Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Analisa
Tipe: Koran
Tanggal: 2003-07-03
Halaman: 14

Konten


2CM ANALISA: Kamis, 3 Juli 2003 PULANG Oleh: Fadil Abidin SETELAH berminggu- minggu berpetualang, ia pulang ke kamar kontrakannya. Di meja ia melihat selembar amplop surat berwarna putih tergeletak, sudah lusuh dan berdebu. Ia hempaskan tubuhnya ke kursi di sudut ruang- an sambil meraih amplop itu. Ia sobek dan baca suratnya yang hanya selembar kertas kusam de- ngan tulisan seadanya. "Telah meninggal dunia dengan te- nang.... diharap pulang." Hmm... siapa yang telah me- ninggal dunia? Apakah ibunya yang sudah tua dan sering sakit- sakitan akhirnya meninggal du- nia dengan tenang? Tanpa mandi atau ganti baju, ia meraih tas ransel dan segera bangkit dari kursi. "Pergi lagi, Bang?" tanya Wati teman hidup bersamanya di kamar kontrakan itu. Ia hanya mengangguk tanpa menjawab. Mengapa orang selalu peduli pada kepulangan atau kepergian? Bukankah tiap manusia suatu saat harus pergi atau ia yang akan ditinggal pergi. Jadi tidak perlu ada riuh tawa pada per- jumpaan atau derai tangis pada perpisahan. Wati melepas kepergiannya tanpa perasaan apa-apa. Ia hanya membalas dengan tatapan ko- song yang tak peduli. Tak ada kata-kata mesra mengiringi per- pisahan. Tak ada gelora rindu atau cinta asmara diantara mere- ka. Ia tidak mengharapkan atau membutuhkan apa pun dari Wati. Yang ia butuhkan cuma kema- luan dan pelukan hangat tubuh- nya ketika tidur di malam yang gersang. Dunia macam apa ini? Selama ini ia selalu pergi dan pergi bagai dedaunan kering dihembus angin tanpa bekas. Kota metropolitan macam apa ini? Ia marah dengan kota ini yang telah membuang jauh-jauh nuraninya, Kota ini te- lah merubah manusia penghuni- nya menjadi hewan. Kota ini seperti kebun binatang yang ber- isi manusia. Dalam bus antar kota yang membawanya pulang. Ia coba menerawang jauh, membuka kembali ruang dan waktu yang pernah disinggahi. Pada tempat asalnya yang memberikan kena- ngan. Dimana barangkali bisa membuatnya percaya bahwa ia suatu saat pada akhirnya harus "MA, Putri haus," lirih anak- ku memintaku mengambil mi- num. Kusodorkan botol susunya dan ia pun kembali tenang di pangkuanku. MIMPI buruk itu hadir lagi. Kali ini menghampiri tidur Mi- nah. Seorang lelaki tua, berjang- gut lebat dan berjubah putih mengingatkan bencana besar yang bakal segera melanda sua- minya. Usai mengingatkan, le- laki itu menghilang tertelan ka- but tebal. Setelah itu terpampang di depannya sesosok tubuh ku- rus suaminya yang tengah dise- ret oleh beberapa orang, persis seperti seorang tahanan saja. Minah berteriak memanggil suaminya. Tapi suaminya tak juga menoleh. Sebaliknya, ia mendengar jeritan suaminya yang dicambuk. Ia pun berteriak. "Tidak!" Minah terjaga dari mimpi buruk itu. Ia telah terba- ngun. Coba ia mengatur nafas- nya yang sesak dengan memi- num segelas air putih dari ceret yang tersedia di kamar. Kesegar- an air putih itu membawakan ke- tenangan. Nafasnya sudah ter- atur. Baru ia coba mengingat mimpi buruk tentang suaminya. Coba ia menoleh ke samping tempat tidur. Yang ada di situ bantal dan guling. Tidak ada sua- minya, Parno. pulang kembali ke sana. Banyak orang percaya, pulang berarti meredahkan kegalauan. Rumah menjadi tempat paling nyaman untuk menyembuhkan luka-luka dari hempasan debu dan krikil jalanan. Karena itukah setiap hari raya, orang-orang selalu ingin pulang? Bertemu ayah, ibu, sanak saudara dan teman masa kecil di kampung. Minah mulai bertanya-tanya ke mana suaminya. Ia ingat se- malam sempat bertengkar de- ngan Parno karena suaminya tak bersedia mendampingi ayah mengantar uang tebusan yang diminta oleh para penculik anak- nya. Mungkinkah Parno telah kabur? Atau saat ini dia lagi buang air kecil di kamar mandi? Menengok kembali kenangan masa kecil di ladang, sawah dan pekarangan rumah. Kenangan yang bisa membuat bahagia. Bus terus meluncur melalui Jalan Lintas Sumatera. Para penum- pang terlelap dalam mimpinya masing-masing. Mimpi tentang pulang. Ada satu episode dalam hidup yang dari dulu benar-benar tidak ia mengerti. Mengapa ia harus pergi? Seolah keinginan itu da- tang dari keliaran rimba belan- tara untuk