Tipe: Koran
Tanggal: 1997-06-11
Halaman: 08
Konten
Rabu, 11 Juni 1997 Genjring Akrobat, Sirkus Tradisional Cirebon gai atraksi yang mendebarkan lainnya. lu menjadi pemeran pembantu (untang) selama beberapa tahun baru setelah tertarik akhirnya di- latih agar bisa memerankan diri sebagai pemain utama. ngan Dinas Pariwisata Daerah Ci- rebon itu bertujuan mengangkat kembali berbagai kesenian khas Cirebon sebenarnya mempunyai gregetnya sendiri. BERBEKAL sepasang kaki yang kuat, pemain utama genjring akrobat, Nemi memperlihatkan kebolehannya. Berbagai benda be- rat seperti sepeda motor dan be- cak dengan tiga penumpang da- pat ia angkat, membuat penonton di Panggung Budaya Caruban ci- rebon berdecak kagum. Alunan musik khas Cirebonan mendominasi pertunjukkan gen- jring akrobat Sanggar Tri Budaya pimpinan Engkung Mashuri se- panjang 60 menit menyadarkan penonton bahwa seni akrobat itu benar-benar lahir dari Kota Wali itu. Dengan diperkuat 11 orang nayaga (penabuh musik tradi- sional, red) dan 3 pesinden, ke- lompok hiburan itu telah bebera- pa kali manggung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan per- nah sekali tampil di Bentara Bu- daya Jakarta tahun 1995, dan di beberapa kota besar lain di Indonesia. Pada berbagai pentas di atas benda-benda berat itu (sepeda motor, becak, drum, dan seterus- nya) duduk dengan santai tiga orang wanita dan tiga lelaki dewa- sa, namun sang pemain tak tam- pak begitu susah mengangkat se- mu nya yang kalau ditotal mung- kin seberat 300 kg lebih. Apakah ada kekuatan mistik di balik seni tradisional itu?. Kuda Akrobat sama sekali ti- dak mengandalkan kekuatannya kepada mistik atau ilmu sihir, se- perti yang dikatakan Engkung, melainkan kemampuan pemain itu terletak pada fisik, keahlian dan kemampuan panca indra keseimbangan. Pernyataan pimpinan Sanggar Tri Budaya itu menepis anggapan bahwa kesenian Cirebon masih dekat mistisisme dan hal-hal ber- nafas pedukunan. Melalui latihan yang relatif menguras kelenturan tubuh, dan ditunjang kekuatan fisik memadai atau naluri untuk menggerakkan bagian-bagian sepasang kaki, Ku- da Akrobat akhirnya jadi sajian menarik. Dengan kata lain kesenian khas Cirebon itu timbul bukan ka- rena dalam mitologi tak tertulis bahwa Cirebon akrab dan dikenal perdukunannya, namun kesenian Cirebon itu berlatar belakang pa- da upaya mencari bentuk siar Islam. MODIFIKASI RUDAT Menurut Engkung, kuda atraksi adalah modifikasi Rudat, sebuah perpaduan seni musik dan syair bernuansa Islam yang dulu dijadikan sarana dakwah dan pe- nyebaran agama. Rudat adalah singkatan dari Niru Adat atau berarti menyesuai- kan dengan adat setempat dan merupakan seni musik perpaduan antara genjring dan bedug yang biasanya berkomposisi delapan genjring santri dan sembilan be- dug serta personil lainnya sebagai pembaca syair. Oleh: Budi Santoso Masyarakat yang berbondong- bondong akan datang menyaksi- kan atraksi sambil mendengarkan syair-syair Islam yang meng- agungkan Tuhan dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad Saw. Untuk menambah daya tarik penonton, akhirnya musik Rudat itu dipadukan dengan berbagai atraksi ketangkasan, seperti meng- angkat benda-benda berat, me- lompati lingkaran api dan berba Hidup Cerpen: Frans X.I MOTOR kupacu dengan kece patan tinggi. Sekilas masih sem- pat kulihat jam tangan yang me lingkar di tangan kiriku. Sudah hampir jam tiga. Sementara itu pikiranku kembali melayang kepa da janjiku tiga hari yang lalu. Aku harus menepatinya kali ini. "Jadi pastinya kapan Bapak dapat membayar sebagian dari biaya persalinan istri Bapak?" Pertanyaan itu diajukan kepadaku oleh pihak rumah sakit. Mereka sudah bosan menelan begitu ba nyak janjiku yang selalu tak kutepati. Mereka juga sudah bosan menelan berbagai macam alasan yang kukarang sendiri demi menyelamatkan mukaku. Bagaimana lagi aku harus bertin- dak, aku sendiri sudah sangat kehabisan akal. Istriku tak mungkin menunda kelahiran bayi yang sudah dikandungnya selama sembilan bulan. Walaupun tabu ngan kami pada saat itu sudah sangat menipis karena biaya keperluan sekolah anakku yang pertama. Kutelan ludahku yang pahit. Kerongkonganku yang kering Namun, dalam perkembangan nya, seni atraksi ketangkasan le- bih mendominasi, sehingga syair- syair Islam sedikit demi sedikit menghilang dan berganti lagu- lagu cirebonan yang telah dikenal khalayak melalui kaset, misalnya Limang Taun, Sepayung Loroan, Nambah Dawa dan lain-lain. Lagu-lagu itulah memberi spi- rit bagi para pemain untuk mem- perlihatkan keahliannya seperti naik sepeda satu roda dengan me- mainkan roda lainnya di atas ke- pala, serta mengangkat benda lainnya seperti beca, sepeda mo- tor dengan kedua kaki. Pada sebagian besar atraksi, pemain utama berbaring di lantai panggung bersandarkan bantal kecil di bagian punggung dan de- ngan kekuatan sepasang kakinya ia mempertunjukkan berbagai atraksi. Pertama, sebuah