Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1994-03-20
Halaman: 07

Konten


Minggu Pon, 20 Maret 1994 BUKU He Modernitas Filsafat Modern dan Dekonstruksi Awuy raty Noerhadi a Studi Filsafat, 1993, 154 Hlm. lahir- Toeti Heraty Noerhadi yang desen- mengantarkan buku ini, me- udaya. mang melihat adanya semacam ang de- gairah berfilsafat: "Gairah itu hirkan masih nampak segar sekaligus yang menyejukkan", tulisnya. Apa bidang yang menarik dan segar dari siologi ulasan yang mempertanyakan g pula ide modernitas lewat gagasan de ostmo- konstruksi? Apalagi, dekons- ang ta- truksi itu sendiri telah muncul ahan" lebih 30 tahun silam. Kecuali te- lah menelanjangi keterlambatan sud. perte- kita dalam menyerap ide postmo araan- dern, sekaligus meluruskan genai bahwa dekonstruksi bukanlah muka. suatu "destruksi". nal le- Dalam keterbelahan moderni- n kon- tas, pembicaraan tentang manu buku sia selalu menjadi urgen dan ak i feno- tual. Pertanyaan yang menggeli demi- tik diajukan adalah "Setelah palagi Tuhan, apakah manusia sudah yang mati" (hlm. 1--33), berlanjut ersifat pada ulasan "Problem Ego- -lepas. Cogito" (hlm. 34--62), "Ilma satu- Pengetahuan dan Realitas Kon- rtama temporer" (hlm 63--90), "Dekons engan truksi Terhadap Sejarah Mo- ekons- dern" (hlm. 91--123), dan "Femi- nya ia nisme: Di Persimpangan Jalan? yang (hlm. 124--149). Kelima esai tersebut, walau- pun belum sepenuhnya meng- Jelas angkat problematik filsafat Ba- nisme. hasil rat kontemporer yang menjadi lah to- dasar pijakan untuk membong kat struktur mendasar wacana al Fil- modernitas, ternyata masih ber- 1," tu- kutat pada masalah konsep ma- dahu- nusia dalam filsafat, merumus ulisan kan hakikat kebenaran, dan ge juga rakan feminisme. Di samping an de- itu, pembaca diperkenalkan ke amy F. pada tokoh-tokoh, seperti Michel massa, Foulcault, Derrida, Lyotard dan lu lagi Richard Routy, yang pandangan- ostmo- pandangan mereka memang ostmo- mempertanyakan kembali ide angkap modernitas. Tidak heran jika ak per- nama-nama tokoh itu akan mun- angan cul hampir dalam setiap pemba. ak ba- hasan suatu topik. odern. (Bersambung ke Hal. 10, kol. 7) modernisme jelas angin kehi- Emma- itu di- rik dan ng me- adalah megeri. an luar subur EMMANUEL SUBANGUN DAR: Samin Sme KE PMODERNISME NAXITRENKER a kaya kan, "Kita tidak berada dalam menye- masa postmodern, tetapi seka- annya dar mulai melihat bahwa struk aya mi- tur budaya dan masyarakat yang ahkan, dimimpikan dan dicoba diraih miskin itu tidak lain dari ilusi" (hal lutut" 158-159). 128). Dari hal-hal yang membaha masya- giakan dalam kehadiran buku egara. ini, ada pula yang perlu ditelaah arang kembali. Buku yang mempunyai kita tidak kurang sembilan belas ta sebut- bel dalam bab IV dan V, menjadi ebuah tak berarti sebagai data analis nakah Tabel sebagai hiasan dan bah ar "ne- kan untuk penguat pernyataan ara ja- pun masih perlu dipertanyakan ap ke- kembali. indivi- Di samping itu, kata-kata asing masih mengganggu bagi atnya, para pembaca buku ini. Pembaca g pada buku ini bukanlah kalangan pe adalah neliti saja dan bukan pula untuk jabat" kalangan terbatas. Buku ini ber utang guna untuk melihat aspek mem- priba- bangun bagi siapa saja yang (hal ingin mengetahui sejumlah per dalah masalahan yang kini sedang kita peneli hadapi. Sehingga, penerjemahan mata kembali (hanya ada satu para "Sek- graf kata asing yang diterjemah kinan" kan) perlu, apalagi kata asing itu V). ra dan merupakan subjek pembicaraan yang dipentingkan. Satu lagi, bahwa penggunaan Ilusi huruf miring dan tanda petik me- Ostmo- miliki filosofinya sendiri. Dalam ), Em- buku ini tak terhitung kata ber masuk cetak miring dan bertanda petik. gsikan Dapat disebutkan misalnya, ng itu. kata (ditulis sesuai