Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Waspada
Tipe: Koran
Tanggal: 2002-04-19
Halaman: 10

Konten


4cm WASPADA Wacana Moral Akademik Sarjana Tanpa Pengangguran (mode of existence) manusia. Sehingga jika filosof Prancis Rene Descartes terkenal dengan ucapannya, "aku berpikir maka aku ada" (Cogito ergo sum), karena berpikir baginya merupakan bentuk manusia, maka dalam Islam atau dikalangan akademis dan sarjana ungkapan itu seharusnya berbunyi "Aku berbuat atau bekerja maka aku ada" sebab model keberadaan manusia harus bekerja. Bukankah rasa menganggur adalah merupakan siksaan dan penderitaan batin? Oleh Syahrin Harahap Guru Besar IAIN Sumatera Utara STILAH "sarjana penganggur" memang seringkali terasa menyinggung, jika bukannya menyudutkan, apalagi bila sampai diwacanakan. Tetapi rasa ketersingungan itu tentu tidak perlu terjadi, sebab boleh jadi akan lebih menyudutkan bila hal ini didiamkan, seakan tidak ada yang peduli. Istilah ini sudah demikian populer hingga ke pelosok dan pedalaman. Setidak-tidaknya begitulah yang saya amati ketika berjalan menelusuri daerah- daerah pedesaan di Sumatera dalam serangkaian kegiatan penelitian yang ditugaskan Istiqamah Mulya Foundation. Memang akhir-akhir ini semakin banyak sarjana yang "menganggur" dan bahkan pulang kampung, bukan karena ingin membangun dan memberdayakan masyarakat desa dan tanah-tanah mereka, sesuai keahlian yang diperolehnya di perguruan tinggi, tetapi lebih karena kegagalan dan frustasi, tidak memperoleh lapangan pekerjaan. Tergambar kekecewaan di wajahnya, dan orang-orang desa pun merasa- kannya. Mestikah demikian? Masalah "sarjana menganggur merupakan masalah yang semu dan memiliki kompleksitas yang tinggi, mulai dari defenisi pengangguran yang demikian rumit, hingga banyaknya persepsi yang salah mengenainya. Kebanyakan "sarjana penganggur" sesungguhnya bukanlah sarjana dalam arti yang sesungguhnya, melainkan manusia-manusia yang memiliki ijazah sarjana tetapi tidak memiliki kemampuan, termasuk ketrampilan bekerja, yang seharusnya dilambangkan oleh ijazah dan gelar yang disandangnya. Tetapi kita perlu menyadari, keadaan yang demikian bukan hanya kesalahan dari sarjana yang bersangkutan, tetapi lebih banyak diakibatkan oleh kesa- lahan sistem penyelenggarakan pendidikan tinggi yang kurang melatih para mahasiswa untuk menyelenggarakan kegiatan yang seharusnya dituntut oleh persiapan pengetahuan keahlian yang bersangkutan. Atau boleh jadi juga, tawaran kegiatan (pelatihan) untuk persiapan penerapan ilmu pengetahuan yang dilaksanakan menaran tinggi tidak begitu bagi para mahasiswa yang "tergila-gila" dengan kebebasan dan supremasi politik. Rekan saya Jhon Tafbu Ritonga dari Universitas Sumatera Utara pernah mengeluhkan hal ini. Dalam perspektif Islam, seseorang sebenarnya tidak boleh menganggur, atau merasa dirinya menganggur, sebab kerja adalah merupakan bentuk keberadaan Sarjana yang "nganggur" sebenarnya lebih banyak menganggur dalam arti merasa dirinya menganggur, karena pekerjaan yang dipahaminya sangat sempit, terbatas pada pegawai negeri, karyawan BUMD/ BUMN, TNI/Polri, sedangkan yang lain tidak. Dunia kerja memang merupakan masalah ekonomi, banyaknya kesempatan kerja yang tersedia di dunia kerja sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi, tidak hanya tergantung pada penduduk. Akan tetapi dunia kerja juga merupakan masalah ideologi, masalah sikap dan pandangan dari manusia-manusia yang dipersiapkan untuk bekerja di dunia kerja. Penulis Penerbit Dilihat secara demikian, maka selain rekontruksi sistem pendidi- kan dan penyediaan lapangan kerja, pembaharuan pandangan mengenai kerja merupakan keniscayaan, di kalangan sarjana dan masyarakat kita. RESENSI BUKU Anatomi Buku-Buku Tebal Suatu perguruan tinggi sebe- narnya dapat menghasilkan empat keluaran (Harsja W Bachtiar:1990). Pertama, anggota baru bagi profesi-profesi tertentu, seperti dokter, pengacara, konsultan, dan lain-lain. Kedua, peneliti yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan lebih lanjut terutama dalam bidang pengetahuan yang ditekuninya. Ketiga, dosen atau guru yang mempunyai kemampuan untuk mendidik, mempersiapkan anak- anak untuk menjadi tenaga ahli dalam bidangnya. Keempat, orang terpelajar, yaitu mereka yang tidak berusaha untuk bekerja dalam bidang keahlian yang terbatas me- lainkan hendak memanfaatkan keleluasaan wawasan pikiran dan pengetahuan luas yang diperoleh di perguruan tinggi untuk berperan sebagai tokoh masyarakat dalam