balok kayu, lalu drum, kemudian sepeda mo- tor dan beca, sekaligus dengan empat penumpang di atasnya, se- muanya diangkat dengan kedua kaki sementara sang pemain tetap berbaring. Beberapa pemain lain terpak- sa membantu mengangkat beca dan sepeda motor agar posisinya tepat di bawah sang pemain. Walaupun pada malam itu at- raksi tegang lainnya berupa per- mainan tangga sepanjang 11 me- ter terpaksa dibatalkan karena tinggi panggung tidak memung- kinkan, namun penonton yang berjumlah sekitar 100 orang itu cukup puas. Sang pemilik kaki, Nemi, mengakui bahwa untuk menjadi ahli bermain kuda akrobat (atrak- si) ia melewati waktu belajar em- pat tahun dibawah bimbingan Engkung Mashuri. "Saat ini ada empat pemain utama yang mempunyai kemam- puan sama seperti Nemi, namun saat ini hanya ia yang bermain ka- rena hanya disediakan waktu sa- tu jam saja," kata Engkung. Menurut Engkung, untuk menjadi pemain genjring atraksi dibutuhkan fisik yang kuat diser- tai oleh panca indera sehingga mampu membuat benda-benda berat seimbang. Biasanya sambil belajar men- jadi pemain, mereka bertugas du- terasa memanas ikut terbakar panasnya suhu siang ini. Masih teringat aku akan uang seribu perak yang ada di kantong ba- juku. Itulah sisa uang yang ada padaku sekarang ini. Tak mung kin kukeluarkan uang itu untuk diperlihatkan pada petugas rumah sakit, untuk meyakinkan mereka bahwa aku sendiri belum sarapan semenjak pagi. Aku, terlahir dalam suatu keluarga besar, total semuanya ada sembilan orang. Ayahku, ibuku dengan tujuh anaknya, lima perempuan dan dua laki-laki. Ayahku kala itu hanyalah seorang pekerja kasar di sebuah bengkel sepeda motor. Sedangkan ibuku tak mungkin lagi dapat bekerja karena kesibukannya mengurus ketujuh anaknya yang rewel. Hingga dapatlah disimpulkan bahwa kami sekeluarga selalu hidup dalam keadaan ekonomi di bawah garis kemiskinan. Walau begitu aku selalu menyayangi ayah dan ibuku. Aku tetap teringat bagaimana sayangnya ayahku pada diriku ketika aku masih di sekolah dasar. Walau keadaan keuangan kami sudah sangat sulit, namun ayahku tetap berusaha memberiku uang jajan setiap pagi aku berangkat ke sekolah. Ardi, anakku yang pertama, Sedangkan ibuku, dengan kasih sudah saatnya masuk sekolah nya yang tulus selalu memberiku dasar, bahkan dia sudah terlam- Gerakan gemulai, cepat dan berirama tampak dominan sepan- jang pentas, sang pemain mem- pertontonkan kelenturan telapak kakinya sambil mengangkat ben- da-benda berat ke atas, alunan musik tradisional kembali (bah-kali kan) lebih keras dilantunkan. Meskipun Genjring Akrobat atau disebut juga Kuda Atraksi atau Genjring Atraksi hanya menggunakan alat-alat sederhana seperti balok kayu, sepeda tung- gal yang tidak baru lagi, dan tang- ga, namun kekuatan sepasang ka- ki wanita ternyata memukau dan menggiring decak kagum pe nonton. nasehat dan menghiburku kala aku menangis di pelukannya karena aku terlambat membayar uang sekolah dan dimarahi guru- guru di sekolah. Mungkin karena aku adalah anak bungsu makanya kedua orang tuaku sangat menya yangiku. Demikianlah beberapa sisi me- narik kebudayaan tradisional. Bahwa ada prasyarat waktu atau mesti magang terlebih dulu sebe- lum ditunjuk dan layak jadi pe- main utama. Tentunya di sini di- perlukan kesabaran dan keteram- pilan yang serius supaya nama grup sanggar tidak kedodoran da- lam penampilannya. SONGSONG FKN II Grup kesenian yang beralamat di Kelurahan Drajat Kodya Cire- bon mementaskan kebolehannya di Panggung Caruban itu dalam rangka memperingati HUT Cire bon ke 627 sekaligus menyong- song Festival Kesenian Keraton (FKN) II yang akan digelar 1 sam- pai 7 Juli 1997 mendatang. bat setahun dibandingkan anak- anak seusianya. Biaya pendaf- taran, biaya uang sekolah, buku- buku pelajaran yang harus baru semuanya, buku-buku tulis yang harus dibeli dari sekolah dengan harga yang lumayan mahal, dan berbagai biaya pernik-pernik lain- Jenjang pendidikan terakhir nya seakan menjerat leherku. Tapi yang kukecap hanyalah sampai aku tak ingin Ardi, anakku, men kelas lima sekolah dasar. Selanjut jadi orang yang tak berpendidikan nya aku terpaksa berhenti sekolah seperti aku. Biarlah aku yang karena ayahku sudah terlalu tua sudah salah melangkah ini ter- untuk bekerja. Semenjak saat itu jerembab, namun jangan sampai aku mulai berusaha mencari peker hal itu terjadi pada anak-anakku. "Bagaimana, Pak? Apakah Ba pak dapat memberi kepastian mengenai pembayaran biaya per- salinan ini. Kami sudah tak mungkin lagi bertoleransi jika Bapak tak pernah membayar sedikit pun biaya ini, suara petugas rumah sakit itu kembali menarikku ke alam kenyataan. jaan. Semuanya rela kujalani. Aku pernah menjadi penyemir sepatu, pengantar koran, menjadi pelayan rumah makan dan banyak pekerjaan lainnya. Semuanya ku- jalani hingga akhirnya ketika usiaku menginjak tujuh belas tahun, aku menjadi seorang pen- jaga toko kelontong