Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bernas
Tipe: Koran
Tanggal: 1991-06-02
Halaman: 05

Konten


impar Bernas/ded an mayang bunga yang biasa disadap untuk rocolo telah rusak, akibat digempur untuk diambil 1₂ penduduk er batang-batang besinya. n g it 7 h a gi a a a t t- a SUROCOLO, terutama di lokasi gua-gua Jepang, saat ini memang masih bisa dika- takan gersang. Karena itu, pada bulan Maret 1991 lalu, telah dilaku- at n 1, kan berbagai upaya penghi- jauan. Dalam hal ini, Balai Rehabilitasi Lahan dan Kon- servasi Tanah (BRLKT) Provin- si DIY telah memberi bantuan berupa bibit, yang terdiri dari 60.000 pohon nangka, 40. melinjo, 7.500 pohon mangga, 60.000 pohon sirsak, dan 60.000 pohon sengon. Upaya serupa sebenarnya pernah dilakukan setahun sebelumnya oleh Pemerintah Daerah Bantul lewat Keca- matan Kretek, dengan me- mberikan bibit melinjo, nang- ka, mangga, dan sengon. Jika berbagai upaya pena- lingkungan di Surocolo taan berhasil, rasanya tempat ini akan dapat memberikan pilih- an berwisata yang baru, sela- in Parangtritis dan Samas. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan n Surocolo, h hal itu, tidak perlu disangsi- k kan lagi. Ini telah terbukti melalui keterlibatan mereka membuat jalan menuju Suro- colo dengan cara padat karya. Akhirnya, bagi Surocolo sebuah sendiri, rencana pe- ungembangan sebagai obyek wisata, akan dapat memberi- kan citra yang lain. Tidak B Bi sekadar sebagai tempat ber- at buru tuyul saja. (saf/ang) ryanto Sastroatmodjo a- langkah pujangga Yosodipuro la selama hayatnya dulu. h Unik dan menariknya di a sini adalah, para peziarah benar-benar merasakan ai sowan atau menghadap sco- g-rang pendeta dari alam masa ang lalu. Jadi, mereka bukan m sekadar berwisata saja, mela- ti inkan juga menyimak simbol- ng simbol semesta raya yang h diwujudkan lewat bangunan na makam dan sekitarnya. a, Nyanggar dan tatacara - sesaji ini, sering dilakukan a. oleh pembesar daerah dan a- ilmuwan di Jawa sampai kini, n bila tengah menghadapi ma- salah rumit, atau tengah men- carí sínar cerah dari situasi a- - hidup yang gelap, atau pun an yang sulit untuk dijamah. in ng II kemudian Sekalipun Yosodipuro I dan menurunkan - Ronggowarsito I, II, dan bebe- rapa keturunan yang tergo- ga long memiliki dasar sastra - yang kuat, namun ternyata xe para cucu tak diizinkan untuk rò dimakamkan di Pengging. na Ronggowarsito I dibuang ke e-Batavia, dan wafat di Cilincing ng sebagai pujangga muda dan e-manggala perang yang terpi- us dana. Sedangkan Ronggowar- a, sito II, alias Bagus Burham, di yang dikenal sebagai pujangga an paling besar dan terakhir di a- Surakarta, dikebumikan di Ha Palar, Klaten. ib Raja Pakubuwono VI dan IX memang merasa lebih dekat a dengan "inti jiwa" Yosodipuro, - dan menganggap buku-buku is karya pujangga ini lebih me- a di hati. au nyatu dengan jiwanya. Se- n, dangkan Ronggowarsito, me- at nurut kedua raja tersebut. an dianggap kelewat revolusio- at- ner, penuh gugatan, dan ku- rang membangkitkan damal Namun demikian, terlepas an dari anggapan Raja Surakarta ini, baik makam Yosodipuro di Pengging maupun makam ni Ronggowarsito di Palar, tetap c- dihormati dan diziarahi saban 0- tahun. C- si u, Karena itu, bagaimanapun a- juga, nilai, hakekat, makna an kepujanggaan dan kesusas- ri- traan memiliki dasar utama n, bagi orang Jawa. Rangkaian a- kaidah dan impresinya meng- an angkasa dalam kibaran akbar. Color Rendition Chart BUDAYA Sosiawan Leak Melati Dada mari kita tanam di dada kita menyiramnya dengan sisa embun dan dari subuh yang berkemas agar matahari terbias lebih basah agar siang tak lagi diuapi debu dan mantra gelepar juwa yang mengundang hingga telentang dan terkapar di bawah teriknya agar siang merasukkan keteduhan pada setiap jiwa meski malam baru saja menebar gulita dan berpesta pora dengan luka-luka nganga bersama rembulan yang bersolek di atas ranjang gemetar mari kita tanam melati di dada kita dan membiarkan kuntumnya merekah memenuhi rongga-rongga kelam hingga sekalian kilau dan harumnya memenuhi semesta dengan kesegaran dan kesejukan agar wajah-wajah yang membalik tanah mengawali kerja meski tanah kering dan bengkah belum usai membanting dan menyeret nasib hingga tersungkur agar wajah-wajah yang terbantai bangkai terjaga