kepemimpinan politik, agama, eko- nomi, kebudayaan, atau bidang-bi- dang lain yang menuntut panda- ngan yang luas, termasuk LSM. Untuk yang disebut terakhir, maka pengangguran atau merasa menganggur sebenarnya tidak perlu terjadi, dan pulang kampung setelah sarjana tentulah tidak merupakan aib yang memalukan. Tetapi merupakan konsekuensi dari kesarjanaan yang bertanggung- jawab bagi pengembangan masyrakatnya (Q.S.9/al- Taubah:122). Bukankah sarjana adalah manusia tanpa pengangguran? Wa Allahu A'lamu bi al-Shawab. Klasik Tentang Indonesia Judul Buku : Dari buku ke buku: sambung menyambung menjadi satu :P Swantoro : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) beker- jasama Rumah Budaya TeMBI, Jakarta, 2002 :XXX+435 halaman (termasuk indeks) BUKU merupakan bentuk peradapan manusia yang belum tertandingi manfaatnya bagi sebuah bangsa. Meski dewasa ini internet dan media massa lainya semakin berkembang, namun kewibawaan buku tak bergeser. Ini bisa dibuktikan dengan semakin berkembang dan menjamurnya penerbit dan penulis buku, apalagi buku sebagai penyimpanan dan penyebar informasi sangat relevan dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat Indonesia. Selain itu, kekuatan buku dalam mengubah pandangan masyarakat (pembaca) tak dapat diragukan efektivitasnya. Demikian salah satu kesimpulan dapat ditarik dari pernyatan dan pembaca "Si Kakek" (Penulis buku ini, P Swantoro) atas berbagai leteratus klasik yang pernah ia baca. Ia mengatakan, "Buku ini lahir dari sebuah buku" (hlm.1) Buku berisi 435 halaman ini seluruhnya berbicara tentang buku-buku klasik, kebanyakan berbahasa Belanda, yang pernah dibaca P. Swantoro. Buku-buku yang ia baca dan pardalam kemudian diberi catatan-catatan, setelah itu dikumpulkan secara sistematis dan akhirnya menghasilkan buku ini. Dari berbagai catatan-catatan itu, secara keseluruhan sambung menyambung menjadi satu, yakni buku tentang Indonesia. Buku-buku yang diberi catatan ini ternyata mampu mengubah pandangan Indonesia terhadap masa depannya sendiri. Berawal dari gambar berwarna yang ia peroleh dalam sebuah buku Beillustreerde Encylopedie van Nederlandsch- Indie karya BFE Gonggryp (et, al, 1934) paradigma Si Kakek semakin terbuka dan membuat penasaran untuk membaca buku-buku lain. Tercatat dalam buku-buku ini ilmuan, peneliti, penulis Belanda terkemuka, karya-karyanya kini masih berpengaruh di tanah air menghiasi buku ini. Tak terlewatkan nama Snouck Hurgronje, PJ Zoetmulder, Henri Carl Zentgraaff, WF Wertheim, Thomas Stamford Raffles, MC Rikclefs, G Th Pigeaud, JM Pluvier, dan masih banyak lagi. Tak kurang 200 buku diceritakan di sini; dikomentari, dibandingkan dengan buku lain, dan ditelaah pokok-pokok bahasannya, dengan cara yang rupa- rupa sehingga tampil seolah-olah pribadi yang hidup. Bagaimana buku lahir, berkembang, bergerak dan menggerakkan sang pencerita dalam kegiatannya sehari-hari. Demikian komentar Jakob Oetama dalam kata pengantar. Membaca buku ini serasa kita menelaah bertumpuk buku klasik berbahasa Belanda yang membahas kondisi Indonesia zaman kolonial. Setiap buku bertumpuk buku klasik berbahasa Belanda yang membahas kondisi Indonesia zaman kolonial. Setiap buku dikupas dengan bahasa elegan dan dijelaskan sisi penting menjadikan buku ini seperti panduan untuk menjelajah daratan kita dari Sabang sampai Merauke. Urutannyapun pas. Dimulai degan menyajikan buku-buku yang membahas kondisi awal hingga paska kemerdekaan. Olehkarenanya buku ini dapat berfungsi sebagai katalog untuk mendalami secara ilmiah sejarah terbentuknya kawasan dan negara Indonesia. Apalagi, bukan hanya buku-buku karangan ilmuan Belanda saja yang disajikan, akan tetapi disajikan pula karya-karya barat non-Belanda, seperti: George Mc Turnan Kahin, Harry J Belanda, Benedict OG Anderson, dan John D Legge. Bagi sejarah dan peminat sejarah sangat pas buku ini dimiliki. Karena kajian terdalam buku-buku yang dikupas P Swanto sarat nuansa sejarah. Sebuah kreativitas yang patut dipahami bagi pengkaji sejarah berdirinya Indonesia. Kholilul Rohman Ahmad, peminat dunia pustaka, Mahasiswa IAIN Yogyakarta. " PENDIDIKAN Oleh Pendidikan Kita Akan Hancur? Terlalu banyak menuntut tapi tidak mengajukan jalan keluar, maunya nilainya bagus tapi tidak perlu belajar, malas me- ngunjungi perpustakaan untuk membaca, malas praktikum di laboratorium, lebih senang hura-hura daripada melakukan kajian dan diskuis ilmiah. Lebih senang santai daripada kerja keras dan lain-lain. tukan kriteria evaluasi