Tipe: Koran
Tanggal: 2015-01-25
Halaman: 04
Konten
JEMALA Pertama Budi, Lalu Tamadun dirinya daripada sangat maklum dan masyhurnya. Maka di dalam hal yang demikian itu maka tiada dapat hendaklah kita ketahui makna akal (-budi) itu karena akal (-budi) itu memuliakan manusia jika ada ia tetap kepada manusia adanya." Lebih lanjut RAH menjelaskan bahwa dengan akal-budilah manusia memperoleh penge- tahuan yang sukar-sukar seolah- olah ia cahaya yang terang, di dalam hati tempatnya meman- carkan cahaya naik ke otak, yang dengan itulah dapat dibedakan antara yang benar dan yang salah serta antara yang baik dan yang buruk. Ringkasnya, akal bersum- ber dari otak, sedangkan budi berasal dari hati (nurani). Apakah implikasi sosio-kultural dari faham itu bagi orang Melayu? Apa lagi kalau bukan ini. Akal saja belumlah cukup untuk menyerlahkan (menandai) makhluk sebagai manusia. (Beberapa temuan penelitian terkini membuktikan bahwa hewan-hewan tertentu pun emiliki kal. Jadi, akal bukan KOLOM BUDAYA ABDUL MALIK Budayawan Kepri M anusia memperoleh karunia utama akal- budi dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Karena akal-budi itulah, ke- beradaan manusia menjadi berbeda daripada makhluk yang lain, yang padahal diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla juga. Tanpa akal-budi nyaris tak dapat dibedakan antara manusia dan ciptaan-Nya yang lain. Padahal, dalam hal kekuatan fisik semula- jadi, banyak makhluk yang lain lebih unggul daripada manusia. Manusia menjadi istimewa karena akal-budinya. Kata akal merupakan kata - bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, sedangkan kata budi berasal dari bahasa Sansek- erta "budh": Dalam kebiasaan orang Melayu, kedua kata itu senantiasa disanding dan digandengkan menjadi kata majemuk “akal-budi" untuk mengungkapkan sesuatu yang berkonotasi baik lagi mulia atau terala. Raja Ali Haji (RAH) di dalam karya kamus monolingual sulung bahasa Melayu dan bahasa Indonesianya, Kitab Penge- tahuan Bahasa, bahkan, tak menyediakan lema (entri) "akal": Penjelasan tentang akal dilaku- kan bersamaan dengan lema "budi". Budi, menurut RAH, "mustak daripadanya yang berbudi yaitu jika dengan bahasa Arab dikatalah akal dan orang- orang Melayu menyebut akal (budi) itu seolah-olah bahasa FATIH MUFTIH (Wartawan harian Batam Pos dan penu- lis Kumpulan Cerita Tak Melayu Hilang di Jawa (2011) K 2Q15 adalah provinsi jemawa. Sehadapan dengan Singapura dan Malaysia bukan sebuah per- masalahan besar. Karena masyarakat Kepri di tahun 2015 adalah masyarakat yang nirmind- er. Tiap penghujung pekan atau masa liburan sekolah, tak satu pun dari mereka yang bersaujana ke negeri jiran. Mereka lebih berbusung dada dengan menziar- epulauan Riau tahun Batam Pos, Minggu 25 Januari 2015 ahi Penyengat Indra Sakti. Di rumah mereka, ada banyak kendaraan bermesin. Karena Kepri di tahun 2015 adalah provinsi yang dengan tegas menerapkan peraturan larangan mengimpor mobil murah dari negeri tetangga. Mobil-mobil tangan-kedua dari tetangga itu dianggapnya masih kuna. Karena masih menggunakan roda. Sedangkan perindustrian di Batam sudah bisa memproduksi mobil-mobil tanpa roda dan tanpa bahan bakar minyak. hak monopoli manusia.) Begitulah faktanya. Di dalam masyarakat Melayu dikenal ungkapan “main akal" yang berkonotasi sangat negatif. Orang (pegawai) yang tak masuk kerja alias 'makan gaji buta" atau siswa yang tak datang ke sekolah tanpa alasan yang munasabah (bolos), misalnya, disebut main akal. Masih ada lagi ungkapan "mengakali” dengan konotasi negatif“memerdayai, membo- hongi orang