besar yang dimiliki orang kaya di daerahku. Melalui penghasilanku sebagai penjaga toko itu, aku berhasil Pentas yang diadakan kerjasa- ma antara Bapak Imam Taufik, pemilik Hotel Prima Cirebon de- MEROKOK bagi masyarakat pedalaman bukanlah untuk ga- gah-gagahan seperti halnya rema- ja di kota, tetapi menghisap ro- kok merupakan tradisi turun te- murun sehingga mereka punya pandangan tidak merokok berar- ti membuat hidup susah. Seperti tradisi yang melekat pada suku asli Talang Mamak dan Melayu yang bermukim di ka wasan Taman Nasional Bukit Ti- gapuluh (TNBT), sekitar 450 ki- lometer timur Pekanbaru, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kebiasaan menghisap tokok. Karena lengketnya kebiasaan yang tidak dapat ditinggalkan itu, ditambah adanya mitos tentang hidup akan melarat kalau tidak merokok, sehingga jangan sekali- melarang perempuan yang tinggal di daerah pedalaman itu untuk berhenti merokok. "Bagi saya biar tidak makan nasi, asal rokok tetap ada", kata Samiah (37) seorang perempuan dari suku asli Talang Mamak yang tinggal di Desa Rantau Langkat, Kecamatan Siberida, Ka bupaten Indragiri Hulu, Riau. Sembari duduk mencakung di rumahnya berdinding kulit kayu dan beratap rumbia, rokok di- tangan perempuan muda itu tidak henti-hentinya dihisap. Rokok Berarti Hidup Susah Bagi Suku Talang Ia memperoleh tembakau di pasar Siberida, yang hanya buka satu minggu sekali setiap hari Sabtu. Untuk membelinya, ia ha- rus berjalan kaki atau menum- pang kendaraan bermotor sejauh Itu sebabnya kemana pun pe- rempuan dari dua suku itu pergi selalu membawa "kampil" (seje- nis tas sandang yang terbuat dari anyaman pandan untuk tempat tembakau dan sirih). Saat berbincang dengan Sa- miah, anaknya yang paling kecil umur 1,5 tahun datang kemudian menyusu pada ibunya namun Sa- miah tetap menghisap rokok wa- lau si anak juga tetap menyusu Sambil memilin tembakau de- pada ibu yang tidak memperguna ngan daun nipah, ibu tiga anak kan pakaian bagian atas itu. itu bercerita, setiap perempuan Tidak mempergunakan pelin- yang telah menikah di kampung-dung/penutup badan bagian atas nya, mengisap rokok dan hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Rokok yang dipilin berbentuk kerucut sebesar ibu jari tangan orang dewasa itu, dicampur de- ngan kemenyan kemudian dihisap Samiah dalam-dalam. itu juga menjadi kebiasaan masya rakat asli Talang Mamak walau mereka sudah ada dilokali- yang sasikan seperti pemukiman yang terdapat di sepanjang jalan lintas timur Sumatera. membeli sebuah sepeda motor butut dari seorang tetanggaku. Semua kakak perempuanku satu-persatu menikah dan ikut suaminya. Ada yang pindah ke luar kota, sebagian ada yang ting- gal di daerah tempat kami mene tap, namun keadaan ekonomi mereka rata-rata juga tidak jauh berbeda dari kami. Sedangkan abangku yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahku berhenti bekerja, malahan mengecewakan kami. Abangku te lah salah bergaul, hingga akhirnya penjara. dia terpaksa meringkuk di Suara batuk petugas rumah sakit kembali menyadarkanku. "Bagaimana ... kalau tiga hari lagi saya lunasi?" tanyaku dengan penuh harap. "Bapak yakin.?" "Hmm... ya". "Baiklah, kami memberi Bapak waktu tiga hari lagi. Kami tunggu Bapak, enggg...", dilirik nya kalender di dinding. "Hari Jumat jam dua siang, saya tunggu di ruang pembayaran. Saya harap janji Bapak, petugas itu meman- kali ini Bapak akan memenuhi dangku dan memberikan intonasi berat pada akhir kalimatnya. Aku hanya dapat menghembuskan na fas panjang dan mengangguk per lahan. Selama tiga hari yang diberi kan tersebut, aku berusaha mati- matian untuk mendapatkan pin- jaman. Kuhubungi Amri, teman Ketua Diparda Cirebon Sri Kuncoro, mengatakan bahwa agenda Panggung Caruban di sisi Hotel Prima Cirebon selama tiga bulan kedepan sudah disusun dan akan ditampilkan berbagai kese- nian khas Cirebon lainnya setiap minggu dengan harga tanda ma- suk yang relatif murah yaitu ha- nya Rp 2.500. ku ketika sama-sama menjadi pelayan rumah makan. Ketika kuceritakan semua permasalah anku kepadanya, dia hanya menge rutkan keningnya, lalu kembali menarik asap rokoknya. "Kau 'kan tahu, Sam. Aku selama ini hanya tinggal menum- pang di rumah mertuaku, dan istriku selalu mendesak agar kami dapat menyewa rumah sendiri. Untuk itu, aku barusan saja mem bayar uang sewa rumah, jadi sori Sam, kayaknya aku tak bisa minta maaf.... membantumu. Aku benar-benar Dari rumah Amri, aku berkun jung ke tempat Tante Remi, tetanggaku. Namun ketika aku datang dia langsung berkata, "Tante tahu maksud kedatangan mu ke sini, Sam. Tante yakin kau Barangkali seperti apa yang diharapkan Engkung bahwa seba- liknya para pejabat di Cirebon ju- ga ikut menggelar kesenian ini saat hajatan putra-putrinya se- hingga anak-anak mereka menge- nal kesenian yang semakin diting- galkan generasi muda yang lebih cenderung memilih seni modern turunan budaya