di perguruan tinggi dan dalam penentuan keberhasilan lul san di perguruan tinggi. Sebut saja masa- lah IPK yang terlalu diandalkan sebagai indikator mutu seorang lulusan perguruan tinggi, masalah NEM yang dijadikan se- bagai kriteria pembeda lulusan pendidikan dasar dan menengah, serta hasil UMPTN yang menjadi satu-satunya penentu dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ketiga contoh tersebut merupakan bukti betapa kita terlalu bergantung pada data kuantitatif semata, padahal data kuan- titatif tersebut tidak selamanya akurat dalam menjelaskan apa yang betul-betul kita inginkan. Zulkarnain Lubis Rektor Universitas Medan Area L S AYA tidak menyangka bahwa sampai sekarang masih bergulir terus tanggapan atas tulisan saya di harian Waspada (14 November 2001) berjudul "Gelar Akademik Sebagai Gelar Kebangsawanan Baru". Tanggapan pertama diberikan Meida Nugrahalia dengan judul "Sundroma Gelar Oriented" pada 29 November 2001, yang kemudian dikritisi secara antusias oleh Joko Kusmanto melalui artikel berjudul "Sindrom Orientasi Gelar Akademik" di harian ini juga pada 22 Januari 2002 kembali ditanggapi Meida Nugrahalia melalui tulisannya 8 Februari 2002 dengan judul "Sarasehan Pendidikan, Suatu Alternatif. Selanjutnya beberapa hari yang lalu tepatnya 5 April 2002 Ahmad Dayan Lubis juga memberikan komentarnya melalui artikel "Pendidikan Tinggi Terjebak Demi Gelar". Berdasarkan berbagai tanggapan tersebut, dalam suasana Hari Pendidikan Nasional, saya terusik untuk kembali urun rembuk berkaitan dengan masalah mutu pendidikan tinggi kita yang belakangan ini terasa semakin runyam, apalagi berdasarkan publikasi terakhir, bahwa secara umum perguruan tinggi kita termasuk urutan belakang dalam hal mutu. Berbicara soal mutu pendidikan ini, saya sependapat dengan apa yang dikatakan Joko Kusmanto bahwa persoalan mutu pendidikan kita tidak hanya disebabkan faktor eksternal yang berada di luar perguruan tinggi semata, justru faktor internal yang berasal dari dalam perguruan tinggi, termasuk para pemberi layanan kependidikan seperti dosen dan pengelola lembaga pendidikan tinggi juga turut berperan besar dan menjadi salah satu penyebab utama kemerosotan mutu pendidikan tinggi kita. Berkaitan dengan faktor internal maupun faktor eksternal, saya sependapat dengan Ahmad Dayan Lubis yang menga- takan bahwa cara berpikir formalistislah yang menjadi biang kemerosotan mutu tersebut. Cara berpikir formalistis yang menurut saya diartikan sebagai "lebih mengutamakan kulit daripada isi" ini ada pada hampir semua lapisan masyarakat. Kita sering ketemu dengan orang yang lebih tertarik kepada simbol-simbol dan asesoris daripada esensinya. Dalam hal menilai orang misalnya, apa gelar akademik yang dimiliki sese- orang, lulusan mana dia, bagaimana penampilannya, keturunan siap, siapa orang tuanya, suku apa, dari kelompok mana, siapa yang merekomendasikan. Dan hal-hal subjektif lainnya, lebih sering digunakan sebagai pertimbangan dalam mengangkat seseorang untuk jabatan atau kedudukan tertentu daripada menggu- nakan pertimbangan objektif, seperti kompetensi, pengetahuan, wawasan dan lain-lain. Kita juga sering kagum terhadap seseorang yang kita anggap sebagai ilmia- wan hanya karena orang tersebut mem- punyai gelar akademik berderet. Kita juga kadang-kadang terlalu cepat menaruh hormat pada seseorang yang kita ba- yangkan sebagai orang yang religius, hanya dengan penampilannya yang bersorban, berbaju koko, berkerudung atau simbol-simbol lainnya. Padahal hal sebenarnya belum tentu demikian. Karena sesungguhnya mungkin saja orang menutupi kebusukan, kekotoran dan ketidakmampuan dengan bungkus yang indah, suci dan gemerlap. Para pimpinan, pengelola dan penye- lenggara perguruan tinggi juga banyak yang hanya sekadar mengikuti rutinitas semata, yang penting ada mahasiswa, ada dosen, ada perkuliahan, ada lulusan, ada wisuda, dan seterusnya. Mereka tidak terlalu peduli apakah lulusannya hanya akan menambah pengangguran. Mereka juga tidak terlalu perduli dengan cara apa mahasiswa mencapai kelulusan. Akan lebih parah lagi jika para penyelenggara pendidikan tinggi ini hanya akan peduli untuk mendapatkan mahasiswa sebanyak- banyaknya, sehingga dengan mahasiswa yang banyak ini akan terbayang pemasukan yang memuaskan. Cara berpikir formalistis ini tergambar juga pada terlalu bersandarnya kita akan pendekatan kuantitatif dalam menen- YPSA Pakai Sistem Pendidikan Modern H.Rizal Syamsuddin, MA yang mengaku antar sesama guru, khususnya untuk