Tipe: Koran
Tanggal: 2002-04-28
Halaman: 04
Konten
4cm SIARAN MINGGU WASPADA @-d-e-g-@-n Oleh Adi Mujabir Si-Sade (Nilai-nilai kemanusian akan selalu hadir dalam kecamuk apa pun, walau dari segelintir orang. Karena itukah Sade di penjarakan?) Di daerah pinggiran itu muncullah istilah "Si Sade". Singkatan "Siap Seadenye". Tak perlu menggugat, siapa memulai istilah itu. Yang pasti, kata ini semacam ekspresi kebebasan dari sebuah komunitas; sekumpulan yang menganggap dirinya seniman musik, menghibur dengan iringan keyboard dan menampilkan penyanyi perempuan dengan busana seksi plus gaya yang erotis. Terlanjur ada, orang-orang menyebut komunitas ini adalah "keyboard Porno". Tak tanggung, puluhan group keyboard ini memiliki "anutan-hibur" yang serupa, penyanyi harus cantik, tampil seksi (kalau perlu pakai celana dalam dan beha doang) dan sanggup bergoyang erotis (ala senggama), dan tahan sampai pagi. Setiap Malam Ahad, di daerah pinggiran kota Medan ini akan selalu ada pertunjukan Keyboard Porno itu. Di gang kecil, pinggir jalan raya, di halaman sebuah kantor ormas, di halaman rumah penduduk. Sebuah hajatan yang dulu kental dengan doa-doa, kini harus terbumbui dengan adegan hiburan seperti ini. Singkat kata, kata "Si Sade" tadi menyeruak dari mulut penonton saat malam kian larut dan penari bergoyang erotis, begitu juga sebaliknya. Siap seadanya? Ya. Itu sebuah anutan warisan masa lalu. Warisan leluhur yang mengajarkan masyarakatnya hidup bersahaja. Tidak ngoyo atau takabur. Namun pada perkembangannya, Siap seadanya, menjadi sebuah simbol. Menjadi sebuah "kesepakatan", bahwa kita bisa menari bebas di pentas ini, tampil seronok, tanpa ada yang merasa bersalah. Siap seadanya? Ya. Siapa peduli. Ketika malam kian larut penonton butuh erotisme dan menari. Kita adalah artis: orang menganggap kita dan menonton, kemudian orang-orang ikut menari dan menelan pil setan. Biar! Peduli apa? Bukankah majalah, tabloid, televisi juga menampilkan hal yang seronok? Bukankah di diskotek, di kota-kota besar sering terdengar ada berita tentang razia ekstasi, razia pornografi? Tapi tatap saja muncul lagi. Menyaksikan sebuah malam di desa-desa pinggiran kota Medan, khususnya di daerah ini, ada sebuah gebalau yang semakin liar. Ada kekosongan yang sengaja dibiarkan. Tapi oleh siapa dan siapa yang memulai mengisinya? Saya tak tahu. Yang saya tahu, peran setiap orang sudah menjadi kabur. Orang-orang sudah menjelma dan merebut peran yang sama; populer dan harta. Menyimak malam di desa-desa terpencil di daerah ini, Saya jadi teringat kisah seorang bernama Marquis de Sade. Ia sastrawan Prancis abad ke 19. Mungkin ialah sastrawan novel porno yang pertama di dunia. Di benaknya selalu berobsesi prihal seksualitas. Novelnya 120 Days Sodom memaparkan imaji teramat purba tentang orgi. Penuh pesta seks. Terkadang kita merasa seks yang ia paparkan tak masuk akal. Apakah kita, manusia biasa ini, bisa melakukannya? Mungkin karena itu pula, seorang Napoleon mengirim Sade ke penjara Charenton. Ironisnya, di penjara sade terus mengekspresikan karya-karya pornonya itu. Kebengalan soal erotis Marquis de Sade diangkat ke layar putih oleh Philip Kaugman dengan judul Quails (tahun 2000). Diperankan Aktor Australia Geoffrey Rush. Di sini kegilaan Sade ditampilkan begitu menakutkan. Suatu saat Sade meludahi kitab suci di depan pastor. Kemudian ketika pena dan alat-alat tulisnya dirampas, Sade menggunakan darahnya untuk menulis keliaran imaginya tentang porno. Pada dinding penjara Sade menggunakan kotorannya untuk terus menulis karya erotis itu. Apakah yang menarik dari kisah Sade ini? Mungkin sebuah kebebasan akan melahirkan sebuah kegilaan. Sebaliknya, kegilaan memang membutuhkan kebebasan. Nilai-nilai kemanusian akan selalu hadir dalam kecamuk apapun, walau dari segelintir orang. Karena itulah barangkali, Sade dipenjarakan. Tapi bagaimana dengan Si Sade yang satu ini? Ketika para penonton berteriak "Siap seadenye" dan dibalas si penghibur "Ya, siap seadenye". Akh, malam. Siapa yang sesungguhnya merampas selimut dan baju-bajumu? Abrakadabra Puisi Yus n Fla Bumiku Tandus Ingatlah... langit tiada retak sedikitpun gunung terpancang teguh biji-bijian yang berkulit Rasakanlah... kayu yang hijau p bunga yang harum baunya kebun-kebun jeruk dan anggur Berbahagialah... angin menggerakkan awan membentang dan menggumpal dan turunlah air dari langit