lewat harumnya meski kusut harumnya belum lunas merasuk hingga mabuk agar pergulatan semesta karam karna bau darah dan sorak kematian tenggelam di samudera bunga meski tombak-tombak ajal tlah mengawali berlaksa gejolak bisa. mari kita tanam melati di dada kita dan biarkan putihnya mencuci sukma-sukma agar di senja kita membasuh luka dengan madunya agar istirah kita beralas dan berselimut kelopaknya. mekarkan putikNya mari kita tanam melati di dada kitamet doura di dada semesta hingga Mulut di sudut kota tak lagi dendangkan kepekatan karna lampu-lampu tlah mengundang sejuta kunang-kunang malam udara bagai siang dipanggang cahaya kita pernah duduk bersandingan di sini mengenangkan berahi, cinta, hingga kepalan tangan. - kopi tubruk satu gelas, (aku terpaku) kentalnya mengalir di kerongkonganmu pahitnya menempel di bibirmu. kita pernah bercengkrama melahap sisa malam di sini menggelorakan sepi dan dingin serta menghembuskan gelisah. - kopi tubruk dua gelas, (aku terpaku) hangatnya menyingkirkan kantuk dan lapar yang datang bergantian di perutmu. kita pernah meninabobokkan istirah di sini lantas menimbun asap dan desah jadi menara yang menjulang yang di puncaknya hendak engkau kibarkan dadamu. - kopi tubruk tiga gelas, (aku terpaku) panasnya merahkan mulutmu yang lama lontarkan api hingga mbakar lidahmu yang menari-nari. kini kita telanjang dada di sini Solo, 2 Mei 1991 cuma diam yang sisa dalam bisu tak sua. - kopi tubruk sejuta gelas, (aku bergolak) kenapa mulutmu cuma cukup besar buat melumat singkong basi! Namun ketika kini ia dita- nya anaknya yang duduk di kelas tiga sekolah dasar ten- tang matematika, ia sungguh- sungguh seperti orang yang bodoh. Direka-reka pun tetap tidak bisa memberikan jawab an yang memuaskan. Ujung- nya, ia lalu menyerahkan bimbingan belajar kepada isterinya, yang harus diakui lebih mampu daripada dia. Maklum, isterinya lulusan IKIP. "Sudahlah, kamu saja yang membimbing Wiwit, ya Nuk?" katanya kepada isterinya. Isterinya bernama Tuti, tapi ia lebih suka memanggilnya Ge- nuk, karena memang asli Ge- PENGANTAR REDAKSI YOGYA, dengan dukungan banyak predikat dan mitos kebudayaan memang senantiasa berusaha untuk mengaktualisasikan diri lewat berbagai upaya. Satu di antaranya adalah lewat Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) III yang akan digelar mulai 7 Juni sampai 7 Juli 1991. Untuk menyongsong peristiwa tahunan ini. Bernas menurunkan dua tulisan, hasil wawancara wartawan Bernas En Jacob Ereste, Handoko dan Indra Tranggono yang sekaligus merangkumnya. Yanto diam saja. Sebenar- nya, kalau dia mau berusaha, barangkali akhirnya bisa juga. Tapi bukankah Tuti lulusan pendidikan calon guru, kena- pa harus susah-susah. Apala- gi belakangan ia ekstra sibuk dengan pekerjaan kantor yang kadang terasa membosankan. Bagi pegawai kecil semacam día tentu tidak ada istilah refreshing seperti yang biasa dilakukan bos-bos. Jadi, kerja ya kerja. Bicara soal kerja, kadang ia suka senyum sendiri kalau te- ringat guyonan Agus teman- nya yang karyawan sebuah usaha fotocopy. "Kerja disini sak matine, kok mas," (kerja disini sampai meninggal, kok Rendra, menamai Yogya de- ngan sebutan 'simpatik': "ka- sur tua". Sebagai "kasur tua" Yogya tetap menjadi lahan yang "empuk"--meskipun da- lam beberapa hal tetap me- nyimpan kekerasan-- bagi ge- legak ekspresi anak-anaknya. Agaknya, gelegak ekspresi kesenian dan kebudayaan yang berdenyut di sinilah yang menjadi benang-benang rakat yang sedang berubah. Dalam konteks itu, lalu di manakah posisi Festival Ke- BERNAS Festival Kesenian Yogyakarta III Emha: Tantangan Profesionalisme Seyogyanya FKY Jadi Tolok Ukur di "Kasur Tua" salnya, hubungan antara kaum seniman dengan biro- krasi kesenian di Yogya sela- ma ini belum merupakan hubungan kreatif, hubungan kultural, atau hubungan yang disifa dan disema- ngati oleh komitmen ber- sama terhadap pentingnya memperkembangkan kuali- tas kebudayaan dan manu- sia melalui kesenian. kali sejak tahun 1989? Melihat konstelasi budaya yang menyulam kasur tua itu untuk tetap tahan pada ke- beradaannya. Selain benang- benang lainnya yang berupa lingkungan sosiologis kultural Yogya : kraton, kampus-kam- pus, tempat-tempat berseja- rah, sanggar-sanggar, mu- seum dan kantung- kantung budaya Yogya