benakku?" Ovi cuma senyum. Tak berge- pulang sekolah motornya tabrak "Pacarmu meninggal kemarin an, nggak tau dengan apa. Dia ming. Itulah cinta, pikirnya de- sempat dibawa ke rumah sakit, ngan tenang, apapun yang terja- tapi nggak ketolong lagi. Mau di akan kulewati sampai Han me- ikutan ke sana?". rasakan sendiri tumbuhnya benih cinta dihatinya. Pacarku? Meninggal? Ingat- annya langsung ke gadis mungil yang lucu itu, Ovi. Ada yang tera sa berdenting jatuh didalam sanu barinya. Ovi, Ovi aku baru ingin dekat dengannya, kamu sudah mematahkan hatiku. "Ikut?" kejar Udin, Han berba lik, matanya menerawang. CERPEN & PUISI Juni 99 30x nyambung. "Ayah..... saya diundang oleh pencinta tanaman langka di India. Rencananya staf inti ikut. Sebab nanti akan menja jaki kemungkinan mengada kan jual-beli". "Bagus sekali. Ekspansi pa sar ke India cocok sekali. Pen duduknya besar. Sedangkan harga bisa dijangkau oleh rak yat India. Pas sekali. Keadaan seperti ini memang harus be rani mencari pasar ke negara lain". "Untuk menjajaki saya ser takan Ir. Hamid, Candra dan Dodi. Dengan mengetahui pa sar diharapkan dapat menam bah peluang". "Kesempatan ini jangan di sia-siakan. Dan peluang emas ini hendaknya dapat diman faatkan". "Semoga kami berhasil" "Ayah doakan. Dan usaha kan berhasil. Sebelum berha sil jangan pulang". "Beres". Rombongan juragan Lang ka berangkat ke India. Ganda bersama istrinya. Termasuk Dodi, Hamid dan Candra. "Sering-sering ke luar ne geri. Sebab sekalian rekreasi", canda Dodi kepada Candra. "Lagi sakit ekonomi kita. Kan nggak boleh boros. Ha rus efisiensi. Syukur kita ikut juga ke India", canda Hamid membuat mereka gembira. Saat krisis jarang melaku kan kunjungan ke luar negeri. Lokasi Dihiasi lampu warna-warni, terasa lokasi itu sangat roman- tis dan menjanjikan sejuta ima- jinasi akan keindahan duniawi. Suara jangkrik yang tak pernah berhenti, membuat lokasi itu seperti tak berpenghuni. Seka- li-sekali terdengar gelak tawa gadis-gadis dari kejauhan se- Di shalter tadi pagi Han turun. perti suara kuntilanak. Tawa "Rumahku dekat sini. Besok mau lepas yang menyiratkan pen- barengan lagi?" Ovi mengangguk deritaan yang teramat dalam, angguk bahagia mendengar "La harus mereka peluk erat demi maran" itu. Mereka saling berda-hidup dan karena kehidupan. dahan lalu berpisah. Di sebuah lokasi yang tidak begitu jauh dari kehidupan ko- ta marilah berjalan-jalan kala temaram menyelimuti bumi. Jangan lupa memakai jeket agar tidak kedinginan karena lokasi itu di daerah pegunung- an. Bersikaplah santai karena daerah itu jauh dari unsur ke- kerasan seperti kota-kota besar yang angka kejahatannya sa- ngat tinggi. Masyarakatnya umumnya sangat ramah dan murah senyum. 660 CUNINY wor Namun kesempatan ini tidak disia-siakan oleh mereka. "Sebenarnya aku nunggui kantor saja. Tetapi kalian pak sa yah.... ikut juga aku", kata Candra raut mukanya menun jukkan kesedihan. Dodi dan Hamid terus saja bercanda. Di India suasannya sangat menyenangkan sekali. Pengu saha-pengusahanya ramah dan mudah negosiasi. Dalam seminggu saja mereka telah mendapat mitra. Ganda dan Dina juga menikmati perte muan perkumpulan juragan Langka. Kesempatan ini di manfaatkan oleh ganda dan Dina untuk mempromosikan juragan langka. Sambutan an tusias sekali. Misi juragan Langka tidak sia-sia. Berbagai diplomasi dan lobi akhirnya banyak pe minat yang ingin datang lang sung ke juragan Langka. Dan ada juga meminta contoh-con toh buah juragan Langka. Ganda, Dina, Dodi, Hamid dan Candra