Ketakutan dan harapan telah terbungkus oleh ambisi dan sembunyi entah di mana Desah Nafas Bintang jatuh berserakan pendarkan cahaya ke pangkuanku merasakan jiwa yang mati terbenam utuh dalam ingkar Ibarat bahtera berlayar di lautan membelah ombak di pekatnya malam pendengaran, penglihatan dan hatiku telah hancur bersama tanah Dedaunan berbisik sendu lirih bernyanyi kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan dunia Apabila nafas telah berdesah yang segera binasa karena masa adj Tour 2002 Gadis Berpita Merah Cerpen Dini Usman GADIS itu tenggelam dalam gelombang manusia. Perempuan dan hanya sedikit laki-lakinya. Mereka menuntut pelaku pelecehan seksual yang dialami rekannya untuk diusut dengan jujur dan adil. "Kami menuntut pelaku pelecehan seksual dihukum berat. Pelaku pelecehan seksual itu sama dengan binatang! Kaum perempuan manapun dan di manapun menuntut hukum di- tegakkan di negeri ini. Pelecehan seksual adalah kekerasan. Semua kekeras- anharus dihapuskan. Semua manusia tanpa pandang jenis kelamin harus seta- ra dan sama di depan hukum. Tuntut WALAU pada awalnya Nova, demikian panggilan akrabnya, mengaku dunia fotografi itu menarik minatnya saat kuliah di STIKP Medan, namun keseringannya untuk mengikuti berbagai pameran foto membuat ia seakan menemukan dirinya. Bahwa dunianya memang dunia fotografi. Artinya, Nova tak lagi menganggap dunia fotografi yang digelutinya sekedar hobi tapi telah menghadirkan "sebuah hidup yang lengkap" Nova yang juga sering menulis artikel ini sudah puluhan kali melakukan pame- ran foto baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dari pengalamannya dan semangat yang ada dalam dirinya, tak ada salahnya redaksi menurunkan dialog di bawah ini. d-i-a-l-o-g Dunia fotografi di Sumut masih merupakan hal yang terbilang langka. Demikian juga bila mencari seorang fotografer perempuan. Seniman perempuan yang mengakarabi dunia fotografer secara serius di Sumut hanya bisa dihitung dengan jari. Linova Rifianty (foto), adalah satu sosok fotografer perempuan di ranah kesunyian itu. Perempuan kelahiran 1971 ini secara perlahan mengukuhkan jejaknya di dunia kesenian ini. keadilan dan kesetaraan!" Berbagai istilah perjuangan gender bergema dari mulut para feminis muda dari berbagai kampus. Seorang gadis ber- pita merah tampak sibuk hilir mudik. Barangkali karena letih, dia mencari tempat duduk di antara deretan pohon-pohon di sekitar arena demonstrasi. Ia mengeluarkan secarik kertas dari kantung jaketnya yang terlihat lusuh dan kumal. Lalu dia beranjak ke tengah gelanggang. Salah seorang kawan memberi toa pengganti microfon untuk ber- orasi dan baca puisi. "Kawan-kawan, tidak ada secuilpun harapan yang bisa diharapkan dari sistem T: Apa Konsep hidup anda? J: Hidup adalah ibadah, hidup adalah hadiah... mengingat kata ibadah & hadiah itulah kenapa semua hal-hal mendetil tentang hidup ingin saya rekam melalui sebuah kamera. Menjalani kehidupan sehari-hari dengan kamera merupakan hal lain. Bahu kanan saya jauh lebih kekar dari yang kiri, karena bawaan kamera bisa sampai 10 kg karena selalu ditentang di lengan kanan. T: Awal ketersentuhan dalam dunia foto? J: Fotografi kalau cuma sebuah hobi merupakan sebuah pengeluaran yang besar. Tidak bisa hidup dengan cara yang jeprat jepret saja. Fotografi harus jeli menutupi biaya perongkosannya. Harus cermat, jika tidak pekerjaan itu cuma pemborosan yang membabibuta. Dulu memotert saya imbangi dengan menulis artikel. Setelah mendapat honor baru saya belikan stok film. Saat menjelang pameran, saya pinjam uang Mama untuk biaya pembesaran film dan bingkai, begitu saya punya uang pinjaman itu saya bayarkan, tapi beliau selalu me- nolak bayaran saya. Mama terus membantu perjuangan saya dengan foto. T: Sudah Menikah, Ya? J: Tahun 1993 saat masih kuliah ditingkat III saya dilamar lewat surat, suami saya berkebangsaan Jerman sebelumnya sedang menyiapkan pekerjaan akhir untuk mengambil master geografinya di Indonesia. Awalnya kita cuma bersahabat SEBELUM tahun 70-an, teater modern di Medan belum tersentuh secara menye- luruh oleh olesan teater modern. Seiring kepulanga Rendra tahun 1969 ke Indo- nesia dari banting tulangnya di negeri Paman Sam, mungkin telah membawa war- na baru bagi perteateran di Indonesia ter- masuk di Medan. BUDAYA Beberapa kelompok teater waktu itu yang masih membekaskan namanya hingga kini, seperti Teater