lain". Itulah sebabn- ya, perilaku main akal dan mengakali tergolong perbuatan tercēla dalam budaya Melayu. Karena apa? Karena perbuatan itu berakibat tak baik bagi diri sendiri dan mencelakakan orang lain. Akar-pucuknya dan ujung- pangkalnya mendustai kemanu- siaan. Alhasil, akal saja tak memadai dan tak menjamin kemanusiaan anak manusia. Akal harus berbancuh serasi dengan budi sehingga menjadi adonan yang bersebati. Oleh sebab itu, bagi orang Melayu, di dalam minda sampai ke perilaku, akal dan budi senantiasa dibanding dan digandengkan sehingga berwujud "akal-budi"? Dengan itulah kita berpikir, dengan itulah kita merasai, dengan itu pulalah kita me- maknai kehidupan ini. Perbicaraan tentang budi memang tak pernah mengenal khatam. Pasal, budi bukan hanya pakaian anak manusia ketika dia hidup di dunia. Lebih daripada Bocah-bocah yang tinggal di Kepri pada tahun 2Q15 adalah kelompok anak-anak yang berbahagia. Karena tiap akhir pekan, pemerintah provinsi menerapkan peraturan daerah tentang Hak Anak. Di peraturan itu dibunyikan, setiap penghu- jung pekan, artinya Sabtu dan Minggu, paling sedikit orang tua harus menghabiskan waktu selama tiga jam bersama anak- anaknya. Bila Satpol PP menda- pati orang tua yang masih bekerja, sanksinya lumayan berat. Orang- orang tua itu akan didenda Rp 1 miliar untuk pembangunan taman bermain anak di setiap kelurahan. Dendanya mahal amat? Tidak. Karena Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri di tahun 2Q15 melansir, rata- rata pendapatan masyarakat Kepri mencapai Rp 5 miliar per bulannya. Fantastis, bukan! Karena di pada tahun 2Q15, tidak satu pun warganya diperkenankan memperkaya diri sendiri tanpa memperkaya 10 tetangga kanan dan kirinya. Sehingga, dengan penerapan peraturan ini, kesejahteraan masyarakat meningkat. Semakin kaya seseorang, semakin sejahtera masyarakat sekitarnya. Toh, Gubernur Kepri 2Q15 memang melarang orang-orang kaya berkumpul di satu kompleks. Kedigdayaan Kepri di tahun 2015 memang tak terlepas dari sentuhan midas sang gubernur. Baginya, Kepri Mandiri 2Q15 adalah keniscayaan. Meski para pengamat dari luar negeri dan luar provisi mencibirnya, ia tetap bersetia pada program pemban- gunan yang dicanangkannya pada 2014, atau satu tahun sebelum masa pemilihannya. itu, budi merupakan karunia istimewa yang pasti dibawa sampai mati. Budi tak pernah dapat dibayar, sama ada di dunia ataupun di akhirat seperti yang dikunci dalam "pantun pisang emas" yang sangat masyhur. Pisang emas bawa berlayar Masak sebiji di atas peti Utang emas boleh dibayar Utang budi dibawa mati Akal-budilah yang menyempur Gubernur Kepri 2015 bukan tukang sulap, yang dengan sekali averdakedavra bisa mengubah provinsi yang kerap ketilep di perbatasan. Karena di rumah dinasnya, takkan dijumpai tongkat sihir Harry Potter. Perubahan, kata dia, adalah suatu keniscayaan dan keabadian, setelah Tuhan dan kepentingan. nakan kemanusiaan anak manusia. Dengan akal-budi manusia mengembangkan tamadunnya. Dengan tamadun (peradaban) yang disinari akal- budilah manusia menciptakan pemerlain dirinya daripada makhluk yang lain. Bahkan, berdasarkan tamadun yang berakar pada akal-budilah suatu kelompok manusia membeda- kan kelompoknya dengan kelompok yang lain sehingga kita dapati perbedaan sedikit atau banyak di antara pelbagai tamadun itu. Maka, dunia pun jadi berseri oleh cahaya cemer- lang akal-budi yang menjelma- kan tamadun b ail tinggi. Berbicara tentang dunia Melayu, kita jadi tak dapat memisahkannya dengan aktivitas dan kreativitas budaya, yang menjelmakan tamadun. Berhadapan dengan