Tipe: Koran
Tanggal: 1990-08-11
Halaman: 06
Konten
big TULB 18: ,51 Lemahnya kepatuhan wajib pajak melaksanakan Prinsip Akuntansi itu, lebih disebabkan karena perusahaan bersang- kutan, belum merasakan manfaat atas pembukuan itu. Di sam- ping pula banyak perusahaan itu yang tidak berkemampuan 10% melaksanakan Prinsip Akuntansi, atau juga menganggap dan merasa bahwa penyusunan laporan keuangan dengan Prinsip Akuntansi memakan biaya yang cukup besar. Biaya Konsulen Pajak atau akuntan, bagi perusahaan sangat relatif. Kalau perusahaan bersangkutan tidak mempunyai catatan dan bukti- bukti kegiatan dan lalulintas uangnya, itu jelas memakan waktu panjang untuk penyusunan laporan keuangannya. Di sisi jelas biaya Akuntan atau Konsulen Pajak jadi mahal. Sedang bagipe- rusahaan yang melakukan pencatatan dan pembukuan transaksi sehari-hari dengan lengkap, jasa Akuntan dan Konsulen Pajak tidaklah mahal. 20 -18 -11 -MT LIC -00 15 .Is QU CIU LE rist Namun begitu, kalau sekitar 25% perusahaan besar me- nyalah gunakan transaksi dalam laporan keuangannya, itu ber- larti negara dirugikan. Atau juga perusahaan bersangkutan, me- mang sengaja menyelundupkan pajaknya. Berapa besar nilai Rupiah atas penyelundupan pajak ini, tentulah Ditjen Pajak yang tahu persis. Namun demikian, kiranya pula kesadaran masyarakat melaksanakan pembukuan yang benar ini, masih terkait dengan pengertian masyarakat, dan kemanfaatan pajak secara nyata. 9% 0 rist 10 BY ITS abing 25 CLB Langkah maju perpajakan ini, telah dimanfaatkan secaru baik oleh dunia usaha dan perusahaan serta wajib pajak lain- sb nya. Namun keleluasaan itu, masih belum dilaksanakan dengan mbenar, disamping masih terjadinya penyalah gunaan dan BT penyelundupan pajak oleh wajib pajak. Di negara maju mi- salnya Amerika Serikat, laporan keuangan perusahaan besar, sering diikuti dengan pemeriksaan dan penelitian cermat. Penelitian cermat itu, seringkali pula mewajibkan perusahaan menambah pembayar pajaknya, di luar dari apa yang sudah di- 12 laporkan, ditambah dengan denda dan finalti lainnya. -2 Untuk jujurnya perusahaan dan wajib pajak melaporkan pajaknya, telah dirangsang dengan berbagai insentif yang baik. Misalnya bagi pengusaha yang berinvestasi di Indonesia Timur mendapat kemudahan perpajakan. Begitu pula bagi perusahaan yang melakukan pendidikan dan mengembangkan Research & Development, diberi kemudahan dan keringanan pajak yang berarti. Tinggal lagi bagaimana perusahaan dan wajib pajak ini memanfaatkan dan menggunakan keringanan-keringanan pajak yang diberikan pemerintah ini. Sebagaimana kita ungkapkan pada Komentar kita yang lalu, bahwa pemberian keringanan dan insentif pajak, lebih di- arahkan untuk menciptakan satu laporan keuangan perusahaan. Kalau masa lalu, perusahaan-perusahaan ataupun wajib pajak, dalam menghitung dan membuat laporan keuangannya, sering dengan pembunun gunua. Berurusan dengan verin, wengin laporan keuangan tersendiri, berurusan dengan pajak, laporan keuangannya merugi, dan laporan riil untuk pemilik peru- sahaan. Paling tidak masa-masa lalu, ada 3 pembukuan lapo- ran keuangan dari satu perusahaan, yang dewasa ini, terus didorong untuk hanya menggunakan satu pembukuan. Terwujudnya satu pembukuan perusahaan, adalah hal ideal yang ingin dituju pemerintah. Karena itu berbagai kemudahan, kelonggaran terus diberikan kepada para wajib pajak. Seka- rang yang jadi masalah bagi perusahaan, adalah pula uang makan karyawan di kantor, yang masih dibebankan sebagai pendapatan wajib pajak. Bagi perusahaan, yang ingin melihat pekerjaan sehat bagi peningkatan produksi, menganggap biaya makan siang di kantor itu sebagai biaya, sedang pajak me- lihatnya sebagai pendapatan wajib pajak. Barangkali hal semacam ini, perlu dipikirkan oleh Ditjen Pajak. Apalagi Indo- nesia yang berazaskan Pancasila ini, tentu lebih melihat pula biaya makan peserta di kantor, pabrik dan lain-lain itu, tidak dipandang sebagai pendapatan karyawan atau pekerja, tapi merupakan biaya perusahaan sehari-hari. Jadi dalam hal pengusaha dan wajib pajak yang belum seluruhnya menerapkan pembukuan dengan prinsip Akuntansi, mungkin ada kaitannya dengan hal-hal semacam ini atau peru- sahaan itu tidak tahu sama sekali, dengan kemanfaatan pem- bukuan. Atau pun pula insentif yang diberikan sekarang belum memadai bagi keberhasilan usahanya. Untuk itu memang wajar dan pantas Direktorat Jenderal Pajak kita, berusaha meningkatkan peranannya