Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1991-02-10
Halaman: 04

Konten


Halaman 4 Jembrana KENE KENE Stop Negara Press Meke pung Rasa Seni Malam Panjang 23 Februari'91 ●SENSASI MUSIK MIDI Solo-run Tjok Raka Pemayun KENENegara Amlapura Pebruari 1991 Singaraja Denpasar TEATER KELILING Jakarta MenggebrakBali Maret'91- Sutradara Rudolf Puspa Karangasem KAT Amlapura?!? (Kumandang Apre Tanah Ar on) JAGAdi Taman Ujung April'91 PESTA SENI BULELENG? HADANGdi Akhir Maret'91 Syukuran SANGGAR PUTIH Selasa Sore: 12-Febr 1991 Jln. Surapati Gg IV/2 Catatan Budaya Minggu Ini: Teater Gairah, Sepi Mutu arus dicatat, dalam bulan-bulan terakhir ini di Denpasar, mun- menggebu-gebu. Pe- mentasan kelompok-kelompok teater, baik dengan lakon yang sa- ma maupun berbeda seperti saling sambung. Terlepas dari apakah pementasan tersebut dalam rangka lomba, undangan, ataupun prakarsa kelompok itu sendiri. Sebagai seorang yang berkesenian sudah tentu kecenderungan ini harus disambut dengan penuh gem- bira, bahkan penuh perhatian. Sebab bagaimana pun dari segi kuantitas gejala ini menunjukkan perkembangan bahwa teater (mo- dem) semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Saya percaya, semakin sering pementasan dilakukan di berbagai tempat, teater secara perlahan akan melakukan ekspansi wilayah dalam hati ma- syarakat. Begitu pun masyarakat sendiri, perlahan akan menghar- gai, paham, kemudian mencintai teater. Itu berarti secara sukarela mereka telah menyisakan sebagian rasa kepeminatan terhadap kesenian komtemporer seperti teater, Untuk kepentingan kali ini, itu saja sudah cukup! Akan tetapi premis yang saya kemukakan tadi mengandung resi- ko yang tidak kecil, dan itu justru akan berpengaruh secara lang- sung bagi perkembangan teater itu sendiri. Menjelaskan ini lebih jauh, kita mau tak mau akan berhadapan dengan soal mutu. Sebab betapapun faktor mutu, akan menjadi salah satu tuntutan di dalam sebuah pementasan. Artinya, mutu itu sendiri tidak saja hanya tujuan pementasan, tetapi ia telah menjadi tuntutan masyarakat penikmatnya. Apalagi mereka yang awalnya asing sekali dengan dunia teater (modern), soal mutu tidak saja menjadi harapan, tetapi sekali lagi telah menjadi tuntutan. Hal ini sangat penting dalam upaya mewujudkan situasi keterbinaan menonton teater (modern). Membina penonton untuk menghargai sebuah pementasan adalah penting. Dan itu, hanya bisa dimulai dari mutu pementasan itu sendiri. Sehingga, pembentukan opini masyarakat menghasilkan tanggapan yang tidak salah kaprah terhadap teater (modern). Pembentukan opini yang tidak salah itu, sangat menentukan kualitas penghargaan masyarakat. Maksudnya, kalau setiap kali menyaksikan pementasan dengan kualitas buruk, akhirnya menjadi wajar kalau penghargaan terhadap teater (modern) tidak terbina. Kita berpikir simpel saja, masyarakat awam tidak akan pernah me- mikirkan bagaimana lelahnya berlatih dan mengadakan persiapan berbagai soal menjelang pementasan berlangsung. Bagi mereka pementasan adalah an sich, tanpa harus dikaitkan dengan proses yang mendahuluinya, yang sebenarnya sangat melelahkan itu. Sebaliknya, bagi seorang yang terjun langsung berkesenian, ke- luwesan sikap untuk menghargai sebuah pementasan