SLTP diberlakukan semacam kewajiban menggunakan bahasa Inggeris atau Arab sebagai contoh kepada para siswa/i agar mereka juga terbiasa bahasa sehari-hari untuk menggunakan bahasa asing secara praktis. YAYASAN Pendidikan Shafiyyatul Ama-liyyah (YPSA) mempunyai keter- kaitan erat dengan Islam. Begitupun YPSA bukan sebuah pondok pesantren, tapi lem- baga pendidikan formal yang menerapkan sistem belajar-mengajar moderen dengan mengkombinasikan tiga kurikulum: Depniknas, Depag dan lokal yang di YPSA lebih populer disebut "Kurikulum Ter- padu". Penggabungan tiga kurikulum itu barangkali pertama diterapkan di Sumut. Keunggulan kurikulum semacam itu sungguh bermanfaat bagi setiap siswa/ i karena masing masing diajar dan dididik dengan berbagai disiplin ilmu baik untuk duniawi (umum) dan ukhrowi (agama) serta lokal yang dirancang khusus oleh YPSA dalam bentuk program tepat guna yang selama ini sering berada dalam ekstra-kurikuler yang diajarkan di luar jam pelajaran sekolah. Alasan itu pulalah bagi pihak YPSA bisa menerapkan masa belajar "Full Day School" (Belajar Penuh Satu Hari). Kalau biasanya sekolah hanya memberlakukan jam belajar dari 07:30 s/d 13:00 Wib, maka di YPSA berlangsung sampai pukul 16:00 Wib setiap hari (kecuali Minggu). Dengan pemberlakuan sistem Full Day School (FDS) sering pula mengundang minimal dua pertanyaan dari kalangan orangtua/ wali murid tentang bagaimana soal makan siang putra-putri mereka, dan apakah kewajiban melakukan shalat Zuhur atau- pun Ashar akan terlewatkan begitu saja. Pihak YPSA menangkal kekhawatiran itu dengan menginformasikan jawabannya melalui brosur khusus atau keterangan langsung kepada setiap orangtua yang mendaftarkan putra-putri mereka, mulai tingkat SD sampai SLTP, setiap siswa/i akan mendapatkan makan siang di sekolah, sementara mengenai pelaksanaan ibadah shalat sudah tersedia sebuah rumah ibadah bernama Masjid Shafiyyatul Amaliyyah yang dibangun bertingkat dua dengan arsistek bangunan yang cukup megah dan indah, berlokasi di tengah deretan bangunan sekolah YPSA. "Sesulit apapun dan setekun bagaima- napun para siswa/i dalam mengikuti mata pelajaran umum, agama dan lain-lain, bila tiba waktu shalat Zuhur ataupun Ashar aktivitas kesemua itu akan terhenti karena mereka akan diberikan waktu menunaikan shalat berjamaah di masjid yang berdekatan letak dengan ruang kelas, "ujar H.Rizal Syamsuddin, MA selaku Kepala SLTP merangkap Ketua penerimaan murid baru t/a 2002/2003 didampingi Ny.Hj.Sabar Khatib selaku Sekretaris YPSA dalam keterangan kepada Waspada baru baru ini di kantor YPSA Jl.Setia Budi 191 Medan. anitia Berpikir formalistis Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat umum berpikir for- malistis inipun telah menjalar ke kampus, maka tidak aneh jika ada dosen yang menjalankan tugasnya secara formalitas saja, menjadi seolah-olah telah mengem- bangkan ilmu pengetahuan, berusaha untuk mencerdaskan dan mendidik mahasiswanya, membimbing mahasiswa, memberikan ilmu yang benar, menjalan- kan tugasnya dengan baik dan seolah- olah telah menguji dan telah memberikan nilai yang adil dan benar. Padahal, sebetulnya dia tidak peduli dengan ilmu yang diajarkannya apakah bermanfaat atau tidak, apakah relevan atau tidak. Kalau tadinya kalangan efektifitas orangtua meragukan penerapan belajar pagi sampai sore (FDS) bagi putra-putri mereka, nyatanya meleset karena yang terjadi sebaliknya di mana para siswa lebih menyenangi penerapan itu. "Buktinya, sebagian besar siswa tidak bersedia pulang langsung ke rumah usai mengikuti jam pelajaran pukul 16:00 wib dan selesai menunaikan shalat Ashar, justeru meman- faatkan waktunya dengan bermain bola kaki, basket, renang, tenis meja, bulutang- kis. Bidang seperti kursus musik, vocal, kursus Bahasa Inggeris dan Komputer, bela diri pencak silat dan lain lain yang sudah lengkap tersedia," papar sarananya Dia juga tidak terlalu mementingkan apakah mahasiswa senang mengikuti perkuliahannya atau tidak, apakah ilmu yang dikuasainya ketinggalan zaman atau tidak, apakah pelajarannya membosankan atau tidak. Dia pun tidak memikirkan apakah nanti mahasiswanya telah mendapat bekal ilmu yang cukup untuk terjun di tengah-tengah masyarakat. Ringkasnya, secara formal dia menganggap sudah berbuat benar jika berdiri di depan kelas, sudah menandata- ngani daftar hadir sebagai bukti formal adanya perkuliahan, dan sudah membe- rikan nilai sebagai bukti telah adanya hasil evaluasi atas proses pembelajaran yang dilakukan. Sebagai lembaga pendidikan