menyuluhi masyarakat luas. Menyuluhi masyarakat dengan pajak, harus disertai dengan kemanfaatan dan penggunaan uang pajak itu oleh pemerintah. Di sini memang perlu adanya Petunjuk Umum Pembukuan untuk Perpajakan, ataupun Pedoman Pembukuan Sederhana bagi Wajib Pajak. Kalau ini ada, pemerintah ataupun masya- rakat tidak lagi bicara tentang sistim pembukuan yang macam- 62 macam, tapi mengarah pada pembukuan berdasarkan prinsip- FLO prinsip akuntansi. Mudah-mudahan. ** nei 500 100 121 98 483 570 Sabtu, 11 Agustus 1990 -90 ib Pembukuan Pajak, Wajib Pajak PRAKTEK pembukuan perusahaan-perusahaan di Indone- sia masih harus diluruskan. Sekitar 25 perusahaan besar pem- bayar pajak, menurut penelitian Direktorat Jenderal Pajak, menyalah gunakan transaksi dalam pembukuan. Sedang peru- sahaan-perusahaan kecil hanya menerapkan Prinsip Akuntansi Indonesia sekitar 17%, dan lainnya menggunakan PAI, serta ti- dak melakukan pembukuan sama sekali. Atas hal itu, Dirjen Pakjan Mar'ie Muhammad Kamis mengatakan, bahwa kepatuhan perusahaan terhadap Prinsip Akuntansi di Indone- sia, masih lemah dan kurang. 20 BU lid Komentar Dewasa ini perusahaan, masyarakat atau perorangan dan wajib pajak masih merasa, bahwa pajak adalah beban dan belum merupakan kewajiban baginya. Aparat pajak, yang masa lalu mengejar-ngejar wajib pajak dan menetapkan pajak de- ngan semaunya, juga masih tertanam dalam pikiran wajib pajak sebagai hal buruk. Langkah pemerintah memberi keleluasaan bagi wajib pajak mengisi dan melaporkan pajaknya sendiri, adalah langkah maju hukum pajak kita. Peranan pajak dengan Undang-Undang Pajak baru itu, kini semakin besar, dimana sumber penerimaan negara dari pajak untuk pembangunan, sudah melebih Rp 14 triliun pertahunnya. Ini menyebabkan berubahnya struktur penerimaan negara dalam APBN, yang boleh dikatakan dimotori oleh pajak. Bank Perusahaan Penerbit Pers PT. PERSINDOTAMA ANTAR NUSA Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, No. 002/Menpen/ SIUPP/A7 1985 Tanggal 14 Agustus 1985 HARIAN NERACA Terbit Pagi Harga Langganan Tarif Iklan Pengasuh Pemimpin Umum & Pemimpin Redaksi : Zulharmans Pemimpin Perusahaan: Azwirman Noersal Redaktur Staf Ahli Alamat Redaksi/ Tata Usaha/Iklan Telepon Fax Telex BDN Cabang Gambir Jl. Ir. Haji Juanda Rekening Nomor : 01316.2.2.11.01.5 BNI 1946 Cabang Kramat Jl. Kramat Raya Rekening Nomor: 002890001 BRI Cabang Khusus Jl. Sudirman Rekening Nomor : 314568235 Bank Umum Koperasi Indonesia Jl. Letjen S. Parman Rekening Nomor : 041508 • Giro Pos: A. 13350 : Azwar Bhakti, Ferik Chehab, Drs. Peter Tomasoa. : Dr. Anwar Nasution, Dr. Alfian, Drs. Abdul Latief, Tanri Abeng MBA, Sanjoto, : 6 X seminggu : dalam kota DKI Jakarta Rp 7.500/ bulan Luar kota tambah ongkos kirim *Display Rp 3.000 per mm/kolom • Keluarga Rp 2.000 per mm/kolom * 3 Baris pertama Rp 10.000; baris berikutnya Rp 2.000/baris, minimal 3 baris : Jalan Jambrut No. 2- 4 Kramat Raya, Jakarta 10430. : 323969, 337441, 332676 Tromol Pos No. 386 : (021) 3101873 : 46000 NERACA I A Jakarta : P.T. Agrapress Setting/Cetak Isi diluar tanggungan percetakan Surat kabar ini dicetak di atas kertas produksi dalam negeri ISSN 02 531 81 FORUM - OPINI Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia (Bag. II/Habis) *Catatan, Evaluasi dan Solusi Alternatif KEBIJAKSANAAN yang dijalankan berbagai negara dalam mengatasi masalah melonjaknya jumlah angkatan kerja tentu ti- dak terlepas dari kondisi sosial- ekonomi dan politik serta kon- disi geografis yang melingkupi- nya. Bagi Indonesia, rangkaian kebijakan yang dijalankan peme- rintah dewasa ini terbentuk dari realita bahwa kondisi tenaga kerja yang ada tengah menghadapi tiga karakter spesifik permasalahan. masyarakat Indonesia, terutama yang bekerja di sektor agraris yang cenderung merasa cukup dengan tingkat upah sekedar memenuhi kecukupan sehari-hari (Self Subsistence). Sejauh yang berhubungan de- ngan permasalahan ketenagaker- jaan sebagaimana disebutkan se- mula maka Pemerintah telah me- laksanakan berbagai program ke- tenagakerjaan, baik yang me nyangkut program peningkatan Pertama, Masalah kurangnya keahlian yang memadai, (- se- bagai sebab masih rendahnya ra- sio antara tenaga kerja yang me- namatkan tingkat pendidikan me- nengah keatas terhadap jumlah tenaga kerja keseluruhan -) un- tuk dapat ditempatkan/dialihkan dari sektor agraris ke sektor in- dustri (lihat tabel 3). Yang terjadi kemudian adalah keterpaksaan sektor industri untuk menerima tenaga kerja yang minus keteram- pilan, Jadi ada semacam kesen- jangan antara keterampilan dan harapan pencari kerja dengan lo- wongan kerja yang didapat (da- lam istilah ekonomi disebut Mis- match). Tabel 3 Penduduk 10 tahun keatas yang bekerja. Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Tidak/Belum Pernah sekolah Tidak/Belum Tamat SD SD SMTP Umum SMTP Kejuruan SMTA Umum SMTA Kejuruan Diploma I/II Akademi Universitas Jumlah Pekerja (Total) 12.383.458 20.889.322 24.084.989 4.998:406 993.742 2.882.303 3.067.885 179.019 519.388 463.932 Total 70.402.443 Sumber: Statistik Indonesia 1988, Biro Pusat Statistik Kedua adalah kondisi geo- grafis yang memungkinkan ku- rang meratanya distribusi tenaga kerja yang memiliki keterampil- an (skill), karena lebih memilih daerah perkotaan dan pulau jawa sebagai "lahan subur" bagi bera- gam motivasi dan orientasi peker- jaan. Dan ketiga adalah sikap bu- daya (cultural-attitude) sebagian Sumberdaya manusia meru- pakan unsur paling berharga bagi pembangunan, namun saat ini se- ringkali terlupakan. Para pembu- at rencana keputusan dan peren- canaan kini harus menempatkan sumbangan sumber daya manusia dalam proses pembangunan ne- garanya. Sumberdaya manusia di negara kita belum dikembangkan secara optimal. Ini berkaitan de- ngan strategi pembangunan yang masih berorientasi pada pertum- buhan yang lebih menempatkan faktor modal dan teknologi pada urutan pertama, ketimbang ma- nusia. Karenanya wajar jika jum- lah dan pertumbuhan penduduk dipandang sebagai beban pem- bangunan, bukan sebagai aset pembangunan. HARIAN NERACA Agar pengembangan sumber daya manusia dalam Pelita V da- pat dilakukan lebih efektif, ter- lebih dahulu perlu dilakukan pe- ninjauan kembali atas sistem ma- najemen pembangunan Indone- sia. Disarankan agar sistem yang dipakai nanti dirubah oleh sistem bottom up dan desentralisasi, ke- balikannya dari sistem top down dan sentralisasi, seperti yang dite- rapkan selama ini. Sifat top down itu dan sentralisasi dapat dilihat dari GBHN dan penyusunan APBN. PROF. BS Mulyana (1988) jenjangnya dapat dimulai dari telah menyatakan bahwa sum- tingkat desa hingga tingkat na- berdaya manusia sebaiknya tidak sional. dinilai terbatas sebagai masukan yang diperlukan bagi pembangu- nan. Sumberdaya manusia harus dipertimbangkan juga sebagai agen aktif dan penggerak ide-ide yang menunjang pembangunan seperti yang terungkap dibawah ini yaitu "dengan pertimbangan sumberdaya manusia sebagai agen aktif dan penggerak pemba- ngunan ini maka kebijakan pe- ngembangan sumber potensial, menunjang sepenuhnya kema- juan sosial dan ekonomi. Untuk dapat mencapai semua itu, perlu diletakkan dasar-dasar jelas pe- rencanaan pembangunan. Semua perencanaan itu harus terintegrasi dan terkoordinasi"". Sebagai akibat dari sistem ini, upaya pengembangan sumber- daya manusia terasa kurang efek- tif. Karena banyak program yang dibuatnya hanya berdasarkan visi pusat saja yang kurang tajam serta pelaksanaannya tersebar kepada instansi sektor yang terbelenggu dengan kepentingan sektoral yang sempit. Menggelar Masalah Sumberdaya Manusia Sebaliknya dengan menerap- kan sistem bottom up dan desen- tralisasi, akan memungkinkan pembangunan sumber daya manusia dilahirkan lebih efektip dan efesien. Secara operasional ini dapat dimulai dari tahap pe- nyusunan rencana sampai pada pendelegasian program. Sedang Oleh 'Ruli Alqodri Mustafa (Staf pada ECFIN, Jakarta) kualitas tenaga kerja maupun usaha usaha yang ditujukan bagi perluasan kesempatan kerja. Pro- gram-program seperti penyebar- an tenaga kerja antar wilayah/ negara, pembangunan desa me- lalui proyek padat karya gaya baru (PKGB) dan proyek padat karya jaringan tersier (PKJT) terbukti tidak sedikit memberi nilai tam- bah bagi pembangunan nasional. Namun demikian ada bebera- pahal yang kiranya dapat menjadi perhatian kita, antara lain adalah masalah tenaga kerja yang ter- tampung dalam sektor-sektor informal. Karena jika kita me- lihat dari hasil Sensus penduduk pada tahun 1980, penyerapan pe- kerja mencapai 51,6 juta orang dimana hampir 70% dari jumlah tersebut terserap di sektor infor- mal. Ini mengandung indikasi bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia tak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan peran sektor informal, sektor ini yang justru menjadi "katup penyela- mat" melimpahnya jumlah angkatan kerja yang tak