seringkali harus dikaitkan dengan proses terjadinya bentuk sebuah pemen- tasan itu sendiri. Sikap maklum terhadap sebuah pementasan yang buruk, masih sering ditampakkan. Masalahnya, sekarang ini mun- cul gejala lain yang datangnya justru dari pelaku teater (modern) itu sendiri. Boleh jadi sikap maklum itu telah menimbulkan semacam kemanjaan yang berlebihan: Sebuah pementasan akhirnya menja- di gampangan, latihan dua, empat hari pun jadi, tanpa pernah mempertimbangkan kualitas pementasan. Sebab alasan sudah di ujung bibir, waktu latihan terlalu singkat! Dalih-dalih semacam inilah, seperti kata terdahulu yang me- nyebabkan terbentuknya opini salah kaprah dari masyarakat a- wam. Bagaimana teater bisa dihargai masyarakat, kalau pelakunya sendiri tidak bisa menghargainya? Pertanyaan ini bukan untuk siapa-siapa, tetapi buat kita sebagai pelaku dan pecinta teater. Obsesi pertanyaan itu, untuk situasi berteater kali ini, tampaknya menjadi sangat penting. Betapa tidak, terus terang harus diakui gejala teater gampangan itu, tampaknya kian merajalela. Menyedihkan memang, di tengah gairah berteater yang menggebu-gebu ini, mutu menjadi sepi diperhitungkan. Tetapi, apa boleh buat harapan, semoga saja gejala ini tidak sempat menimbul- kan opini salah kaprah dari masyarakat. Jika ini sampai timbul, tak bisa dihindari teater (modem) bisa jadi akan tetap dalam kesendi- riannya Putu Fajar Arcana Absurditas Oleh Putu Arya Tirtawirya SETELAH terkantuk-kantuk membaca paparan filsup Pran- cis Jean Paul Sartre seputar apa itu absurditas, saya tertidur de- ngan wajah ditangkupi buku saya kok mimpi aneh jadi pen- deta. Saya kedatangan tamu Seorang laki muda berpantalon jeans dan berbaju kaos oblong yang disablon gambar rangda. Sebagai pendeta saya sempat berpikir, tumben didatangi ta- Pukul 17.00 WIT mu seumat yang sonder berbu- sana adat. Dengan santai dia du- duk bersandar pada pilar beran- da yang bertegel marmer. Dari mulutnya mengepul asap rokok Gudang Garam non filter dan kata-kata: "Saya datang, Ida Pedanda, untuk mohon penje- lasan kemarin saya sempat membaca salah satu smerti yang tercantum di dalamnya suatu pernyataan suci bahwa mereka yang tidak menjalankan ajaran agama nama- nya. Saya ini dari kalangan sudra, Ida Pedanda, tapi saya orang yang sangat rajin semba- hyang." "Anda tidak sudra" "Lho bagaimana Ida Pedanda bisa berkata begitu?" "Siapa nama Anda? Yang lengkap" "Maaf Ida Pedanda, saya kok lupa memperkenalkan identi- tas diri... Saya, I Gde Putu Sas- tra dari Mataram" "Anda tidak sudra. Anda ada- lah I Gde Putu Sastra!" le- "Lho...." belum sempat dia menyelesaikan kalimat saya kasan terbangun. Impian buyar. Bangkit dari dipan. Melangkah ke arah meja. Di samping mesin tulis tampak segelas kopi yang ditutup oleh isteri biar tidak ce- pat dingin. Saya meraih bung- kus rokok seraya menoleh ke jam dinding. Jam delapan. Saya bangun kesiangan. Kopi saya tenggak. Rokok saya bakar. Asap nikotin melayapi rabu. Naskah-naskah yang saya ke- tik semalam saya benahi. Ko- reksi sana-sini. Banyak yang sa- lah ketik. Tetapi hanya sebatas perbaikan ringan. Kemudian saya masukkan dalam ampelop masing-masing. Untuk para re- daktur. Saya teringat pada impian. Teringat bahwa hari ini adalah