Nasional pimpinan Burhan Piliang, Teater Nuansa pimpinan Barani Nasution, Lingkaran Artis pimpinan Aripin Kid, telah membuka wacana baru bagi perteateran di Medan. Setelah itu embrio-embrio yang cukup solid, seperti Teater Imago pimpinan D.Rifai Harahap, Teater Kita pimpinan Dahri Uhum Nst, Teater Gionysus pimpinan Leny Syahresa, Teater Nuansa Utama pimpinan S.Dalimunthe, Teater Sangkuriang pim- pinan Burhanuddin Nst, Shakuntala pim- pinan Ahmad S, Kolibri pimpinan Suheri tapi setelah ia kembali ke negaranya kita merasa lebih dekat dengan berhubungan lewat surat. Orangtua saya pada waktu mengizinkan saya menikah tapi kuliah harus jalan terus. Mereka mengatakan jauh lebih aman menikah saat itu dikare- nakan suami saya yang orang asing. Mere- ka merasa tidak nyaman dengan pengli- hatan lingkungan & takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. T: Tema Foto yang sering anda paparkan apa? J: Dunia foto saya semakin memiliki kesempatan memotret alam bebas karena pekerjaan suami saya yang selalu di la- pangan, di alam. Tahun-tahun awal perni- kahan, saya banyak memotret alam. Tema-tema foto bertukar terus sejalan dengan kehidupan yang saya jalani. Saat saya bekerja di media massa saya memotret foto-foto berita, ketika bekerja di Badan Warisan Sumatra saya banyak memotret bangunan atau arsitektur, saat memiliki anak, objek foto saya pun habis-habisan dituangkan pada si kecil, kini mengabdi di Habitat Seni LAKLAK saya lebih banyak memotret foto-foto seni pertunjukan. Semua pengalaman ini memberi perasaan-pera- saan tertentu saat melihat kembali hasil- hasil pemotretan. Seperti mengembalikan perasaan saya kembali ke waktu pengambil foto-foto itu. T: Di samping fotografi, aktifitas lain? J: Kuliah, bekerja dan menjadi ibu. Pada saat itu kuliah, menikah, bekerja sebagai penulis lepasan, dan kemudian memiliki anak merupakan sebuah hidup yang lengkap menurut saya. Membagi wak- tu juga harus jeli, hingga kini saya membuat keputusan saat memulai suatu pekerjaan, mana yang lebih prioritas. Untuk anak saya selalu berusaha menghabiskan waktu sebanyak mungkin. Waktu-waktu saya sangat berharga sekali, saya hampir tidak pernah berdiam diri apalagi saat ini saya sedang menyiapkan satu buku tentang Fotografer Indonesia yang menjadi satu beban tambahan selain bekerja. Untuk itu, begitu ada waktu kosong banyak hal yang ingin saya jalani dengan si kecil, saya selalu berusaha lungkan waktu tiga kali seminggu lari sore di lapangan olah raga Di akhir 70-an ke 80-an kelompok teater lainnya, seperti Teater Nusantara pimpinan Rifi Hamdani, La Deli dan Patria pimpinan Amiruddin AR, Teater LKK IKIP Medan, Teater ladang, Teater 'O'USU, Teater Mer- deka pimpinan YS.Rat, teater Q pimpinan Porman Wilson, D'Lick teater Team pim- pinan Yondik Tanto, Siklus pimpinan Hafiz Ta'adi, Teater Blok pimpinan Afrion juga ikut membuka khasanah walaupun dari segi jumlah kelompok teater dibandingkan tahun 70-an justru mengalami penurunan ditambah teater Chandra Buana, Mahameru pimpinan Doni Trisno Suhaimi dan beberapa lagi yang mungkin tidak Salah satu pementasan teater Medan masyarakat kita sekarang. Penindasan keluarga yang kami nilai sangat mengikat menjadi sesuatu yang biasa. Ketidakadilan dan cenderung memaksakan kehendak. merata di mana-mana. Hukum bisa diperjualbelikan. Para perempuan tidak mempunyai akses dan kesempatan yang sama dalam partisipasi politik, kecuali sebagai penonton dan objek sasaran. Hari ini, seorang kawan kita diperlakukan seperti binatang. Dia mengalami pelecehan seksual dari seorang dosen. Kawan-kawan semua tahu, bahwa siapapun tak berhak melaku- kan praktek kekerasan. Seorang pendidik yang diharapkan menjadi tauladan, ternya- ta dengan sangat semena-mena dan tak merasa bersalah melakukan pelecehan sek- Ratna diam tak bergeming. Aku kha- sual pada salah seorang teman kita di watir pertanyaanku membuatnya resah. hadapan mahasiswa-mahasiswa lain di Kupegang tangannya, dia menyambut dan depan kelas. Apakah kawan semua mem- memelukku. Aku kaget dan cuma bisa diam biarkan hal itu terjadi? Apakah kita sudah menunggu reaksinya. Sambil terisak Ratna tuli hingga membiarkan pelaku memper- berkata, "Memang kakak iparku itu baik, mainkan statusnya sebagai dosen untuk tapi dia suka memegang buah dadaku jika penindas kita? Itu baru satu contoh, belum aku tidur. Dia sering mencium dan memeluk lagi kalau kita