tertam- pung di sektor-sektor formal. Namun karena sektor ini bia- sanya mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang sifatnya lokal maka otomatis output yang diha- silkannyapun merupakan Local private goods, konsekuensi lo- gisnya fluktuasi perekonomian nasional ataupun Internasional kurang memiliki dampak terha- dap perekonomian sektor infor- mal (lihat tulisan Haidi A. Pa- say.Phd dalam Ekonomi Indone- sia, Masalah dan Prospek 1989/ 1990, UI Press 1989). Sebenarnya jika ada berbagai kalangan yang Selanjutnya supaya pengem- bangan sumberdaya manusia da- pat efektif, selain aspek mikro perlu juga didekati dari aspek ma- kro, yaitu bahwa upaya ini harus melekat dalam strategi dan pro- gram pembangunan nasional. Selain upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kemandirian setiap individu manusia, juga ha- rus diartikan sebagai manusia Indonesia dalam skala makro. Menurut hemat saya, pening- katan produktivitas berarti me- ningkatkan kemampuan setiap manusia Indonesia untuk meng- gali dan mengembangkan sum- berdaya yang telah tersedia guna meningkatkan kesejahteraan. Ke- mudian dengan meningkatkan produktivitas ini diharapkan ter- wujud sikap kemandirian. Menurut Sumarna F Abdura- chman (1988) agar dapat pro- duktif, setiap individu manusia perlu diberikan akses yang sama terhadap faktor produksi, yaitu tak setuju dengan pemekaran sek- tor informal, karena dianggap se- cara tak langsung merupakan in- dikasi kemunduran ekonomi (de- ngan mengacu pada ukuran ke- berhasilan tingginya rasio jum- lah karyawan dengan fixed-sala- ries di sektor moderen), maka agaknya pendapat tersebut ada benarnya, jika dan hanya jika pe- mekaran sektor informal dilaku- kan secara parsial. Sebenarnya bila pembinaan pendidikan atau latihan, sarana Sedangkan agar kemandirian da- dan teknologi dan permodalan. pat terwujud, kepada setiap indi- vidu perlu diberikan kesempatan berperan-serta dalam proses pe- ngambilan keputusan program pembangunan. sektor informal diarahkan pada usaha peningkatan profesionalis- me, dalam arti diberikan semacam bekal pelatihan dan studi mana- jerial yang baik, bukan mustahil bila suatu saat sektor tersebut tum- buh menjadi sektor "formal" yang keberadaannya memiliki nilai tambah bagi kemajuan pem- bangunan ekonomi. Dalam upaya memecahkan permasalahan dan tantangan yang tidak ringan tersebut, nampaknya pemerintah sendiri telah melak- sanakan semaksimal mungkin program-program ketenagaker- jaan dengan sasaran perluasan dan penciptaan kesempatan kerja se- kaligus mewujudkan distribusi pendapatan yang merata. Pro- gram-program yang telah dila- kukan oleh pemerintah tersebut adalah, Program pembangunan desa Program penyebaran tenaga kerja Program latihan dan keterampi- lan tenaga kerja - Program hubungan dan perlin- dungan tenaga kerja Dalam realisasinya, keempat program tersebut masing-masing menghadapi tantangan-tantangan dengan karakteristik berbeda. Dengan telah terbentuk serta tersebarnya program-program yang merupakan kebijaksanaan pemerintah di bidang ketenaga- kerjaan, maka ada beberapa hal yang patut pula mendapatkan per- hatian dari kita semua yaitu ma- salah mengkaji kembali manfaat sosial (Social benefit) dan man- faat komersial (Commercial be- nefit) dari institusi-institusi pela- tihan yang telah ada, sehingga Akhir-akhir ini perhatian Pe- merintah makin terarah pada as- pek kesempatan kerja dan peme- rataan hasil-hasil pembangunan yang telah ditelorkan pertum- buhan ekonomi. Yang membuat kita sedih adalah ternyata dibalik hal yang demikian, angka pe- ngangguran usia muda masih juga membumbung di negeri ini. Bila kita amati hasil sensus tahun-tahun lalu maka diperoleh data sebagai berikut : Tahun 1961 jumlah penduduk adalah sebesar 97,1 juta jiwa Tahun 1971 jumlah penduduk adalah sebesar 119,2 juta jiwa Tahun 1980 jumlah penduduk adalah sebesar 147,9 juta jiwa. Sedangkan angka pertumbu- han penduduk adalah 2,1% untuk periode 1961-1971, meningkat menjadi 2,32% untuk periode 1971-1980. Disisi yang lain, pada tahun 1980, angka penganggur berjumlah 49 juta jiwa terdiri dari penganggur yang berada di desa dan di kota. Penganggur yang berada di kota sekitar 15 juta jiwa dan penganggur yang ada di desa sekitar 34 juta jiwa. Kalau kita perbandingkan antara pengang- gur yang ada di desa dan di kota, hampir melebihi angka 2: 1. Kalau kita lihat saat ini, tam- paknya barisan pengangguran se- makin