Rabu. Dan sambil mandi terus berpikir apa kiranya terkan- dung kode angka penarikan SDSB dalam impian tersebut. Ternyata tidak ada. Eh, nanti dulu, konon kalau mimpi pende- ta, angka yang akan ke luar ang- ka besar. Sembilan. Rokok, sa- tu. Apakah bakalan 91 atau 19? Yah cobakan saja. Untung untungan. I Putu Sudjana: MENCARI KEKASIH II gelisah jadi ombak mencabik pantai merenggut sunyi melipat-lipat ke dasar sukma lalu hanyut terbawa arus khayali sampai jauh terombang-ambing gelombang kehidupan hingga suatu musim terdampar di hutan kenangan di sini Bali Post harimau kagumi belangnya ( mengaum tunjukkan taringnya anak-anak rusa berlari berlari membawa kesangsian. apakah membanggakan mahkota dan duduk bertahta harus diwariskan? gelisahpun jadi ombak mencabik-cabik pantai anak-anak nelayan masih setia meniti impian merajut jala harapan dalam timangan badai hidup gelap dan fana MINGGU, 10 FEBRUARI 1991 POSBUD Tentang Kebangsaan o, tangan-tangan nan lembut jemari lentik namun berkuku panjang dan runcing menjulur penuh napsu mencengkeram matahari mencabut dari akar langit membanting ke tanah mencerca lalu melahap dengan nikmat inikah peradaban atau kemesraan dan siapa kelak yang lahir tertawa? uatu siang yang panas aku berjalan di trotoar. Hatiku pun serancu itu. Dan selembar kertas diter- bangkan angin, tergeletak di depanku. Seperti ada komando aku menghentikan langkah, memungut- nya: Sepotong sajak Goenawan Mohamad Tentang sebuah poci. Apa yang berharga pada tanah liat ini selain separoh ilusi dan kita membikinnya abadi Sambil lalu aku membacanya. Ada getaran batin kurasakan, menjiwai makna dibalik puisi itu. Ba- Frangkali ini yang dimaksud kebahagiaan, kebangga- an. Kebahagiaan karena kreativitas sontak meng- bgeliat. Kebanggaan karena aku bisa membahagia- kan hatiku sendiri. Perpaduan keduanya begitu kon- tras membubungku dalam kenikmatan yang aneh. Meski berjalan kaki diantara lalu lalang kendaraan pengejar waktu, aku merasa berlari melebihi kece- apatan angin, melebihi segalanya. Di sini aku tak butuh fasilitas. Ketika seorang te- tanggaku tiba-tiba merapatkan kendaraannya lalu menawarkan jasa, aku menolaknya. "Tak pakai helm," dalihku. "Tak apa, kita lewat gang. Lagi pula rumahmu masih jauh. Naiklah," ajaknya. "Terima kasih. Aku jalan kaki saja." la pun berlalu. Seiring kemudian dalam waktu sekejap unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan tb dan bangun dari senyapnya. Terkelupaslah segala kei- to nginan di luar pagar, lalu aku menggumuli kea- bongkraban lain di luar keterkaitan status sosial yang aku junjung. Di luar seorang anak manusia yang bekerja sebagai karyawan swasta. wahai, kalian yang mabuk kenikmatan dudi jangan datang menggoda but karena cuaca tidak lagi mbnenteramkan bunga dan hatiku menjelma semak belukar. Aku jadi teringat pada sebuah artikel di Kompas beberapa waktu lalu, tentang sosok manusia ketu- runan bangsawan bernama Umbu Yadar. Pemuda keturunan raja asal Nusa Tenggara itu memiliki ribu- an ternak serta kekayaan lain yang tak terhitung jumlahnya. Sehingga keberadaannya tersebut membuat masyarakat disekitarnya merunduk- det runduk bila berpapasan dengannya. Lalu Umbu Ya- dar menilai itu sebagai sebuah kekeliruan. Di