pulang ke Indone sia dengan pesawat terbang India. Dengan nomor 250989. Begitulah kabar yang diterima ibunya Ganda melalui telepon. Ibunya cemas juga. Apalagi saat ini sering terjadi kecelakaan pesawat ter bang. kannya, bahwa mereka menca- ri makan di lokasi itu. Atau jika aparat keamanan datang menertibkan mereka, apakah germonya akan menyumbat mulut aparat tersebut dengan amplop, atau membiarkan mahluk piaraannya itu diang- kut aparat keamanan untuk diberi pengarahan basa-basi dan dilepaskan kembali. Aku pusing sendiri memi- kirkannya. Sementara pengun- jung yang datang ke lokasi itu tidak perduli sama sekali de- ngan sekelilingnya, Mereka berbuat sesuai seleranya. Aku melihat pengunjung mulai dari anak muda sampai yang sudah berkeluarga berjalan tanpa sa- ling tegur. Sebagian ada yang mengendarai mobil sambil membunyikan musik yang menghentak-hentak. Aku terus berjalan menelu- suri jalan-jalan yang simpang siur di antara bungalow-bu- ngalow yang ditata sangat rapi dan mengundang siapa saja un- Tak ada dosa dan tak ada tuk menginap untuk melepas norma. Semuanya berjalan de- lelah. Malam semakin larut, ngan sangat demokrasi dan ti- ternyata lokasi itu bukan ber- dak ada unsur paksaan kepada tambah sepi, malah bertambah setiap orang yang ingin men- ramai pengunjungnya. Udara dapatkan jasanya. Musawarah dingin yang sangat terasa, bu- Di TV ada berita kecelaka an di Selat Malaka, dengan nomor 250989. Mendengar berita di TV Mamanya Ganda untuk mufakat sangat tercer- min disitu. Mereka sadar ten- tang tugasnya dan melaksana- kannya sesuai peraturan yang telah ditetapkan oleh yang ber- wenang, di lokasi itu. Oleh: Sion Pinem SEBELUM kita berbicara terlalu jauh tentang pemba- ngunan yang semakin giat di- laksanakan pemerintah atau masalah pengentasan kemis- kinan di desa-desa terpencil atau tentang masalah tenaga kerja anak yang masih usia sekolah atau masalah tenaga kerja Indonesia yang ada di luar negeri yang sering men- dap kuan yang sangat tidak manusiawi dari majikan- nya atau juga masalah prog- ram televisi yang menyajikan tayangannya berbau porno- grafi, marilah mendengar ce- rita ringan dari sebagian ma- Aku terus berjalan menelu- suri sudut-sudut lokasi itu de- ngan sejuta tanya yang tak bisa kujelaskan satu persatu disini. Aku cuma berharap menemu- kan seorang teman yang bisa kuajak berbicara tentang ke- jadian-kejadian yang pernah terjadi di lokasi itu, serta pros- peknya di masa mendatang. Dan bagaimana jika suatu saat lokasi itu harus digusur oleh orang-orang yang ingin mem- bangun lapangan golf. Apakah mereka akan melakukan de- tika aku menanyakan kepada salah seorang yang ada di situ. monstrasi ke kantor DPR de- ngan membuka penutup aurat apa sebutannya rumah itu, dia syarakat yang menderita krisis tubuhnya dan memperlihat- mengatakan, barak. Aku agak susila berkepanjangan. منصرف pingsan seketika. Ramailah orang berdatangan ke rumah orangtuanya Ganda. Menanya kan tentang anaknya. Dillah menangis menjadi-jadi. Se bab suaminya Candra ikut juga dalam penerbangan ter sebut. Termasuk Wati istri Dodi. Seluruh pekerja juragan Langka ikut sedih, berduka cita. Ayah Ganda dengan seksa ma memperhatikan nama pe numpang yang ikut dengan pe sawat 250989. Nama-nama tersebut-termasuk Ganda, Di na, Dodi, Hamid dan Candra. Lemaslah lutut ayahnya. Tak bisa berkata-kata lagi. Suasana duka menyelimuti ru mah Pak Sulaiman Nasution. Perkembangan terakhir me nyebutkan tidak ada satu orang pun penumpang yang selamat. Pesawat hancur