Tipe: Koran
Tanggal: 1998-01-02
Halaman: 14
Konten
SOLOPOS, JUMAT PAHING, 2 JANUARI 1998 Dari forum diskusi Refleksi Akhir Tahun SOLOPOS Mega Bintang, kejutan sejarah Pemilu Tahun 1997 telah berlalu. Berbagai peristiwa penting yang terjadi selama tahun itu, barangkali sangat penting untuk dijadikan catatan dalam menyongsong tahun 1998 Untuk itu, SOLOPOS baru-baru ini menggelar diskusi bertema "Refleksi Akhir Tahun 1997, dengan pembicara Sekretaris DPC PPP Solo, Zainal Ma'arif SH, pengamat hukum Aidul Fitriciada Azhari SH, budayawan Halim HD dan aktivis LSM Eko Sulistyo, Berikut ini rangkuman reporter Espos, Wahyu Susilo dan Mediansyah dari diskusi yang dihadiri sejumlah aktivis Ormas, LSM, mahasiswa serta praktisi politik Kota Bengawan ini. T Nahun 1997 boleh dibilang merupakan tahun paling marak dengan aksi kerusuhan sepan- jang dekade 1990-an. Pada tahun yang baru saja ditinggalkan itu, berbagai peristiwa sosial poli- tik, budaya, ekonomi hingga ekologi berlangsung susul menyusul. Namun dari berbagai peristiwa, Sekretaris DPC PPP Solo, Zaenal Ma'arif melihat bahwa momen paling penting sepanjang tahun itu adalah Pemilu 1997. Menurut dia, pada Pemilu 1997 telah muncul fenomena baru yang belum pernah terjadi selama negeri ini menggelar hajat pesta demokrasi semacam. Fenomena tersebut adalah lahirnya Mega Bintang yang lahir akibat kekecewaan massa PDI Megawati terhadap PDI pimpinan Soerjadi yang dinilai inkonstitusional Kekesalah warga PDI Megawati itu kemudian dilamplaskan dengan menyalurkan aspirasi Pemilu ke PPP. "Dan, fenomena Mega Bintang itu lahir bukan dari kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya atau lainnya. Tapi justru dari Solo, Kota inilah yang membidani lahirnya feno- mena besar dalam sejarah Pemilu negeri ini," ungkap Zainal yang juga Wakil Ketua DPRD II Kodya Solo. Apa yang diungkapkan Zainal juga diakui pem- bicara lain, Eko Sulistyo. Menurut aktivis LSM Gita Pertiwi ini, kehadiran Mega Bintang memang telah menambah gairah politik Kota Bengawan, khususnya dan Indonesia umumnya. Tak hanya itu, PPP Solo sebagai Orsospol yang memelopori lahirnya Mega Bintang tak hanya melancarkan manuver sampai di situ saja. Hingga di akhir tahun 1997, partai Bintang Solo tetap memainkan move-move politik yang cukup menggelitik. Misalnya, pemunculan isyu sega aking, dan aksi boikot persidangan Dewan. Saya kira, pengguliran isyu bahwa masih ada sebagian masyarakat Solo masih makan sega aking adalah hal menarik. Setidaknya untuk menepis asumsi bahwa kemakmuran di negeri ini sudah merata," ucap Eko. Tahun keprihatinan Sedangkan Aidul Fitriciada Azhari, dosen Hukum UMS, berpendapat bahwa 1997 adalah tahun keprihatinan. Alasannya, peristiwa peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1997 memang umumnya bernada keprihatinan. Jika dikalku- lasikan, memang tahun 1997 sarat oleh berbagai bencana yang bukan saja menimbulkan kerugian lingkungan fisik dan jiwa, tetapi juga kerugian kemanusiaan yang sangat besar. Pemidanaan yang berat atas anak-anak muda berpikiran kritis yang terlibat PRD, serta yang ter- akhir kasus Jamsostek merefleksikan sepenuh nya kekuasaan yang korup dan manipulatif. "Dalam konteks ini, yang terjadi adalah pelang- garan HAM," tandasnya. Hanya sayangnya, peristiwa kerusuhan maupun krisis krisis lain yang terjadi selama ini, menurut Halim HD tak dilihat pada akar persoalan secara berbagai peristiwa dan gejolak politik yang diwarnai aksi kerusuhan sosial atau kerusuhan massa. Seperti diketahui, selama hari-hari sesudah maupun sebelum kampanye dalam Pemilu 1997 lalu banyak diwar- nai aksi kolektif destruktif yang menimbulkan korban tidak sedikit. Kasus kerusuhan massa seperti di panggung kampanye