modern YPSA yang didirikan Desember 1997 kini selain membuka kelas pendidikan umum mulai tingkat KB (Kelompok Bermain), TK, SD, SLTP Plus, juga mengelola TKA, TPA, TQA serta LP4A (sekolah Agama). Baik bidang umum ataupun agama, YPSA mempunyai suatu pendidikan ektra kurikuler seperti Moslem Children Centre (MCC, Language Development Centre (LDC), Arithmatika Sampoa Centre (ASC), Computer Training Centre (CTC) lengkap tersedia semua di sana. "Demi termewujutnya harapan melahirkan generasi berakhlaqul karimah dan berprestasi akademis yang profesional untuk siap tampil dalam zaman yang mampu memadukan aspek ke-Illahi-an yang bersumber pada Al Quran dan Sun- nah Rasul, itulah dasar pemikiran kami mendirikan YPSA dengan menggunakan kurikulum Islam dan umum secara konprehensif, modern, sensitif dan tanggap terhadap perkembangan zaman serta berpedoman kepada Kurikulum Diknas, Kurikulum Agama dan Kurikulum Lokal," ujar Drs.H.Sofyan Raz, Ak, MM selaku Ketua Pembina YPSA yang pensiunan Dirut PTPN II sambil menyebutkan de- ngan menggunakan konsep 'Leaning by Doing Methods' dan konsep Leadership' maka diyakini para siswa/i mudah menye- rap pelajaran dengan baik tanpa terpaksa. Dari sekian banyak kerja sama dan program tepat guna yang dilakukan YPSA salah satu yang paling bermakna adalah jalinan kerja sama dengan pihak King Khalid Islamic College of Victoria, Merbour- ne, Australia. Kerja sama tersebut sudah terpatri dalam suatu MoU (Memorandum of understanding) yang ditandatangani 18 November 2000 lalu, dan sampai kini YPSA juga dipercaya sebagai perwakilan KKIC bagi penerimaan murid baru yang akan belajar di KKIC Australia. Bagi lulusan YPSA tak perlu lagi testing karena langsung diterima di KKICC Australia, sebaliknya untuk lulusan sekolah lain diharuskan mengikuti testing, karena sudah suatu keharusan, terutama menyangkut penguasaan bahasa Inggeris," ungkap H.Rizal Amiruddin. Menyangkut penerimaan murid baru 2002/2003 ini, pihak YPSA mengakui masih membatasi penerimaannya untuk masing masing tingkatan. Bila dibanding- kan untuk kesemua tingkatan, Kelompok Belajar (KB) tercatat paling membatasi diri dengan hanya menerima 40 murid saja, sedangkan TK, SD dan SLTA masing masing menerima 75 siswa. H.Rizal Syamsuddin pun mengakui, pembatasan itu akan semakin memacu peningkatan mutu pendidikan di YPSA sejalan dengan kehadiran tenaga pengajar berpredikat S-1 dan S-2 untuk semua ting- katan, terutama tingkat SLTP. Bagaima- napun ada kalangan orangtua murid me- rasa kecewa dengan pembatasan tadi, ka- rena bisa-bisa tak kebagian formulir ketika hendak mendaftarkan putra-puteri mere- ka dengan terpaksa mencari sekolah lain. Aidi Yursal Cara berpikir formalistis ini pun meracuni mahasiswa yang hanya memandang penting diperolehnya nilai, ijazah dan gelar akademik yang dianggap sebagai jaminan bahwa dia adalah lulusan perguruan tinggi. Jadi, dengan berbagai cara para mahasiswa ini akan mengupaya- kan untuk memperoleh "jimat ajaib" berupa gelar akademik. Selanjutnya atas dasar cara berpikir formalistis inilah seseorang yang telah memiliki ijazah kelulusan. Kemudian menggunakannya untuk memasuki lapa- ngan pekerjaan ataupun sebagai bahan utama untuk menaikkan pangkatnya. Dan memang dunia kerja dan dunia usahapun dalam persyaratan penerimaan karyawan dan persyaratan untuk menduduki jabatan tertentu, khususnya di kantor pemerin- tahan, banyak yang hanya mensyaratkan hal-hal yang formalistis seperti ijazah, surat kelakukan baik dan lain-lain. Budaya komersialisasi Selain cara berpikir formalitas, faktor utama lainnya yang turut "merusak" mutu pelayanan pendidikan tinggi adalah upaya komersialisasi terhadap apa saja yang mungkin dilakukan, yang diakibatkan oleh makin maraknya materialisme dan penghargaan yang terlalu berlebihan terhadap kebendaan. Rasanya bukan hal aneh bagi kita, bahwa saat ini, apapun yang dimiliki oleh seseorang dapat diko- mersialkan seperti jabatan, kedudukan, status, kewenangan, pekerjaan, tubuh sendiri, anak, istri, tetangga, harga diri, agama, amanah dan kepercayaan orang lain. Atau fasilitas sering digunakan dan "dijual" demi materi, harta dan kekayaan. Tentu saja budaya komersialisasi ini menjalar juga ke kampus, sehingga tidak jarang di kampus pun terjadi apa yang dinamakan dengan komersialisasi nilai ujian, komersialisasi keputusan, layanan akademik, layanan administrasi, ijazah, skripsi, bimbingan, rekomendasi, komer- sialisasi jabatan dan berbagai komersia- lisasi lainnya. Selanjutnya, "cara