mana, yang berdiri dihadapan masyarakat sepertinya se- Pemaron, 1990 buah gumpalan emas atau makhluk kasar yang siap menerkam dengan harta benda. Sosok Umbu Yadar COEMseolah harta benda itu. Tak pelak, untuk menunjuk- SEUSAI PERTEMUAN Oleh GM Sukawidana bered Saya baru saja usai mengiku jang, bersama beberapa rekan guru dari berbagai daerah di Ba- li. Pertemuan kami tersebut ti- dak hanya sebatas pertemuan kami sebagai guru dengan sega- la formalitasnya, tetapi meng- embang hingga menjangkau wi- layah nasib yang bersifat priba- di. Mengapa? Sore hari, ketika untuk perta- ma kalinya saya memasuki "Perkampungan Guru" (sebut an saya untuk Balai Penataran Guru), saya disambut sedemiki an rupa; diserahkan kunci dan ditunjukkan dimana saya mesti tidur selama 2 minggu 2 x 2 da- lam 4 bulan. Dalam kamar tidur tersedia obat anti nyamuk un- tuk jatah selama saya tinggal di sana. Kamar mandi plus air le- ding dan tersendiri, penerang an, selimut dsb. Semua gratis (dimata saya)! Makan dan mi num juga tersedia 24 jam. Se mua gratis! Bahkan dapat uang saku! Itu adalah untuk pertama kalinya saya menerima uang ka- get-selama menjadi orang gaji an dengan predikat guru - ha- nya untuk sebuah pertemuan. Astaga! nasib baik apa yang me- nimpa saya? Dan orang-orang penting dari sananya bilang a- gar kami mensyukuri apa yang kami peroleh itu. Karena hanya sebagian kecil dari sebagian be- sar guru yang dapat menikmati fasilitas seperti itu. Dan saya hanya tersenyum dalam hati se- kau yang kata Rendra merupa- perti terkecap pahitnya temba- kan bendungan keluh. Pertemuan pun terus berlang- sung. Dan saya pun terus meng- ikuti. Meski kadang menjenuh- kan, saya berusaha untuk tetap bertahan dengan segala keber- adaan saya, dengan segala hak dan kewajiban saya sebagai pe- serta. Bangun pagi menikmati secangkir kopi atau teh dan dua butir telur setengah matang. Mandi lalu diatas meja tersedia sarapan pagi. Setelah itu per- temuan Snack. Pertemuan lagi hingga siang hari. Makan siang, istirahat. Snack sore. Pertemu- an hingga menjelang malam dan santap malam. Dan setelah ampelop itu orang-orang kembali menca- ampelop yang ditempeli prang- ri mimpinya dalam keletihan. Sambil berpakaian saya ter- ingat lagi soal mimpi. Dia bilang sudra. Kasta sudra. Saya kok mimpi berada di wilayah brah- mana, jadi pendeta. Dalam hi- dup keseharian orang-orang se- kitar memasukkan diri saya ke kotak kasta ksatria. Dan pagi ini, jam dinding menunjuk ang ka sembilan dan sebagai "seo- rang satria" saya tidak meng- ambil senjata pedang atau pis- tol atau tombak atau keris teta- pi mengambil ko yang berisi naskah sajak- Itulah rutinitas kami dalam sajak dan cerpen dan artikel. suatu pertemuan hingga ber- Dan dengan tegap melangkah akhir pada batas dimana kami menuju kantor pos.