barat. Setiap kali grup yang didirikan pada tanggal 26 Desember 1989, ini memasang tarif Rp 1,3 juta, se- lintas memang terkesan mahal. * 20 kilometer. Tembakau jawa yang di sebut Samiah, dibeli seharga Rp 2.500 perbungkus. "Sedangkan daun ni pah dan kemenyan banyak terda- pat di daerah ini", tutur Samiah. BERHENTI SAAT TIDUR Menurutnya, mereka hanya berhenti merokok pada saat tidur. Tetapi setelah itu, rokok meng- hiasi setiap kegiatan yang dilaku- kan baik sedang melakukan peker jaan rumah, menyusui anak, be- kerja di ladang, ketika menakik karet atau disaat bertandang ke rumah jiran (tetangga). Sementara itu, Rahimah (70), seorang perempuan dari suku Me- layu yang tinggal di Desa Rantau Langsat mengatakan, menghisap rokok dan mengunyah sirih me- rupakan kebiasaan yang tidak bi- sa ditinggalkan dan juga untuk menghindarkan hal yang tidak di inginkan. Ia mencontohkan, asap rokok yang dihisap dapat menghindari gigitan nyamuk ketika bekerja di ANALISA Tetapi jumlah ini menjadi tidak ada artinya dialokasikan kepada 38 orang, baik pemain, pemban- tu, nayaga, sinden, dan sete rusnya. ada keperluan mau meminjam uang, tapi ... kau 'kan tahu bahwa utangmu yang dulu belum kau bayar. Bukannya Tante enggak percaya lagi sama kamu, tapi sekarang ini usaha salon Tante sedang sepi. Kamu 'kan tahu juga, bahwa salon Tante sekarang se dang direnovasi supaya dapat menarik banyak pelanggan. Tante tahu... Banyak penjelasan berikutnya dari Tante Remi yang tak dapat kudengar lagi. Aku sudah putus asa kala kuting- galkan rumah Tante Remi. Hu tangku keliling pinggang, aku sudah terlalu banyak berhutang pada semua kenalanku. Aku tak tahu ke mana lagi akan mencari pinjaman. Aku pulang ke rumah, duduk dan merenungkan per- jalanan hidupku selama ini. Aku teringat ketika pemilik Sanggar Tri Budaya dalam agendanya memplot perlunya ka- derisasi anggota, utamanya untuk pemeran tunggal. Hal ini penting mengingat seringkali sebuah grup kesenian tradisional tergusur za- man lantaran lemahnya kaderisasi anggota. Mamak ladang dan saat menyadap getah. Oleh Evy R. Syamsir Asap yang berbau kemenyan itu juga menghalau roh jahat yang ingin mengganggu. "Sedangkan tembakau digu- nakan untuk menghindari gigitan lintah atau pacet saat menakik ka- ret", kata Rahimah. Sudah banyak kesenian khas daerah yang kini hanya tinggal na- ma dan kenangan belaka. Kurang getolnya mengkader anggota ba- ru akhirnya jadi alasan kepunah- an. Namun ternyata dalam me-- nyongsong FKN II di Cirebon Juli 1997 mendatang, beberapa grup kesenian daerah (termasuk Tri Bu- daya) ikut aktif menyemarakkan FKN II. Sanggar Tri Budaya yang ter- kenal dengan Kuda Akrobatnya merupakan salah satu grup kese- nian daerah yang mesti dijaga ke- lestariannya. Salah satu melalui dukungan Pemda, terutama Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) ser- ta kontribusi seniman Cirebon ter- hadap kelangsungan nafas kese nian. tontonan ayah ibuku. Aku ter- ingat ketika saat itu anak perem- puan majikanku pulang dari studi di luar negeri. Namanya Laras, wajahnya cantik, kulitnya halus, rambutnya panjang terurai dengan senyum manis. Aku ter- ingat ketika Laras pertama sekali tersenyum padaku, aku hanya me nunduk. Sudah sepantasnya aku tahu diri. Aku ini hanyalah seorang penjaga toko. Hanya dalam mimpi saja aku berani membalas senyum manis itu. Aku juga teringat ketika majikanku menyuruhku belajar mengemudi kan mobil, lalu aku dibuatkan SIM. Sehingga akhirnya aku di- majikanku. jadikan supir pribadi keluarga Bila tak dijaga, kesenian yang diwariskan seketika itu akan pu- nah karena ketiadaan minat gene- rasi penerus mempelajari dan mencintai kesenian daerahnya. (Spektrum) Perempuan tua itu mengata- kan, itu sebabnya kemana pun mereka pergi apabila keluar dari rumah selalu mebawa "kampil". Merokok bagi kaum perem- puan yang tinggal di lokasi yang daerahnya sulit ditempuh itu ti- dak mempedulikan saat hamil, melahirkan atau menyusui, ben- da tersebut tidak pernah lepas dari mulut mereka. "Itu sebabnya di desa ini se- lalu ada ibu yang meninggal saat melahirkan dan bayi yang lahir berat badannya kurang", kata Kepala Desa Rantau Langsat, Ba- harruddin ketika ditanyai ke- biasaan yang melekat pada kaum perempuan warganya. Ia mengakui, menghisap ro- kok merupakan tradisi dan telah mengurat akar pada masyarakat di desa itu sehingga sulit untuk dihilangkan. Menurut dia, tembakau tidak terpisahkan dalam kehidupan ma syarakat asli itu. Dalam setiap upacara adat, barang isapan itu selalu melengkapi acara, baik da- lam hal pesta kawin pengobatan maupun syarat yang harus ada dalam sesajen. "Biasanya, dalam melakukan pengobatan, rokok juga menjadi syarat dan sesajen harus dileng- kapi dengan tembakau yang telah dipilih agar roh halus dapat me- makainya", kata Tomang, se- orang warga suku Talang Mamak yang tinggal di pinggir Sungai Gangsal. Bahkan, kata dia, tidak hanya