berpikir pintas" juga menyusup ke dalam dunia pendidikan tinggi dan turut merusak mutu pendidikan kita. Sudah menjadi semacam budaya baru di tengah-tengah masyarakat bahwa orang lebih cenderung menggunakan jalan pintas untuk mencapai tujuannya serta merea- lisasikan ambisinya. Untuk menjadi seorang artis atau penyanyi, seorang calon melalui jalan pintas rela menjual harga wwwwww dirinya, termasuk mengorbankan kehormatannya. Seseorang yang ambisi untuk men- duduki jabatan tertentu pun, lebih senang menggunakan jalan pintas baik dengan uang maupun dengan pengerahan massa, kalau perlu dengan kekerasan dan pem- busukan terhadap orang lain. Padahal sebetulnya untuk dapat menduduki suatu jabatan, akan lebih logis jika dicapai dengan menunjukkan prestasi dan kualitas dirinya. Hal demikian juga terjadi di kampus di mana mahasiswa dapat melakukan cara-cara yang keliru untuk mendapatkan kelulusannya. Demikian juga halnya dengan dosen yang untuk kenaikan golongan akademiknya dapat saja dengan menjiplak, memplagiat, ataupun cara- cara lain demi memperoleh nilai kredit untuk kenaikan golongan. Faktor selanjutnya yang berakibat pada kemerosotan mutu pembelajaran adalah semakin permisifnya komunitas kita terhadap pelanggaran dan penyimpa- ngan. Sehingga pelanggaran dan penging- karan akan nilai-nilai akademis pun menjadi sesuatu yang sudah harus dimak- lumi bahkan apabila hal-hal tersebut dipersoalkan, orang yang mempersoalkan dianggap kaku, sok idealis dan lain-lain. Ungkapan-ungkapan "kalau kesalahn kecil begitukan tidak apa-apa," "memang sebaiknya kita tidak boleh pelit untuk memberikan nilai," "kasihankan sudah angkatan lama, luluskan saja," "untuk mahasiswa bekerja kita harus fleksibelkan dalam nilai," serta ungkapan-ungkapan lainnya. JUMAT, 19 April 2002 10 Sebaliknya, jika kita tegas akan dianggap sebagai dosen kaku, sok idealis dan lain-lain. Jika hal ini berkelanjutan, untuk masalah-masalah besarpun nantinya akan semakin mudah ditolerir. Akibat berbagai faktor tersebut, kita tidak jarang menemukan civitas akade- mika (dosen dan mahasiswa) yang dalam tindakan dan perilakunya bertentangan dengan etika ciri masyarakat kampus, yang seharusnya senantiasa berorientasi kepada keilmuan, bersikap dan bertindak objektif, jujur baik terhadap dirinya maupun orang lain. Kemudian menjun- jung tinggi idealisme, menghargai pendapat orang lain, mengutamakan rasio dan nalar, dan sifat-sifat lainnya. Namun yang sering kita temui adalah hal sebaliknya, yaitu dosen yang bekerja sebagai tenaga pengajar semata-mata berorientasi kepada pendapatan; yang tidak adil, tidak transparan dan tidak jujur kepada mahasiswa; yang malas mengem- bangkan kemampuannya apalagi bidang ilmu yang ditekuninya; memandang maha- siswa sekadar sebagai bawahannya, tidak mau tahu akan keadaan mahasiswanya, marah jika dikritik ataupun didebat oleh mahasiswanya. Merasa kebenaran adalah miliknya sendiri, jumlah jam mengajar melebihi kemampuannya dan lainnya. Kehancuran dunia pendidikan Selanjutnya, kita juga sering menemu- kan mahasiswa yang malas belajar dan orientasi dalam kuliah hanya untuk ijazah. Dr Syukur Kholil Dalimunthe MA SIAPA duga kalau anak petani dilahirkan nun jauh dipelosok sana kelak meraih titel Dokter Komunikasi. Tapi itulah yang dialami Dr Syukur Kholil Dalimunthe MA lahir di Tanjung Botung, Kecamatan Barumun, Tapanuli Selatan, 9 Februari 1964, anak bungsu dan satu-satunya laki-laki hasil perkawinan suami istri, M Mohd Din Dalimunthe (81) dan Siti Agun Siregar (Alm) itu berhasil menyandang gelar "Doctor of Philosophy (Ph.D) dalam bidang komunikasi, setelah berhasil mempertahankan sertasi berjudul "Penyiaran Agama, Penggunaan Media dan Kepuasaan Khalayak Penonton Rancangan Agama di TV: Kajian di Medan, Indonesia" tanggal 2 April 2002 di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Penguji luar external examiner Prof Mayda Dr Mohd Saleh Hasan, dari Universittas Putra Malaysia (UPM), dan ahli Jawatan Kuasa, Prof Madya Dr Asiah Sarji dari UKM, setelah mempertimbangkan bebagai aspek memutuskan dia lulus dengan 'cemerlang" (Cumlaud). Menurut pengakuannya, mulanya dia tidak pernah membayangkan untuk mengikuti pendidikan S-2 dan S-3. Berdasarkan keadaan ekonomi orangtua hanya petani sawah tadah hujan, tamat S-1 saja sudah alhamdulillah. Apalagi semangat belajar orang di kampung sana sangat lemah, jarang mau susah sekolah. Tapi bagi Syukur (panggilan akrabnya), susah senang selama sekolah sudah dianggap asam garam kehidupan, dan