lainnya. Akan tetapi, sesungguhnya yang paling inti dari kesemuanya adalah: potensi kultural "wong" Yogya yang tetap ber- bahwa selama ini sajian ke- tahan dengan percikan-per- tidak hanya datang dari Amri. senian yang bermutu dengan Hampir semua seksi acara pertunjukan mengeluh soal yang kurang bermutu sung- kecilnya dana. Linus Suryadi guh kurang seimbang. "Pa- cikan pemikiran dan ekspresi AG, panitia Acara Sastra nitia sering asal comot saja, hanya karena mereka mau di- hargai murah," ujar seorang seniman yang keberatan dise- butkan namanya. kesenian, di tengah masya- Indonesia, misalnya, menilai dana untuk sastra sebesar Rp.2,5 juta sangat kurang. "Untuk menerbitkan antologi puisi saja sangat kurang. senian Yogyakarta (FKY) yang kini sudah berlangsung tiga Belum lagi untuk penyeleng- Gulungan perubahan Jika Beni Setia mensinyalir bahwa kepenyairan di Sura- baya lungkrah, lesu darah. mampet, bukan lantaran di- depak oleh keadaan perubah- an kota metropolis, bukan lantaran sajak-sajak "tak berdaya" secara tematik dan estetik tersebut lahir karena ketak berdayaan terhadap sebuah gulungan besar meka- nisasi kebudayaan melainkan semata-mata miskinnya refe- rensi (Kompas, 5 Mei '91). Tidak seperti kondisi kepenya- iran Jakarta, yang menurut Afrizal Malna disebabkan II dana. "Ya, mohon dicukup-cu- 147 juta rupiah," ujarnya. Untuk mencari tombokan 50 juta perak, Amri mengaku mengalami kesulitan. Ini terutama karena para peng- usaha di Yogya, katanya, me- nyikapi FKY dengan "Jangankan mau membantu, membaca proposal kami saja banyak yang tak mau," kata- nya. ta-mata tapi lebih luas dari itu. SINYALEMEN saya tentang pada kepenyairan di Yogya. Tapi kenyataan lainnya akan kepenyairan di Yogya yang "tanpa isu besar dan kurang coba kita usut. Mungkin ini bersungguh-sungguh," atau bukan persoalan Yogya sema- "kreativitas tanpa isu besar," menurut Mathori A Elwa da- lam esainya di Bernas (12 Mei 1991) yang cukup provokatif sangat menggelisahkan, ada dan tak ketentuan ujung lah ketika para kritikus sastra pangkalnya, dikatakan seba- mempersoalkan akan perlu- liknya; bahwa kepenyairan di nya teori sastra yang lahir Yogya justru "isu terlalu besar dan terlalu bersungguh-sung- guh". Persoalan mendasar yang dan tumbuh dari bumi sendi- ri. Tiba-tiba kita menjadi sa- dar bahwa teori yang selama ini kita gumuli tak lain adalah produk dari sebuah tradisi yang bukan milik kita. Bah- kan mungkin tidak ada ba- rang sedikit pun historical reason yang mendasari ter- metropolis seperti Surabaya atau Jakarta. Inilah kenyata- an pertama yang kita jumpai Keterlibatan swasta Untuk mengatasi problem dana, Bakdi Sumanto, man- tan Ketua Umum DK-DIY pu- nya saran. Yakni mendaya- gunakan keterlibatan pihak swasta secara maksimal da- dingin. lam persiapan yang matang. "Sebaiknya para pengusaha mulai "digedor". Realitanya, kebudayaan kita hidup hanya dengan semangat ekonomi kuat. Teater dan kersenian lainnya bisa moncer jika di- dukung sponsor. Ini berarti hanya kesenian yang punya nilai yang mampu menarik sponsor," ucap Bakdi. Pernyataan itu menyiratkan bahwa meteri yang disajikan dalam FKY ini mau tidak mau harus selektif. Hal agaknya menjadi tantangan yang se- rius dari panitia, mengingat Amri berasumsi, kesulitan memperoleh dana dari masya- rakat dan pengusahan di Yogya disebabkan oleh "ba- nyak event besar yang telah diselenggarakan di Yogya yang telah menguras dana. Optimistiskah Amri? "Keku- rangan dana itu akan dapat terpenuhi sebelum FKY di- mulai," kilahnya. Jeritan soal dana memang Solo, 15 April 1991 A/N/G/K/A Y.B. Margantoro K di sekolah dasar sekitar bernama Yanto, tapi oleh ngengesan ketika dia tany tahun silam ia pin- isterinya dipanggil Beni. Ini berapa bekerja. juga panggilan mesra ketika ter ilmu hitung. Bagaimana ia menambah, mengurangi, membagi, mengalikan dan sebagainya. Dia tidak pernah mengalami kesulitan. Pak guru hampir selalu memberinya nilai bagus. Ka- lau tidak sembilan, ya sepu- luh. Baginya tidak ada kamus dapat nilai merah. Pak guru tidak boleh punya balpoint merah. nya pula sebuah ambiguitas gulungan perubahan besar yang membutuhkan kebera- tersebut. nian. Keberanian untuk me- TUTI uring-uringan. Ia tidak habis pikir. Suaminya yang meski pegawai rendahan -- tapi sebenarnya cukup