kenyataan itu, kita harus bersyukur kepada Allah s.w.t. yang senantiasa mencucuri rahmat-Nya untuk memberikan kesadaran akan kewajiban atau tanggung jawab itu kepada kita. Pasal apa? Pasal, tamadun senantiasa membang- kitkan pencerahan, tanggung jawab, dan kebanggaan bagi setiap pendukungnya. Pada gilirannya, tamadun kerap memberikan ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang sesungguhnya. Alhasil, tamadunlah yang menjadi pengorak simpul kehidupan yang sekusut apa pun bentuknya. Tak berlebihan jika disebut bahwa berpaling dari (meng- ingkari) sebuah tamadun yang terbina sejak lama berarti mengundang malapetaka. Mengapakah manusia, terma- suk orang Melayu, begitu bergairah dengan tamadunnya, setidak-tidaknya suatu masa dahulu? Jawabnya memadailah diminta dari George Henry Lewes dalam bukunya The Principle of Success in Literature (1969), yang dikaitkan dengan konteks historis Kesultanan Riau-Lingga, yakni "rakyat dari segenap lapisan masyarakat sangat mencintai aktivitas dan kreativitas budaya." Itu kalimat Di tengah ingar-bingar kam- panye, ia tak banyak mengobral janji-janji. Baginya, janji hanya sebuah rantai pengekang. Ketika tak dapat dipenuhi, bisa jadi kendala untuk setia bekerja dan meningkatkan kualitas marwah masyarakatnya. Gubernur Kepri 2Q15 menyadari itu dengan membangun monumental kesadaran yang utuh. Bukan di halaman rumah dinasnya. Melainkan di dalam jiwanya. Kesadaran pertama yang dibangun adalah kesadaran berbahasa. Pada mulanya, kesadaran ini ditertawakan oleh segenap pihak. Kesadaran berbahasa, katanya, bisa mengger- akkan segala roda kehidupan. Ia selalu teringat akan kalam Raja Ali Haji, pahlawan nasional dari tanah kelahirannya. “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa." Ungkapan ini kemudian yang dijadikannya sebagai pengukuh untuk bergeming dan melanjut- kan kesadaran berbahasanya. Tak pelak, ia berkampanye dengan santun. Tanpa caci-maki. Janji-janji yang diumbar bukan gembor-gembor pembangunan fisik yang menggerus anggaran daerah. Menurutnya, pemban- gunan fisik hanya sebuah simbol yang bisa dibangun siapa saja. Itu bukan tugas gubernur, melainkan tugas bersama seluruh masyarakat Kepri di tahun 2Q15, cetusnya. Kesadaran berbahasa pula yang kuncinya. Jika informasi itu masih dirasakan kurang, kita dapat bertanya kepada Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson melalui artikel mereka "Islamic Thought and Malay Tradition: The Writings of Raja Ali Haji of Riau, ca. 1809 ca. 1870" (1979). Menurut mereka, “Kaum bangsawan dan elit Kesultanan Riau-Lingga melibat- kan diri secara langsung dan secara aktif dalam kegiatan pada ujungnya membuatnya disegani oleh lawan-lawan politiknya. Cibiran yang semula ditulis koran-koran usang kini berbalik arah. Karena ia bisa menulis dan berbicara dengan sama memukaunya. Suara yang keluar kala ia meradang atau pun senang punya intonasi nada dan pilihan kata yang sama; sama sama menyejukkan pendengar- nya. Kekuatan kata-kata, ungkapnya, bisa melebihi kekuatan rudal- rudal tempur. Maka, tak heran bila di ruang tamu Gedung Daerah di Tanjungpinang, dipasangnya rak membangun tamadun itu.” Itu dia, kuncinya. Peran pemimpin sangat menentukan dalam hal bertan- am budi ini. Alhasil, jasa mereka tetap dikenang dan dihargai sampai setakat ini, jauh melebihi bakti lain yang pernah mereka lakukan. Karena apa? Karena, memperjuangkan tamadun- berarti mempertahankan dan menjunjung marwah dan jati diri bangsa. Dari situlah kesemua kisah tamadun manusia bermu- la. Ya, kecintaan sejati kepada bangsa. RAH sangat piawai