aslinya) "ne- n, Pos- gara, nasib, menampung, sum masuki bangan, bantuan, pasar, meng iran di ikat, petunjuk jalan, penjaga ... per- aturan main, pusat, terbuka, n oleh atau pemerintah". Tanda petik n pos- dan cetak miring ini, bukanlah terlalu kata asing dan bersifat ambigu kehi- dalam konteks kalimatnya. Se "(hal hingga sedikit membingungkan isebut- pembaca. (Autar Abdillah) mi yang melirik-lirik pada Wunga." Sa dia, si lah seorang kini nyeletuk. Made Lekeh kini yang merona. Lalu se rupa- gera membela diri. "Kau juga!" terkiki-kikik. "Hi hi... hi.. "Kau juga!" yang lain menu- ancing. erdebar U. ya me- ardini ding lainnya. Sementara Wunga Bhumi sindir. sama sekali tidak mengerti mgin di- bahwa dirinya telah diperbin embela cangkan sedemikian rupa. Yang menja. terpenting baginya harus segera , ram- menyelesaikan semua pelajaran enyala, atau latihan. Memang ia tahu bahwa ia kurang pintar ber enang. Juga masalah-masalah laut. Ia tidak pernah tahu bahwa laut yang sehari-hari selalu ge muruh dengan gelombang dan awa. h!" Tapi ti- ombak raksasa itu kadang ber an Mar- henti dan menjadi hening sama Kut ter- sekali. Keadaan yang oleh para -keh se- pelaut dinamakan "Mati Laut Walau Karena semua yang berada di yuman. laut akan berhenti total. Semua itu be- jung, perahu layar, atau kapal memang kapal lainnya juga ikut berhenti Pemuda dan membuang sauh kendati di , walau tengah-tengah samudra lepas. ah mu- dak te- lalu te- Tidak yang ti- dikata- a. Tapi pantas mem- rsua de- a diam- e Lekeh Minggu Pon, 20 Maret 1994 Cakil dari Bumi Meke pung Bali Barat: ATAS NAMA SENI DINAMIKA pergolakan ber- apresiasi dikalangan para se- niman muda di tanah air, dalam tanda kutip merupakan angin se- gar kesinambungan seni budaya nusantara. Bermunculannya kelompok-kelompok pekerja tea- ter dan sejenisnya, dalam kurun waktu yang singkat telah mampu menunjukkan angka pertumbuhan memuaskan. Trobosan yang ditampakkan sebagai lonjakan kreativitas, se- cara tidak langsung akan banyak berperan membantu membuka ca- krawala wawasan dalam membe- rikan aksi-aksi. Terdorong kei- nginan memberikan takaran jati diri bagi masyarakat dan pemba- ngunan, setidaknya greget tengah dilampiaskan tidak sekadar kein- dahan kata. Mengejawantahkan Sri Jayantini HUJAN, AIR, DAN DINGIN HUJAN semakin bersema- ngat menumpahkan karunianya, entah mendung yang terlalu te- bal, atau karena apa. Atau mungkin karena keinginan sia. sia tanpa wujud berbunga ha rapan. Aku dan engkau masih dalam kesendirian, sembari me- nikmati dingin yang masih ter- sisa antara hujan. Aku dan eng kau begitu yakin bahwa esok akan membagikan sedikit ha rapan di sela-sela mendung, di tengah-tengah perang tak berke- sudahan, dan di antara kobaran api tak berpusat. Tapi kenapa be- gitu sempit kesempatan berbe- nah bagi kehadiran kita. Mung. kin kita tak akan pernah bisa di terima oleh kenyataan, karena yang kita bawa hanya mimpi. Ah, tak apa. Aku ternyata me- mang lebih suka begini, dari- pada dia yang suka berpura- pura. Menyelimuti cinta dengan kemesraan yang dalam. Aku sa ngat letih mencari pengabdian berbaur keyakinan, aku sungguh ragu. Malam tambah gelap tanpa cahaya bulan. Kelam merayapi relung sukmaku yang telah ter- enggut sosok ketiadamampuan. Aku menyesal telah kehilangan kata untuk melukiskan keingin- anku yang jauh dari kenyataan. Biarlah ini begini, seperti aku juga ikhlas menerima gurat seba- gai waris hidupku pada duniawi. Toh nanti tak ada tempatku pu- lang kecuali ke tempat abadi mi- lik kita semua. Aku terpagut oleh masa kecil, begitu ingin aku pu- lang segalanya. Tentang fantasi diri yang amat menyejukkan. Ta- ngan itulah yang telah menun- tunku menuju kedewasaan. An- tara hujan, air dan dingin mem- bisikkan lautku menuju samudra lepas. Aku