teliti bahwa hampir semua dari belakang kalau aku di rumah. Kakakku perempuan di negeri ini mengalami praktik yang kandung itu sangat cerewet dan sering kekerasan seksual, politik, rumah tangga, marah, kemarin dia tampar mukaku gara- "Kau tahu tidak, kakakku sering marah dan akhir-akhir ini dia suka memukulku." "Ah masa, dia tak kejam kan?" Tanyaku memastikan. Ratna diam, matanya terlihat berair. "Memang tak enak kalau kita ikut orang lain," tambahnya sedih. "Lho, dia kan bukan orang lain. Dia kakakmu kan- dung." "Ya, tapi yang disebelahnya bukan, dia abang ipar." "Emang kenapa dengan iparmu, kulihat dia baik. Kemarin dia memberi pinjaman uang pada pamanku. Kata paman untuk membeli sapi. gara aku dituduhnya mengambil uang simpanan di lemari." Aku terdiam dan tak menyangka kalau Ratna sering mengalami kekerasan di rumah. Aku pun memeluknya. dan kekerasan dari negara dan kekerasan yang dilakukan baik oleh sesama kaumnya apalagi dari kaum laki-laki. Hal ini disebab- kan sistem kita sangat rapuh dan lemah. untuk menyadarkan kita semua. Untuk itu, hapuskan sistem penindasan yang menghambat penegakan hukum! Mari kita galang persatuan kaum perempuan untuk menuntut keadilan. Tuntut keadilan, hu- kum pelaku pelecehan seksual!" Kalimat- alimat yang diucapkannya memberi se- mangat kepada massa yang hadir tak kurang dari dua ratus lima puluh orang demonstran. Mereka memekikkan semangat perjuangan dan pembebasan. Keadaan yang diceritakan gadis lugu ini sebenarnya sangat biasa terjadi. Teruta- ma pada rumah-rumah sempit yang disewa buruh pabrik industri misalnya. Rumah petak murah dan kecil. Semua anggota ke- luarga tidur di satu ruangan. Kondisi sema- cam itulah yang memancing prilaku keke- rasan seks terjadi di rumah tangga. Ter- masuk di antaranya adalah hubungan inses. Bapak menyetubuhi anak gadisnya, abang meniduri adik atau ibu atau nenek- nya atau sebaliknya. Kemungkinan seperti itu terjadi di masa lampau. Ketika manusia masih hidup dalam gua-gua sebelum dite- mukan rumah, manusia tak beda dengan spesies lain. "Tak salah lagi," kata hatiku. Dia itu Si Pembangkang. Gara-gara reaksinya yang berlebihan gadis itu sering dimarahi orang tuanya. Terutama kakaknya sulung. Ya, itu dia. Aku mencoba memastikan apakah gadis berpita merah itu adalah Ratna. Percikan air mancur di kolam dekat arena demonstrasi itu membawaku pada peristiwa delapan tahun lalu. Sebuah anak sungai yang jernih airnya mengaliri bebatuan yang kecil-kecil. Membentuk kelok yang panjang. Melewati gelombang beba- tuan tanah menuju tebing curam di ujung desa. Di tempat itu aku dan gadis berpita merah itu sering duduk dan bercerita ten- tang apa saja. Terutama keluhan soal Rombongan demonstran itu akhirnya bubar tanpa respon apa-apa dari pihak rektorat. Kulihat dia duduk sendiri, semua teman-temannya telah bubar. Ya, aku ingin cepat menemuinya dan membuktikan apa- kah benar dia Ratna gadis lugu yang kukenal delapan tahun lalu di sebuah desa tempat kami pernah bermukim. Tiba-tiba bumi tempatku berdiri serasa melambung- lambungkan diriku. Aku sudah berada tepat di hadapannya. Dia terkesima dan mena- Fotograger Linova Rifianty: Ibadah dan Ladang IKIP & ke toko buku seminggu sekali. Meski jarang masuk dapur, kalau si kecil ingin makan masakan kesukaannya saya harus siap sedia kapan pun untuk menjadi koki untuknya. T:Konon karya anda dinilai ada unsur manfaat. J: Jujur saja, kadang-kadang saya merasa sedih, saat orang melihat hasil karya saya langsung saja dihubungkan dengan suami saya yang bule. Ini meru- pakan sebuah perjuangan besar, membuk- tikan pada semua orang bahwa saya menjadi seorang fotografer bukan karena orangtua, suami atau siapa saja. Mereka semua memang sangat memberikan du- kungan dengan karirnya saya, tanpa pengertian mereka, terutama suami saya, apalagi saat saya diundang pameran ke luar negeri, jika bukan karena doa dan izin- nya saya memang bukan berarti apa-apa. Namun perasaan yang ingin saya ungkapkan disini bahwa saya berusaha sendiri dalam banyak hal untuk menun- jukkan potensi dan semua kemampuan saya itu. Bukannya mudah pontang-pant- ing menutupi biaya pemotretan, film, laboratorium dan lain-lain. Saya tidak pernah mencampur aduk- kan keungan keluarga, dengan fotografi, kecuali untuk pemotretan kepentingan dokumentasi keluarga, buat saya fotografi itu ladang saya, yang harus diusahakan sendiri. Butuh waktu lama