menuntut petualang- an dan kebebasan. Ia ingat wajah itu, wajah ibunya. Penuh kerut dan lunglai. Mata itu memandang penuh harap seolah hendak me- renggutnya agar ia tidak pergi. la ingat wajah itu untuk terakhir kali, ketika suatu malam ia ber- kata. "Aku harus pergi, Mak." "Ke mana?" Ia tak bisa menjelaskan. Apa- kah mesti ada alasan untuk se- buah kepergian? Ia hanya ingin pergi. Mengapa dan mau ke mana ia tidak tahu. Hampir semua laki- laki dewasa di desa pada akhirnya juga pergi ke kota. Ia memang selalu terpukau mendengar cerita tentang kota yang gemerlap mandi cahaya dengan segala kemegahan gedung bertingkat. Yang tak mungkin terbayang oleh imajinasinya sebagai anak desa yang hidup terpencil tanpa listrik. "Di sana, setiap hari adalah keajaiban dan kesenangan," kata orang-orang desa bila mereka pulang kampung. "Di sana, semuanya tersedia dan kita bisa menikmati apa saja," "Wanita di sana sangat tasyik, bisa dibawa pergi ke mana saja." "Di sana yang ada hanya kebebasan...." Tetapi bukan itu semua yang mendorongnya untuk pergi. Ia hanya ingin pergi, itu saja. Ketika sampai di Jakarta, ia Oleh: Su le SS Minah tambah kuat karena tak menemukan sandal yang biasa dipakai Parno. Minah jadi gelisah, tapi dia tak mau kelihatan heboh. Dia su- dah memperkirakan Parno pasti akan kabur pagi ini. Dia akan bersikap seolah-olah tak tahu ke mana suaminya. Kembali ia ke kamar. Tak jauh dari tempat ia meletakkan minum, terdapat se- carik kertas yang bertuliskan tu- lisan tangan Parno. Minah me- raih kertas itu dan membaca ka- limat yang tertera. Masih jelas mengambang di benakku bagaimana kami me- mutuskan diri untuk melarikan diri meninggalkan orangtua, me- ninggalkan bangku kuliah, me- ninggalkan keramaian dengan Akupun kembali dengan la- alasan cinta dan prinsip gila. munanku. Mataku menelusuri Tinggal di hutan kecil ini, jauh bulir-bulir hujan yang menyapu di ujung dunia hanya karena ti- kaca kereta. Tempias sesekali dak suka dengan kungkungan airnya mengenai lenganku yang budaya dan format kehidupan Kartu Hitam Seorang Penipu Minah coba menunggu. Tak juga ada suara langkah Parno kembali ke kamar. Juga tak ada guyuran air di kamar mandi. Padahal letak kamar mandi tersebut tak jauh dari kamarnya. Penasaran, Minah coba ke kamar jak tadi entah berapa lama sudah mandi. Ternyata benar kosong. ayah memperhatikan Minah Tak ada orang. Minah memerik- yang larut membaca surat Par- sa pintu dapur. Astaga, tidak di- no. tidak tahu harus kemana. Ia se- perti orang yang terdampar di planet asing. Tersuruk-suruk ia di jalanan dan menjadi gelan- dangan adalah kepastian. Berbu- lan-bulan ia hanya bisa mengais- ngais sampah untuk menyam- bung hidup. Emperan toko dan bawah jembatan adalah tempat berlindungnya dari terpaan panas dan hujan. Tapi ia tidak pernah merasa menyesal atas keputusan- nya itu. Minah melipat kertas itu ber- maksud menyimpannya, tapi pintu kamarnya yang sejak tadi terbuka, telah berdiri ayah. Se- Hingga pada suatu malam. Ia melihat seorang wanita yang diseret-seret oleh tiga orang pria di kegelapan lorong kota. Wanita itu meronta-ronta dan berusaha meminta tolong walau mulutnya disumbat dengan tangan. Wanita itu hendak diperkosa! Nuraninya berteriak agar ia menolong wa- nita itu. Tapi di sisi lain ia teringat pesan temannya agar ia jangan mencampuri urusan orang lain. Ini kota bukan desa. Tapi hatinya semakin, mendidih mendengar rintihan wanita itu. Ia mengambil sebatang kayu, dengan beberapa jurus pencak silat yang ia kuasai dirobohkannya tiga pria itu. Perempuan itu bernama Wati, ia seorang pelacur jalanan. Se- bagai ungkapan terima kasih, Wati meminta atau lebih tepatnya memaksa ia untuk tinggal bersa- ma. Sejak itu mereka hidup ber- sama tanpa ikatan pernikahan. Ia tidak lagi menjadi gelan- dangan, kerjanya setiap hari me- nunggu Wati pulang. Mencuci pakaian, membersihkan kamar kontrakan dan sekali-kali menja- di pengawal ketika Wati mencari langganan di jalanan. kunci. Berarti Parno telah kabur "Surat dari siapa? Tumben lewat pintu belakang. Dugaan baru dibaca sekarang." Wati yang membiayai hidup- nya, Wati yang memberinya uang untuk ikut kursus menyetir mobil hingga bisa memperoleh SIM. Dan berbulan-bulan