Pekalongan, Ujungpandang, Pasuruan dan di wilayah Jakarta Selatan, merupakan sederetan contoh tindakan amuk mas sa yang bisa dicatat Pemilu yang seharusnya menjadi wacana perwujudan pelaksanaan demokrasi untuk dimungkinkan- nya terjadi sirkulasi elite-sebatas dijalankan untuk melegitimasikan for- masi kekuasaan yang sudah ada. Potensi amuk massa ini diperki- rakan tetap akan menjadi masalah krusial yang mempengaruhi dinami- ka sosial masyarakat arus bawah di tahun 1998. Dinamika ini diperkirakan akan semakin meningkat dengan adanya krisis moneter dan pengaruh ke- keringan yang berkepanjangan bebe- rapa bulan yang lalu, yang dampaknya sangat dirasakan langsung oleh masyarakat Krisis moneter sendiri diperkirakan akan terus berlanjut paling tidak sepanjang tahun 1998 (Econit, 1997). Dampak paling dirasakan masyarakat dengan kejadian kri- sis ini adalah bakal terjadinya ledakan pe- ngangguran akibat banyaknya proyek-proyek pembangunan yang terpaksa dihentikan. Sedangkan kemarau panjang mengaki batkan krisis pangan di sejumlah daerah. Sehingga banyak petani terpaksa kehilang an pekerjaaan dan mengalami kesulitan ekonomi karena kegagalan panen tersebut. Maka jika tidak diantisipasi, hal tersebut dapat memicu keresahan sosial di masya- rakat. jernih. Tlap kali muncul peristiwa yang dicari jus tru adanya pihak-pihak yang memang layak diper- salahkan. Krisis moneter di penghujung tahun 1997 mi- salnya, dilekatkan pada sosok George Soros. Dia disudutkan sebagai spekulan yang merusak tatanan ekonomi moneter negara-negara di Asia Tenggara Soros-lah orang yang menyebabkan kondisi mo neter negara-negara Asia kacau dan mengalami kri- sis berkepanjangan. Sementara itu SU MPR 1998, tentunya juga akan makin meningkatkan suhu sosial politik masyarakat. Kelompok-kelompok sosial dan politik akan berusaha saling mem- perkuat political leverages guna meng- hadapi dinamika politik tersebut (dan men- jelang pembentukan kabinet baru, Maret 1998). Keinginan untuk meningkatkan lever ages tersebut terutama dilandasi oleh semakin meningkatnya ekspektasi terhadap peralihan generasi (generational transition) dalam lapisan kepemimpinan nasional. Peningkatan ekspektasi tersebut merupa- kan faktor pemicu dinamika sosial politik dan suasana ketidakpastian pada semester pertama tahun 1998 "George Soros dianggap sebagai biang dari munculnya krisis Tetapi kita tidak pernah melihat bagaimana sistem yang ada," katanya. Bagi Halim, kenyatan tersebut memperlihatkan betapa budaya masyarakat negeri ini masih selalu memposisikan hal-hal buruk selalu berasal atau dibawakan oleh mereka yang berada di luar lingkaran. Masyarakat tidak pernah mencap sesu- atu yang buruk itu kepada orang-orang di dalam lingkaraninya. Kasus lain misalnya pencekalun pentas monolog Marsinah Menggugatyang dibawakan oleh kelom pok teater pimpinan Ratna Sarumpaet. Pada saat itu, para seniman dan budayawan teater berteriak soal politik perizinan yang terkesan mempersem- pit ruang gerak kreativitas seni dan budaya. Para seniman dan budayawan menuntut adanya iklim yang lebih terbuka. Tapi di sisi lain, sebenarnya dunia teater kita juga belum terbuka. Meski mereka sering berteriak keterbukaan, nyatanya masih banyak dari mere ka yang malah tertutup terhadap rakyat maupun penontonnya," ungkap Halim HD. Kekerasan sebagai perlawanan Kendati demikian, ada kesepakatan pandang dari keempat pembicara maupun peserta diskusi bahwa pada tahun 1997 kekerasan telah muncul sebagai wujud perlawanan baru rakyat terhadap hegemoni negara. Kenyataan tersebut seakan membantah kekhawatiran sebagian kalangan yang semula memprediksikan setelah peristiwa 27 Juli 1996, aksi protes maupun gerakan prodemokrasi bakal mengalami stagnasi