membiasakan. diri mendengar kementar-komentar yang demikian. Memang inilah yang namanya perjuangan. T: Di samping puluhan pameran, Pameran di USA bisa ceritakan? J: Tahun 1999 saya diundang oleh kumpulan mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program MBA di Indiana University USA untuk pameran foto di acara Islam Awareness Week, sebuah acara tahunan yang diadakan di seluruh kampus di Amerika. Ketika itu saya nekad mengirimkan curriculum vitae saya kepada mereka, menawarkan beberapa foto khas Indonesia, berupa rumah-rumah ibadah, manusia dan alam Indonesia, Alhamdu- lillah mereka setuju mengundang saya. Dengan izin suami dan orangtua akhirnya saya pun berangkat sendiri selama satu Selayang Pandang Teater Medan Sasmita, Teater Karang Taruna pimpinan Nasir Harahap, Kartupat pimpinan Raswin Hasibuan, Profesi pimpinan As.Atmadi, Widyasana pimpinan Amiruddin AR, Kuntum Budaya pimpinan Mansyur S, Gema Semeta pimpinan Erwin Norman Parande, Neo Aries pimpinan A.Rahim. Qahar, telah ikut mewarnai era 70-an. tercatat dalam bentuk kertas kerja atau buku-buku. Penurunan jumlah kelompok itu makin merosot di tahun 90-an dengan munculnya kelompok teater Anak Negeri pimpinan Idris Pasaribu, walaupun mung- kin kita pernah mendengar tentang Teater Alif IAIN, teater Lentera (STIKP), teater SISI (UMSU), tapi toh masih terus menu- run sampai 2000-an dengan munculnya kelompok Teater Padang Bulan pimpinan Thoms on Hs, dan sebagainya. Hanya saja dari sejarah panjang di Medan kita tentunya masih mendengar adanya pembedaan atau pemilahan kelom- pok-kelompok teater, misalnya kelompok teater anak sekolahan, kelompok teater mahasiswa, kelompok teater pedalaman tak ubahnya kasus yang muncul di dunia sastra dan bagi yang hal itu sah-sah saja sepanjang masih dalam garis kompetisi yang positif, bukan persaingan yang negatif dalam rangka menjatuhkan mental lawan sementara kita belum melakukan pembe- nahan-pembenahan dalam kelompok dan nyatanya di tahun 2000-an hal itu terbukti dengan mati surinya kelompok-kelompok teater dalam berproduksi. Beberapa kelompok lagi masih terus berproduksi masih sepanjang pijakan moral dan tanggungjawab dengan kemampuan yang ada, seperti Teater Kartupat, Teater Patria, Teater Siklus, Teater LKK, Teater Padang Bulan, dan sebagainya. Dari rentang waktu yang panjang itu akhir 60-an sampai sekarang beberapa naskah yang sempat menghebohkan masing-masing era nampaknya dari tahun ke tahun juga mengalami kelesuan. Teater Nasional sempat memunculkan Naskah Yuzuru (Jepang) adaptasi Djohan A.Nst dan Tok-Tok yang disutrada.ai Burhan Piliang, Teater Nuansa yang menampilkan Sang Tokoh karya/sutradara Barani Nasution yang pada tahun 2000 juga me- nampilkan Al-Hallaj di Hotel Tiara Medan. Teater Widyasana, yang sempat menjadi polemik di masa itu, memunculkan Wath atawa Jembatan, Yudhistira N.Massardi, sutradara Amiruddin AR dengan jumlah tapku lama sekali. Aku juga berbuat sama. "Mas, Mas Toro...? Anda Mas Kuntoro ya?" Tanyanya setengah tertahan dan terbata. Aku tersenyum dan mengangguk. Dia menjerit dan tak sadar memelukku. Aku kebingungan, sebab masih banyak terlihat orang berkeliaran di sekitar tempat ini. "Mas Toro dosen di sini ya rupanya. Aku kok nggak pernah lihat," katanya sambil melendot manja. Pilihanku untuk ditempatkan pada salah satu perguruan tinggi di kota ini tidak terlepas dari ke- inginanku untuk meninggalkan kota di mana pertama kali aku bercinta dan ternya- ta gagal dengan tragis. Tapi tak disangka aku malah bertemu dengan Ratna, gadis desa lugu delapan tahun lalu kini menjadi demonstran yang menuntut kesetaraan dan hak-hak yang sama di mata hukum. "Ya, saya menjadi dosen di sini agar ketemu dengan kamu," jawabku menggoda. Aku menjadi kagum dengan Ratna. Sosok perempuan yang berani melawan penin- dasan dan suka berdiskusi blak-blakan. "Setengah tahun lalu saya baru menyelesai- kan S2 di ibukota, lalu bekerja sebagai buruh di universitas ini. Aku tak sangka kamu berubah cepat Ratna." Gadis itu ter- senyum dan mencubit lenganku. *** bulan. Ada satu orang Prancis yang juga ber- pameran foto Indonesia di sana bernama Claudine Helle- buyck. Ia memamer- kan foto-foto dari Sulawesi. "Laki-laki pada umumnya ingin mem- pertahankan adat dan tradisi lama. Mereka tak mau berubah karena ingin memper- tahankan posisi sebagai penguasa," kata Ratna sengit ketika kami sepakat bertemu kembali di