*** mesti kembali ke 'ladang' kan pribadi yang sesungguhnya, ia, tatkala warta- wan Kompas mewawancarainya lalu memotretnya, pemuda itu hanya mengenakan kain sarung yang dsangat sederhana. Barangkali, Umbu Yadar meng- Holerti menangkap makna hidup dibalik realita bahwa sebenarnya ia seorang keturunan raja di tanah ger- bekal apa yang telah kami per- erti. Saya pun mencoba untuk oleh di "Perkampungan Guru". ikut mangguk-angguk meski tak mengerti. Entahlah apa! Jika tengah malam seperti se- karang ini mata saya enggan un- tuk terpejam, adakah itu kare- na sekarang saya tinggal di per- kampungan kumuh dengan ber- bagai problematika kehidupan nya? Adakah itu karena tidak ada lagi seseorang menyerah- kan kunci sambil menunjukkan dimana saya mesti tidur? Ada kah itu karena gangguan nya- muk karena tak tersedia obat anti nyamuk? Adakah itu kare- na listrik disegel karena reke- ning sekian bulan belum ter- bayar? Atau adakah itu semua karena bangun esok pagi tak menikmati secangkir kopi dan sebutir telur? Sementara ber- angkat ke 'ladang' dalam keada- an perut kosong? Atau adakah itu karena tak ada lagi orang penting yang mengatakan bah wa apa yang saya alami seka- rang ini mesti disyukuri karena hanya segelintir dari sekian ba- nyak orang yang mengalami? A. tau adakah itu semua pertanya- an dan obsesi saya itu hadir ka- rena saya belum memahami makna dari sebuah profesi? A tau...ah, barangkali karena bendungan keluh saya tak mam pu lagi menampung beban yang semakin sarat, dan gaungnya nampak kembali terpantul ke ruang paling kecil dalam relung hati saya yang paling dalam. Dan orang-orang nampak Sekarang saya ingin bicara tentang hidup yang berhubung an dengan profesi yang saya ge- luti (dan ini muncul setelah saya mengalami proses peman- tapan untuk profesi saya itu). Adakah hubungannya bila men- jelang berangkat ke ladang ma- sih dibayang-bayangi oleh kece- masan sewa kamar akan ber- akhir esok. Dibayang-bayangi oleh perut lapar yang mendera di lambung sebelah kiri. Di- bayang bayangi oleh ketidak- sanggupan membayar hutang karena setiap awal bulan gaji yang diterima hanya sisa selem- bar kertas sisa kurang? Ada- kah salahnya bila dalam kead an yang semacam itu saya me- nuntut fungsi dari suatu profesi, jika suatu ketika saya memper- tanyakan dan ingin mendapat- kan kejelasan. Paling tidak se- buah profesi dapat saya terje- mahkan dalam hidup ini seba- gai nasi dan lauknya yang dapat memberikan keserasian dalam menjalankan profesinya. Dan jika apa yang saya pertanyakan itu keliru, maka dengan tegas saya katakan bahwa profesi saya bukan semata hanya untuk urusan perut! tetapi lebih dari itu, ia merupakan tanggung ja- wab saya, ia merupakan peng- abdian saya, ia merupakan iba- dah saya. Itu pun kalau! Helmi Y. Haska: BAJU KAPAS USANG gemerlap cahaya aneka warna memajang kaca Judab sh angin merambah segala arah menggoyang langkah pengembara tak berumah sapkan. Namus karena pega casicamla ang S Flakkanlah per خامت dan sore hari. dengan car Paspian tapak tangan pada secara perahanap ass kus telah bersih. Oleh Riyanto sang itu. Namun, tak banyak orang berteori kemudian menjalankan prakteknya. Teori apa, prakteknya ba- gaimana, kerap kali bertolak belakang. Masyarakat merunduk bila berpapasan dengan orang kaya, bu- kan lagi karena melihat kebijakan di wajahnya, me- lainkan karena takut tertelan "kekuasaan" duit ter- sebut. Masyarakat boleh jadi masih terpengaruh ketakutan jiwa seseorang terpengaruh status sosial- nya yang mentereng misalnya. Pemilihan antara status sosial dan sikap itulah yang masih kurang mampu dilakukan. Seakan keduanya telah terpadu. Kaya berarti siap menguasai harga diri. Miskin