Hanya saja bagi Ketua SARI, Purwoko, peserta diskusi, hal yang kurang diperhitungkan bagi kalangan prodemokrasi adalah bahwa maraknya aksi kekerasan yang ditangani dengan prosedur hukum justru memunculkan tokoh. Bukan mas sa "Ini tentu saja menjadi bias dalam pengorga nisasian masyarakat," katanya. Purwoko juga berpendapat bahwa sejarah di dunia ini adalah sejarah kekerasan. Namun per- nyataannya kurang disepakati Halim. Menurut Halim, tak banyak kemungkinan ge rakan antikekerasan dilakukan dalam kaitan dengan pengorganisasian massa. "Tidak mung kin kita menuntut demokrasi dan keadilaan tanpa suatu landasan keadilan itu sendiri dan sikap antikekerasan," tandasnya. Dia berpendapat gerakan antikekerasan sekarang telah menjadi trend dunia dalam per- Eko Sulistyo "Cermati amuk massa pada tahun 1998" Eko Sulistyo pertengahan tahun 1997, dapat dirangkum berbagai kemungkinan yang akan menjadi penyebab atau pemicu kerusuhan sosial ke depan. Pertama, masalah-masalah yang berkai- tan langsung dengan isyu-isyu SARA. Dari serangkalan kasus yang terjadi seperti kejs dian kerusuhan yang bermula dari isyu seorang warga keturunan menyobek Alquran (di Pekalongan), siswi SLTP disu- ruh mengepel Toserba dengan jilbabnya (di Purwakarta), sampai kasus terakhir di Ujungpandang, warga keturunan yang diperkirakan gila membunuh seorang mus lim, menunjukkan bagaimana isyu yang dilandasi oleh sentimen SARA cukup efek tif membakar emosi massa untuk melaku- kan tindak kekerasan dan kerusuhan masal Dalam kasus semacam itu penanganan penyelesaian dengan penjelasan yang ter- buka secara cepat dari pihak aparat peme rintah maupun keamanan akan sangat mem- bantu meredakan suasana dan melokalisir permasalahan agar tak berkembang lebih jauh. TEGA Fenomena Mega Bintang yang dicetuskan di Solo menjadi kejutan politik dalam sejarah Pemilu. juangan berbagai kelompok manusia di seantero dunia. Bebagal kelompok manusia yang berjuang tersebut, makin menyadari bahwa antikekerasan adalah satu-satunya jalan untuk menerobos hukum formal dan menyatakan opini kedalam masyarakat. Bagi Halim, media massa pun hanya sanggup menyajikan fakta yang terpecah-pecah dan sangat kabur. "Rakyat tidak pernah bisa tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi," gugatnya lagi. Selama ini rakyat hanya menjadi obyek pem- bangunan. Adalah konsekuensi logis negara kese jahteraan (wellfare state) yang membebaskan negara (pemerintah) untuk menentukan pem- bangunan dan kemajuan serta kesejahteraan seper ti apa pun yang dianggap cocok, tanpa perlu pen- dapat rakyat. Di Indonesia pun, menurut Halim, gerakan antikekerasan adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan masyarakat madani (masyarakat sip il intelek yang ditandai sikap demokratis, kritis dan terbuka). REPORTASE Salah satu kendala dalam pencapaian tujuan di atas adalah pada penguasaan dan pengendalian isyu yang terlalu kuat pada tangan-tangan tertentu. Media massa yang menjadi tempat lalu lintas berba- gai isyu, juga tidak makin memberi kejelasan kepa- da rakyat pembaca, tentang problema apa sebe narnya yang sedang dihadapi bangsa ini. Maka belajar dari kejadian ini, sebaiknya kebijakan-kebijakan peme- rintah yang diperkirakan dapat memicu kerusuhan seperti rencana kenaikan harga BBM, tarif listrik dan lain-lain, dipertimbangkan masak- masak. Hak-hak rakyat Ketiga, masalah yang berkaitan dengan hak-hak rakyat. Kejadian seperti di Jenggawah, Banongan (protes petani), di Timika (Irian Jaya), Insiden Nipah (Madura) maupun beberapa kasus kecil lainnya menun- jukkan adanya keberanian dan per- lawanan sebagian masyarakat untuk menuntut kejelasan atas hak-haknya yang selama ini dilanggar. LANG Masalah ini biasanya terjadi