sebuah cafe pukul enam sore. "Tidak semua lelaki seperti dugaanmu. Kamu terjebak pada sebuah stigma dan jalan berpikir yang sempit. Laki-laki juga banyak yang mengalami penindasan. Sebab penindasan itu dialami oleh semua manu- sia," kataku mengejutkannya. Ratna menye- ruput teh dingin yang tersedia di meja kami. "Itu benar bung Toro, tapi secara kuan- titas perempuanlah yang jauh lebih tertin- das dan menderita akibat sistem masya- rakat kita sekarang. Adat dan tradisi patriarki luar biasa memangkas kesadaran gender. Mas kan bisa lihat dengan mata kepala sendiri. Mas tahu nggak, dari riset yang kubaca terakhir yang dilakukan oleh sebuah kelompok penelitian mengenai perkawinan, sembilan puluh persen dari perkawinan resmi merupakan perkosaan MINGGU, 28 APRIL 2002 4 Ini meru- pakan sebuah pengalaman berharga, pada saat di USA saya merasa usaha- usaha selama ini memberkan hasil, sebelumnya tidak pernah saya ba- yangkan, keluar negri dengan jerih payah sendiri. Kesan yang saya dapat di pa- meran tersebut juga luar biasa, melihat maha- siswa Indonesia. yang berjuang mencari ilmu di negara orang lain, kesungguhan mereka, kerja-keras, karena akomodasi saya ditempatkan di apartemen salah satu mahasiswi. Di sela-sela pameran saya juga mengikuti beberapa perkuliahan di sana. Melihat proses belajar mereka, intraksi dosen dan murid, saya melihat lebih banyak maha-siswa asing yang aktif berhasil daripada orang Amerika sendiri. Tahun 2000, saya berusaha mencari sponsor lain untuk mengikuti workshop fotografi di Cincinnatti. Saya beranikan diri lagi menyodorkan CV/daftar riwayat pameran saya dan beberapa foto ke perkumpulan itu, Alhamdulillah mereka mau mengirimkan saya tiket dan menye- diakan tempat tinggal lagi di apartemen pemain 80-an orang, Perguruan Karya Wisran Hadi, Orang Gila di Atas Atap karya Kikuchikan. Teater Patria juga pernah membuat suasana yang lain dengan me- munculkan Hanya Satu Kali karya Sitor Situmorang, Egon (Saini KM), BEN GO TUN (Saini KM), Mega-Mega (tahun dua ribu ditampilkan kembali-Arifin C.Nor), Sang Prabu (Arswendo Atmowiloto), JEBAT (Hatta Ajat Khan) dan Sang Pangeran. Teater La Deli memunculkan Bebasari karya Rustam Efendi, sedangkan teater sekolahan lainnya seperti Dharmawangsa pimpinan Johanar memunculkan Siti Nurbaya, dan teater SMA 3 memunculkan Pengembara Dari Sorga. Kembali lagi di tahun 90-an Domba- Domba Revolusi karya B.Sularko, Titik- Titik Hitam Nasjah Djamin, Yang Taka Akan Mati karya S.Dalimunthe dan Suara- Suara Mati kembali dimunculkan teater Patria yang di tahun 2000 membawa Mega- Mega kembali, di tahun 2001 membawa Petang di Taman Sitor Situmorang. Se- men-tara Teater Kartupat pimpinan Raswin Hasibuan juga cukup banyak berproduksi telah membuat/membentuk karakter ke- lompok teater dalam setiap pertunjukkan, menurut beberapa kalangan teaterawan, dengan pertunjukan yang kocak dan meng- hibur dan itu telah menjadi warna tersendiri dari Kartupat, terbukti dari beberapa per- tunjukannya, sebagai contoh Malam Jaha- nam yang kerap dimunculkan telah meng- giring penonton untuk menyaksikan setiap pertunjukkan Kartupat. Teater Progesi juga telah menggoreskan tinta baru dengan memunculkan Julius Caesar karya Shakespeare dan Mpok Orong-orongnya As.Atmadi, dan warna dalam pertunjukan yang spektakuler dari kelompok teater yang lain juga telah me- numbuhkan sketsa pelangi dalam perca- turan perteateran di Medan baik itu teater Merdeka, Siklus, D'Lick Teater Team, Teater Q, dan sebagainya. Sementara dalam kurun waktu yang panjang itu penurunan dari jumlah aktor dapat juga kita temukan. Aktor yang dapat terorganisir." Aku tersentak dengan argu- mentasi dan kalimatnya yang terakhir. "Rat, apakah karena itu kau tak akan menikah?" Tanyaku tiba-tiba tanpa sadar. Sebab hatiku kacau dan sedih melihat rea- litas masyarakat yang ambruk tata nilainya. Ratna yang sering datang mengusik hatiku belakangan ini membuatku takingin kecewa pada cinta. "Mas Toro, bukan begitu mak- sudku. Aku hanya bilang bahwa itu fakta. Dan kita tak bisa mengelak kalau kemudian ada dan banyak perempuan yang mengam- bil pilihan hidup untuk tidak menikah. Alasannya bisa saja karena tak ada jodoh yang cocok, tapi bisa juga karena kecewa yang beruntun atau karena pilihan keya- kinan terhadap ideologi tertentu. Dia tak menikah secara resmi tapi hidup dengan banyak laki-laki atau sebaliknya," kata Ratna semakin