tiba-tiba jadi orang yang paling malang di dunia. Mengapa kita dilahirkan untuk bermimpi. Ah. (Jan, 93). kesenian bukanlah sesuatu peris- tiwa sederhana tanpa problem. Kesigapan para pekerja yang pan- tang menyerah dalam memberi kan penawaran aktivitas, dapat di- katagorikan sebagai langkah awal yang membosankan. Pemahaman "seni untuk seni" secara teori adalah mutlak. Akan tetapi dalam pelakonannya, norma seni akan mengembang ke dalam sirkulasi kesinambungan dan ke- seimbangan. Pergunjingan meng- enai keabsahan akan senantiasa menjadi latar yang diprioritas uta- makan, sebelum terlampau kusuk ke dalam penggalian bentuk, dan seterusnya. seni Berbanding dengan seni tari, kis, musik, kesusastraan dan tradisi, para seniman teater akan dihadapkan kepada proble- matika berkesenian: satu berban- ding sepuluh. Kepekaan merekam gejolak sosial masyarakat, sangat memungkinkan menjadi dalih per- timbangan yang cukup ketat. Tea- KEHADIRAN II Goes Aryana SELURUH jari-jemari telah menjadi hitungan waktu kini. Bila kau tiadakan segala persim pangan, agar jejak malamku asa meniti tanpa mimpi kembali. Ja- ngan sesekali kau gelisahkan, karena kau tak jua bermaksud mengawali musim panen. Biar kan musim berjalan sekehendak waktu dan kita tengah menjejak ruas pematang. Malam ini te- ngah sepenuhnya menjadi kita. Terjagalah engkau. Hingga kau yakinkan kesetiaanku ke- pada waktu. Telah aku terjemah- kan hempas gelombang kedalam sukmamu ke dalam nuansamu ke dalam kuasamu, serupa kata- kata. Kau laksana tepi pantai suatu waktu dan telah kau tulis- kan jejak-jejakku. Kehadiran-ku telah kau rang kum seutuhnya. Aku menjadi te- lanjang, meski kearah mana per- simpangan itu kau labuhkan. Malam hanya mampu berikan kesaksian waktu, menjadi musim. mulaan, setelah perjalanan pan- Kekinian menjadikan aku per- jang yang berkelok dan yang ber- duri. Walau perjalanan tak ber- batas waktu, namun setidaknya ada kesempatan berlabuh dan se- medi kepertapaan ning nusamu. Aku bagai kelana gembala, telah aku tatahkan jejak menjadi ke- saksian tanpa suara. Malam ini tengah sepenuhnya menjadi kita. Ada baiknya aku kembali memberi batas, agar per- simpangan semakin jelas. Sekat- lah keringatku yang sudah ter- lampau letih. Setelah jejakku yang terakhir usai kau tuliskan, perjalanan bergegas aku lanjut kan jauh ke waktu wajah-wajah kita disemayamkan. Malam ini, dilabuhkan Pantai Kuta tengah kita perbincangkan purnama ke- pitu. (Canggu, Januari 1993). Cakil Sudut Lingsus Tanah Aron KEGELISAHAN lain di seki- MENGERTIKAH engkau dengan kegelisahan orang tarmu? Atau, mau mengertikah engkau akan kegelisahan orang lain? Sudah wajar bila engkau tak (mau) mengerti dengan apa dan siapa serta mengapa di luar tembok itu mengungkungmu. Aku yang meng- atakan wajar, melihat apa yang terjadi di depanku. Aku tidak membuat- buat hanya untuk mendapatkan suara yang lebih sumbang. Kulihat, betapa bahagianya engkau menjadi penonton bagi sesuatu yang tidak untuk ditonton. Engkau merasakan dirimu menjadi penonton yang pa- ling baik di jagat ini, hanya sekilas melirik lantas menghilang di balik tirai keagungan. Sedangkan yang kautonton, betapa menyakitkan pan- dangan matamu itu. Satu sisi merasakan kenikmatan, sedangkan di satu sisi lain merasakan siksaan. Apa yang mesti dijadikan dasar per- janjian untuk mendapatkan pelindung yang memang pelindung? Apa- kah daun nyiur teranyam, atau kabut yang melintas mengisi keko- songan saat? Dan aku belum siap untuk menjadi gentong, seperti permainan masa kanakku dulu. Aku tidak mungkin menampung segala yang jatuh dari atas sana dan menyimpannya dengan rapi agar tidak ada setitik pun menguap. Carilah tempat yang lebih dari gentongku. Gentongku punya celah yang banyak untuk merembeskan sesuatu. Juga punya