menantangnya lebih giat lagi. Prinsip utamanya kesungguhan dan kesederhanaan' bagaimana memanfaatkan dana sedikit tapi hasil memuaskan. Prinsip itu tetap dipegangnya, sehingga dalam usia 23 tahun berhasil meraih Sarjana S-1 tercepat dan termuda untuk program non-ŠKS di Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN SU Medan tahun 1987. Pada tahun yang sama dia diangkat sebagai Asisten Dosen oleh Dr H Mohd Hatta (Kakanwil Depag Propsu sekarang) ketika itu sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah SU. Tahun berikutnya dia jadi dosen Fakultas Dakwah IAIN SU sampai sekarang. Katanya, perkembangan ilmu dan dunia pendidikan begitu cepat. Sebagai dosen tidak relevan lagi melanjutkan jenjang pendidikan S-1. Tuntutan profesi mendesaknya untuk melanjutkan pendidikn S- Jika ini yang terjadi tentu saja, untuk masa yang akan dantang, bukan pening- katan mutu perguruan tinggi yang dida- patkan, tetapi sebaliknya mungkin akan lebih para daripada apa yang kita peroleh saat ini. Kekhawatiran ini ditambah lagi dengan keluarnya keputusan Menteri Pendidikan yang telah memberikan kewenangan yang sebesar-besarnya bagi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta untuk mengatur dirinya sendiri. Jadi, baik penerimaan mahasiswa' baru, proses pembelajaran, evaluasi, sampai kepada penerbitan ijazah semua sudah dilakukan sendiri oleh perguruan tinggi masing-masing. Pemerintah telah melepaskan seluruh kewenangannya selama ini dalam penyelenggaraan pendi- dikan tinggi, kecuali pengawasan. Di satu sisi, memang kebebasan ini dapat dianggap sebagai anugerah dan sepertinya sejalan dengan semangat otonomi perguruan tinggi. Tetapi hal ini juga bisa menjadi bumerang terhadap mutu perguruan tinggi, yang dikhawa- tirkan akan semakin memudahkan terja- dinya penyelewenangan dan penyim- pangan terhadap nilai-nilai akademik dan keilmuan. Dengan kondisi seperti selama inipun, sudah banyak sekali nada-nada miring yang ditujukan terhadap kinerja dunia pendidikan tinggi, apa lagi dengan ke- bebasan seperti yang diberikan sekarang ini. Jika para pengelola dan pimpinan perguruan tinggi adalah orang-orang yang memegang teguh kebenaran dan idealisme pendidikan, memang kekhawatiran tersebut tidak perlu ditakuti. Namun jika para pengelola, pimpinan, dan insan kampus adalah orang-orang yang telah ditulari oleh penyakit cara berpikir formalistis, komersialisasi, materialisme, jalan pintas, dan orang yang permisif terhadap pelanggaran, maka kehancuran dunia pendidikan tinggi tinggal menunggu waktu. Untuk jalan keluarnya, rasanya perlu dibentuk Komisi Pendidikan Daerah (KPD), baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota yang tugasnya termasuk memonitoring kinerja perguruan tinggi sebagai mana diusulkan oleh Ahmad Dayan Lubis. Keanggotaan dari sebaiknya diambil dari berbagai unsur masyarakat serta dari pemerintah yang dianggarkan melalui APBD. Selanjutnya dalam menjalankan tu- gasnya KPD ini harus diberikan kewena- ngan dan otonomi luas termasuk kemu- dahan untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Dalam menjalankan tugasnya KPD ini dapat melakukan sara- sehan pendidikan jika memang dibu- tuhkan, sebagaimana digagaskan oleh Meida Nugrahalia. Anak Petani Meraih Titel Dokter 2 sesuai bidangnya (komunikasi). Akhirnya diterima di Jurusan Komunikasi Fakultas Sain Sosial dan Kemanusiaan, Universitas Kebangsaan Malaysia TA 1995/1996. Peluang diberikan UKM tidak di sia- siakannya. Demi untuk belajar sebagai salah satu bentuk jihad fi sabilillah', beliau rela meninggalkan istri tercinta Ernawati Siregar SE, dan kedua anak tersayang, Maulana Andinata Dalimunthe dan Nisaul Fadilah Dalimunthe (ketika itu belum TK). Bermodalkan prinsip kesungguhan dan kesederhanaan tadi, dia juga berhasil meraih 'Master of Arts' (MA) tercepat (satu tahun 8 bulan) jalur kuliah dan tesis di Jurusan Komunikasi, UKM, IPK 3,45 (Yudicium Memuaskan). Menurut dia, belajar di negara orang nama baik bangsa harus dijaga. Kita dipandang sebagai pencerminan berjuta-juta penduduk Indonesia. Tunjukkan bahwa kita bangsa bermartabat, ulet, tekun dan rajin. Dia mengakui selalu berusaha membuat dosen merasa puas. Contoh mengkerjakan semua tugas dengan rapi dan baik, serahkan sebelum batas akhir, usahakan tercepat agar duluan dibaca dosen. Prinsip ini menurut dia mujarab terutama menumbuhkan kepercayaan dosen. Ternyata dua bulan sebelum tamat S-2, atas jaminan pembimbing sudah ditawarkan mengikuti S-3. Menurut Syukur tantangan yang paling berat