menyaripa- tikan] ebijaksanaan membangun tamadun itu di dalam bait Gurindam Dua Belas, "Jika hendak mengenal orang yang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa." Mengapakah demikian? Jawabnya, selain budi dan bahasa itu sememangnya bagian dari tamadun, lebih dari itu budi dan bahasalah yang memancar- kan seri kecemerlangan sese- buah tamadun sampai ke merata dunia. Dikomunikasikan dengan bahasa yang bersalut budi yang halus, sesebuah tamadun tak hanya tercatat keberadaannya, tetapi dapat dinilai orang di mana sahaja dan sampai bila- bila masa akan derajat dan martabatnya: kecemerlangan dan keberdelauannya. Perekaman dengan bahasa tentang pelbagai capaiannya dari masa ke masa memungkinkan sesebuah tamadun berdiri kokoh mengiringi perjalanan bangsa yang dinaunginya. Hal itu bermakna tak akan pernah dapat dikenakan kata punah bagi sesebuah tamadun selagi masih ada orang-orang yang setia mencatat dan memerikannya dalam pelbagai jenis dan corak tulisan. Itulah sebabnya, keberaksaraan atau kemahiran baca-tulis menjadi syarat mutlak bagi terpelihara dan berkembangnya sesebuah tamadun. Sebuah piramid di Mesir dapat berbicara kepada pengunjungn- ya karena riwayat atau sejarah berdirinya dibaca oleh si Gubernur Kepri 2Q15, Bung yang Membaca Kamus Besar putih, Malcolm juga menulis surat kepada Wali Kota Boston, Gubernur Massachussets, dan juga untuk Presiden Harry S. 2Q15. Sehingga, setiap ada kesempatan tampil di muka publik, masyarakat selalu menunggu kalimat-kalimat indah dan menyejukkan yang terlontar dari mulut pemimpinnya. Dengan keindahan bertutur, masyarakat merasa tak salah menjatuhkan pilihannya kepada sang gubernur yang kemudian berjuluk Bung Besar. berukuran raksasa. Jangan diimpikan di situ bisa didapati buku pembangunan jangka pendek-menengah-panjang yang sedang digagas pemerintahan- nya. Karena buku pembangunan semacam itu, menurutnya, hanya boleh bertengger di ruangan kerja. Selebihnya, ia sangat gemar mengoleksi buku-buku sastra kuna. Mulai dari Poetic karya Aristoteles hingga novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Tentu, fardhu ain baginya untuk turut memajang semua karya Raja Ali Haji. Namun, yang paling mencenga- ngkan di antara koleksi yang dipajang di ruang tamu tersebut bukan karya-karya sastra langka. Melainkan, satu bundel buku besar berwarna keperakan. Buku setebal sejengkal tangan orang dewasa itu terlihat lucek. Beberapa kali ajudannya, hendak menyingkirkan buku itu. Tapi, arahan yang dilontarkannya selalu sama. "Dari buku itu kita bisa melahirkan sebuah bangsa yang besar." Mendengar itu, para ajudannya tentu bergidik. Hingga rasa penasaran menjeratnya untuk mengetahui judul buku tebal kesayangan Gubernur 2Q15 itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Begitu judul yang tertera di halaman sampul buku lucek itu. Itu merupakan buku yang dipunyanya sejak masih duduk di bangku kuliah. Ia menyadari pentingnya sebuah kamus setelah mengenal Malcolm X, pemimpin Black Muslim America yang ditembak mati 21 Februari 1965 silam. Dari catatan ringkas yang pernah ditulis sosok yang mengubah namanya menjadi El Hajj Malik El-Shabazz setelah ia naik haji itu. Gubernur Kepri 2015 mengetahui arti penting sebuah kamus. Selama dipenjara pengunjung dari pelbagai tulisan yang pernah dibuat oleh para pencatat yang setia. Begitu pulalah halnya dengan Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat Indera Sakti yang dibangun dari bancuhan semen dan putih telur karena kita membaca riwayatnya yang ditulis oleh para penulis semasa. Andai tak ada tulisan- tulisan serupa