teramat banyak lubang untuk jalannya penguapan. Gentong punya nasib me- nyayat derita bertangkai jumlahnya, lebat nian. Memang dalam sehari tak pernah lupa mendapatkan suguhan, perwujudan laut dan bumi ber- satu padu. Pun aku tak sanggup menjadi air mengalir, meninggalkan hulu mencuri hilir. Air memang tidak pernah dicuci. Tapi engkau jangan lupa, air itu juga disuling, disaring, dimasak, dibekukan dan apa lagi? Aku tak siap menerima kehadiran renik-renik dan jasad kecil lainnya. Bukannya aku tak mau mencari cahaya lurus menikam perburuan liar, namun aku tak ingin mengadu jiwa dengan kesia-siaan turunan. Aku lahir dengan disapa oleh kedua orang tuaku, "Jadilah pemberontak yang bijak, Anakku." Kalau malam sudah habis, belum juga aku tidur, jangan banyak sangka mengalir dari bibir dan hatimu. Cukupkah dengan itu saja eng- kau menari menanam biji kecurigaan? Terlalu malangkah angin lahir bila hanya jadi talang pencacian. Sungguh menderitalah nafas bila ha- nya diartikan jadi ada hanya karena keikhlasan udara. Kapan kehadiran secara keseluruhan mendapatkan makna yang memadai, setidaknya berada di garis tengah? Aku cuma menunggu waktu sambil bermain-main dengan anak- anak. Dengan mereka aku belajar bernyanyi tentang lapisan langit. De- ngan mereka aku mencabuti semak hari-hari indah. Tapi, adakah hari yang tidak indah? Dan siapa yang mulanya memilah hari menjadi ber- aneka rupa? aku dan mereka tidak menghitung datang dan perginya hari. Kegembiraan kami juga untuk membakar kegelisahan yang tidak berujung tidak berpangkal. Hanya datang menyampaikan cuaca, dan pergi dengan borok menganga. Komang Berata MENUNDUK BARU petang ini kurasakan nikmatnya menundukkan kepala sambil mataku kupejamkan rapat-rapat. Hujan patah-patah yang jatuh di ram- but, bahu dan tanganku; semakin melembutkan keheningan petang. Kesejukan air hujan bermuara di hatiku. Sayup-sayup kudengar nya- nyian orang-orang yang memperjuangkan nasib orang lain yang masih menikmati hidup di bawah batas ketentuan layak. Air hujan yang ber- muara di hatiku menyungging senyum, kusampaikan senyum itu mela- lui asap harum yang memancar dari jiwa sebatang dupa hitam. Aku mencari sesuatu yang dapat menjamin kelangsungan hidup. Masa lalu dan masa kini, aku ingin menaruhnya ke bentangan kanvas selaput pelepah kelapa. Pada permukaan kanvas itu aku ingin melukis sejauh dan sedalam mana takwa yang kupunya. Pada satu sisi kulukisi dengan takwa lahir, dan satu sisi yang lainnya kulukisi dengan takwaku secara batin, dengan harapan takwa lahirku dan takwa batinku berdam- pingan secara damai dan selaras. Mimpi ini bukan untuk ditebak, de- sisku lirih. Mereka berkata bahwa mereka dapat hidup hanya dengan mengan- dalkan idealisme. Kalau aku bagaimana? Dapatkah? Tersungkurkah? Di sini aku bermonolog. Sebenarnya aku ingin sekali dapat berbincang dengan Dia. Ibaratnya seorang yang bermata rabun jauh mengharap kan menatap bintang di siang hari penuh. Aku belum, untuk mengata- kan tidak akan pernah, memperoleh kesempatan mutiara itu. Paling tidak untuk masa yang kulalui hingga kini. Tumbuhlah kemudian jiwa mendongengku. Apa yang melintas pada pikiranku, itulah dialog demi dialog yang kulakukan dengan-Nya. Daripada aku menyanyikan ke- hampaan, tidak lebih buruk bila kubawa dongeng-dongengku hingga menyepuh mimpi-mimpiku sepanjang lelapku. Bukan. Bukan kesiangan apa yang kini kulakukan. Aku tak mengenal apa yang menjadi batas-batas waktu yang mendakwa bumi dalam pu tarannya. Lebih tidak akan peduli lagi bila ada yang mengatakan kesen- jaan, kemalaman, kediniharian atau apalah lagi yang lain. Tak acuh dalam hal ini memang sangat aku butuhkan. Mungkin pula dalam hal lain ketidakacuhan itu sangat kuperlukan. Sisi lain dari sikapku ini tentu