kemu- dian Wati melalui seorang man- dor perusahaan truk yang pernah menjadi langganan kencannya. Memberikan lowongan peker- jaan sebagai supir truk pengang- kut sembako di jalur Pantura. Wati sangat baik kepadanya, se- hingga ia bertekad untuk menyi- sihkan sebagian gaji untuk Wati. Ia tidak ingin merasa berhutang budi. menumpu dagu di pinggir jende- la. Sebentar lagi kereta ini akan tiba di Medan. Mataku lalu ikut berlari menelusuri rel-rel pan- jang yang menghantarku akan rindu rumahku dulu. *** "Sudahlah Len, untuk apa mengunjungi orangtuamu lagi?" teriak Armen gusar. "Kabar terakhir kudengar si kecil Shinta sudah menikah. Men, aku rindu. Aku hanya ingin menjenguk mereka," ratap- ku memelas menatap Armen. "Ingat Len, luka yang kita go- res di hati mereka mungkin se- karang tinggal bekasnya. Kuta- kut, jika kita datang, maka akan terkuaklah luka lama mereka pa- daku yang dianggap mengambil- mu dari sisi mereka," desah Ar- men dengan mata berkaca-kaca. Sejak itu, ia bisa berminggu- minggu tidak pulang ke kamar kontrakannya. Karena harus menjelajahi kota-kota di Pulau Jawa. Ia merasa benar-benar ber- petualang dalam arti sesungguh- nya. Semakin banyak tempat yang ia singgahi semakin banyak pula wanita yang hilir mudik menemaninya di tempat per- singgahan. Bagi supir truk seperti dirinya, wanita-wanita malam itu Kamar kontrakan itu pula yang dijadikan alamat resmi di Rindu Rumah Oleh: Aidha Rizkina "Anu, yah!" Minah jadi ga- gap tak karuan. "Minah, maafkan aku! Aku terpaksa kabur dari rumah. Aku tak bisa memastikan untuk bera- pa lama. Aku takkan menjelas- kan di mana aku berada. Tapi ka." aku akan selalu menghubungi- mu. Kuharap kamu merahasia- kan masalaluku pada ayah dan ibu. Kutahu cepat atau lambat, kartu hitam masa laluku bakal terbongkar juga. Aku tahu kamu pasti juga ingin mencapku pe- ngecut, tak punya nyali meng- hadapi realita. Kamu pasti menganggapku ayah yang tak bertanggungjawab dalam melin- dungi anak-anak. Terserah se- jelek apapun vonis kamu tentang "Ayah kok bawaan curiga me- lulu sama Parno. Memangnya no?" aku, aku terima. Yang penting apa yang ayah tahu tentang Par- kamu mau membantuku mera- hasiakan keberadaanku. Salam sayangku selalu untuk kamu, anak-anak juga ayah dan ibumu. Semoga anak-anak dapat segera kembali ke pangkuan kita. Sua- mimu, Parno. "Mana suamimu? Pagi-pagi udah ngeloyor ke mana?" "Mungkin lari pagi, yah!" Ja- wab Minah sekenanya. "Heran, setahu ayah, Parno itu tak suka lari pagi. Ayah ada perlu sama dia. Bisa tolong ka- mu carikan?" "Bisa yah!" "Kalau gitu, 'gi sana! Ayah tunggu" Minah jadi bingung tak tahu harus berbuat apa. Ia masih ber- diri dengan tingkah laku yang gelisah. "Kenapa belum beranjak ju- ga?" "Yah, Minah tak tahu ke ma- na mas Parno pergi. Pagi-pagi tadi pintu belakang telah terbu- "Apa yang ayah takutkan ter- jadi juga. Pasti dia telah kabur gara-gara takut membawa uang tebusan untuk para penculik. Ayah benar-benar heran dengan sikap suamimu itu. Ayah meli- hat ada hal aneh yang sengaja kalian tutupi. Pasti ada suatu ra- hasia yang menyangkut masa la- lu Parno yang sengaja kamu tu- tupi." "Ayah pernah dengar dari te- tangga yang pernah mabuk de- ngan suamimu. Kata mereka, suamimu pernah bilang bisa mendapatkan uang sebanyak yang ia miliki karena ia pernah terlibat kasus penipuan besar ter- hadap seorang kawan yang telah mengangkat hidupnya". "Jangan dengarkan mereka, yah! Mereka sungguh iri dengan apa yang mas Parno miliki saat itu." CERPEN & PUISI ibarat pelabuhan yang bisa mere- dakan ketegangan setelah ber- hari-hari duduk di belakang kemudi. Kehidupan di atas roda dan belantara jalanan memang penuh godaan, arusnya begitu kuat. Sehingga ia pun terseret ke dalamnya. Lalu apakah ia telah meng- khianati Wati yang selama ini baik kepadanya? Ia baru tahu maksud Wati sesungguhnya yang memberikan pekerjaan se- bagai supir truk antar kota. Ia tak mau terganggu dalam menjalan- kan profesinya itu. Ternyata kamar kontrakan itu, telah di- ubahnya menjadi kamar untuk menerima tamu kencannya. Ia tak perlu marah apalagi cemburu pada Wati. Sebab hubungan me- reka selama ini cuma sebatas hubungan pelampiasan nafsu belaka. "Semalam ayah bermimpi bertemu seorang