intelek, karena paling tidak drop-dropan perguruan tinggi -- lha kok sekarang kenal main angka. Itu lho, undian yang kini digemari banyak orang. kupkan. Kami sangat berha- rap partisipasi rekan-rekan Yogya? "Siapa yang ngajarin dia. Pak de Joko, ah tak mungkin, Mas Wowok, juga tak mung- kin. Atau mbakyu Retno, lebih tak mungkin. Lalu siapa? Teman-teman kantornya, atau teman ronda," katanya dalam hati. dian muncul mereka yang me- nengok jauh ke belakang nyebut dirinya generasi hasil rensi tersebut agaknya juga sekaligus ke depan. Maka ada "pertumbuhan yang wajar dan Keadaan miskinnya refe- yang sama-sama berakar di bumi tanah air". "Masyaallah, mas Effendi Yak, ampun. Mas Effendi itu ternyata jago, tho. Wo, nggak ngengesan ketika dia tanya seorang pengusaha. Sambil membantu pelajar- Ya, bagi banyak orang, an Wiwit di kamar, Tuti men- coba mengintip suaminya Effendi di mereka pacaran. Maklum, dia kerja adalah kerja keras. Ka- lau ada orang yang tega kerja yang sedang diskusi dengan dulu suka bilang "yoben". sehingga dipanggil Beni biar seenaknya, barangkali dia keren. Soal panggilan poyokan inilah yang justru mengakrab- kan pasangan muda ini. "Mestinya, kalau tidak bisa, ya belajar, Ben. Kan ada bu- kunya. Mosok sama anaknya kalah pinter," ledek Tuti. serambi samping. tidak ikut merasakan betapa Diskusi apalagi kalau bukan susahnya orang cari kerja, soal angka-angka itu. Apalagi Banyak sarjana kalau menjelang bukaan Wah, nganggur karena kesempatan terbatas seriusnya mereka dalam ngo- atau karena suka pilih-pilih pekerjaan. tak-atik angka. Tuti dongkol bukan main. modern yang digelar dalam atas. Tapi kita harus meng- FKY. Ki Nayono mengaku hargai usaha yang dilakukan dana yang disediakan peme- Ki Nayono," tutur rintah tidak cukup. Dana yang disediakan pemerintah Fakultas Sastra UGM ini. Rp. 109 juta. Untuk menutup kritikus kekurangan ini, psonsor men- jadi dambaan. untuk ke depan dan mene- Karya transformatif ngok ke belakang adalah sa- Masa transisi adalah arti- ma-sama kuatnya. berlaku pada para penyair dua daerah Yogya. Tak ada alasan untuk jadi samar. Ke belakang seba- merupakan kesadaran balik mengatakan penyair Yogya gai mata rantai yang juga dari pikiran Chairil sebagai dilindas perubahan ke mental bukan sisi tersendiri dari "anak dari zaman yang lain." proses integrasi maupun kon- Mereka ingin menunjukkan tinyuitas sejarahnya, sudah bahwa kekerabatan dengan barang tentu menyarankan kampung halaman adalah ngira aku. Tapi kalau dia ya wajar, wong duitnya banyak. Lha kalau mas Beni? Bayaran kantor saja pas-pasan. Kalau aku tidak ikut kerja, mana cukup...... lanjutnya ketika belakangan tahu teman akrab suaminya adalah Effendi, yang juga Bayangkan, di kamar tengah berlangsung upaya mencer- daskan generasi penerus, lha kok di serambi luar berlang sung diskusi konyol-konyolan. Toh dia tetap mencoba sabar terhadap suaminya. Metode- nya, biarlah dia insyaf sendiri, kalau memang dasarnya baik. Sesekali di serambi sam- ping terdengar tawa dua laki- laki yang sama-sama telah punya anak itu. "Ini seharusnya tujuh, kok mas. Mosok, yang kemarin- kemarin bisa naik turun dua, kok sekarang jadi lain. Ini kan di-mistik mas," kata Yanto. mestinya mau nyerong kesini, dik. Ingat nggak, waktu mas Dirjo nebak dua lima, kan "Iya. Lho, tapi yang ini Puisi gelap Setelah Chairil mati, kemu- Di mata pengamat dan sastra dan teater ini, FKY selama ini, belum me- sungguh-sungguh. "Lho, yak opo tho dik. sudah jelas rumusnya yang keluar dua tujuh. Jadi, saya pikir, kini sudah saatnya nyerong lagi," kata Effendi. "Mas, yakin begitu," balas Yanto Wong gini, kok. Ini rumus dari mbah Klaten itu, lho. Waktu malam-malam kita cari bersa- ma Bambang itu," jawab pe- ngusaha bangunan yang suk- nampilkan Yogya secara apa adanya. "Mestinya yang di- tampilkan, jenis-jenis ke- rajinan atau hal-hal yang langka. Misalnya ada atraksi pembuatan gong. Ini akan memberi bobot FKY," tukas cerpenis dan esais itu. ses ini. "Tapi apa mungkin kembali lagi, ya," lanjutnya sanksi. Yang ditanya tenggelam lebih serius, sambil ngotak- atik puluhan angka itu. Jum- lahnya puluhan, bahkan ribu- mulai nol sampai sembilan. an, tapi toh tetap berunsur "Nggak apa-apa, mas. Asal enam sama nolnya jangan kata Yanto ditinggalkan," setelah