menciutkanku. "Mas kena- pa? Kok Pucat?" Tanya Ratna lembut. "Apa Mas keberatan saya mengajak bicara sore ini, Mas sudah punya pacar?" Aku menggeleng dan berucap, "Aku mau sekali tak keberatan bicara denganmu, kalau bisa malah sampai pagi. Aku tak punya pacar Ratna dan ingin punya pacar, Apa kamu bisa menolong?" "Maksudnya mencarikan pacar buat Bung ya. Kalau memang itu sudah menjadi kebutuhan untuk istri sekalian saja biar lebih jelas statusnya," kata Ratna menegaskan. Kembali aku terdiam. anak kulihan Indonesia. Workshop ini sangat menarik, dengan mengambil objek pemukiman suku Indian dan Desa masyarakat Amish, penganut Kriten ortodok yang tidak mau terkon- taminasi dengan kemajuan teknologi. Mereka berkendaraan dengan kuda, dan tidak menggunakan alat listrik diperu- mahannya, cara berpakaian juga khas sekali, wanita menutup kepala- nya dengan topi khusus menye- rupai kerudung, para lelaki berjenggot dan memakai topi kulit lebar. Kehidupan mereka keseharian diisi dengan bertani. Saat saya berada di sana, para orang Amish ma- lah melotot dan kaget melihat saya, dari jauh mereka memperhatikan saya dengan sangat serius, hanya sedikit Orang Amish yang mau pergi ke kota ataupun mau memiliki televisi, orang dari Asia Tenggara seperti saya merupakan ketertarikkan tersendiri buat mereka. Sebenarnya tahun lalu 2001 saya juga diundang lagi untuk mengikuti pameran Islam Awareness Week namun kerena kejadian teror WTC saya tidak jadi berangkat. Senja makin terbenam, malam meng- geliat masuk. Udara dingin. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Ratna menguap. "Kamu sudah ngantuk?" "Uah, ya. Ya aku sudah mengantuk, sebab tadi malam aku tak tidur. Asyik begadang dengan teman-teman. Topik diskusi kami menarik sih. Sampai jam lima pagi. Apa Mas pernah ngobrol dengan seseorang sampai pagi-pagi?" Tanyanya sambil menguap lagi. Aku mengangguk. "Mas, sebenarnya aku ingin bicara- bicara denganmu sampai pagi di mana kita bisa berekspresi tanpa rasa takut dan tertekan atau dilihat orang. Sebab selain kangen karena lama tak bertemu juga yah ingin tampil lain aja di depan kamu," katanya malu-malu. Aku diam dan senyum. "Mau kan?" Sekali lagi aku mengangguk sempurna. "Kemana kita berekspresi tanpa tekanan itu?" tanyaku kebingungan setelah anggukanku yang tak kusadari tadi. Dia juga bingung, "Kemana ya, oh ya ya, ke T:Aktif di mana saja sekarang? J: Saat ini saya aktif di Habitat Seni LAKLAK, di STIKP Medan, kuliah di yayasan Jejak Alam Bebas, anggota dari klub foto Dimensi Fotografi Medan dan International Freelance Photographer Orgazation di Washington DC.(cbir) merebut hati tokoh teater di Medan mulai dari masa terbentuknya kelompok teater, maka kita akan menemukan nama-nama seperti Yan Amarni, Burhan Volka, Buyung Bizar, S.Yono, Syahrial Pelani, Irwan Dame, RM.Syahril, Nuzuar, M.Wahyu, Amir Arsyad Nst, Syamsinar, Surya Dharma Lubis, Yondik Tanto, Hafiz Taadi, Tinam Siallagan, Zulkifli Chan, Edi Siswanto, Nila Ernita, dan sebagainya. Lain aktor, lain sutradara, kurun waktu yang demikian panjang itu sutradara yang kita miliki juga makin lesu darah. Dari jumlah nama yang ada kita juga akan me- nemukan, seperti Burhan Pilliang, D.Rifai Harahap, Barani Nst, Raswin Hasibuan, Buoy Harjo, Doni Trisno S., Porman Wilson, RM Syahril. Sementara untuk penata artistik juga yang kita miliki tidak banyak. Dari sekian nama kita tentu mengenal Hadi RA, Hafiz Taadi, dan Monos RA. Persoalan-persoalan yang dibentang- kan di atas mungkin akan muncul semacam pro-kontra yang akhirnya dibentangkan dalam bentuk dialog sesama tokoh teater yang ada. Tapi, yang menjadi pokok per- soalan yang paling mendasar bukan hanya sekedar teman atau informasi yang tidak fair, hanya saja kita memang kekurangan bahan atau literatur yang membentangkan persoalan itu dalam bentuk buku. Mungkin buku yang dapat kita baca dan itupun kembali hanya dimiliki beberapa kalangan saja, seperti Dramaturgi-nya Timbul Siregar tentang perjalanan sejarah teater SUMUT rentang 70-80an. Atau buku yang telah dibentangkan oleh Muhammad TWH. Termasuk prestasi yang dimiliki secara nasional yang telah diukir kelompok- kelompok teater termasuk Teater LKK yang meraih empat besar dalam Festival Teater dalam Peksiminas (Pekan Mahasiswa Tingkat Nasional III), yang belakangan ini juga sering diundang untuk tampil di daerah-daerah, seperti Aceh, Padang, Pekanbaru, Jakarta, Yogyakarta, dan