akibat masyarakat tidak mendapat kepastian hukum serta mampetnya berbagai saluran komunikasi politik maupun pembelaan atas hak-hak masyarakat yang merasa dirugikan. D-AZTELA Keempat, masalah yang berkaitan dengan kesenjangan sosial, ekonomi dan kesempatan. Faktor kesenjangan ini sering pula men- jadi pemicu kerusuhan, karena seperti bebe- rapa kasus yang terjadi, pada akhirnya banyak sasaran kerusuhan adalah proyek- proyek yang dipandang sebagai milik non- pribumi yang relatif lebih kaya dibanding masyarakat umumnya. Kerusuhan seperti yang terjadi di Dolo (Timor Timur), misalnya atau di Jayapura (Irian Jaya) antara pedagang dari daerah lain dengan warga setempat, menunjukkan bah wa proses pembauran antar suku di Indonesia untuk Wilayah Timur khusus nya, masih menghadapi persoalan, karena dari sudut pandang sosiologis hal itu memunculkan pula persoalan sosial ekono mi. Potensi amuk massa di masa-masa men datang juga dapat dipicu akibat terjadinya deprivasi relatif dalam masyarakat (Hotman, 1996) yang ditandai dengan terjadinya ketimpangan yang makin melebar antara nilai pengharapan dengan nilai kemampu- an untuk meraih harapan itu. Apalagi dalam situasi seperti saat ini keti- ka proses pembangunan telah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi, meningkat- nya pengangguran maupun marginalisasi masyarakat akibat ketimpangan struktur produksi dalam masyarakat. Sikap aparat Kedua, masalah yang berkaitan langsung dengan sikap atau kebijaksanaan aparat. Biasanya dalam hal ini terjadi persinggung an antara sikap aparat dengan kepentingan maupun perasaan umum. Kasus seperti peristiwa 27 Juli, yang diawali dengan peng- Dalam proses trarisformasi inilah nilai- akuan pemerintah atas dilangsungkannya nilai pengharapan tentang demokratisasi, kongres PDI Soerjadi di Medan, yang dilan- keterbukaan maupun kebebasan berpen- Pemicu kerusuhan jutkan dengan penyerbuan kantor DPP PDI, dapat dalam berorganisasi, sering mene Menurut hasil catatan dan pemantauan telah menimbulkan kemarahan massa PDI mui jalan buntu akibat kuatnya supremasi Infid (Internasional NGOs Forum for pendukung Megawati yang berbuntut negara (state) yang menghalangi ter- Indonesia), berdasarkan faktor pemicu dan dengan aksi kerusuhan massa. Demikian salurnya aspirasi politik yang berasal dari kecenderungan dari serangkaian kerusuhan juga yang terjadi dengan kerusuhan di masyarakat (civil-society) sebagai jalan sosial yang terjadi pada tahun 1996 sampai Tanah Abang, yang semula dipicu oleh sikap menuju tercapainya harapan. Bagi peserta diskusi, Rahadi, format politik bangsa yang tidak bersinggungan dengan kepentingan rakyat, akhirnya hanya menghadirkan rakyat sebagai aksesoris sekali lima tahun. Pertama kali, format partai harus segera dibenahi," kata Rohadi yang juga anggota DPRD Solo itu. sosial politik, budaya, ekonomi hingga ekologi. Banyak di antara peristiwa tersebut akan jadi momentum sejarah penting dan berpengaruh terhadap kehidupan negara dan masyarakat dalam sepuluh dua puluh tahun ke depan. Kebakaran hutan, misalnya, telah menimbulkan kerusakan ekologis yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk merehabilitasinya. Demikian pula krisis moneter yang menjadi menu penutup tahun 1997. Juga penurunan perolehan suara PDI niscaya akan mempengaruhi peta politik Indonesia sedikitnya dalam lima tahun ke depan. Dalam bidang hukum, rangkaian panjang pena nganan kasus Udin, yang berakhir sementara dengan dibebaskannya Iwik dari tuntutan pidana, diharap kan akan menjadi preseden penting bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Pelanggaran HAM Unsur rekayasa dalam kasus Udin bagaimanapun telah menampilkan sejujurnya wajah kekuasaan yang miskin akan