kakek. Kakek itu mengingatkan ayah akan Tapi sewaktu-waktu ia harus pulang juga ke kamar kontrak- an. Memberi uang balas budi atau sekedar melampiaskan nafsu birahinya kepada Wati. Entah mengapa kalau keinginan seperti itu, ia selalu merindukan keha- ngatan tubuhnya. Mungkin karena ia wanita pertama yang memperkenalkan petualangan itu kepadanya. manusia yang buas dan seenak- nya menciptakan traktat seolah- olah mereka adalah Tuhan. Bertahun-tahun kami mengu- rung diri dalam pertanyaan sia- pa yang sesungguhnya berjiwa kerdil, ketika pandangan hidup kami ditolak ribuan masyarakat di luar sana. Kungkungan nor- ma-norma angkuh yang dicipta- kan mereka telah membuat kami menjadi hantu, dimana semua manusia takut pada hantu. Kupeluk Armen dengan erat, "Men, apapun yang terjadi aku pasti akan kembali. Bertemu atau tidak dengan mama, aku pasti akan kembali ke hutan ini, Men. Kalaupun aku pergi dari hutan ini, itu bersama Putri dan kau, Men. Aku janji." *** Kakiku tiba di depan rumah megah itu. Rumahku dulu. Di- mana di dalamnya aku pernah mereguk cinta kasih sebuah ke- luarga bersama orangtua dan adik-adikku. Sampai entah ka- pan pandanganku tentang hidup mulai berubah, dan jadilah aku seorang pemberontak dalam di- amku. "Cari siapa, kak," tanya se- orang gadis manis berpenam- bencana besar yang bakal me- landa Parno. Ketika ayah mena- nyakan apa kesalahan Parno. sampai mengalami bencana ter- sebut, kakek itu mengatakan Par- no pernah terlibat penipuan be- sar di kota." Minah terperanjat mendengar cerita ayah. Mimpi ayah tak be- da dengan mimpi yang baru saja dialaminya. Dia jadi menunduk dalam-dalam. "Ayah percaya mimpi itu ha- nya bunga tidur. Tapi tidak sekali dua kali mimpi yang sama menghampiri tidur ayah. Ayah jadi mulai mempercayai kekuat- an mimpi ayah kali ini bisa jadi nyata. Sepertinya ini sebuah pe- tunjuk. Apalagi tetangga dekat ERLANGGA THE ibukota. Ia memberikan alamat tersebut kepada ibunya di kam- pung. Ibu atau sanak saudaranya beberapa waktu lalu sering me- ngirimkan surat tapi belakangan ini tidak lagi. Karena akhir-akhir ini, ia malas membalas surat- surat dari kampung. Maka sejak dua tahun lalu, sepotong surat pun tak lagi ia terima. Membuatnya merasa bebas dari sesuatu, entah apa. Mem- buatnya bebas mengembara tan- pa punya kewajiban mengi- sahkan semua petualangan ke- pada siapa pun. Membuatnya tak pernah ingat lagi pada kepu- langan. Seseorang akan benar- benar menikmati pengembaraan ketika ia benar-benar terbebas dari bayangan untuk pulang. Ia menikmati kebebasan itu. Ia seperti burung yang bisa hinggap di dahan mana yang ia suka. Tapi itu hanya semu, ia se- perti orang yang meminum air laut yang membuatnya selalu dahaga setiap waktu. Pada suatu titik kejenuhan, akan ada suatu kesadaran dan sebuah perta- nyaan. Untuk apa semua itu? Akhir-akhir ini seperti ada yang selalu mengetuk-ngetuk pintu kalbu. Benarkah ia merasa bebas? Bebas dari apa? Bebas melakukan apa saja? Bebas ber- setubuh dengan wanita manapun. pilan lugu dari balik pagar ru- mah. Aku kaget sekali. Lamunan- ku buyar. Kutatap gadis itu. Mungkin pembantu baru, pikir- ku. Kulihat garasi kosong, berar- ti ayah tidak di rumah. "Ibu ada?" tanyaku pelan pa- da gadis yang berdiri di balik magnist AVINIERO pagar itu. "Wah Ibu, Bapak, Non Sari, Non Shinta pergi liburan ke luar kota, kak," jelas gadis itu sopan. "Kapan pulangnya?" "Kurang tahu, kak. Bisa be- sok sore, atau sore ini." "Oh. Suami Shinta dan Sari juga ikut?" tanyaku penasaran tentang kedua adikku. "Iya kak, semuanya ikut. Sal- wa anak Non Sari juga ikut." "Sari sudah punya anak?" ta- nyaku kaget sekali. "Ya, sudah, kak. Sudah umur dua tahun," jelas gadis itu lagi. Kupandang Putri yang terti- dur di pelukanku. Berarti hanya tua Putri satu tahun. "Kakak siapa, ya?" tanya ga- dis itu padaku. "Teman Sari," jawabku seke- nanya sambil berpamitan pada gadis itu. Ah, ingin rasanya min- ta ijin untuk masuk ke dalam ru- mah itu. Aku ingin tahu bagai- mana keadaan kamarku seka- rang. Masihkah sama seperti du- lu. Namun kutahan niatku. Tapi belum jauh aku melang- kah, aku melihat mobil yang su- dah sangat kukenal memasuki yang pernah minum dengan sua- mimu rata-rata pernah bilang