ber- arti siap dikuasai. BAGAIMANA pula tentang pemilihan status so- sial dengan kreativitas sastra? Penyair, masih cen- derung dicap penggelandang. Lalu bila ada penyair yang kaya raya acap kali disorot dan dipertanyakan kepenyairannya. Seolah materi yang dipunyai akan mempengaruhi nilai plus jiwa penyairnya. Yang je- las, mana idealis mana tidak, tak akan diukur lewat status sosialnya. DI MEDIA ini, Tusthy Edi mengatakan, seandai- nya Chairil tak lahir di lingkungan serba acak, ia tak akan menemukan pribadi seorang penyair ternama. Begitu pula dengan individu lainnya yang hidup ber- ada di atas tingkat penghidupan Chairil. Dan jelas, betapa bijaknya Tuhan. Pasalnya, bila tak ada Chai- ril, dan bila tak ada penyair-penyair yang intens dan hidup dalam gelimangan harta, jelas akan terjadi kekurangan gambaran mengenai kehidupan di du- nia. Bila hanya Chairil saja, lukisan sajak yang men- dalam pasti perihal kemiskinan. Bagaimana dengan yang glampur. Jadi jelas, penyair bukan semata monopoli si gelandangan. Tergantung berapa jauh batin menghayati sesuatu kejadian untuk dituliskan, dan terangkatlah nama-nama penyair setelah mela- lui proses. Siapa yang berhak mengangkat seorang gelandangan jadi penyair dan siapa yang mengang- kat seorang Pablo Neuruda mencintai sajak? PADA akhirnya hidup dalam gelimang sajak bu- kan lagi kebanggaan dalam kemiskinan. Ia berada diatas segala kebanggaanyang tak terpengaruh sta tus sosial tinggi, karena siapa pun berhak jadi pe nyairprofesi yang gila, menggapai-gapai ruang intuisi. Memang, sebuah kebanggaan, di mana ge letar rasa jalin-menjalin, lalu menerobos ruang da waktu di dunia di luar dunia itu sendiri boleh jadi hanya milik penyair. Mengapa aku ingin jadi pe- nyair? Maka jawabnya adalah senyum kebanggaan. Bukan karena pengaruh Chairil, pun bukan karena Goenawan. Apalagi dengan alasan karena ingin hi- dup miskin. (Denpasar '90).mone Percayakan pada Kami UB PT. URIP BALI Lombok : Jl. Brawijaya 22 Cakranegara Telp. 27694 Denpasar Jl. Cokroaminoto 23. Telp 31694 31695 26741 34661. Fax. 0361-34661. Surabaya Jakarta Jl. K.H. Mansyur 115. Telp. 25759. Jl. Sidodadi 187. Telp. 311312. : Jl. Pejagalan 1/63-A. Telp. 676089 - 672614. BILA ANDA INGIN MENGIRIM SEGALA JENIS BARANG DENGAN CEPAT & AMAN SAMPAI DI TEMPAT TUJUAN JAKARTA-SURABAYA - DENPASAR - LOMBOK P.P. berebut bayang-bayang asing masuk ke dalam menjajal kemeja prancis celana jerman sepatu holland hati-hati kugerakkan ebayangku sepanjang jalan kedinginan dalam baju kapas coklat dan usang PT URIP BALI PT URIP BALI CEPAT TEPAT AMAN Kepercayaan Anda Kunci Sukses Kami C. 1842 MINGGU, 10 FEBRUA Nia ia tercenung melihat tergolek dengan lema ranjangnya. Wajah manis yang biasanya dihiasi seny lucunya kini lenyap entah mana. Sejak seminggu ini c teh riangnya lenyap. Dan merasa sedih karenanya. Se la usahanya untuk memu kan kesehatannya dan k nganan adiknya selalu ga dan sia-sia. Hingga Nia mer putus asa dan tak bisa berb lebih banyak lagi kecuali di dan berdoa serta menung sang adik yang kini seda sakit. Nia mengusap kening Terasa panas dan bintik-bin keringat membasahi ken dan wajah lugu yang terbar di ranjang itu. Ditahan isak tangisnya agar Ita tak bangun karena mendengar ngisnya