manusia hidup yang menghirup tembakau, orang yang sudah ma- ti juga mempunyai kebiasaan se- perti di dunia yakni menghisap toko kelontong di mana aku jikanku marah besar. bekerja semakin menyayangiku "Kau seharusnya sadar bahwa karena kerajinanku. Aku teringat hidupmu sudah sangat banyak ketika gajiku dinaikkan sehingga saya bantu, namun ternyata kau aku mulai mampu mengkredit manusia tak tahu balas budi. Kau sebuah tivi empatbelas inci untuk betul-betul kurang ajar, pergi kau dari sini! Jangan sampai kulihat lagi mukamu!" Majikanku lang sung menarik tangan Laras me ninggalkanku. Setetes air mata Láras masih sempat menitik di tanganku. Aku menunduk saja, menatapi kekelaman jiwa. Air mata Laras terasa hangat di tanganku. Pada hari terakhir janjiku dengan petugas rumah sakit, aku masih sibuk berkeluyuran mencari pinjaman. Semenjak berhenti bekerja di bengkel motor tempat ayahku bekerja dulu, aku semakin limbung saja. Melamar kerja ke berbagai tempat tanpa membawa selembar ijazah membuatku Warga Kampung Naga Memilih Golkar Tanpa Pamrih apa pun." "KAHOYONG mah sabulu Oleh: A. Jo Seng Bie sapertos nu atos-atos," kata be- berapa warga Kampung Naga -- beberapa saat sebelum melaksa- nakan pencoblosan tanda gambar Organisasi Peserta Pemilihan Umum (OPP) 1997, Kamis, 29 Mei 1997. Hanya, ujar Sunanta dan ka- wan-kawan, pemerintahan seka- rang sudah terbukti dalam men- jaga ketentraman warga, atau "tiis ceuli herang panon. Sunanta, tamatan SR dan pa- da tahun 1938 urung menuntas- kan pendidikan di sekolah guru ka reha tak mampu membiayai satu ketip sebulan; menjelaskan bagi warga Naga berpartisipasi dalam Pemilu bukan tabu, sebab tidak ada larangan dari leluhur. "Ceuk kolot, weduk aya di ratu, bedas aya di menak, rakyat mah teu weduk teu bedas (kata orang tua, kekuatan dan kekua- saan ada di tangan pemerintah, rakyat tinggal mengikuti)," kata- nya. Terjemahan bebas kalimat berbahasa Sunda itu, "Keinginan, sih, dapat sama seperti Pemilu yang dulu-dulu, semua warga kompak, kalau seseorang memi- lih satu OPP maka yang lain pun memilih OPP bersangkutan, se- hingga tak ada 'warna' yang ber- beda." "Saya sudah tahu. Kalau tak majikanku menangkap basah aku Hingga akhirnya, suatu hari, begitu perlu, tak mungkin kamu mau datang ke sini 'kan?" dan Laras yang sedang pacaran "Eh..iya. Sebelumnya saya secara sembunyi-sembunyi. Ma- minta maaf. Saya berhenti tanpa "Enya kitu (ya, begitulah)," sambung Ketua RT 01 (Kampung Naga) RW 01 Neglasari, Kecama- tan Salawu, Kabupaten Tasikma- laya, Jawa Barat; Sunanta, 73 ta- hun. Kendati harapannya sama de- ngan sejumlah warga yang meng- utarakan hal serupa, Sunanta me- nambahkan, karena hak pilih ber- sifat bebas, maka tak ada satu ke- tentuan pun dari pengurus Kam- pung Naga untuk mewajibkan warganya memilih salah satu OPP. "Tidak ada pengarahan kepa- da warga supaya mereka memilih PPP, Golkar atau PDI. Pokok- rokok. Itu sebabnya, kata Tomang, warga Talang Mamak yang telah meninggal dunia di bekali de- ngan rokok, pemantik api, juga peralatan yang dipakainya ketika masih hidup. Barang-barang tersebut, se- perti tempat rokok dan sirih di- letakkan di atas kuburan sedang- kan barang-barang yang dipakai si mati semasa hidup tergeletak ti- dak berapa jauh dari makamnya. "Kotak tembakau sengaja di- letakkan di kuburannya agar ia dapat merokok seperti kebiasaan- nya didunia", kata Tomang lagi sambil menunjuk ke tumpukan tembakau yang telah dipilih dan tepak sirih lengkap dengan isi- nya di sebuah kuburan. ROKOK DAUN Bagi masyarakat pedalaman Bukit Tigapuluh, menghisap tem- bakau yang dipilin dengan daun nipah atau dikenal dengan nama rokok daun lebih nikmat dari pa- da rokok kretek buatan pabrik, "Paling hanya anak-anak mu- da saja yang menghisap rokok bungkus", kata Baharuddin, ke- pala desa yang membuka usaha dagang. Ia sendiri, apabila ada perte- muan di kecamatan memperguna- kan rokok kretek, tetapi apabila berada di desanya tetap memilih tembakau dengan daun nipah, di- bubuhi kemenyan dan kemudian disedot sambil mengeluarkan asap mengepul dari mulut dan hidung. Adanya kebiasaan yang mele- kat dan menjadi tradisi di masya- rakat yang tinggal di kawasan hu- tan lindung itu, merupakan tan- tangan bagi pemerintah dan WHO (Badan Kesehatan Dunia) untuk menghilangkan kebiasaan merokok, terutama di daerah ter pencil. Menyadarkan masyarakat agar tidak mengkonsumsi barang yang telah jadi kebutuhan hidup itu agaknya sulit dilakukan teta- pi jika pemerintah daerah ber- inisiatif menyadarkan masyarakat akan bahaya yang timbul, kam- panye yang dilontarkan WHO akan berhasil. (Spektrum) Olhao. memberi tahu sama Om Liem"" Aku memegang tangan Om Liem dengan gemetar. Aku malu. Terakhir aku bekerja padanya sekitar tiga bulan lalu. Per tengkaranku dengan salah seorang langganan baiknya, membuatku merasa malu untuk menghadap- nya. Maka kuputuskan untuk berhenti tanpa memberi tahu