ber- keping-keping. Tidak ada tan- da-tanda penumpang yang selamat. Keluarga Pak Sulai- man hancur luluh. Dillah menjerit-jerit. Sedangkan Wa- ti istri Dodi pingsan tak sa- darkan diri setiap melihat gambar pesawat yang hancur di TV. "1 Suasana duka menyelimuti juragan Langka. Sebab sam pai saat ini belum ada kabar berita yang jelas. "Kring.... Tidak satu pun yang meng angkatnya. Suasana duka yang mendalam tidak mem perdulikan deringan telepon. kan penghalang bagi setiap orang yang ada di lokasi itu. Bunyi sepeda motor me- raung-raung kesana-kemari mengantarkan wanita-wanita muda kepada pemesannya. Se- perti barang dagangan, mereka melakukannya tanpa malu dan segan. Para pelanggan bebas memilih sesuai selera dan wa- nita muda itu tidak pernah me- rasa sakit hati jika para pelang- gan menolaknya dengan alasan tidak memenuhi seleranya. Mereka tetap menunjukkan si- kap sopan dan ramah kepada pelanggan. Lalu aku memasuki sebuah bangunan yang agak besar di- banding bungalow biasa. Ke- terkejut mendengarnya karena setahuku istilah barak hanya ada pada militer. Misalnya ba- rak tentara. Dalam hati aku bertanya apakah disini ada juga tentara, khusus mengawal wa- nita muda di sini. Setelah kuselidiki, ternyata barak disini adalah tempat mangkal para wanita muda menunggu pesanan dari pe- langgan. Aku cuma bisa meng- angguk-angguk dan mengakui lokasi ini sangat terorganisasi dengan baik sekali. "Kring........" Dengan berat tangan akhir nya Pak Sulaiman mengang kat gagang telepon seraya ber kata: "Hallo..... siapa ini?". "Hallo....... saya berbicara dengan ayah". mar untuk tempat menginap malam itu. Lama sekali aku (Bersambung ke hal. 11) "Detak jantung Pak Sulai man tiba-tiba normal kemba li. Tidak jadi copot". Iyah.... saya Pak Sulaiman..... Siapa yang menelpon ini". "Saya..... Ganda anaknya Pak Sulaiman. Ada apa ge- rangannya". "Kaunya Ganda!" "Iyah.... saya......." "Benar...... 11 "Benar saya..... kenapa ru panya ?" "Nanti diceritakan. Dan Dodi, Hamid, Candra, Dina, bagaimana kabarnya ?" 11 "Sehat-sehat semua. Kami berada di Pakistan. Kebetul an ada pengusaha yang mau jadi mitra. Kesempatan ini kami pergunakan dengan baik". "Katanya berangkat naik pesawat nomor 250989. Ke- napa bisa di Pakistan ?" Ayahnya masih kurang per caya. "Keberangkatan kami di batalkan. Kebetulan ada orang peranakan India tinggal di Medan mau cepat pulang yah.... kami serahkan saja tiket tersebut ganti nama". Pak Sulaiman rada-rada kurang percaya. Tetapi sete lah Ganda meyakinkan ber kali-kali akhirnya percaya. Tu buhnya yang tadinya lemas lunglai kini kembali seperti biasa. Tidak ada terjadi apa- apa lagi. Semua orang bertanya-ta na. Tiba-tiba Pak Sulaiman biasa-biasa saja. "Ganda, Dina, Dodi, Can dra dan Hamid selamat. Mere ka masih berada di Pakistan. Dan setelah mereka pulang.... baru diceritakan bagaimana kejadiannya", kata Pak Sulai man kepada keluarga besar juragan Langka. Satu persatu pelayat me ninggalkan rumah Pak Sulai man. Suasana rumah menjadi tenang dan normal. Suatu ke ajaiban Tuhan. Bila Tuhan be lum mencabut ajal seseorang, maka orang tersebut tetap hi diup. Tuhan memang Maha se galanya. Juragan Langka kem bali. Normal. Juragan Langka nyaris di telan Selat Malaka. KUPANDANGI wajah ke- dua anakku yang sudah lelap tertidur. Aku menangis lagi. Ternyata air mata bukan hanya untuk wanita. Tak pernah ter- bayangkan bahwa di usia men- jelang tiga puluh lima ini, aku bisa menjadi cengeng. Air mata kini begitu akrab mengikuti irama hati. Kedua wajah