itu, kekaguman kita akan capaian tamadun itu tentulah tak berimbang dengan perjuangan generasi terdahulu untuk mewujudkannya. Bahkan, pembangunan dan kemajuan Bandar Riau Lama di Sungai Carang (Hulu Riau) yang begitu gegap-gempita pada zamannya masih dapat kita apresiasi sekaligus kita banggakan sampai setakat ini karena ada penulis- penulis semasa yang meriwayat- kannya. Tak terbayangkan apalah jadinya sejarah kehebatan Bandar Riau Lama andai tak pernah ada penulis yang pernah merekamnya di dalam tulisan. Pasal, pada masa ini tinggalan- nya hanya berupa puing-puing bisu, lagi tak terawat pula, yang sebagian pusara yang ada di kawasan itu pernah dibakar orang secara sengaja pula. di Norfolk Prison Colony, Malcolm terus menulis surat kepada kawan-kawan lamanya, mulai dari mucikari hingga gangster-gangster jalanan. Kemudian, untuk menuntut pertanggungjawaban kaum kulit Untuk kasus Kesultanan Riau- Lingga (dan pernah bersama Johor dan Pahang), ciri khas atau karakter utama tamadunnya memang bersandar pada aspek intelektual atau aktivitas tulis- menulis. Hal itu terjadi karena kesultanan itu tak terpusat di suatu wilayah yang terkonsentra- si. Dengan kata lain, pusat pemerintahannya selalu berpin- dah-pindah. Dengan demikian, tak dimungkinkan untuk dibangun suatu kompleks perbandaran atau perkotaan yang terlalu megah seperti London di Inggris atau Paris di Perancis. Alhasil, pembangunan fisiknya tak dapat dibandingkan dengan pembangunan kota-kota di Eropa, misalnya, yang seza- man dengannya. Akan tetapi, pembangunan tamadun dalam hal pengembangan aspek intelektual, kegiatan memperh- alus budi pekerti masyarakat, dan aktivitas memperjuangkan kesejahteraan rakyat, capaian Kesultanan Riau-Lingga sangat patut untuk dibanggakan. Karena upaya gigih itu pulalah, kebu- dayaan dan tamadun Melayu menjadi bagian yang sangat penting dari tamadun bangsa kita setelah kita merdeka. Bagian dari tamadun Melayu Riau-Lingga yang paling mem- banggakan kita sebagai bangsa sampai setakat ini tentulah Truman. Namun, seiring berjalannya waktu, Malcolm merasa makin payah dan tersandung-sandung oleh kenyataan betapa jauhnya ia dalam hal pendidikan. Malcolm frustrasi karena tidak bisa menemukan cara untuk menyam- paikan lewat surat segala yang ingin ditulisnya. "Di jalanan, aku adalah beran- dalan yang paling artikulatif selalu bisa merampas perhatian dengan apa pun yang meluncur dari mulutku. Tapi sekarang, aku mencoba menulis yang sangat sederhana pun, bukan saja tidak artikulatif, aku bahkan merasa macet sama sekali. Bagaimana memindahkan bahasa slang yang selalu keluar dari mulutku menjadi kalimat biasa saja dalam sebuah surat?" itu bunyi keluhan Malcolm yang terbaca oleh Gubernur Kepri 2Q15. Maka, untuk mengatasi keter- sandungan itu, Malcolm pun memulai petualangan barunya dengan membaca kamus. Setiap harinya, ia menyalin satu halaman kamus lengkap dengan cara membacanya. Kemudian Malcolm membaca dengan lantang tiap kata yang sudah disalinnya di buku tulis. Mem- baca, membaca, begitu saja seterusnya dengan suara keras - Malcolm membaca tulisan tangannya sendiri. Semakin lama semakin cepat. Berselang-seling antara menyalin kamus dan menulis surat sepanjang sisa waktu di penjara, Malcolm merasa sudah menulis sejuta kata. Dengan sejuta kata paling sedikit yang dipunya, surat yang ditulis Malcolm terasa lebih bernas dan efektif. Sehingga. dengan surat itu, orang tak pernah membayangkan bahwa penulisn- ya pernah menjadi seorang berandalan paling beringas. Menyalin cara Malcolm belajar semacam ini yang kemudian ditekuni sang