hening beberapa saat. "Woooo, nggak mungkin, dik. Minggu ini enam sama nol masih ikut. Sama satu. yak satu!" jawab Effendi kegi- rangan. Tuti yang masih mengikuti diskusi dua lelaki itu, meski mendongkol, tidak bisa mena- han tawanya. Angka-angka jangan ditinggalkan? Yanto kalau dia ajak arisan selalu pulang duluan. Katanya, toh dia bisa pulang sendirian. Tapi kalau dengan angka angka cintanya bukan main. Sampai jangan sampai diting- galkan segala. Huh! Etalase Benarkan kesenian Yogya siap untuk dietalasekan dalam lembaga tahunan se- perti FKY? ngan kalangan seniman. Atmosfir hubungan antar institusi kesenian dengan kalangan seniman se- sungguhnya dipenuhi bias biro- kratisme politik dan kulturalisme. dosen Ini sangat memalukan Yogyase- bagai salah satu pelopor modem- isme kebudayaan. Demikian bagian dari pandangan penyair dan budayawan Emha Ainun Nadjib yang mengomentari Festival Kesenian Yogyakarta (FKY III) yang akan berlangsung 7 Juni -7 Juli 1991. Di bawah ini adalah hasil per- cakapan Bernas selengkapnya. "Masalahnya bukan siap atau tidak siap. Tapi soal penggarapan. Yogya mulai menuntut profesionalisme di segala sektor kehidupan ter- masuk menangani kesenian rakyat," tutur Bakdi. Dikatakan Bakdi, dalam soal manajemen, kesenian di Yogya masih tertinggal dengan bidang yang lain. "Sekolah-se- kolah, kursus-kursus, cera- MILIK MONUMEN PERS NASIONAL mah-ceramah tentang mana- jemen telah tumbuh subur di Yogya. Tapi penanganan ke- senian masih dengan irama lama. Orientasi pada kualitas FKY seyogyanya merupakan tamu'. Wisman-wisman yang tolok ukur periodik dari mendatangi kita adalah belum tumbuh subur," ucap- nya. Karena itu, Bakdi Sumanto seni bu- orang-orang dari masyarakat yang memiliki tradisi berpi- kir dan memiliki kedewasa- yang relatif mengharapkan, FKY harus mampu mem- simal dari pen-ca-paian kre- melebihi kita. Oleh karena Yogya. garaan pembacaan yang ma- kan beaya besar," keluh Li- nus. Karena itu, pihaknya FKY ini dapat berusaha untuk menekan saya tidak percaya mereka datang atif para pekerja seni Maka sejak semula harus di- temukan sistem kualifikasi yang tepat dan adil. Harus faktor-faktor maka resikonya sajian yang untuk mencari "ke- senian yang melacurkan demi selera mereka". diri dihindarkan Yogya, FKY sesungguhnya merupakan aktivitas yang direkayasa untuk mengangkat potensi seni dan budaya Yogya ke permukaan. "FKY berpijak pada tiga wawasan budaya, yakni pendidikan, ke- juangan dan pariwisata," ujar Ketua Umum FKY III, Ki Na- yono. Meski demikian, tambah jagat ruh pro- Bakdi, panitia pelaksana FKY fesionalisme harus mulai presentasikan taraf mak- an modernitas harus tetap para seniman. dipelajari secara suntuk oleh Dan seandainya swastanisasi badan- badan yang mena- terlaksana ngani kesenian. "Baru kemudi- an kita menata kembali ba- beaya semaksimal. Dalam pe- tergelar di dalamnya akan gaimana mempertahankan se- mangat Yogyakarta, setelah nerbitan dan pembacaan puisi menjadi ajang promosi pro- duk. "Jika ada pawai berlabel tahu liku-liku dinamika so- kali ini, pihaknya hanya me- produk tertentu, saya kira itu Ki Nayono bukan tidak sah saja. Tapi yang jelas, ke- terlibatan swasta itu hanya paham soal ini. Ia meminta dalam soal dana saja. Bukan semua panitia yang memba- sebagai penentu orientasi kecilnya kultural FKY," kilah Bakdi. Mampukah FKY ini menjadi libatkan 21 penyair. sial budaya," ujarnya. -Sebagai acara tahunan, apakah sesungguhnya rele- vansi kultural FKY ini de- ngan kondisi Yogya sebagai kota budaya? Khususnya Sistem akomodasinya juga harus sejak semula memperhitungkan rasio- nalitas dan keadilan dalam bagi kehidupan seniman di sini? Bermaknakah ia secara lebih kualitatif? suk dalam soal penganggar- Dalam rangkaian wahi seksi acara bersikap rea- pembagian peluang, terma- FKY mau tidak mau harus bergerak untuk menjadi pro- fesional. Tidak hanya dalam soal penanganan, melainkan juga dalam meletakkan visi kebudayaan di dalamnya. Artinya, FKY tidak sekadar menjadi upacara tahunan, "Sementara ini masih agak yang tidak memiliki daya sulit. Untuk meningkatkan sengat kultural. Melainkan kualitas, sasaran pandang satu pergelaran berbagai cabang kesenian. potensi budaya Yogya yang biaya 23 cabang kesenian harus diubah. Selama ini Mi- Adanya ketidakadilan