Om Liem. Aku menghilang begitu sa- ja. Padahal Om Liem sangat baik padaku. Ia juga sangat baik pada ayahku dulunya. Semenjak aku berhenti beker- ja di bengkel itu, cemoohan dari keluarga Laras makin banyak. Aku sudah terlalu nekat. Ketika nya bebas, terserah masing-ma- sing," katanya. Mengenai "sabulu" pada Pe- milu 1997, Sunanta sebelum sele- sai penghitungan hasil suara me- nyatakan, "tidak dapat memas- tikan apakah bisa kejadian lagi 100 persen suara warga Kampung Naga diperuntukkan bagi Gol- kar." Sementara itu Laras sudah mengandung anakku yang per- tama. Ardi dilahirkan dengan ke adaan sehat. Tapi sayangnya Soalnya, ujar pria berkemeja batik dan bersandal jepit yang tampil menjadi saksi OPP Golkar di TPS RT 01 (Kampung Naga), sekarang pemilih dicampur de- ngan yang dari tiga RT lain yaitu RT 02 Legok Dage, RT 03 Baba- kan Rancak dan RT 020 yang me- rupakan pemekaran RT Babakan Rancak. Di TPS tersebut, pemungutan suara Pemilu 1997, selesai sebe- lum jam 12.00 WIB. Penghitungannya diselesaikan sekitar jam 14.00 WIB oleh petu- gas Kelompok Penyelenggara Pe- mungutan Suara (KPPS) setem- pat dengan disaksikan Sunanta dan sukarelawan saksi PPP dan PDI, Pamsung, warga pemilih dan dihadiri Kades Neglasari, Unus Suryadi. Hasilnya dari 536 suara ter- daftar (12 di antaranya dengan formulir AB): 525 suara sah un- tuk DPR-RI terbagi 35 suara PPP, Golkar 486 dan PDI 4; 528 suara DPRD I Jabar meliputi PPP 33 suara, Golkar 491 dan PDI 4; sedangkan 522 suara un- tuk DPRD II Tasikmalaya men- cakup PPP 28 suara, Golkar 490 dan PDI 4. Iwan, petugas dari Kecamatan Salawu menuturkan, selisih anta- ra total calon pemilih terdaftar dengan realisasi suara sah diaki- batkan adanya beberapa suara ti- dak-sah karena tidak dicoblos atau karena terdapat pencoblos- an dua pada lebih dari satu tan- da gambar. GOLKAR DAN NAGA Hasil dari TPS Kampung Na- ga, mewarnai perolehan suara mayoritas bagi Golkar se-Kabu- paten Tasikmalaya. Berdasarkan hasil penghitung- an sementara yang dihimpun oleh PPD I Jabar hingga Jumat (30/ 5), pada Pemilu 1997 suara sah di untuk DPRD tingkat II kabupa- ten tersebut Golkar memperoleh 809.992 suara, sedangkan PPP 333.839 dan PDI 9.745 suara. Dari 2.783 TPS se-Kabupaten Tasikmalaya, suara sah untuk DPR meliputi 332.976 PPP, 817.719 Golkar, 9.801 PDI. Semenjak menjadi supir, aku semakin sering berjumpa dengan Laras. Semakin lama aku semakin berani, sampai aku sudah berani "Kamu ada perlu apa, Sam? diam. Aku membawa lari Laras membalas senyumannya. Hingga Mukamu kusut sekali, sini minum pada suatu sore kelabu di bulan akhirnya aku menjadi akrab September. Kami tinggal ber dengannya. Tanpa kurencanakan, pindah-pindah untuk menghin- tanpa pernah kuduga, akhirnya Laras mulai tertarik padaku. Aku juga mencintainya. Aku mulai ter- jerumus, Laras juga. kopi dulu!" Om Liem menyodor kan secangkir kopi hangat. Kuraih dari pencarian ayah Laras, Kami lalu keteguk, hmm nikmatnya. "Om Liem, saya ada perlu hidup seperti buronan. Hingga akhirnya, ayah Laras putus asa, ia tidak lagi mencari kami. dengan Om ... Sedangkan untuk DPRD I Ja- bar, suara sah berjumlah 333.672 untuk P, 812.694 kar ser- ta 9.743 PDI. Menurut Sunanta, warga Na- ga ikut Pemilu sejak yang perta- ma kali tahun 1955 begitu pun se- jak tahun 1970-an sampai seka- rang. Seingat lelaki yang giginya su- dah pada tanggal itu, sejak Pe- milu 1982, 1987 dan 1992, warga Naga semuanya hanya memilih Golkar. "Entah baik, entah tidak, ter- serah penilaian pemerintah saja mengenai pilihan itu. Kami tidak bisa menentukan," katanya keti- ka ditanya penulis, apakah kegol- karan seratus persen itu, baik atau buruk kalau dipublikasikan di media massa. Soal alasan mengapa memilih Golkar, Sunanta seperti juga be- berapa warga Naga yang lain me- nyatakan, "tidak punya pamrih anakku, Ardi tidak sempat bertemu dengan kakek neneknya. Ayahku meninggal pada saat usia kandungan Laras barusan tiga bulan karena terlalu sedih dan malu akibat perbuatanku. Hampir setiap hari ayah Laras datang ke rumah ayahku dan menghinanya. Dua bulan kemu- dian ibuku menyusul kepergian ayahku. Begitu Ardi lahir, aku dan istriku sepakat untuk menghadap kepada ayah Laras. Rencananya kami akan meminta maaf, sekali an memperkenalkan Ardi, cucu mereka. Laras pun sudah rindu dengan ibunya. Aku menuruti kemauan Laras karena aku sangat mencintainya. Maka pada suatu hari aku dan Laras yang menggendong Ardi, sudah menghadap ayah dan ibu Laras di toko kelontongnya. Sung- guh di luar dugaan sambutan me reka. diusir oleh majikanku waktu itu, ludah. Laras menangis dengan Aku hanya dapat menelan aku langsung pergi, namun aku belum kehilangan rasa cintaku sedih, hatiku ikut sedih melihat nya. Aku menyesal, telah mem- pada Laras. Aku benar-benar mencintainya. Laras juga masih buatnya begitu menderita. Pende tetap mencintaiku. Aku tak ritaan telah membuatnya sangat selalu ditolak. Dengan