dialaminya ketika puncak karir kriris moneter tahun 1998. Banyak mahasiswa Indonesia di Malaysia terpaksa menunda kuliah ke dalam negeriu. Dia mengakui sempat menunda kuliah satu tahun (1998), sebab uang kuliah naik dari Rp 1.200.000 menjadi Rp 18.000.000, satu tahun, sudah nilai rupiah anjlok uang kuliah di UKM naik sekitar 400 persen - 600 persen katanya. Mulanya dicobanya bertahan, namun musibah beruntun datang. Pada tahun 1998 istri juga kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari BDNI Cadang Medan, tahun yang sama kedua mertua; Letkol (Purn) H Syamsuddin Siregar dan Hj Nurhanifah Pakpahan meninggal dunia dalam jarak 100 hari. Tiada jalan kecuali menunda kuliah satu tahun, katanya. Pertengahan 1999 kuliah dimulai kembali dengan menjual harta benda untuk menangggulangi biaya. Setelah melalui berbagai tantangan sangat pahit, akhirnya tanggal 2 April 2002 berhasil menyelesaikan Program S-3. Dia mengakui masih alumni ke 3 sebagai Dokter di Jurusan Komunikasi, UKM, setelah Prof Madya Dr Mohd Safar Hashim dan Prof Madya Dr Asiah Sarji (keduanya menyelesaikan S-2 di Amerika, sekarang dosen Komunikasi, UKM. Menurutnya, setiap tahun rata-rata diterima satu orang mahasiswa S-3 di Jurusan Komunikasi, UKM. Namun tidak selesai karena berbagai faktor, terutama faktor kesabaran dan ketahanan mental mengikuti pendidikan bertahun-tahun. Dr Syukur saat ini dipercayakan sebagai Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN SU Medan. Beliau punya semangat tinggi untuk mengembangkan ilmu komunikasi terutama menurut perspektif Asia. Selama ini, menurut beliau, teori-teori komunikasi sangat berbau barat, banyak tidak seuai dengan perspektif ketimuran khususnya Islam, dan ini rencana tugas utama saya, tandasnya. Semoga. (rel-m/13) Color Rendition Chart WASPADA UNJUK RASA BBM. S tanah berunjukrasa, di he Surabaya, Jatim, Kamis ( dari unjukrasa tersebut IMF Ca JAKARTA (Antara):) kilan IMF untuk Indonesia Nellor menyatakan, rapa pinan IMF akan dilakuka bulan April ini untuk mer hasil review LoI ke-V. "Setelah rapat pimpin. menyelesaikan pertemu Indonesia bisa langsung m pinjaman pada akhir bul. kata Nellor usai mela PT.MK MEDAN (Waspad Monagro Kimia yang be di Jalan Sei Belutu Medar keras melakukan manip jak perusahaan sehingga dirugikan miliaran rup Dalam operasionalm telah berjalan lima ta daerah ini, kata sumber V di Medan, Kamis (18/4). juga tidak pernah mencam nama perusahaan di depa tersebut sehingga Pemk juga dirugikan dan mer pendapat asli daerah "PT MK sengaja tida gunakan plang merek u ngelabui operasionalnya pihak terkait di daerah dia yang minta naman dituliskan. Hal ini dilaku terha-dap distributorm divisi pemasaran produl PT.BS Medan di Jalan S Medan. Dalam operasionaln Kadinda Sertifikas LHOKSEUMAWE pada): Ketua Kadinda Ace Drs M Basri Yusuf meng tahun depan pihaknya tid mengeluarkan sertifikasi te perusahaan bermasala tahun 2002 ini. Hal tersebut ditegas depan para pengusaha e yang tergabung dalam be asosiasi pada acara temu Balai Cendana Kamar I & Industri Darah (Kadin tempat, Jln Merdeka Lh mawe, Rabu (17/4). Sebagai langkah awa saat pendaftaran perus tahun 2002 beberapa bul HIPPI Sur MEDAN (Waspada): H nan Pengusaha Pribumi Ind (HIPPI) Sumut bekerja dengan PT Bank Rakyat Ind (BRI) akan memberdayak ngusaha lemah melalui p katan Usaha Kecil, Meneng- Koperasi (UKM) di daera "Kita memprioritaskar ngan pengusaha lemah yan ma ini kekurangan modal, r memiliki semangat dalam saha," kata Ketua HIPPI S Ferdinand Simangunsong C pingi Sekretaris Drs Tahan. han Panggabean kepada p Medan, Rabu (17/4). Menurut Sekretaris Sumut, Drs TM Pangga melalui kerjasama denga yang sudah ditandatangani nota kesefahaman di Jaka Januari 2001 antara Ketua HIPPI, Drs Suryo B Sulistiy Dirut BRI Rudjito SE, para p saha lemah harus memanfa KUKM M MEDAN (Waspada): Ko Usaha Kecil dan Menenga KM) diyakini mampu men baiki perekonomian keraky karena itu pemerintah selay mempertebal komitmen terl sektor ini sekaligus membe iklim yang lebih kondusif u tumbuh dan berkembang Hal itu dikemukakan Tim Independen Nasional P (HC) Hardi Kirawan menj wartawan di Medan, Rabi 4). "Pada masa lalu KUKM san kurang maksimal diper kan oleh pemerintah. Pad di banyak negara telah ter bahwa sektor ini lebih mamp tahan saat perekonomian di krisis," tuturnya. Meski begitu, lanjut H saat ini tidak perlu lagi salin nuding apalagi saling meny kan kenapa KUKM pada lalu maupun hingga saat ini r terseok-seok perkembanga di negara ini. "Kalau kita h