baik tradisional maupun orientasinya kan selalu ke mengandung bobot kualitatif. listik menghadapi Tapi bukan berarti FKY III ini berjalan mulus. Ketua Bidang Dana FKY III, Drs. Ki. H. Amri Yahya menjerit soal dana. "Sampai kini dana yang an biaya. Keadilan yang ukuran bagi kesenian di acara sama maksud tentu bukan "sama rata sama sebenarnya dibutuhkan forum atau sarasehan rasa". seniman. Dan di sini, kami melainkan mempertimbang- untuk menggali yang telah terlumpul sebanyak 97 tidak sedang nanggap me- kan kepantasan bagi setiap makna Anda tanyakan. Ada beberapa hal yang reka," ucapnya. Untuk mem- Juta rupiah. Masih butuh beaya 50 juta rupiah juta, karena beaya totalnya sekitar menggelisahkan saya. SURA KELEMAHAN sebagai institu- memiliki si kesenian Yogya tidak tradisi pergaulan yang fair de- penyair di bawah- Waktu itu penyair-penyair muda agenda yang cukup luas da- tidak kalah inspiratifnya. tra. Teori sastra yang berakar lam proses belajar transfor- matif. Lahirnya karya-karya yang melongok masa lalu tersebut adalah upaya ke arah transformatif tersebut. Hanya sekarang kita tak me- nemukan karya yang berhasil dalam upaya tersebut. Bah- kan karya-karya yang selama ini dinilai kuat, adalah tidak sepenuhnya berhasil melaku- kan "pengolahan" sejarah. Banyak sekali karya yang gagal hingga dikatakan seba- gai karya "yang kembali ke warna lokal" saja. Bukan karya transformatif. dari Marxisme yang dide- Indonesia menulis pas- ngung-dengungkan oleh Lekra toral yang hangat, keindahan legenda dan permainan anak- anak, serta balada romantis yang diterbitkan oleh berkala seperti Kisah, Seni dan Bu- daja. Sebuah buku yang ti- pikal buat angkatan 50-an ini antara lain adalah Priangan si Djelita, sebuah nyanyian cinta dan pemujaan tanah tumpah darah sang penyair. Menyusul Balada Orang-orang Tertjinta Rendra dan Romance Perdja- lanan Kirdjomuljo. Persoalan apa yang paling mendesak untuk dijawab Festival ini? oleh Pemda DIY dan DK DIY dalam rangka memberi bobot Pertama, sistem kualifi- kasi. Kedua, sistem akomo- dasi. Ketiga, orientasi nilai. Siapa saja anggota Steer- ing Committee dan bagai- mana cara kerja serta apa metode yang dipakai untuk menentukan seniman dan kelompok kesenian yang me- reka anggap representatif untuk tampil dalam FKY? Saya belum bisa berbicara apa-apa soal ini karena tidak tahu apa-apa dan FKY juga belum berlangsung. Tapi standar dan sistem kualifikasi ini harus 'diuji' secara mendasar, karena pencapaian karya daya di Yogya. seperti nepo-tisme, koneksi dlí. ~IVNI. itu bahwa donesia FKY suatu Seputar Keresahan Penyair Yogya Masalah Pemiskinan Sejarah dalam Sastra Adi Wicaksono yah semantik yang lain kini terpaksa menghadapi ruang yang statis. Inilah realitas di depan mata yang tak pernah Jadi keadaan kepenyairan kin malas berpikir ke arah digagas oleh penyair Yogya. itu, tak pelak ia kehilangan sparring partner). dikatakan demikian, tak sepe- Kebekuan, jika selayaknya Yogya, adalah potret kegagal- an dalam melihat masa lam- pau sekaligus masa depan. Hilangnya kegairahan ini juga muncul karya yang cukup menggairahkan, yakni fenomena Sutardji C Bachri dan beberapa penyair seang- kat secara kritis dan kreatif buat modal penciptaan (bu- kan mengangkat tradisi, war- na lokal, secara material se- katan serta penulis roman Di sini saya tak hendak nuhnya cukup bukti. Sebelum Melihat, dalam arti mengang- mengatakan bahwa persoalan klasik polemik kebudayaan selesai dan beralih pada isu politis-ideologis semata. Yang perlu dicatat adalah bahwa pada masa itu kebutuhan pertama bagi sastra adalah menyuarakan apa yang dika- Sebelum Chairil kita dibuat takan sebagai bahasa ideologi, resah oleh Sutan Takdir Ali-puisi-puisi gelap sebabnya yang dalam kata-kata Su- sjahbana yang menghimbau adalah keadaan interpretasi karno adalah "Revolusi". Tapi yang perti yang terjadi pada karya- cukup baik. Tapi perso- karya "lokal" selama ini) de- alan kita bukan itu. Persoalan kita adalah ketika sebuah karya musti dibredel, yang seharusnya kita ngan presisi "transformasi kreatif baik secara estetik Jika periode ini sering dise- but masa lahirnya banyak bukankah lebih baik diajukan agar tidak ragu-ragu berpa- maupun ide-idenya. Di sini akan berpikir dia gagal melihat akar tradisi- nya. Sedang kegagalan