menebal mungkin mengkhianati cintanya berubah drastis. Kemiskinan telah kan muka akhirnya aku melang hanya karena jiwa pengecutku. kah memasuki bengkel tempat aku bekerja dulunya untuk men- Aku terus melangkah. Kami akhirnya menikah secara diam- cari Om Liem. "Jangan harap kami akan membantu kalian jika kalian men dapat kesulitan. Jangan harap.!" Ketika ditanya dapatkah sua- ra rakyat Kampung Naga ber- ubah di masa mendatang, Sunan- ta hanya dengan tersenyum. LISTRIK DAN RETRIBUSI Komunitas Kampung Naga kini terdiri dari 110 kepala keluar- ga (KK) terdiri dari 320 jiwa dan oleh pejabat dari Dinas Pariwisa- ta Kabupaten Tasikmalaya disebut sebagai "kehidupan masyarakat Sunda zaman dahulu." Perkampungan itu setiap ta- hun dikunjungi oleh 18 ribu turis mancanegara. Mereka menyambut tamu de- ngan ramah, seperti juga terha- dap program pemerintah seperti Posyandu, KB, pemungutan PBB, penyuluhan keterampilan membuat anyaman bambu, meja dan kursi. Kendati bersikap terbuka pada budaya "modern", ter- masuk dalam pengadaan LKMD, LMD dan pendidikan formal; warga Naga tak jarang bersikap terbuka dalam menyatakan peno- lakan terhadap sesuatu yang di- anggapnya tidak tepat diterapkan bagi lingkungannya. Sebagai contoh, misalnya, mereka tegas-tegas menolak ren- cana Pemda Kabupaten Tasikma- laya untuk menarik retribusi ba- gi turis di pintu masuk ke Kam- pung Naga. Beberapa tahun silam, kata Karyono (54 tahun) yang pada ta- hun 1973-1983 menjadi Ketua Ru- kun Kampung (RK) Kampung Naga, Pemda bahkan menganjur- kan agar di beberapa sudut dalam Kampung Naga, ditempatkan ko- tak kencleng, "Kami menolaknya, karena retribusi maupun penyediaan ko- tak kencleng di dalam kampung berarti kami meminta kepada ta- mu," kata Sunanta. Menurut Karyono yang seka- rang menjadi Kepala Urusan Ek- bang Desa Neglasari, pengurus dan warga Naga tidak menolak bila tamu memberi uang atas da- sar keikhlasan. Pemberian itu biasanya di- himpun oleh Ros (anak perem- puan Kuncen Ateng) sebagai da- na keperluan seluruh warga, bah- kan kalau ada banyak menerima sumbangan buku tulis atau kar- pet, warga Naga tak segan-segan membagikannya kepada warga di RT sekitarnya. "Di beri karena keikhlasan, kami terima, tetapi tidak diberi pun tidak apa-apa, sebab kami- "teu butuh" (tidak membutuh- kan)," ujar Sunanta. uang itu ke sakuku, dengan hati- hati sekali. "Buat apa kau kembali dengan bajingan ini. Pergi kalian!" Ayah Laras berdiri dengan angkuhnya. "Kau racun bagi anakku, berani-beraninya kau datang ke masih kupunyai. sini! Aku sudah tidak mengang- gap Laras sebagai anakku, jadi mulai sekarang kalian tidak ada hubungan sama sekali dengan kami. Aku tak mengenal kalian!" Ibu Laras menunjuk-nunjuk ke arah Laras. "Kalau nanti bini saya udah keluar rumah sakit, saya akan ker- ja sama Om lagi untuk melu nasi hutang saya Om ..." "Alaa... sudahlah, yang itu urusan nanti aja" Mataku terasa hangat. La pisan bening itu hampir jatuh. Aku takkan pernah dapat me- nyangka bahwa ada orang yang masih mau membantu sesamanya pada jaman sekarang. "Sekarang cepat pergi. Udah jam dua tiga puluh, berarti kamu udah terlambat. Jangan ditunda lagi," Om Liem menepuk bahu ku. Dengan cepat kudorong motor bututku, harta satu-satunya yang Di persimpangan itu lampu merah menyala, aku berhenti. Ingin rasanya aku langsung jalan, tapi aku segera tersadar ketika melihat seorang anak lelaki menyeberangi jalanan. Ia menen teng tas kecil yang kumal. Aku masih sempat tersenyum padanya ketika terbayang bahwa aku dulu juga pernah berprofesi seperti anak itu, jadi tukang semir sepa tu. Lampu hijau kembali, kupacu motorku seakan aku mendengar rutukan petugas rumah sakit yang menyangka bahwa aku kembali mengingkari janjiku. Hingga, tepat di simpang empat, aku melihat sebuah sudako melintas dari kanan dengan kecepatan tinggi. Sesaat, terlintas wajah **** menyulap penampilannya. Wa- jahnya penuh dengan kerutan, rambutnya kusut, kulitnya juga menghitam. Aku yang salah Kutarik Laras pulang ke gubuk kami. Sampai malam Laras Laras, wajah Ardi, wajah Om masih menangis. Kami memulai Liem dan berbagai wajah lain suatu kehidupan tanpa sanak yang selama ini kusayangi. famili. Halaman 8 ma Pemda pada belakangan ha- ri, tetapi warga Naga tidak mene- rimanya, ujar Karyono, Warga Kampung Naga hing- ga sekarang menggunakan lampu cempor dan bagi yang mempu- nyai pesawat radio atau televisi hitam putih menggunakan "ac- cu" (aki). Ketika ditanya mengenai alas- an penolakan terhadap listrik da ri PLN, Sunanta mengatakan, "Bangunan di sini mudah terba- kar, sebab itu, listrik PLN dito- lak." Brakkk....! Suara keras "Kau perlu berapa, Sam?" terdengar membahana ketika tanya Om Liem sesudah aku motorku menghantam badan menceritakan semuanya. mobil sudako tersebut. Aku "Satu juta, Om!" Suaraku terlempar, helmku pecah. Masih mengecil. Aku tidak yakin Om sempat terasa aliran hangat di wa- Liem