panjang. Penganggur- penganggur ini jelas merupakan beban pembangunan yang juga merupakan tanggungan orang lain. Apalagi sekarang ini pe- nganggur bukan hanya yang ti- dak sekolah atau yang tamatan sekolah dasar saja. Bahkan te- naga kerja terdidik pun sekarang sudah banyak yang menganggur. Berbagai survey oleh Biro Pu- sat Statistik menunjukkan pola pengangguran tinggi dari tenaga kerja yang berpendidikan. Ang- katan kerja yang tidak tamat se- kolah dasar menunjukkan angka tingkat pengangguran sebesar 0,6% sedangkan penganggur tamatan SKTA sebesar 9,5%. Merisaukan sekali, memang. Oleh Entang Sastraatmadja Perbedaan angka persentase ini mungkin saja terjadi karena mereka yang tidak tamat SD dapat memperoleh pekerjaan-pekerjaan di sektor-sektor ekonomi yang upah dan produktivitasnya ren- dah. Keadaan ini menunjukkan bahwa lamanya masa menanti sampai memperoleh pekerjaan adalah berkisar antara 4 sampai 12 bulan, dan untuk daerah perko- taan adalah kurang dari 3 bulan. Penganggur-penganggur yang terdidik yang berada disekeliling kita juga banyak. Contohnya lulusan-lulusan Fakultas Per- tanian, IKIP dan Fakultas Sosial lainnya, banyak yang mendapat kesulitan dalam memperoleh pekerjaan. Kesulitan mendapat- kan pekerjaan ini, pada umum- nya hanya bersifat sementara, karena setelah tenggang waktu tertentu biasanya mereka akan mendapatkan pekerjaan. Meskipun demikian, tenggang waktu untuk para sarjana terse- but, semakin lama semakin pan- jang dan mulai dirasa sangat merisaukan. Lagi-lagi penyebab utamanya pengangguran terdidik ini ditumpahkan kepada tingkat pertumbuhan ekonomi yang ti- dak cukup untuk dapat menyerap tambahan angkatan kerja baru. Selain pertumbuhan ekonomi, jumlah lulusan dari pendidikan formal juga semakin mem- bengkak, sehingga semakin nyata bahwa lapangan kerja bagi kaum sarjana adalah semakin menyem- pit dan sedikit saja, Dipandang dari aspek ekono- mi, pengangguran tenaga kerja terdidik merupakan pemborosan penggunaan sumber daya dan da- na. Dengan kata lain, apa yang diinvestasikan pada sumber daya manusia, pada akhirnya dibiar- kan menganggur. Gejala yang demikian menunjukkan bahwa tenaga kerja terdidik dapat men- pada gilirannya berbagai program tersebut dapat berjalan sebagai- mana diharapkan. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa manfaat yang selama ini didapat dari program- program pelatihan seperti BLK (Balai Latihan Kerja) dan PLTK lebih bersifat sosial ketimbang komersial (Penelitian lapangan oleh Depnaker 1987). Penyebab- nya konon tak lain adalah karena sebagian besar peserta program pelatihan institusi tersebut berasal dari kalangan pencari kerja yang kurang mampu (lulusan SLTP atau drop-out). Namun demikian ini tidak lantas berarti program ini menjadi tanpa manfaat sama sekali, me- lainkan sebaliknya perlu terus le- bih ditingkatkan eksistensinyada- lam bentuk perbaikan prasarana dan keahlian para pengajarnya. Penurunan ini kelihatannya belum membawa dampak pe- ningkatan yang tajam pada sek- tor industri pengolahan. Secara garis besar, persentase pekerja yang berada di sektor industri mengalami peningkatan kecil se- lama periode 1980-1987. Mes- kipun terjadi penurunan selama 2 triwulan terakhir. Lebih lanjut, para pekerja lebih cenderung me- milih sektor jasa yang semula se- besar 2,41 juta (46%) pada tahun 1980 naik menjadi 4,68 juta (56,43%) pada triwulan 4 1987. Permintaan efektif (effective demand) tenaga kerja yang tinggi dalam masyarakat tentu saja ti- dak lantas menjadi sinyal tercip- tanya kompetisi kualitas dari te- naga kerja di Indonesia. Argu- mennya adalah masih tingginya angka persentase angkatan kerja kita yang berpendidikan SD ke bawah (77,9% dari total angkatan kerja pada tahun 1988). Konse- kuensi logis dari gambaran terse- but adalah bahwa produktivitas Disamping itu pemerintah perlu pula kiranya untuk selalu mene- laah keberadaan institusi-institusi ketenagakerjaan yang telah lama dibina, baik itu yang menyangkut analisa tentang social rate of re- turn, nilai tambah profesional-kerja masyarakat kita masih ren- isme maupun nilai komersial Perluasan kesempatan kerja keluarannya/peserta pelatihan. sekarang ini tentunya akan men- Angkatan Kerja Jawa Luar Jawa Indonesia Laki-laki Wanita Lapangan Kerja Penyerapan la- pangan kerja Pertanian Industri Lain-lain Satuan Tabel Data dasar dan Sasaran Pokok Angkatan Kerja serta Lapangan Kerja per sektor 1988/89 dan 1993/94 1988/89 Juta Juta