meli- hat, menengok, "menginter- pretasikan masa depannya adalah; kenal saja belum apalagi menafsirkan realitas- nya. ling sepenuhnya ke Barat - akan individualisme dalam ada hal yang menarik, meski kritik yang bermutu untuk menunjukkan kebobrokannya tapi ketimbang dilakukan pembe- rangusan. berganti-ganti arah. Individu- bahasa pada waktu itu meng- alir dalam satu muara, masih terbukanya pintu per- lebih menyiratkan keterpeso- naan akan Renaissance, seba- Ideologi, seangker apa pun, yang belakangan ketahuan alisme yang sebelumnya me- bentuknya makna universal bahwa himbauan tersebut rupakan barang asing, atau dari teori dan karya sastra lebih tepatnya belum bisa debatan. terhadap tugas sejarah yang diterima sepenuhnya (dan di sana sini, masih terdengar selama ini dilakukan. Teori gaimana kata kuncinya "mem- Chairil sangat memukau saat dan karya sastra, pada kita, bangun manusia baru" - se- berpengaruh untuk dipertanyakan. Dan sa- ya kira pertikaian politik. antar partai yang jatuh ba- ngun, masih mengesankan ke gairahan orang untuk berpikir itu, maka sangat hubungan antara keduanya dang polemik kebudayaan terhadap tarik menyertainya kemudian nya) kini ia menghadapi menghasilkan proses menarik yang sukar dime- ngerti. dibanding seka- demokratis rang. menunjukkan betapa ide masalah lain. Yakni kecende- rungan Chauvanistik bersa- maan begitu dekatnya masa kemerdekaan dan artinya belum jelasnya apa yang dise- but kembali pada paham kebangsaan tersebut. Babak-babak berikutnya adalah mosaik yang menam- pak dari titik ekstrim ke titik ekstrim. Pada saat perjalanan sejarah menuju puncak "poli- tik sebagai panglima", campur tangan ide sebagai bentuk ideologi merupakan makna tak terelakkan di dalam sas- HEROESKGNO Nouahana. Suasana hening kembali. proyek. Orang pilih angka Dua laki-laki sibuk mem- kecil kalau menyangkut hu- bolak-balik angka. Si kecil di kamar sebelah juga mem- bolak-balik angka ditemani ibunya yang juga sedang membolak-balik angka. Yang pertama angka-angka undian, yang kedua angka matemati- ka dan yang ketiga angka nilai Angka-angka. Betapa ang- siswa-siswa. ka-angka digeluti banyak orang. Orang tentu pilih ang- ka-angka besar kalau me- nyangkut penghasilan atau Ariel Heryanto meski semakin lama kelihatan menjemukan lantaran orang sudah sedemi- memperoleh kemenangan kian acuh dan seniman sema- sementara terhadap lawan mereka, yakni kelompok "Ma- nifes" dengan humanisme universalnya. Memang ada saatnya ketika kegairahan itu timbul ketika isu sastra kontekstual naik ke permukaan, tapi setelah itu hilang begitu saja. Sebelum- nya agak ramai tentang kritik ganzheit dengan kritik analis- tis, tapi juga berlangsung sebentar. Ketika ada yang pernah mencoba menarik-narik garis sastra ke bahasa politik (yang masih rajin ditiupkan oleh Kebebasan, Emha Ainun Nadjib dalam soal ini akan sangat mengurangi makna integri- urusi FKY, Pemda tas DIY dll. terhadap kaum pe- kerja seni, masyarakat pemí- nat seni budaya maupun ni- lai-nilai kebudayaan pada Kemudian soal orientasi umumnya. seniman seperti antara raja nilai. Pertanyaannya ialah dengan kawula. Itu ironis, pada titik berat nilai yang karena sebenarnya eksis- mana FKY diorientasikan. tensi institusi kesenian itu dimungkinkan hanya oleh Saya tidak apriori terhadap pariwisata. Tetapi keliru jadi kerja kaum seniman: kalau pertimbangan turisme mereka sebenarnya ditugasi oleh Negara dan digaji oleh untuk digagas secara parsial. Ori- entasi kepartiwisataan FKY rakyat justru merupakan dorongan bagus kaum seniman. kualitas para pekerja seni Pariwisata tidak Yogya. harus identik dengan 'hu- ling sadar semacam ini kum pasar', 'kesenian seba- dibuka oleh forum yang saya maksudkan maupun oleh gai komoditi' atau 'selera nuansa menyeluruh dari pe- FKY, saya dok untuk nanting taraf paham dan kesadaran semacam ini? Kalau kesenian DIY dan DK- memang menjadi pegawai di bidang itu, tanpa berbekal empati dan gagasan yang memadai. Terkadang bahkan hubungan antara birokrasi kesenian dengan kaum menantangnya. Betapa meng- godanya. MINGGU, 2 JUNI 1991.5 Terus terang saya bahkan punya kesan bahwa para birokrat kesenian kita belum pernah sungguh-sungguh menghargai peran kaum seniman dalam mekanisme kebudayaan, masyarakat *** pepaya. Yanto dan