nilai-nilai kemanusiaan. Demikian pula kasus Jamsostek merefleksikan sepenuhnya kekuasaan yang tak tahu diri, korup, dan manipulatif. Dalam konteks ini yang telah terjadi ada lah pelanggaran HAM. Konteks seperti itu pula yang mewarnai kondisi hukum dan HAM selama tahun 1997. Hukum harus diletakkan dalam persdektif relasi antara masyarakat dan negara. Dalam perkembangan dewasa ini tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum telah menjadi instrumen sosial yang diproduksi oleh negara, dalam bentuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan keputusan pejabat. aparat dalam mela- kukan penertiban pedagang kakil Tahun hiruk pikuk dengan beragam peristiwa kinan yang dipandang akan menghambat kepenting klaim atas kekuasaan secara legal. Dengan cara 1997, yang telah ditinggalkan merupakan secara mampu mempertahankan lima. an kekuasaan. demikian proses konsolidasi dapat dilakukan di atas pijakan kuat, yaitu legitimasi hukum. Ketiga, konsolidasi kekuasaan tersebut merupa- kan konsekuensi dari kebutuhan untuk memperta- hankan penguasaan atas sumber-sumber daya ekono- mi dan politik yang tersusun dalam suatu pola yang memusat pada satu figur sentral, Oleh karena itu, memaknai fenomena-fenomena hukum tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari kepentingan-kepentingan politik yang melatarbe lakanginya. Fenomena hukum dan HAM pada 1997 ditandai pola hubungan krisis antara masyarakat dengan negara. Krisis tersebut diakibatkan perubahan sosial yang mengiringi proses pembangunan dalam jangka waktu panjang. Serta ditemukannya modus artikulasi kepentingan oleh masyarakat yang terjadi pada tahun sebelum- nya. Perubahan sosial terutama disebabkan oleh mobilitas pendidikan yang telah menghasilkan lapisan masyarakat yang terdidik dan sadar akan hak kewar- ganegaraannya. Sedangkan modus artikulasi kepentingan muncul dari memuncaknya responsi masyarakat atas rekayasa politik PDI yang berujung pada peristiwa 27 Juli 1996. Peristiwa politik ini telah memicu modus serupa pada masyarakat dalam merespon setiap kebijakan yang dipandang merugikan mereka. Di sisi lain, elit kekuasaan negara tengah meng- hadapi momentum yang dianggap penting berkaitan dengan kemungkinan terjadinya suksesi pada lima tahun mendatang. Situasi seperti ini terutama dise- babkan oleh karena negara tengah menghadapi SU MPR 1998. Zainal Ma'arif SH: 1997 Diwarnai perluasan kultur kekerasan politik Dalam situasi seperti itu elite-elite kekuasaan negara tengah melakukan konsolidasi untuk tetap mengua- sai sumber-sumber daya strategis bagi kekuasaan. Konsolidasi seperti ini mau tidak mau telah mening Bergabungnya massa PDI untuk ikut menyuk- seskan PPP mampu menaikkan suara dengan lonjakan yang cukup tajam baik di tingkat nasi onal maupun di tingkat lokal. Kenaikan di tingkat nasional yaitu dari 16,34% (1992) menjadi 22,65% (1997), PDI akibat kondisi yang memprihatinkan men- dapatkan hasil terburuk sepanjang sejarah Pemilu yaitu hanya meraih 3,05%. Perolehan ini jauh di bawah Pemilu 1992 yang mendapatkan 14,39% Sedangkan Golkar yang semula hanya mentar- getkan 70,25% mampu dilampaui dengan sangat tajam pula yaitu 74,50%. emilu 1997 sudah kita yang lahi. Namun serangkai- an peristiwa masih saja ter ngiang dalam ingatan kita. Goresan-goresan luka aki- bat berbagai perilaku pe- nyimpangan telah memun- culkan emosi massa yang tidak terkendali. Dalam hal ini contoh beberapa kasus- nya adalah peristiwa Sam- pang, Jember, Pasuruan, Bangkalan dan lain-lain. Selain itu, akibat dari rekayasa tertentu terhadap PDI, maka terlihat oleh kita adanya dualisme kepemim- pinan, yaitu PDI Pro kong- res (Soerjadi) dan PDI Pro Munas (Megawati) yang Zainal Ma'arif SH kemudian