ada. Apa yang akan jatuh menimpaku atas sikapku ini, itu tergantung kepada yang tak atau kurang suka. Relatif sifatnya untuk kuberi angka berapa. Wah. Aku lupa, bahwa yang memberi nilai itu bukan aku, namun orang-orang yang ada di sekitarku. Aku mencari sebuah pulau yang masih perlu sentuhan-sentuhan. Di sana aku akan membuat hutan nya- nyian alam desa. Setiap hari aku menyemai suara-suara alami, namun bukan suaraku. Aku tak ingin mencemari suara alam mereka. Bagai mana kalau seandainya mereka itu kerabat sendiri? Aku akan lebih menyatu dengan mereka. Tidak ada jurang pencegat perjalananku me- nembus deru debu disemilirkan oleh kabut yang melintas ringan dan penuh keriangan. Hai, sampaikan salamku kepada hatiku yang terting gal di sebuah desa kecil di kaki gunung. Kau ajaki dia datang menetap di sini bersama kita. Komang Berata ter tidak hanya mampu menyuguh- kan penjabaran estetika, lebih jauh akan mampu menularkan sugesti untuk maksud-maksud tertentu. Keprihatinan tentang eksis se- kelompok teater akan muncul dari banyak sumber. Sudut pandang pemerintah, masyarakat serta para pekerja seni tersebut berkem- bang menjadi jamak, meskipun da- pat dipastikan bersumber dari satu bentuk, yakni teater. Penerapan aturan cekal" yang dipandang sah sebagai tindakan preventif, keberadaannya tidak dapat diabaikan begitu saja tanpa kajian. Pembakuan garis layak dan tindaknya sebuah pelakonan tea- ter dalam Negara Demokrasi bu- kanlah tanpa sebab. Tidak benar bila diterjemahkan sebagai pem- batas kreativitas, namun semesti- nya mampu disadari sebagai pen- cegahan munculnya seniman over acting dalam berkesenian. Persoalan-persoalan yang di- hadapi kelompok teater berkala nasional yang sudah memiliki ting- kat kemapanan lebih baik, tentu mempunyai perbedaan yang men- colok dibanding kelompok teater di kota-kota kecil atau kelompok yang muncul di tingkat RT. Idea- lisme boleh sama, akan tetapi me- kanisme sampai struktur sosial masyarakat merupakan PR yang menuntut konsentrasi dan per- juangan sepadan. Teristimewa lagi bagi para se niman muda bernafaskan modern yang tumbuh dan berkembang di kawasan Pulau Bali. Sebagai ka- wasan artistik yang banyak diil- hami karya besar dalam bidang seni adalah klimaks dari cerita yang belum terselesaikan. Di ba- gian lain ada pandangan yang me- nyebutkan semua orang Bali ada- lah seniman, tidak mustahil bila ha- rus diimbangi kejelian. Persaingan terhadap kesenian tradisional merupakan problem klasik. Terobosan yang dilakukan seni modern tampak melangkah alot, serta perlakuan masyarakat yang amsih memandang sebelah mata. Teater belum mampu berim- bang dengan drama gong dan se- jenisnya, bahkan mungkin tidak pernah mampu. Teater sebagai produk baru seni budaya, eksis- Made Adnyana Ole PERKAWINAN IKAN RANJANG pengantin itu, se- buah kolam asri dan airnya jer nih melimpah. Teduh oleh rin dangnya pohon leci di samping nya, tapi tetap hangat oleh pelukan cahaya matahari yang memaksa masuk lewat kisi-kisi dedaunan. Dan mulailah sepa- sang ikan, yang menjadi per- enungan dalam hatinya masing- masing, merancang sejuta gene- rasi buat menyambung perjalanan induk mereka me- nuju ujung-ujung air yang belum ditemukan. tinaku!" bisik Sang Jantan. "Kita sedang dikawinkan, Be- Sang Betina cuek. Dia sedang berusaha menunjukkan kelas ke- menegakkan harga dirinya dan betinaannya. (Disamping, tentu saja, menahan birahinya). Sang Jantan lantas menerang kan, bahwa perkawinan itu suatu yang berharga bagi ke- seimbangan alam. Dari perka winan itu akan didapat berjuta juta keturunan. Dan dari yang banyak itu, setelah selesai saring, diperoleh generasi-generasi an- dal yang siap menggantikan ke- dudukan pendahulunya, men- jadi induk yang akan melahir- kan baka-bakal induk