negara. Mereka meng- karena Ada contoh kasus yang Kebebasan, apa yang diba- yangkan kemudian menun- jukkan betapa pertautan menarik, yakni Afrizal Malna antara realitas dengan kema- yang puisi-puisinya merupa- kan loncatan keluar dari "tra- disi". Dalam lompatan terse- but kita mendapati puisi yang juan kebudayaan lewat sains yang menghasilkan tekno- struktur, mekanisme moder- tidak pernah kita terlibat di nisasi mental, yang didalam- nya berlangsung apa yang dalamnya. Ini adalah potret disebut terurinya simpul- merangsak ke depan dengan simpul epistemologi lama. meninggalkan semua "masa Pada seni, bahasa, berangsur- angsur mengalami demistifi- kasí, desakralisasi, "Kalau Ben," nesia pada umumnya. Peme- ke In- rintah DIY sebaiknya meng- kalkulasi kembali bahwa "wibawa Yogya" itu terutama terletak pada kraton, pe- ninggalan sejarah, serta lalu". Jadilah puisi-puisinya tidak ada sangkut pautnya di mana dengan "keseluruhan sejarah" kedudukan simbolik terhadap tempat ia lahir. Ini bisa dika- realitas mengalami perubahan takan sebagai "kecelakaan" yang sangat mendasar. juga apa yang transformatif tapi juga "pilih- an" lantaran sukarnya mere- dibayangkan sebagai ngkuh khasanah "sejarah" situasi di mana orang dengan tersebut. Keseluruhan sejarah leluasa bergerak dari wilayah tersebut yang dilupakan pe- semantik yang satu ke wila- nyair Yogya.... Yanto hampir tak capek, jawab Tuti. makan dengan te- nang. Tidak cerita macam- macam seperti biasanya. Tuti ikut diam. Tetapi wajahnya tetap mencerminkan senyum. melayani Adakah nyelenggaraan berharap pada gilirannya nanti akan kita temukan bersama pemaknaan FKY- FKY bagi pertumbuhan ke- budayaan Yogya dan Indo- BISA ditebak, Yanto pada Kamis siang ini karena luputnya tebakan se- malam. Dia seperti tanpa daya melepas sepatu, pakaian dan tas kantornya. Isterinya, seperti biasa, senga- melempar ja mendiamkan. Tidak usah nunduk macam-macam, Tuti kemungkinan sa- bisa karya kaum seniman, di samping lembaga-lembaga pendidikan. Tanpa itu.. Yogya tak dipandang sebagai Yogya oleh masyarakat na- Tapi sional. Pemerintah menakar harga kesenian kita sesuai dengan realitas itu? Kaum seniman Yogya kuman bagi dirinya. Orang Wajah menyenangkan yang ha i pilih angka sembilan atau sepuluh kalau menyangkut nilai. Orang pilih angka se- dang-sedang kalau menyang- kut usia. Orang mulai was- was kalau angka usianya meninggi. Tapi orang pingin pernah meluruhkan Yanto yang sebenarnya ham- pir tertutup akibat ditinggal pergi begitu saja oleh pacar pertamanya. "Aku capek, capek," kata kedengaran. ya ngaso tho angka yang pas untuk nomor- nomor tebakannya. Pas, ka- pan bisa pas? Yanto, Effendi dan pemikir-pemikir angka la- innya terus mencari dan men- cari. Betapa susahnya. Betapa "Bukan itu yang kumak- sud. Nuk. Capek ngikutin mas Effendi," katanya. "Maksudmu," tanya Tuti pada umumnya diperlaku- kan sebagai 'anak liar', 'anak buangan, atau 'anak yang perlu dicurigai'. (dra). bertanya masih tetap diam. nanti malah salah kedaden. Namun hatinya mulai berbu- Malah salah jadinya. nga. Seperti biasanya pula dia melayani suaminya makan si ang dengan penuh kasih sa- yang. Dia mengambilkan nasi tidak terlalu banyak, sayur Yanto. asam kesukaan suaminya, pernahkah kita di sini setengah penasaran. "Dia duitnya banyak. Teba- kannya besar. Lha, aku? Du- lesunya itku kan pas-pasan. Aku telah menyusahkanmu belakangan tempe dan tentu saja keru- puk. Juga air putih dan buah diri. ini dengan pinjam uang. Bah- kan hampir menyuruhmu menjual giwang pemberian ibu. Aku ini apaan. Kenapa jadi begini...." katanya me- "Maksudku, aku pingin berhenti main angka. Angka- angka sialan. Kapan ketemu- nya, lari-lari terus...." kata Tuti hampir saja tertawa. Tapi ia mencoba menahan "Ben, kapan angka punya kaki kok bisa lari." goda Tuti tanpa takut suaminya jadi marah. Sejak dulu Yanto memang tidak suka marah. yang antara lain membuat Ini Tuti senang. "Sudahlah, Nuk. Aku scri- us. nih. Aku sudah bosan dengan angka-angka itu. Aku pilih angka-angkanya Wiwit saja. Kasihan kamu ikut repot membantu dia," jawab Yanto. Tuti tidak bisa menahan gembiranya. Ia mengesun rasa suaminya dengan mesra. "Ma- kanya, jangan suka mengejar angka. Aku saja Ben, pasti mudah kau tangkap...." kata- nya sambil tersenyum. *** 2cm 4cm