sementara air m nya membasahi pipi Nia. B papun ia sangat sayang p adiknya yang masih dudu kelas dua SD itu. Ita yang l dan lugu, Ita yang manis lincah itu membutuhkan k sayang seorang Ibu. Nia se kin tergugu mengingat ser itu. Kasih dan cinta seor ibu. Inilah yang memberat kiran Nia. Ia sangat shok hilangnya belaian kasih ma. Nia meratap dalam 1 Ya, Tuhan... kenapa kau r gut kasih mama dari k Kau panggil dia mengha Mu. Nia menghapus air m nya. Tiba-tiba menyelinap asaan benci pada papa yan jak kepergian mama se jauh dari mereka. Selalu r jauh dari kehidupan Nia Ita. Papa selalu pulang ma ketika Ita sudah tidur der harapan dan sejuta an angan akan dapat mene mama di alam mimpi dan d bercanda dengan mama.... lau hanya lewat mimpi. "Oh, Ita... Ita... betapa A ngin bertiup segar k saja selesai merayakan pernikahannya dengan rang putri cantik jelita, dapat perintah harus be kat ke medan laga. "Selama aku pergi, ja sekali-kali kau ke luar da ri, berjalan-jalan di hala atau pun membicaraka jelekan orang lain," pesa kepada sang putri. Dan putri pun berjanji akan m ti semua pesan itu. Hari demi hari berlalu sang Putri selalu setia me di dalam puri, sampai suatu pagi, ketika dilih seorang nenek-nenek b di dekat pintu pagar. Nen berseru," Mengapakah ku mengurung diri seper Mengapa Tuanku tidak n mati keindahan alam? E an-jalanlah ke taman, pa ti Tuanku akan terhibur Semula sang Putri menghiraukan saran it mun lama-kelamaan ia berpikir," Apakah salah la aku ke taman?" Maka: turun dari tangga pu berjalan-jalan di tama buah air terjun yang jer ngat memukau hatinya. "Nah, begitulah," kata tua itu lagi," udara tera Cerita Bersambur Bunga-b PESTA CICILAN RINGAN DAIHATSU ZEBRA DAIHATSU ZEBRA 1300 CC, 16 VALVE, 4 SILINDER MODEL ZEBRA UANG MUKA + ANGSURAN I CICILAN PER BLN. MAIN DEALER: * PT. SINAR BUANA MANDIRI JL. HOS COKROAMINOTO '85 DENPASAR Telp. 35109 3710623490 dplitom - lidomidiborted* PT. BINTANG LESTARI MOTOR Rp.3.000.000,- Rp.344.000,- p pb PICK UP pnoy ponud no Rp.4.000.000,- Rp.308.000,- 091) JL. TEUKU UMAR 85 X DENPASAR Telp. 37010 37011 * PT. ASTRA INTERNATIONAL-MVD JL. SETIABUDI 23 DENPASAR Telp. 28786 35165 * PT. ASTRA CREDIT COMPANY ZEBRA Rp.3.850.000,- Rp.459.000,- MINIBUS Rp.6.850.000,- Rp.351.000,- 1J39 L JL. HOS COKROAMINOTO 75 A DENPASAR Telp. 3406033677 C 202 Oleh Adhi Pa K eesokan harinya anak sudah bersia Setelah mengecek sega suatunya, anak-anak berangkat. Bea berdiri an ruangannya men anak-anak yang mula kendaraan satu persatu "Da...da...Bea!" nakal. seru Bea memonyongkan lutnya. Jihan mendekatinya. "Aku punya banyak detektif. Kalau kau su bisa ambil di tasku, ag tak bengong!" kata Jiha ia bergegas naik kenda Bea mengangguk Anak-anak sudah ber Mendadak semua. muncul. S "Lho Eliza...kau?" tan keheranan. "Hepi memintaku menjaga ruangannya. hu sendiri kalau mer rang sekali ikut piknik. pas piknik, si Keke jatu Terpaksa kan Hepi har jaganya. Kali ini kebetu ke nggak kumat sa Biarlah mereka yg ik aku yang menjaga ru nya!" kata Eliza tenang Bea mengangguk-an "Uh, kalau sendirian ini menunggu sore har lama. Si Eliza pasti la jar," pikir Bea menopa tangannya di meja. "Eh iya," gumannya Bergegas ia mengham Jihan. "Wow, karangan En 4cm Color Rendition Chart