Juta Juta Juta Juta Juta Juta Juta APABILA melihat pada data proporsi perkembangan produksi dan penyerapan tenaga kerja, maka tampak bahwa telah terjadi pergeseran yang cukup banyak dalam angka persentase penyera- jadi kelompok yang kritis dan sensitif dari masyarakat ber- pendidikan. Apalagi hal ini dibiarkan ber- langsung terus menerus, secara potensial dapat mengganggu kesulitan masyarakat. Karena itu pemecahan masalah penganggu- ran tenaga kerja terdidik secara cepat dan tepat sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya hal- hal yang tidak diinginkan. Posisi sumberdaya manusia. dalam perekonomian Indonesia, benar-benar sangat strategis. Hal ini sejalan dengan keterangan Kepala Negara yang belum lama ini menyatakan bahwa pengala- man bangsa-bangsa lain mem- perlihatkan betapa pentingnya pe- ranan manusia dalam pembangu- nan. Kunci keberhasilan mereka adalah kemampuan manusia un- tuk membangun yang dapat di- kembangkan sebesar-besarnya. Sebab itu, pengembangan sumberdaya manusia merupakan titik sentral dalam mengatasi ma- salah ketenaga-kerjaan di Indo- nesia. W 45,6 (61%) 28,9 (39%) 74,5 (100%) 44,7 (60%) 29,8 (40%) • Pertama untuk mengisi masa- lah lowongan kerja yang ter- sedia namun masih belum ter- manfaatkan. Karena kemam- puan tenaga kerja yang ada masih terbatas. Dengan kata lain kita perlu menyiapkan te- naga yang sudah siap pakai. Kedua, untuk menciptakan manusia yang mampu mem- perluas lapangan kerja guna mengembangkan sumberdaya manusia itu perlu program pe- ngembangan sumberdaya ma- nusia yang terkait dengan pe- rencanaan tenaga kerja secara makro (nasional). Selain itu per- lu perubahan pendidikan for- mal dengan mengikut-sertakan industri dan usahawan dalam menyusun kurikulum, sehingga hasil pendidikan mendekati tun- tutan lapangan kerja yang ada. Mengenai kondisi tingkat pan tenaga kerja dari sektor per- tanian ke sektor industri, seiring modal manusia merupakan suatu upah monimal pekerja setiap bu bahwa aspek peningkatan mutu dikan. upah maksimum. lan di Indonesia didapat infor masi bahwa sektor perdagangan hasilan manajemen tenaga kerja, dan konstruksi tergolong paling cepat dalam memberikan persen- baik dalam jangka pendek mau- tase kenaikan upah minimum pe pun jangka panjang. Dan salah- satu upaya peningkatan kualitas kerja dalam periode 1984-1989, sementara sektor listrik, gas dan sumberdaya manusia adalah me- lalui peningkatan mutu pendi- air minum paling cepat memberi kan persentase perubahan rata- Untuk itu diperlukan kesiap- rata tahunan (kenaikan) tingkat an pemerintah dalam hal memacu Dari kesemua sektor yang ada mutu para pekerja yang ada dan (lihat tabel dibawah ini), sektor yang akan memasuki pasaran kerja. Peningkatan mutu dan pra- pertanianlah yang paling rendah dalam memberikan tingkat upah sarana pendidikan misalnya, da- nominal selama lima tahun ter- pat dengan cara menaikkan ang- akhir ini. Upah nominal yang ren- katan pendidikan secara bertahap- parsial dalam tahun-tahun men- dah di sektor pertanian memper. kuat kesan bahwa sisi permin- datang. Artinya adalah memberi- taan tenaga kerja di sektor terse- kan "injeksi" anggaran yang tinggi terhadap program/kuri- but sangat kurang elastis terhadap kulum kependidikan yang jelas- kenaikan tingkat upah. Penye jelas memiliki tingkat kegunaan babnya bukan karena "fixed. dan social rate of return yang supply of labor", melainkan tinggi dalam pembangunan. dikarenakan kualitas pekerja yang berada pada tingkat rata-rata (marginal). Untuk meningkatkan tingkat upah nominal pekerja, sehingga terdapat keseimba- ngan' diantara para pekerja di berbagai sektor tersebut, mau ti- dak mau adalah dengan meng- ikuti tuntutan perubahan sektor moderen, yaitu memberikan va lue-added terhadap para pekerja dengan bekal keterampilan dan kecakapan khusus. Masalah kelebihan tenaga kerja, rendahnya tingkat upah dan Upaya penanganannya MASALAH kelebihan tenaga kerja ditengah kesulitan ekonomi suatu negara sebagaimana yang telah diungkapkan dalam penda- huluan, tidak saja akan menam- bah kesulitan dalam hal alokasi dan distribusinya melainkan juga memberikan persoalan baru pada kemerosotan nilai riil tingkat upah. Keadaan seperti itu justru tidak membantu pada usaha dis- tribusi pendapatan (Lihat Anwar Nasution, dalam tulisannya "Menduga Distribusi Pen- dapatan", Kompas 25 Oktober 1989) dengan meningkatnya proporsi produksi nasional dalam 2 tahap Repelita, 72,2 (100,0) 39,0 (54,0) 6,0 (8,4) 27,2 (37,6) Untuk menghadapi masalah tenaga kerja yang merupakan tantangan besar bagi pembangu- nan, diperlukan kebijaksanaan pengembangan sumber daya ma- nusia yang terpadu, mencakup berbagai segi dan ditujukan bagi peningkatan kualitas hidup se- luruh masyarakat. Masalah ke- sempatan kerja erat kaitannya de- ngan soal ekonomi. Dan masalah ini hanya akan dapat diatasi dalam iklim pertumbuhan ekonomi yang mantap. Menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS) didapat satu ke- simpulan bahwa pekerja yang dirinci menurut lapangan usaha juga tidak lepas dari indikasi pe- rubahan struktural. Indikasi ini diperjelas dengan penurunan per- sentase mereka yang bekerja di- sektor pertanian dari 6,25% tahun 1980 menjadi 3,65% pada akhir tahun 1987 (Data terakhir yang dibuat BPS). Barangkali yang perlu kita siapkan sekarang adalah menem- patkan posisi sumber daya ma- nusia kedalam kerangka pemba- ngunan ekonomi nasional, pas pada porsi yang sebenarnya. Ini benar-benar merupakan pekerja- an rumah yang tidak mudah un- tuk diwujudkan. Apalagi jika kita tidak pernah menggelar secara rinci mengenai masalah sumber daya manusia itu sendiri ! Pasti akan rumit. Bukan begitu! * Penulis adalah staf peneliti dan pengajar FE Uninus Ban dung dah. Sumber : Data dasar dan sasaran-sasaran pokok REPELITA V. Struktur penggunaan tena- ga kerja berbagai sektor di In- donesia serta perubahannya jadi timpang apabila tidak dibare- ngi oleh usaha peningkatan mutu dan kesiapan sumberdaya manu- sia dalam menghadapi peruba- han struktur ekonomi yang begi- tu cepat. Sehingga tuntutan ter- hadap tenaga kerja yang siap bekerja dalam era industrialisasi tak dapat dielakkan lagi. 1993/94 Laju pertum- buhan per tahun (%) 50,9 (59%) 35,5 (41%) 86,4 (100%) 50,3 (58%) 36,1 (42%) +2,2 +4,2 +3,0 +2,4 +3,9 +3,0 +2,0 83,7 (100,0) 43,0 (51,4) 8,3 (10,0) +6,7 32,4 (38,6) +3,6 Berangkat dari kenyataan itu- lah maka tak dapat dipungkiri BRAM TUMPUNALLA baru saja kembali dari per- jalanan kelilingnya ke Indo- nesia Bagian Tímur (IBT). Karena kesibukan usaha- nya di ibukota Jakarta, Bram hanya bisa mudik ke kam- pung halamannya di luar kota Manado, Sulawesi Uta- ra, antara 4-5 tahun sekali. Kali ini ia lakukan perjala- nan keliling, tidak saja pu- lang ke kampung halaman, melainkan juga daerah-da- erah lain di IBe Te, seperti NTT, seluruh daerah Su- lawesi, Maluku dan Irian Jaya sekalian. Sebagai pengusaha, yang tidak besar dan juga tidak kecil, Bram kini dalam usia 40 tahun merasa perlu untuk menetap di Jakarta demi pengembangan bis- nisnya. Dulu ketika masih menjadi mahasiswa Fakul- tas Ekonomi UI, Bram me- rencanakan segera setelah tamat studi balik ke Manado membuka usaha ekspor- impor. Tetapi tinggal di Ma- nado untuk memulai bisnis- nya tidak mungkin karena fasilitas dan segala urusan yang menyangkut usaha- nya harus diselesaikan di Jakarta. Walaupun ada se- ruan agar pemuda-pemuda daerah yang telah mena- matkan studinya supaya ba- lik ke daerahnya masing- masing untuk membangun, tetapi kasus seperti yang dihadapi Bram tentu sulit. Sejak kecil ia memang mau menjadi pengusaha man- diri di bidang ekspor-impor dan usaha seperti ini tidak bisa ia bangun di daerah- nya, melainkan di Jakarta. Bukannya tidak cinta dae- rah, dan bukannya tidak mau membangun daerah, juga tidak karena sema- ngat patriotismenya sudah mulai memudar, melainkan dengan jalan menetap di Ibukota Republik ini, Bram merasa lebih dapat mem- bantu pembangunan di dae- rahnya. Tentu dalam skala kemampuannya. kebutuhan mendesak dan menjadi salahsatu faktor penentu keber- Buktinya, usaha ekspor- impor dapat berjalan baik (walaupun belum setingkat konglomerat), dengan per- olehan keuntungan yang wajar dalam bisnisnya Bram dapat menyisihkan seba- gian untuk berbagai kegia- tan sosial dan pendidikan di daerah asalnya. Ya, seti- dak-tidaknya Bram dapat tahunan Jangan Dilewatkan Membangun IBe Te Angkatan Kerja dan Tingkat Upah Nominal di Indonesia 1983-1989 Angkatan Kerja Pertanian Pertambangan & Penggalian Manufaktur Konstruksi Jasa-jasa (Juta orang) 60,26 33,0 mengangkat martabat kelu- arga dalam fam istri dan famnya sendiri, yang ber- puluh-puluh orang kini bisa memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang lebih ting- gi. Seandainya ia sejak dulu tinggal di daerah, posisi dan prestasi yang bisa diraihnya sekarang tentu tidak mung- kin. Maklum, ruang lingkup terlalu