itu po- los dan lugu. Hanya menda- tangkan rasa iba ditiap ku me- mandangnya. Mengapa begitu cepat kau kehilangan kasih sa- yang ibu. Tak akan ada peng- ganti yang sanggup berbuat un- tukmu seperti yang selama ini kita dapatkan dari ibumu, sa- la ibu yang cerdas dalam hal mengurus rumah tangga, ibu yang ditangisi putra-putri ba- litanya bila ia akan melangkah- kan kaki keluar pintu, meski itu hanya untuk menjemur cucian. Ibu yang selalu disaat kele- kulit si kecil, mendekap mereka lahan, keringatnya membasahi PUISI untuk menina bobokan bila waktunya tiba. Ibu yang mere- lakan air susunya dinikmati si buah hati yang memang punya hak untuk itu, ibu yang meng- urusi semua kebutuhan suami, lahir batin. Ibu yang tak kenal pamrih dalam tugas memberi- kan kasih sayang bagi si kecil. Setelah Intan pergi baru ku- sadari amat berat tugas yang di- kerjakannya selama ini. Ia ham- pir tak punya waktu istirahat. Tapi pekerjaan itu seperti tak berbekas. Pakaian yang baru di- cuci dan disetrika, besok harus dicuci lagi setelah dipakai. Ma- kanan yang tersedia di meja, sebentar saja sudah berpindah ke perut, yang tinggal cuma pi- ring, mangkuk gelas dan sen- dok kotor yang mesti segera dibersihkan. Padahal memper- siapkannya hampir memakan waktu setengah hari. Begitu ju- ga lantai yang baru dibersihkan dan dipel, dalam sekejap sudah penuh mainan anak-anak beru- pa kertas, plastik dan peralatan dapur yang sudah tak terpakai. Karena memang seperti itulah barang-barang permainan anak-anakku. TUTI SUDIARTO RINDU INI BUATMU Terusik lelapku diujung malam Ketika senyummu hadir Bawa perih dilukaku Sampai kapan ??? 11. Di batas rindu ... Lekat kutatap wajahmu Tirai pemisah itu Samarkan sungging senyummu Inginnya kugapai cinta lewat dianganku Disitu pula kucurahkan asa Antara ada ... Tapi, Hanya mimpi menjelang pagi Sentakkan diri Rindu cuma dapat kuurai di ujung malam. · III. Ingin kusandarkan rinduku dikekar lenganmu Sembari pejamkan mata Dan kau ada selamanya Pedih Kutatap senyummu berlalu Mengaduk seluruh rindu yang semakin beku Rindu ini Rindu ini mengendap bersama mimpi. Aek Nabara, September '99 LULUT WIDIYANTO TIBA-TIBA MERINDU ... Dari mimpi-mimpi semalam pecah keheningan dan rerumputan yang kutanam andai Halaman 10 pun kau rebah akan kutulisi napsu-napsu di dadamu dalam ranjang malam seperti kemarin. ARDYAN HARRI SENJA ITU MILIK KITA Ya, di kota itu senyummu terbaring kaku dan terlenahlah Jagi akupun bersandar tertunduk bisu pada sebuah batu besar tak bertuan Hai, adakah lagi tembang sendu dulu hari itu hujan kembali bersama gemuruh menyertai lambatnya kaki ini dan awan-awan hitam bersumpah serapah menangis di kaki langit Kau terkejut saat kupeluk aku terbuai bila bersemi kasih itu seabad yang lalu yang. Tak juga aku sebagai ayahmu, mampu. Tiga hari sudah berpulang- nya Intan, istriku, ibu dari anak- anakku. Aku tak pernah me- nyangka hidupnya demikian singkat. Sebagai suami, aku merasa belum memberikannya kebahagiaan yang berarti. Intan adalah ibu rumah tangga sejati. la dengan sabar mengurusi tu- gas di rumah, dari mencuci pa- kaian, memasak, membersih- kan rumah dan mengurus kedua buah hati kami, dengan telaten. la sabar menghadapi Ardy si sulung berusia lima tahun dan Arty dua tahun setengah. Anak- anakku tumbuh sehat dan kuat dalam asuhannya. Ia pandai memilihkan makanan yang nah mengucapkan selamat pa- Mengapa dulu aku tak per- damu di setiap Hari Ibu. Wanita seperti kaulah Intan yang paling berhak menerima ucapan itu di dua puluh