Gubernur Kepri bahasa, yakni bahasa nasional bahasa Indonesia yang berasal dari tamadun Kesultanan Riau-Lingga. Bahasa Indonesia kita yang disumbangkan oleh tamadun Riau-Lingga itu tak semata mata merupakan 4 kontribusi karya-karya linguistik (ilmu bahasa) seperti Bustan al- Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa (Raja Ali Haji), Cakap- Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor (Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau), Bughiat al-Aini Fi Huruf al-Ma'ani (Raja Ali Kelana), Pelajaran Bahasa Melayu (Abu Muhammad Adnan); tetapi juga karya-karya sastra, dan karya dalam pelbagai bidang ilmu yang lain. Fakta itu sekali lagi menjelaskan bahwa sangat mustahaklah peran para intelektual dan penulis dalam pencatatan, pelestarian, dan pengembangan sesebuah tamadun. Hikmahnya pada kita pada hari ini adalah bahwa bakti memban- gun tamadun memerlukan keikhlasan, ketulusan, tanggung jawab, pengorbanan, dan ketunakan yang berkesinambun- gan. Ia bukanlah kerja asal jadi, sambil lewa, dan atau sekadar memenuhi permintaan dari kanan dan kiri. Ia bukan pula sekadar pertunjukan sekali-sekala untuk melupakan kerunsingan dan beban hidup sehari-hari, apa lagi sekadar menghabiskan dana pembangunan yang tersedia dengan keriaan yang tak tentu hala. Ia juga bukan sebuah upaya pencitraan diri yang dilakukan menjelang peristiwa politik seperti pemilihan umum untuk menarik simpati para pemilih. Ia tak pula bermakna menumpang keharuman dari upaya gemilang para pendahulu yang melegenda. Membangun dan memartabatkan tamadun dimotivasi semata-mata oleh niat suci untuk memajukan bangsa dan negara. Itulah makna perjuangan sejati. Sesebuah tamadun dapat kekal, berkembang, dan maju jika penyelenggaraannya didasari oleh akal-budi yang semata-mata mengharapkan rida Allah. Itulah yang menjadi punca dan puncak dari niat, hasrat, azam, dan pekerti untuk mengabdi. Dengan perjuangan itu pulalah, jati diri šesebuah bangsa menjadi abadi atau lestari. Buah dari budi itu mengajarkan kita bahwa pelaku dan pejuang kemajuan sesebuah tamadun tak pernah dapat dilupakan orang, sama ada dia masih hidup ataupun telah lama pergi meninggalkan dunia yang fana ini. *** Sebuah julukan yang tak merujuk pada postur tubuhnya. Melainkan karena kegemaran sang pemimpin membaca kamus besar, yang menjadikan tindak- tuturnya selalu dinanti setiap kalangan. Tentu saja para wartawan yang berpos di provinsi turut merasa diuntungkan dengan kompetensi semacam ini. Kerumitan menyusun logika berbicara narasumber sebagaima- na yang ada di tahun-tahun sebelumnya, seketika muspra. Namun, efek paling gigantis dari kegemaran yang tak jumhur ini justru pada pembangunan mental masyarakat Kepri. Lema-lema kasar yang biasa digunakan menghujat seketika beralih status menjadi arkais. Hendak mengkri- tik, bukan dengan memaki. Kesadaran metafora masyarakat pun berjalan. Melalui metafora-metafora cerdas, masyarakat jadi percaya dibutuhkan keindahan dalam mewujudkan pembangunan yang memadai. Dan itu dimulai dari lisan sang pemimpin yang bertutur dengan segenap kelembutan, yang diperolehnya dengan stok kosakata yang tak tepermanai. Ini kutipan pidato Gubernur Kepri 2015 yang paling mengagumkan dan dicatat oleh koran-koran sebagai pidato terbaik tahun ini. "Matahari adalah pengingat ada orang-orang di sekitar kita yang mesti dibahagiakan. Bukan sekadar penanda pekerjaan hendak dimulai. Kebahagiaan yang menggunung adalah aset yang tak pernah terbeli dan dijajah oleh bangsa mana pun." Selamat datang. Bung yang membaca kamus besar! *** T ㅏ Sy Jala dar -nw