akan berani meminjamkan jahku. Berikutnya pandanganku ku, mengingat bahwa aku pernah menjadi gelap, semuanya menjadi Apakah tidak terbalik, justru lampu cempor lebih berbahaya? Sunanta malah menjawab dengan ringan, "Kata siapa? Sebesar-be- sarnya bahaya lampu teplok, ti- dak sebesar bahaya listrik PLN." TRADISIONAL Warga Naga hidup di Lembah Sungai Ciwulan. Di areal sekitar dua hektar itu terdapat 110 ba- ngunan, sawah, ladang, kandang domba dan kolam ikan serta "hu- tan larangan" yang di dalamnya terdapat tiga pusara leluhur me- reka di antaranya Sembah Dalem Singaparana. Bangunan-bangunan di kam- pung itu semuanya berupa rumah panggung berbahan kayu dan atap ijuk, baik untuk rumah ting- gal maupun "bumi ageung" (ru- mah besar), masjid, balai per- temuan (patemon) maupun "ka- tarajuan" (penginapan). Semua bangunan hanya menghadap Utara-Selatan, dan menurut Sunanta, hal itu sudah merupakan ketentuan sejak da- hulu kala agar semua rumah ter- kena cahaya matahari. Karyono menerangkan warga Kampung Naga sampai sekarang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional, antara lain ketika me- nanam dan memanen padi memu- lainya dengan membakar keme- nyan, Menurut Karyono, warga Na- ga mengakui warga sekitar yang berada di empat desa yaitu Desa Salawu, Desa Neglasari, Desa Ja- hiang dan Desa Nangtang sebagai Warga Naga, tahun 1992 pun menolak tawaran dari sekelom- pok turis asal Belanda yang hen- dak membiayai pemasangan lis- trik PLN untuk warga setempat. Tawaran seperti itu, juga per- nah diajukan pihak PLN bersa-se-Naga. (Ant) menghilang tanpa kabar. Tapi di luar dugaanku Om Liem malahan mengangguk. Berikutnya, ia masuk ke kamar dan keluar dengan segepok uang di tangan nya. Uang itu diulurkannya padaku. Tanganku bergetar kala uang itu kuterima. Tak pernah aku memegang uang sebesar itu. Dengan hati-hati kumasukkan ling. Suara anak-anak orang Sayup-sayup, aku mulai dapat mendengar suara-suara di sekeli dewasa, suara ibu-ibu, semuanya campur baur. Perlahan-lahan, pandanganku mulai terang. Aku melihat dengan jelas di bawah, sesosok tubuh tergeletak di tengan jalanan. Kepalanya basah oleh darah, badannya penuh luka. Tapi, aku mengenal sosok itu. Ia mengenakan pakaian ku dan tak jauh dari sana, kulihat motor bututku juga tergeletak hancur. Banyak orang berkeru mun di sekeliling sosok itu. Namun belum ada yang mengam- bil tindakan. akah aku su dah ....? Beberapa saat kemudian bebe rapa lelaki mulai jongkok di sam- ping sosok yang kuyakini sebagai tubuhku. Tapi astaga! Ya, Tuhan. Mereka bukan mengang katku, tetapi mulai menggera- nyangi kantongku. Aku berteriak, keras, keras sekali. Tapi suaraku seakan tertelan di tengah keramaian itu. Di samping itu, kepada siapa saja yang bertanya mengenai asal usul nenek moyang Kampung Na- ga, warga setempat tidak akan menjawab bila pertanyaannya da- tang pada hari Selasa, Rabu dan Sabtu. Kegotongroyongan juga ma- sih kental di komunitas tersebut. Misalnya, ketika satu warga memperbaiki atau membangun rumah, maka seluruh warga yang lain membantunya tanpa upah kecuali bila pekerjaan itu lebih dari dua hari. Bila lewat dua hari, warga yang membangun wajib memba- yar pekerja bangunan selain memberi makanan dan minuman. Akan tetapi yang bekerja te- tap tidak boleh memasang "ta- rif" tertentu, melainkan harus menerima berapa pun yang dibe- rikan pihak yang mendapatkan jasanya. Dalam perkawinan, kata Ka- ryono, warga Naga boleh meni- kah dengan siapa saja sesuai ke- inginan, termasuk juga dengan pasangan dari luar Kampung Na- ga. "Warga dari luar boleh ting- gal di sini, tetapi harus menaati peraturan yang berlaku," ujar Karyono. Selain berdiam di dalam kam- pung, warga keturunan Naga, ba- nyak yang hidup di luar, mulai dari Babakan Rancak yang terle- tak di atas bukit tempat lapang- an parkir di "gerbang" jalan se- tapak menuju Kampung Naga, hingga ke Tasikmalaya, bahkan ada yang bermukim di luar nege- ri. gelap. Semuanya hilang sekejap. Selang beberapa saat sega lanya terasa ringan. Rasanya aku mulai melayang, aku mulai melihat seberkas cahaya terang di ujung kejauhan. Aku melayang, namun tidak jauh. ***** Aku berteriak lagi ketika kulihat mereka mulai menarik segepok uang dari saku celanaku. Jangan !!!! Ingin rasanya aku menarik mereka. Ingin rasanya aku Masih banyak keinginan ku, namun segalanya hanya sam- mulai meninggalkan sosok tubuh pai di situ. Satu-persatu mereka ku. Hingga akhirnya hanya ber- sisa seorang anak yang jongkok di samping tubuhku. Seorang anak yang menenteng tas kecil yang kumal. www Angin bertiup kencang saat anak itu mulai berdiri di samping tubuhku. Ia berdiri tegak, lalu menengadahkan wajahnya. Aku terpekik ketika wajah itu memandang ke atas, ke arahku dan tersenyum. Astaga....! Wajah anak itu mengingatkan aku akan wajah anakku, Ardi. Sekejap kemudian semuanya gelap. Aku menyerah.... (Medan '97, untuk hidup ini)