dua Desember. kare- Mulai dari bau minuman. asap rokok, aroma parfum hen-bergizi tinggi dengan harga teriak memanggilku agar meli- na kau "Ibu Sejati". hasil pekerjaanku yang hanya yang dapat kami jangkau dari sebagai tenaga tata usaha di se- buah SMA. Ia hampir tak per- nah mengeluh. takan musik berbaur menjadi satu. Aku sangat sulit membe- dakan orang sudah terbiasa de- ngan kehidupan malam sema- cam ini dengan orang baru se- kedar mencoba-coba untuk menghindari masalahnya un- tuk sementara waktu. Semua orang yang disini bagai sedang kerasukan setan dan aku juga hampir gila memikirkannya. Aku angkat kaki dari barak itu karena malam terus menuju pagi. Aku menyewa sebuah ka- Bukan itu yang kukenang berlabuh rasa pada sebuah tahta masih larut dengan jendela kaca yang retak pecah dan ternoda senja itu masih milik kita. Ibu Sejati Oleh: Icam Supriyanto Semua pekerjaan itu bagai tak mengenal kesudahan. Dan besok akan berulang lagi. Kini tugas itu sudah menjadi tanggung jawabku, setidaknya sampai ibu mertua yang lagi ter- baring di rumah sakit karena terkejut akan kepergian anak- nya, diperkenankan dokter un- tuk pulang. Ibulah harapanku kini untuk menjaga anak-anak bila aku mulai masuk kerja, se- bab untuk memelihara pemban- tu adalah suatu yang tak mung- kin. mengatakan beratnya tugasmu. Ah, Intan.... kau tak pernah Aku jadi semakin sedih ketika teringat suatu kali kau hanya diam dan menangis saat aku begitu emosi, waktu Arny terja- tuh karena berusaha naik ke atas meja ingin mengambil mainan. Ardy sudah berteriak- hat ke arah adiknya yang ham- pir jatuh. Aku tak begitu meng- hiraukan karena urusan seperti itu kurasa adalah tanggung ja- wabmu sebagai ibu. Padahal waktu itu aku hanya duduk membaca koran. Sedang kamu lagi mencuci di kamar mandi. Maafkan aku Intan. Dulu, kukira hari Minggu hanya aku yang butuh istirahat, setelah enam hari bekerja. Aku keliru menganggapmu sehari- hari di rumah itu bukanlah be- kerja. Yang bekerja hanyalah untuk orang-orang yang keluar dari rumah dan tiap bulan men- dapat gajih. Maka hari Minggu adalah hari hari bagi mereka Mestinya di hari libur aku turut yang bekerja di luar rumah. mengerjakan pekerjaan di ru- mah, sekedar mengurangi be- banmu. Karena kau tak pernah mengenal apa yang namanya cuti, sebab memang tak ada cuti bagi seorang ibu mengurus anaknya, apalagi anak itu masih balita. Betapa jahatnya aku padamu selama ini. aku sangat menyesal istriku. Mengapa kau sangat patuh, padahal mestinya kau harus berontak bila me- mang merasa benar dan punya hak untuk melakukan sesuatu. Intan, tiga hari aku meng- urus rumah ini sendiri, meng- asuh anak-anak kita. Ringan te- rasa bekerja di kantor bila ku- bandingkan dengan pekerjaan seperti yang biasa kau lakukan yang kini kulakukan di rumah, selama lima tahun ini. ham. S'97 Mungkin karena baru me- nyadari betapa besar dan mulia- nya tugasmu selama ini dan karena cintaku yang ternyata begitu dalam padamu setelah kepergianmu, kok aku merasa ibu-ibu yang putra-putrinya dan urusan rumah tangga dikerja- kan oleh orang upahan, belum berhak menerima ucapan itu. Mereka harus menunggu sam- pai ada ditetapkan "hari ibu karyawati, hari ibu direktris. dapat ucapan selamat. Dan di- hari ibu sekretaris", baru akan saat itu orang sepertimu Intan. di antara mereka. sudah pasti tidak akan termasuk Kelak bila putraku Ardy te- lah membina rumah tangga, akan kukatakan padanya untuk selalu menghargai istri, ibu dari anak-anaknya yang punya sor- ga di telapak kakinya. ***