sempit terbatas! Sebagaimana disebutkan da lam pendahuluan, masalah pe. ngangguran merupakan "muara" bagi rangkaian pokok perma- salahan ketenagakerjaan, barang- kali wajarlah jika persoalan ting- ginya tingkat pengangguran di berbagai negara merupakan yang paling banyak mempengaruhi KASUS Paul Bramello dari NTT dan Milky Tonkure- re dari Maluku Selatan ki- ranya tidak jauh dengan posisi Bram Tumpunalla. Paul juga jebolan Fakultas Ekonomi sebuah Universi- tas Swasta di Jakarta mera- sa lebih dapat berkarya di Ibukota Jakarta sebagai se- orang pengusaha ketim- bang di daerahnya. Ba- yangkan, seandainya Paul tidak "bertualang" ke Ja- karta dulu untuk memper- oleh pendidikan tinggi, su- dah tentu ia tidak bakalan jadi pengusaha seperti se- karang dalam bidang pe- ngelolaan jasa maritim. De- mikian pula Milky, yang mendapat pendidikan seni musik dan pantas, tidak akan mungkin bisa berkem- bang seandainya sejak dulu nongkrong di kampung ha- lamannya tanpa "nekad" berlayar dengan perahu sampai "terdampar" di Ibukota Jakarta. Baik Paul maupun Milky, kalau dita- nya tentu akan mengatakan mereka sendiri juga merasa prihatin akan keadaan dae- rahnya masing-masing dan berusaha keras untuk mem- bantu pembangunan di dae- rahnya menurut kemam- puan dan wawasan lingkup dunia kegiatan kerja ma- sing-masing. Seperti halnya Bram, Paul dan Milky pun rindu pulang kampung ha- laman bila saja ada kesem- patan dan waktu, tanpa me- lupakan apa-apa yang da- pat disumbangkan bagi daerahnya. Mereka adalah putra-putra terbaik yang memiliki rasa tanggung jawab dan cinta terhadap tanah air. Halaman VI 1983 MASALAHNYA adalah seperti digambarkan Bram Tumpunalla sekembalinya dari perjalanan kelilingnya di IBete, selama 45 tahun sudah kita merdeka, de- ngan menempuh masa waktu 20 tahun Orde Lama dan 25 tahun Orde Baru, 0,43 5,91 2,29 18,63 1989 Perkiraan 74,41 39,78 0,45 6,43 2,69 25,05 Rata-rata Upah nominal: (Upah bulanan dalam Rp) Maksimum Minimum Maksimum 67.538 758.043 16,4 17,4 72.540 620.200 185.187 1.979.561 16,9 21,3 Minimum Maksimum Minimum Pertanian 27.202 289.408 Pertambangan & penggalian Industri manufaktur Listrik, Gas & air minum 65.570 712.165 130.263 1.856.189 12,1 17,3 40.121 465.520 94.998 1.856.189 15,4 25,9 36.718 524.395 119.892 1.188.131 21,3 14,6 Konstruksi Perdagangan dan Bank 67.283 656.676 212.896 1.442.426 21,2 14,0 Transportasi 69.475 554.632 117.678 1.047.077 9,2 11,2 Jasa-jasa 56,491 393,412 112.000 1.121.000 12,1 19,1 Sumber: Dari laporan IMF, Mei 1990 (Lihat halaman X) persentase perubahan 1984-1989 3,6 3,2 KESAN perjalanan Bram Tumpunalla keli- hatannya sederhana sekali. Tetapi bagi orang-orang se- perti Bram, Paul dan Milky sendiri keadaan menjadi lain. Alangkah jronisnya, mengapa IBeBe dan IBe Te mesti berbeda. Mengapa hasil jerih payah daerah selama ini mesti disetor ke pusat dan segala sesua- tunya di daerah diatur dari pusat. Mengapa alokasi dana hanya 10% untuk dae- rah. Mengapa 80% esdeem (sumber daya manusia) di IBe Te yang tinggal di desa padahal mereka adalah prasarat pembangunan ma- sih sangat jauh terkebe- lakang dalam pendidikan. Mengapa 2.8 juta rumah tangga di IBeTe masih be- lum terjamah pembangu- nan. Mengapa 2 juta dian- taranya masih jauh di ba- wah hidup kelayakan. Dan buat orang seperti Bram Tumpunalla pertanyaan "mengapa" ini bisa diterus- kan dengan berbagai per- tanyaan "mengapa" untuk hal-hal yang lain. 0,8 1,4 2,7 5,1 keadaan di IBete tidak ba- nyak berubah. Pelabuhan laut yang disinggahi, kota- kota kecil yang dikunjungi, orang-orang kampung dan desa yang dijumpai dan se- bagainya, sepertinya tidak berubah. Begitu-begitu sa- ja, seperti dahulu. Malah dengan lirih Bram menyam- paikan kepada teman- teman, betapa orang-orang yang ditemuinya dalam suatu dialog menyampai- kan kepadanya pesan: "Biarlah anda-anda mem- bangun IBeBe dulu sampai 5 Pelita lagi, supaya betul- betul IBeBe makmur, ge- mah ripah loh jenawi. Šu- paya dunia internasional dapat memuji Indonesia se- bagai negara maju industri tidak kalah dengan negara lain. Buat kami di IBeTe biarlah belakangan saja". NAMUN satu hal yang patut menjadi fokus per- hatian, menurut Bram Tum- punalla, Paul Bramello, Mil- ky Tonkurere dan banyak lagi yang lain, pembangu- nan di IBe Te jangan sam- pai mengakibatkan eksploi- tasi penduduk yang kurang pendidikan dan jauh dari ke- trampilan yang diperlukan dalam pembangunan itu sendiri. Jalan masih pan- jang ! Nyoman