juga. Sebab demikianlah, kata orang, yang disebut keseimbangan. Se- bab demikianlah, kata ikan, yang disebut perjalanan hidup. Dan demikianlah, kata kolam, yang disebut pelestarian alam. "Sebab apalah artinya kita bagi Sang Penguasa. Kalaupun sete- lah ini kita jadi santapan di meja makan, relakan saja! Toh kita masih mendapat pujian, bahwa tubuh kita punya nilai gizi tinggi. Dan makanan bergizi, kata orang, dapat berpengaruh kepada meningkatnya pemba ngunan bangsa. Jadi, kita mesti bangga. Betinaku!" tensinya masih dinilai semacam kenakalan yang positif. Dari tinjauan tersebut, kesinam- bungan teater mununtut keseim- bangan perlakuan semua pihak. Para seniman hendaknya bekerja sesuai kaidah, pemerintah peng- kajinya sebagai studi kasus, se mentara masyarakat juga dituntut berlaku bijak dalam memberikan umpan balik. Sehingga pada ba- gian akhir akan mampu disimpul- bagai manisfestasi drama modern kan bentuk yang dikehendaki se- khususnya di kawasan Pulau Bali. Seperti pengibaratan Banyak Jalan ke Roma tentu masih ba nyak memberi kesempatan dan celah keselarasan berkesenian di tengah masyarakat. Untuk menca- pai sasaran yang diharapkan, tota- litas dan kesungguhan merupakan jembatan alternatif. Bersetubuh dengan norma seni, jauh lebih bi- jak dari terlampau di kungkung idealisme yang kenyataannya adalah absurd. Goes Aryana DG Kumarsana CAMAR RESAH II Bila kaki kaki musim menjenguk Bali Post DG Kumarsana CAMAR RESAH III Lalu ada rindu bergulir di mata bermula iseng berkemas membenahi cuaca di tubuh sunyi kudapati ia sedang iseng menggurat kata dengan pena bibir merah airmata dan cakrawala lukisan lembut iringan jalan nuju persimpangan mimpi menuntun cerita dari sarang sajakku menghuni kediaman atau selalu sesadar napas panasi aliran dahaga sampai mata, pusaran paras daratan kembara menepi riak habisrasa terbenam semau-maunya! Musim kepada camar resah tak segampang cemburu mencuri-curi sarang cintamu Begitu lama terbang bayangmu deras menimpa runtuhan hujan seperti lukisan wajar air memantul-mantul BELALANG Made Adnyana Ole MENJADI semacam rejeki, ketika sebulan lalu pondokku yang kubangun di tengah-tengah ladang jagung, diserbu ratusan belalang. Aku menangkapnya, anak-anakku membunuhinya dan istriku menggorengnya. Te- tanggaku menangkapnya, anak- anak mereka membunuh- bunuhnya dan istri mereka me- mepesnya. Teman-temanku menangkapnya, anak-anak me- reka menggencetnya hingga te- was dan istri mereka menjadi- kannya sup yang sedap. Petani- petani itu berpesta daging belalang, yang kecil-kecil tapi melimpah. Mereka seolah-olah diberikan wewenang untuk sewenang-wenang kepada binatang-binatang kecil itu. Me- reka setiap saat berteriak, "Hama ini harus kita makan, sebelum mereka usili kehidupan kita." jadi penguasa, terhenyak. Gun- Petani-petani itu, yang merasa dah. Kini, setelah sebulan tak bosan-bosannya makan daging belalang, mereka sadar bahwa binatang peloncat itu semakin berlipat-lipat jumlahnya. Walau dimakan orang sekampung, bi natang itu terus meningkat, bu- kan hanya jumlahnya, tapi juga tingkat kehamaannya, Kawanan belalang itu mulai marah. Dan mereka memang wajib marah. Pohon-pohon jagung yang baru satu setengah tahun umurnya, diludeskannya. Tanaman- tanaman lain yang dimiliki petani-petani, termasuk aku, di- makannya hingga tak bersisa. Aku semakin gundah, ketika be- lalang itu juga menggerogoti atap pondokku yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Dalam tempo satu jam atap itu habis, yang tersisa cuma lidi-lidinya. Aku mengumpat. Lauk-pauk yang sedap itu ternyata kela- paran juga. Bahkan, suatu saat, mereka bisa memasangku. Iya, mereka bisa menghabisi kita. Makanya, hati-hatilah. Peringatan kepada petani dan peladang. Peringatan kepada