sebagainya juga tidak terdata dalam do- kumentasi dalam bentuk apa pun. M. Raudah Jambak hotel saja. Ada hotel yang murah kok," jawabnya mantap. Aku kaget dan men- coba meyakinkan diri. Teringat pada delapan tahun lalu, Ratna juga pernah berbuat nekat gara- gara marah dengan prilaku abang ipar yang suka menggodanya. Ratna pernah buka pakaian sampai tak sehelai pun yang melekat. Untung saja karena pendidikan keluargaku yang agamais peristiwa nakal tak sampai terlalu jauh kami lakukan. Apakah kini Ratna ingin mengulangnya kembali setelah delapan tahun lalu? Kamar yang disewa itu tak lebih dari empat kali enam meter persegi. Cukup untuk istirahat dan menenangkan pera- saan. Cat dinding warna pastel dan lam- pu setengah temaram memberi kesan damai. Lilin yang dibeli Ratna di warung sebelum masuk kawasan hotel dinyala- kan. Dan lampu pun dimatikan. "Ratna, aku tak bermaksud sejauh ini. Tapi kau gila. Bagaimana kalau nafsu seksku bangkit dan aku menyetubuhimu? Apakah kau tak keberatan? Untuk apa kita berbuat begini? Bukankah kita hanya berniat diskusi?" Tanyaku bertubi-tubi. Tapi perempuan itu tak menggubrisku, akhirnya kami terbuai oleh emosi masing- masing. Tapi ketika sampai pada titik kulminasi emosi Ratna berteriak, "Ja- ngan, jangan kita lakukan itu. Sebab itu candu untuk manusia. Aku tahu Mas suka dan aku pun suka pada Mas, aku hanya ingin menguji apakah kau berani menolak faham virginitas yang menguasai jagad budaya kita yang feodal ini atau tidak. Aku hanya ingin eksperimen tak lebih. Jangan Mas, jangan ya?" Katanya memelas dan nafsuku surut. "Ratna, jangan bermain dengan api, nanti kau akan terbakar. Jika belum berani jangan coba-coba, eksperimentasi boleh saja, tapi harus sadar dilakukan, bukan untuk kesenangan emosi tertentu. Ratna aku sayang padamu, justru karena itu aku ingin meluruskan agar kau tak berubah-ubah arah haluan ideologi an- tara kiri dan kanan. Okay?" Ratna ter-senyum dan aku pun puas karena sang-gup tahan diri malam itu, mungkin kalau terjadi lagi barangkali tidak. Kudengar Ratna berucap lirih, "Kirn, tengah atau kanan?" Akhirnya kami sama-sama tertawa, hahahaha. Color Rendition Chart Siaran Mingg ZOD @ menjadi refrensi. Hir mengikuti kegiatan Keuangan Hati-ha Asmara: Berilah ribut-ribut? Kesehatan: Wah, m Bersikp menga Banyak panik dan kualitas tugas tetap tanpa hasil maksimal Keuangan: Carilah a Ternyata kemauan u perhatian. Kesehatan: Jangan a Saatnya tindakan dari semua ambisi p yang kira-kira bisa dic Keuangan Banyak Asmara: Ngapain pada doi. Kesehatan: Istirahat Saling me di ruangan hari kita enggak akam Keuangan Pas-pas tuskan membeli bara Asmara: Belajarlah Kesehatan: Hobi mi Mengala merasa p Yang penting tetap m Keuangan Kelebil paceklik. Asmara : Jangan kebablasan risikonya Kesehatan: Kebias Sayangilah mata terc Suasana enggak b kebahagiaan kecil den dulu muncul lagi. Keuangan Jangan be Asmara Usulan doi Kesehatan Rasa pu dengan obat warung. Godaan teman-te dalam menghadapi m dengan cara yang be Keuangan Ada had Asmara: Manfaatk siapa saja. Kesehatan disentuh, dong. S Hari-har berikan dulu. Manfaatkan ba ini enggak akan gaga Keuangan Banyak Asmara: Cembur Kesehatan: Kalau su Nanti malah ambruk CA Kalau lac dilihat se diri dengan kenyataa Keuangan Pemasuk jangan sampai tekor Asmara Belajarlah Kesehatan: Kalau su dilarang, lho. 2cm Sudah w sudah m mudah mengalihkan Keuangan Ngikuti bikin bangkrut. Asmara :: Rasa mengekspresikannya Kesehatan : Wah, je Rajin-rajin bersihin m Jangan m Kalau mau kepada mereka sesu gampang, mulailah dar Keuangan Tak ada ma Asmara: Rasa cinta Kesehatan: Jangan tak Bersaing Buka diri termotivasi dan juga Keuangan: Akibat te lagi. Asmara : Jangan m baik hati itu. Kesehatan: Patuhi sa kambuh lagi. Prar Dan TANGGAL 21 seorang pejuang Ajeng Kartini. RA sia yang merubah belenggu dan kum Dengan bekal bos dan mematah demi sedikit, dan putri-putri Indone dalam menuntut p sesuai pengetahu Jika Kartini da kemajuan-kemaju dapat tampil sejaj dupan seperti di udara, di kantor- menjadi direktur/p den Indonesia yan Banyak cara r Kartini sebagai p untuk kaum wa Bagaimana untuk Ada beberapa jika dihubungkan nakan suatu kegi perti: perkemaham tan keputrian mu pilan teknologi da dan mengandung rintangan alam. Š baik orang dewas- Pelaksanaan k peringati Hari Ka mendapat tanggap dalam lubuk hati semangat Kartini setiap tahunnya.