suamimu pernah mengatakan ia mendapatkan banyak uang lewat jalan menipu." "Semua yang mas Parno ucap- kan itu dalam keadaan mabuk. Jadi tidak benar." "Tapi bagi ayah dalam ke- adaan mabuk sebenarnya orang bisa tak sadar membuka rahasia tentang dirinya yang pada dasar- nya harus ia tutupi dan amat membahayakan dirinya kelak. Banyak orang yang terlibat pem- bunuhan menyangkal mati-mati- an bahwa dia tidak terlibat dalam suatu pembunuhan. Tapi setelah dijebak lewat minuman, terung- kap juga pengakuan yang tak sa- Bebas bermabuk-mabukan, be- bas berpetualang ke sana ke mari. Bebas seperti hewan-hewan tan- pa akal yang mengumbar hawa nafsu. Dan kini, ia mendapat surat dari kampung. "Telah meninggal dunia dengan tenang... diharap pulang." Apa anehnya? Toh setiap orang akan mati. Kita dulu tidak ada maka akan kembali. tidak ada. Itu hukum alam yang tak perlu ditangisi. Tapi mengapa setiap orang harus lahir lalu mati? Entahlah ia tidak tahu jawaban- nya. Seperti beberapa tahun lalu, mengapa ia harus pergi. Sekarang pun ia tidak tahu mengapa ia harus pulang. Seperti ada kekuat- an besar yang menuntunnya. untuk kembali pulang. Namun yang pasti ia pulang bukan karena surat itu. Ia tidak tahu siapa yang telah meninggal dunia, bisa saja ibu, ayah atau juga saudaranya. Tapi sekali lagi bukan karena itu. Toh, surat itu sudah datang berminggu-minggu lalu sehing- ga siapa pun yang telah me- ninggal pasti telah dikuburkan. Suara Adzan subuh yang berasal dari mesjid di pinggir- pinggir jalan, sayup-sayup menyelusup menembus kaca bus yang terus melaju kencang. Adzan Subuh itu terdengar bagai kidung indah para malaikat yang mengingatkan manusia agar pulang kembali kepada jalan Tuhannya. Ia seperti terseret ke dalam kegaiban. Ia tersentak tersadar, bahwa selama ini ia telah berlari jauh meninggalkan Tuhan. Ia telah tersesat dari pa- dang penggembalaan-Nya. Ia telah terjerembab dalam jurang kenistaan, terluka dan sekarat ka- rena dosa-dosa. Ia merayap ter- tatih-tatih seperti hewan bahkan lebih rendah dari itu. Adzan subuh itu menera- wangkan kepada kampung ha- lamannya. Pada lumpur di sawah dan bening air sungai serta riuh tawa anak-anak yang bermain di dalamnya. Teringat pada surau kecil di pinggiran padang rum- put, terbayang pada wajah ustadz Jamal yang mengajarkan ngaji. Suaranya begitu lembut mem- bimbing anak-anak kampung untuk memaknai ayat-ayat suci. Sedangkan tangan dan kakinya yang kuat mengajarkan jurus- jurus bela diri. Tapi ia begitu pongah dan meninggalkan itu semua demi sesuatu yang semu. Jiwa muda- nya meledak-ledak menuntut petualangan. Baginya bukankah sesuatu yang ajaib bisa hidup dan berada di dunia saat ini. Bisa gang. Ya itu mobil ayah. Darah- ku berdesir hebat. Kerinduan membuncah dalam dada. Kuta- tap mobil itu sampai berpapasan dan berhenti di sampingku. Jan- tungku mau berhenti berdetak rasanya. Kaca mobil depan terbuka. Kulihat mama di dalamnya. Ia memandang sekilas ke arahku. Hanya sekilas, mama sudah ti- dak mengenalku. Pintu belakang terbuka. Shinta keluar dari mo- bil menatap sekilas ke arahku, tersenyum lalu membuka pagar dan mobil masuk ke dalam. Mereka benar-benar tidak mengenalku lagi. Tapi, penam- pilanku memang sudah berubah. Aku sekarang seperti kuda liar. Armen tidak pernah melarangku berpenampilan seperti apapun. Akupun mengecat rambutku ber- warna merah. Pakaian kulitku, kalung, gelang, cincin besiku. Kacamata hitamku. Kulitku yang lebih hitam, tubuhku yang jauh lebih kurus dan Putri dalam pelukanku sudah membuatku tampak menjadi sosok yang sa- ngat asing di mata mereka. Mereka tertawa gembira. Shinta kembali menuju pagar. Kali ini ia ingin menutup pagar. Ia kembali bersitatap denganku. Kali ini ia juga tersenyum pada- ku. "Kak," sapanya berbasa-basi. Suaranya masih sama seperti du- lu. Aku tersenyum. Kutarik na- dar tapi benar dia yang telah membunuh. Minah, kamu itu putriku. Parno itu menantuku. Ayah tak ingin kamu menderita. Kalau kamu terus mati-matian membela dan menutup belang masa lalu suamimu, bagaimana ayah kelak bisa membantu kali- an keluar dari persoalan ini? Co- ba tatap mata ayah. Kalau kamu berkata benar, kamu akan sang- gup melawan tatapan ayah." Minah tak sanggup