manusia, "Belalang pe- makan manusia telah datang!" Tapi, mereka tahu. Kawanan belalang tak pernah habis. Me- reka juga menyaksikan sawah dan ladangnya dan tanaman- tanamannya telah dibabat habis oleh binatang-binatang itu, berhari-hari. Apakah mereka ti- dak berpikir mesti dicari cara lain? Apakah mereka juga tak pernah berfirasat suatu saat nanti, binatang yang tubuhnya kecil, suaranya kecil dan kadang tak berdaya itu, yang kadang bisa jadi hama ganas itu, akan membunuhi mereka. Satu-persatu. (Tabanan, 1994) Sang Betina masih cuek. Bah- kan kini, dia menjadi sedikit ke- sal. Kenapa hanya untuk perka- Tetangga-tetanggaku, anak- winan, mesti dijelaskan dulu anak mereka, istri-istri mereka, masalah-masalah pemba teman-temanku dan anak-anak ngunan bangsa? Kenapa hanya mereka dan istri-istri mereka, untuk suksesnya pembenihan, tak pernah perduli kepada per- mesti dijelaskan juga efek-efek ingatan ini. Mereka tetap asyik lain yang terasa jauh dari tujuan dengan kunyahannya. Mereka semula. "Ah, katakan saja de- berkilah, "Bukankah dengan me- ngan terus terang, bahwa perka makannya merupakan cara ter- winan kita ini tujuannya untuk baik untuk melenyapkannya?" memperbanyak aset dan keun- tungan!" bisiknya kepada di- nding kolam yang membisu. Selanjutnya, Sang Betina ma- sih menunjukkan kelasnya de- ngan mempertahankan dirinya agar tak terangsang oleh cum- buan Sang Jantan. Atau, mung. kin sedang mempertahankan se- bongkah rasa angkuh. Atau cuma sekadar ingin memper- mainkan pasangannya. Tapi Sang Jantan memag tak kenal putus asa. Bahkan, dia le- bih berhasil menunjukkan kadar kejantanannya. Tidak mempan oleh rayuan kata-kata, dia mulai berpikir untuk menunjukkan ke- jantanannya dengan cara lain. Dia mulai mendabik dada. Dia mulai beraksi. Mempermainkan ekornya, siripnya, insangnya, mulutnya, dan segala sesuatu yang dimilikinya, yang bisa me- narik perhatian pasangannya. Dia melompat-lompat setinggi- tingginya. Dia menunjukkan ke- bolehannya berenang gaya pung- gung, gaya dada, gaya berdiri, dan gaya lain yang tidak dimiliki oleh ikan-ikan lain. Pada awalnya memang Sang Betina berusaha cuek. Namun, lama-lama dia tertarik juga. Dia mulai mendongak, memandang Sang Jantan main akrobat. Dan bukan hanya memandang, na- mun dia juga ikut hanyut dalam permainan itu. Dia ikut melom- pat. Ikut memainkan siripnya, ekornya, mulutnya, dan insang nya. Gaya berenangnya juga mengikuti gaya berenang pa. sangannya. Maka, sepasang ikan itu mulai mewujudkan per enungan hatinya dengan jujur. Tanpa kemunafikan mereka menjalani perkawinan itu. Se- bab Sang Jantan sudah mene- mukan cara jitu untuk menarik perhatian Sang Betina. Yakni, menunjukkan kesombongan de- ngan jujur. Bukan mengumbar rayuan gombal yang suaranya bagai meriam, tapi pelurunya bagai peluru senapan angin. Kemauan Sang Betina mung kin yang jenis begitu-begitu. Mungkin. BUNGA BUNGA ITU I Wayan Sunarta BUNGA mungil itu masih be- gitu muda untuk dipetik. Tapi sayang kalau dia harus mekar di tengah keganasan hutan. Inilah yang membuat aku jadi berpe- rang dengan diri sendiri. Harus- kah aku memetiknya ataukah membiarkannya tumbuh liar di hutan hitam yang tak mengenal batas antara baik dan buruk? Bunga mungil itu benar-benar telah menjerat hatiku, yang mana hampir membuat aku ma- buk dalam gumulan rindu. Sean- dainya saja aku kupu-kupu yang tidak terlalu tua tentu sudah aku dekati bunga itu. Mencumbui wanginya dan mencicipi manis madunya. Sayang aku hanyalah seekor kupu-kupu yang renta yang sebentar lagi akan menjadi humus bagi bunga mungil itu. Humus? Yah, itu lebih baik bagiku da- ripada aku harus berseteru de- ngan kupu-kupu lain yang lebih muda yang mungkin saja dianta- ranya ada anak-anakku. Tidak! Baiknya aku jadi humus saja. Menjadi