menatap mata ayahnya. Tubuhnya jadi ge- metaran. Padahal tadinya tidak. "Ayah tak mau mendesakmu untuk jujur saat ini. Ayah hanya menyarankan sebaiknya kamu terus terang sama ayah. Di ke- luarga ini lagi banyak masalah. Ayah ingin menyelesaikan satu- persatu. Yang ayah sesalkan saat ini kalaulah suamimu itu tidak punya masa lalu yang hitam, pasti dia tak akan kabur untuk membantu polisi membawa kembali anak-anaknya. Setiap kali ayah menyinggung polisi, suamimu ketakutan. Seolah mimu pernah terlibat suatu per- soalan dan takut berurusan de- ngan mereka. Sudahlah! Kem- balilah beristirahat di kamarmu! Ayah tak mau mengganggu isti- rahatmu! Kamu bisa memikir- kan lagi ucapan ayah tadi. Ayah menyayangi kamu, suamimu, juga anak-anakmu." Ayah akhir- nya berlalu meninggalkan Mi- nah. Lama Minah terpaku mere- nungkan ucapan ayah. Akhirnya pintu kamar itu ditutupnya. Pagi tiba, ayah telah selesai mandi. Ibu telah menyiapkan sarapan. "Bu, ayah sarapan dulu. Se- bentar lagi kapten Baron dan anak buahnya tiba." "Ayah, sebaiknya saya yang mengantar uang tebusan itu." Minah menawarkan diri tampil untuk menyelamatkan buah hati- nya. "Tidak! Biar ayah saja. Kamu di rumah. Di mata ayah suamimu itu telah kehilangan pamor se- bagai ayah sekaligus suami yang bertanggungjawab. Kamu pasti berkelana ke sana ke mari dalam suatu petualangan yang menak- jubkan. Ia ingin menjelajahi du- nia yang luas ini. Tapi kini, se- telah berpetualang, ia tersesat, terluka dan merasa letih. Ia ingin pulang. *** MENJELANG Maghrib, ia sudah sampai di kampung ha- lamannya yang damai. Masih seperti dulu, sawah menghampar luas dengan semburat awan jingga di belakangnya. Pohon-pohon jambu di pekarangan rumah melambai ditiup angin senja, seakan hendak menyambutnya kembali. Pulang ke rumah dimana darahnya pernah tertumpah. Ayah, ibu dan saudara-sau- daranya menyambut di pintu, tergambar seperti foto keluarga zaman dulu dalam figura rumah bambu. Seakan ada telepon se- lular paling canggih di dunia yang menghubungi sehingga me- reka tahu kalau ia akan segera pulang. Ibunya begitu tampak menderita, guratan di wajahnya seperti kulit pokok kayu tua yang terpecah-pecah. Ia duduk lunglai di kursi dengan kepala menyan- dar terkulai. Tapi matanya ber- sinar seperti menatap suatu ha- rapan. "Siapa yang meninggal, Mak?" "Dirimu...." "Mm... maksud, Mak?" "Dirimu yang dulu berpetua- lang telah mati.. Mak percaya kini kau pulang dengan dirimu yang baru." Ia pun menangis tersungkur di kaki ibunya. Seperti waktu kecil dulu ketika menangis di pangkuan ibunya. Ketika ia ter- jatuh terantuk batu dan berdarah- darah. Ibunya dengan penuh ka- sih mengobati luka-luka itu se- hingga ia menjadi tentram dan tersembuhkan. Sesungguhnya kini pun ia sedang terluka, luka yang sangat dalam sampai me- nembus hati. Ia adalah petualang yang kalah. "Sebelum Mak mati. Mak ingin kau segera menikah dengan seorang gadis di kampung ini." "Untuk apa, Mak?" "Ini bukan untuk menye- nangkan hati Mak. Ini bukan untuk kebahagiaan Mak. Tapi ini untukmu..." "Tapi...." "Menikahlah, supaya kau pu- nya isteri, punya anak." "Hmmmm, tapi Mak...." "Supaya ada tambatan hati, supaya setiap hari kau bisa.... pulang." *** Medan, 1 Januari 2003 fas panjang. Kukuatkan hatiku. Aku membalikkan badan dan berjalan meninggalkan rumah itu. Sayup-sayup kudengar suara- suara tertawa lelah namun ba- hagia. Aku berhenti. Kubalikkan badanku, kudengarkan tawa itu sampai benar-benar hilang di te- lingaku. Kutatap atap rumah itu. Lalu aku melanjutkan langkah- ku. *** "Ma, Putri haus," lirih anakku memintaku mengambil minum. Kusodorkan botol susunya dan iapun kembali tenang di pang- kuanku. Akupun kembali dengan la- munanku. Mataku menelusuri bulir-bulir hujan yang menyapu kaca kereta. Tempias sesekali airnya mengenai lenganku yang menumpu dagu di pinggir jen- dela. Sudah satu jam kereta ini berjalan meninggalkan kota Me- dan. Pikiranku melayang pada Armen. Aku rindu hutan yang sudah disulap Armen menjadi istana kami itu. Armen malam ini pasti sedang duduk di teras rumah sambil bernyanyi menanti kami pulang. "Kau benar, Men. Kehadir- anku di tengah-tengah Mama, Ayah, Sari, dan Shinta hanya akan menyemai luka lama yang sudah