makanan bagi bunga yang mulai mekar itu. Menjadi air bagi jernih kelopaknya. Atau menjadi mineral-mineral bagi wanginya. Atau mungkin aku menjadi pohon rindang yang me- neduhinya. Menjadi angin yang menafasinya. Tapi, tidak untuk menjadi kupu-kupu muda! Ti- dak sama sekali. (1994). HUBUNGI: DG Kumarsana CAMAR RESAH IV - Menuju Persimpangan Rumahmu - Camar lintasan langit membidik bulan lima hitungan jejak kosong, sejak memburu-buru angin menawar kesangsian latah begitu jauhnya gelora laut biru suatu hari punya jarak menjanjikan mimpi mimpi kata hari esok nuansa lingkari bening kekosongan jiwa retak menyangsi gugatan waktu getaran matahari kita lewat persimpangan, lewat tahun depan bercakap cakap di langit tak berhingga sambil mengembalakan gelora Camar lintasan laut bermata tak membidik tajam matahari tak usah memburu sayap sayap patahan senyap kalau dalam kelenggangan hasrat sendiri, DG Kumarsana CAMAR RESAH I Hari ini resahku kuak pintu langit menoreh sunyi tiap luka singsingan fajar suarakan galau panjang memendam tangis Hari ini, kugugat waktu matahari (serasa pendengaran yang tak putusputus) berusaha dengarkan suaramu kemana arah rindu menuntun tinggalkan sepatah kenangan Ini hari penghabisan resah bertandang camar liang langit-langit hati hentikan kepak biasa kupandangi resah terpaku memandang bulan menatap gelombang tinggi menjulur julur tubuhmu dari sapuan bianglala Camar begitu melintas terpaku resahku lima bilangan waktu menghadang kabar riak sesalan diri kalau kalau ia berada di sana DG Kumarsana CAMAR RESAH V Dan apabila waktu mengusir penat sangsi gemetar kian menyisih Langit, sebelum dirajah purnama camar tiba duka menangis runtuhan airmata sebatas kelepak musim berbulan bulan hitungan hingga lelah kenyal diri melabuhkan mimpi mengajari nuju istirah penghabisan Langit, setengah berbingkai tak berkeping warna entah camar berbekal asmara hinggap di ranting tua menyudut angin dalam dada resah menanti jawab HALAMAN 7 Agenda Kantong Apresiasi '94: ....KATA..... (Kalangan Apresiasi Tanah Aron) THN Jaga tanggal mainnya Hubungi Cok Lilis Sultan Agung No. 51 Amlapura BANGLI BANGKIT-790- 10 Mei 1994 Telp: (0363) 21575 GELEGAR SAR-390 THN 30 Maret 1994 KINI...PERHATIKAN DETAILNYA! ELECTRIC Star RC 100 SEMAKIN MANTAP DAN NYAMAN... Salah satu daya tarik Suzuki RC100 Bravo yang membuatnya diminati banyak orang adalah kesempurnaan pada hal yang kecil. Amati keunggulannya pada setiap detail pembaruan Suzuki RC100 Bravo yang digarap dengan sangat sempurna. Suzuki RC100 Bravo menjadi satu-satunya motor yang paling nyaman di kelasnya karena menggunakan PECS (Power Engagement Clutch System)yang menyebabkan perpindahan gigi berlangsung mulus dan tidak menyentak. Seat baru yang lebih lebar memberikan kenyamanan Striping desain baru membuat penampilan semakin gagah Leg shield hitam dengan karet pelindung sehingga tidak mudah tergores MAINDEALER: PT. Cahaya Surya Ball Indah, Suzuki Motor Cycle Division, JI. Thamrin 25 Telp. 424855, 435010, 435131, Denpasar, DEALER: PT. Cahaya Surya Bali Indah, Jl. By Pass Ngurah Rai 110 C, Telp. 753887 Kuta, Cahaya Surya Megah Abadi, JI. Teuku Umar 110 C Telp. 231133, 225802 Denpasar, Varia Pratama Motor, JI. Imam Bonjol 79, Telp. 225325 Denpasar, Cahaya Surya Agung, Jl. Cok Gde Rai Peliatan Ubud Telp. 96198. Waja Utama Motor, JI. Udayana Blahbatuh - Gianyar. Pelita Agung Motor, Jl. Kesatrian 26A Telp. 93043 Gianyar. PT. Cahaya Surya Bali Indah JL. Pahlawan 24B Tabanan. Rahayu Permai, JI. Ngurah Rai 8 Telp. 42374 Negara, Japan Motor, JI. DR. Sutomo 24 Telp. 41234 Singaraja. Astina Motor, JI. Erlangga 9A Telp. 61667 Singaraja, Surya Jaya Motor, Jl. Flamboyan 3. Telp. 21179 Semarapura. CIPTA CMC/CIPTA KALYANA C 657 Color Rendition Chart 2cm 4cm