kering di hati mereka. Dan aku tak hendak menguak luka itu lagi sampai kapanpun. *** tahu di mana dia saat ini." "Sungguh saya tak tahu". "Ayah tak mau mendesak ka- mu. Tapi bila dia menelpon. sampaikan kekecewaan ayah ke dia." Selesai sarapan, kapten Ba- ron dan anak buahnya telah da- tang. Ibu sempat menawarkan. mereka untuk sarapan, tapi dito- lak halus karena mereka harus segera bertugas. Ketika kapten Baron menanyakan ayah anak- anak, ayah menjelaskan menan- tunya lagi ke luar dan ada ke- perluan mendadak di luar kota. Kapten Baron mengangguk. Ia tak keberatan kalau ayah angkat- nya yang akan mengantar uang tebusan dan memancing pencu- lik itu keluar. Toh ia sudah me- ngerahkan anak buahnya untuk bertindak cepat begitu para pen- culik itu keluar. Sebelum berangkat, kapten Baron sempat melihat-lihat bingkai foto keluarga Minah. Ia seperti pernah melihat wajah suami yang mendampingi Mi- nah. Coba ia dekatkan wajahnya menatap wajah lelaki kurus ter- sebut. Ingatannya langsung be- kerja dan tertuju pada pas foto yang disebarkan oleh jajaran ke- polisian. Lelaki itu sangat mirip dengan tersangka dan buronan yang lagi dicari polisi. Kapten Baron sendiri seolah sulit untuk percaya, Jarang memang ia ber- kunjung ke rumah ayah angkat- nya. Tapi foto lelaki itu amat persis dengan foto orang yang te- ngah dicarinya. Kapten Baron sengaja meng- gantungkan dulu persoalan foto yang dilihatnya. Ia harus fokus- kan diri ke persoalan penangkap- an penculik cucu ayah angkat- nya. Segera mereka berangkat pagi itu. Tak susah bagi mereka yang telah profesional menangani penculik kelas teri, apalagi ter- nyata pelakunya baru belajar menculik anak dan minta tebus- an. Ketika ayah meletakkan uang itu, salah seorang dari me- reka ke luar dan melepaskan san (Bersambung ke hal. 22) PUISI BUMI PALUH GELOMBANG N.A. HADIAN Di sini aku mencari ibuku yang hilang entah ke mana kucari di hutan-hutan gunung dan bukit tiada kusua gunung, bukit dan hutan berkata:ibumu telah berlayar jauh dari lubuk hatimu sendiri tak usah kau cari lagi Semua diam dan bisu aku rindu kepadamu yang menangis air mata berdarah karena duka tak habis-habisnya SAJAK I hanya air mata terus tumpah di daun-daun jendela senja SIDANG DAN RAPAT Mau ke mana kami dibawa wahai wakil rakyat kami ini lapar, haus dan tak bisa lagi bernyanyi ria air mata rakyat yang menunggu-nunggu janjimu janji bohong janji kodok dan buaya KAMI INI SIAPA Jika kalian berjuang demi rakyat kenapa kami masih begini ada yang mati karena lapar ada yang terdampar di sudut kota tidur tanpa tilam dan bantal ah, sia-sia tanggung jawabmu oh, wakil rakyatku DI ANTARANYA RIDWAN Halaman 14 jejak ini jadi kembang setaman dalam musim yang tak dikenal aku cuma menyeret bayangan hitam terbaring di antara sunyinya malam karena memburu rindumu atau berdekapan pada sejuta luka kita semakin sangsi dengan kematian akankah sepotong bulan kita biarkan berdarah atau hempaskan air mata sendiri sepi menusuk hampa terasa sendiri tertunduk bersama bisu buas mengerang guruh gemuruh tentang amarah hampir membeku GELISAH II Tapi untuk apa? sedang bendera putihmu kuyup oleh debu luka karena sumpah ah, lukislah sendiri malammu atau malamku dengan pena bertintah darah pada pinus-pinus yang terbujur itu HAMPA FAUSTIN MIRANDA. S Kelam menggulung selimut awan sebentar kudengar teriakan hujan berbaur menyatu di rerumputan berlari berkejaran bersama angin di kelamnya sepi berbalut luka seribu asa gairahkan jiwa terkalahkan jatuh oleh bencimu GELISAH I Entah musim apa kita berada di mana namun pasti ada apa rindu atau sebaliknyaban hari inique munic yang menusuk-nusuk hingga melelehlah rahasia cinta di antara dinding-dindingnya Juni, 2003 Mel, 2000 Tanah Abang, 2002 Kutemukan bulu-bulu rindu menggelepar di sudut-sudut matamu berulang kali terpecah hingga menghantam dinding-dinding jiwaku yang terluka Banten, 2003 menelusuri jejak-jejak hitam di atas negeriku seperti menelusuri padang ilalang di tengah belantara gersang pada sebuah peradaban usang dengan seribu seremonial yang telah habis diperjual-belikan 2002 Tanah Abang, 2003 Randa, 03 MENELUSURI JEJAK-JEJAK HITAM IRWAN EFFENDI menelusuri jejak-jejak hitam di atas negeriku seperti menyaksikan upacara pelepasan di atas keranda-keranda kematian Menelusuri jejak-jejak hitam di atas negeriku seperti menelusuri hutan rimba pada ribuan pohon tua yang akar-akarnya telah habis termakan usia sedang dedaunan tak pernah lelah menitikkan air mata yang pada pelupukan matanya telah berganti dengan butiran darah dan kau masih saja termangu meratapi senja yang kian memerah maka biarkan aku bersujud di pangkuan altarmu menerjemahkan arti sebuah perpisahan Medan, Juni, 2003 MENELUSURI JEJAK-JEJAK HITAM SEBUAH PEMAHAMAN SYAMSU INDRA USMAN H.S Sementara sungai musi mengalirkan air ke laut suara kecipak tak lagi terdengar meluluhkan gumpalan ombak yang menyumbat suara yang mengirimkan segala isyarat tentang sebuah pemahaman Medan, Juni, 2003 Lubuk Puding, 1998 ANALISA: Kamis, 3 Juli 2003 4cm Thalia Artis Tenar Thalia Serukan S Teror di Meksiko Segera BINTANG pop Meksiko, Thalia baru-ba mengenai masalah keamanan. Aktris kenam diakhirinya semua bentuk terorisme. Seruan tersebut dia keluarkan dalam sa pertamanya sejak kembali ke tanah airnya se diri selama beberapa bulan gara-gara penculik "Saya ingin melihat Meksiko lebih bers terorisme, jika tak bersih dari semua koto seksi berusia 30 tahun tadi pada koran Refo Thalia menjauh dari Meksiko sejak be Pengasingan itu dia lakukan setelah dua kaki dan Ernestina Sodi diculik sewaktu meningga teater Mexico City tempat Zapata berperan Zapata, 46, dibebaskan tanpa cedera 18 penculik, dan Sodi menghirup udara bebas pu Thalia kondang karena tampil dalam be ovela. Opera sabun yang dibintanginya anta Rosalinda. Dia juga sering muncul di televis PUSAT Meksiko merupakan pusat industri musik terus berkembang pesat. Film-film opera sabun M dan disiarkan ke seluruh dunia, sementar memperluas daya pikat mereka di luar fans be Dan Thalia tercatat salah satu artis paling tersebut. Selama masa pengasingan tersebut, bersama suaminya, ketua Sony Music Tom Thalia terus dicekam ketakutan dan ce dirinya juga diincar penjahat. Karena itu dia pengawal pribadi sejak tiba di ibukota Mek- Meksiko dikenal sebagai negara rawan ke menghadapi salah satu problema penculika kedua setelah Kolombia. (afp/bh) BEAUT Djarum Super TMD Rock Festiv di Sembilan Kota SEPERTI yang dikatakan banyak musis pernah mati. Walau aliran musik baru bermu takan trend, namun grup-grup pengusung mu eksis di belantara musik dunia. Bahkan tem kelompok tersebut banyak yang menjadi le Dan walau megap-megap, namun nafas nesia, khususnya di Sumut, hingga kini masih dalam berbagai festival musik yang diada talenta-talenta yang diperlihatkan para musis Padahal, dulu, Sumut punya sederet ke yang sempat menghingar-bingarkan jagad m Beberapa diantaranya seperti New Chorde: laser, Chalenger, Withness, Black Light da Maka, dengan tujuan menggairahkan kem rock di Sumut, TMD Entertainment akan akbar bertajuk Djarum Super TMD Rock hingga 17 Agustus mendatang. Menurut Andre Indrawan dari Djarum kegiatan musik rock telah menjadi komitmen Selain lewat pelaksanaan beragam festival d hal itu juga diwujudkan dengan rangkaian t yang tahun lalu saja menjelajah puluhan ko "Kegiatan ini akan dilangsungkan di sem Dimulai dari GOR Binjai (5/7), Taman B GOR Lubuk Pakam (12/7), Open Stage M (13/7), GOR Siantar (19/7), Gedung Serba e GOR Padang Sidempuan (26/7) lalu GOR P= Sedangkan para pemenang di tiap kota akan final yang akan dilangsungkan di Lapangan 17 Agustus, "papar Andre. Sementara, Bambang Sumantri dari menjelaskan, untuk menjajal kemampuan c para peserta diwajibkan membawakan satu Indonesia. Sedangkan lagu pilihan bisa dia grup rock dalam maupun luar negeri. "Dalam babak final di Lapangan Merdek menghadirkan aksi para pemenang di tiap menyuguhkan penampilan kelompok pen; hingar bingar negeri ini, Power Metal, tera DIGITAL dts SOUND BANJIR PENONT FILM INI SERENTAK BEREDAR DI AMERIKA 2₁ MERYL STREEP THE t лооло ACADEMY AWARD WINNER BEST ACTRESS-NICOLE KIDMAN & GOLDEN GLOBE AWARD WINNERS BEST PICTURE BEST ACTRESS NICOLE KIDMAN JULIANNE NICOLE MOORE KIDMAN HOURS MIRAMAX STEPHEN DALDRY BESOK PREMIERE CAMI ✰✰✰✰✰ PRESIDENT THEA Jam: 13.00-15.15-17.30-19. Color Rendition Chart DREW LL CHA AN M COMIN DENEUVE S AS YOU MU 13.0 THAM 13.4