dalam menghadapi Pemilu 97 terjadi sudah tidak sesuai dengan zaman, sehingga kebingungan pada massa PDI mengalami kemunduran-kemunduran. Aktivitas PPP khususnya DPC PPP Solo yang dilakukan sebelum maupun di saat Pemilu tam- paknya mampu menarik simpati bagi massa PDL Dan pertautan di antara massa PPP dan PDI akhirnya secara spontan melahirkan istilah baru yang membuat penguasa ketakutan. Mega Bintang merupakan fenomena baru dalam sejarah Orde Baru yang sangat tidak masuk di akal para perancang format politiknya. Dan fenomena ini menandal adanya kesadaran baru bagi masya- rakat yang terpinggirkan dan tersisihkan. Kelima, apabila ditelaah lebih jauh lagi sebe narnya akibat dari format politik yang berkem- bang, para petugas birokrasi dalam melayani masyarakat sudah tanpa memperhatikan norma- norma hukum dan mereka membuat aturan-atu- ran sendiri sesuai dengan kehendak mereka sen- diri. Perluasan kultur kekerasan Meskipun hasil akhir Pemilu 1997 diketahui sebagaimana di atas namun yang perlu dievalu asi adalah terdapatnya beberapa efek samping yang akan menjadi kendala bagi masa depan, pertama, adanya perluasan kultur kekerasan politik pada masyarakat. Angka-angka kerusuhan yang sedemikian tinggi dan dengan korban yang terbesar sepanjang sejarah Pemilu dilaksanakan di Indonesia. Aidul Fitriciada Azhari SH "Hubungan masyarakat dengan negara alami krisis' Apabila kecenderungan ini telah menjadi bagian dari masyarakat dalam perkembangan lebih jauh dikhawatirkan terjadinya disintegrasi bangsa yang bersifat permanen, dan kekerasan ini akan menjadi bagian dari masyarakat. Kedua, perluasan penggunaan insentif material, Dalam Pemilu 1997, material telah menjadi kekua tan utama dalam proses mobilisasi politik. Model ini jelas akan semakin merusak idealisme masya- rakat. Ketiga, akibat lebih jauhnya maka sebuah sis tem kemasyarakatan yang korup semakin mudah Oleh karena itu, setiap instrumen yang melekat pada kekuasaan negara akan didayagunakan untuk kepentingan konsolidasi tersebut. Instrumen tersebut, diantaranya adalah hukum. Hukum pada dasarnye adaich penggunaan kekuasaan dan kekerasan secara sah. Dalam suatu negara demokratis penggunaan tersebut harus meng- acu pada prosedur yang transparan dan dirasakan adil oleh masyarakat. Di sinilah hukum telah menjadi instrumen atau alat bersama individu, masyarakat, dan negara untuk memperjuangkan kepentingan secara terbuka dan demokratis. Akan tetapi, sebaliknya di dalam suatu negara total iter hukum semata-mata berperan sebagai alat repre- si untuk kepentingan yang dianggap benar menurut pandangan penguasa. Hukum berhenti menjadi kek- erasan yang sah, tetapi manipulatif bagi kepentingan kekuasaan semata. Hak warga negara untuk memperoleh keadilan melalui proses-proses hukum menjadi terhambat dan terbentur pada kepentingan kekuasaan. Maka, ter- jadilah berbagi pelanggaran HAM yang bermula dari keinginan untuk menegakkan aturan menurut pan- dangan penguasa HALAMAN 14 Klasifikasi Dalam konteks inilah berbagai peristiwa hukum dan HAM terjadi pada 1997 yang dapat kita klasifikasikan sebagai fenomena-fenomena berikut: Pertama, terjadinya bentuk perlawanan masyarakat atas kekuasaan negara baik dalam bentuk penggunaan proses-proses hukum maupun bentuk kekerasan. Di sini perlawanan menjadi bentuk responsi masyara- kat atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara Dalam beberapa kasus seperti kasus penghinaan Presiden melalui buku Era Baru Pemimpin Baru kar ya Soebadio Sastrosatomo, kasus PRD, dan Sri Bintang perlawanan tersebut dilakukan dengan bersikap pasif atau menolak mengikuti proses hukum. Perlawanan tersebut tidak secara terbuka didukung oleh masya- rakat, tetapi dalam kasus Udin dukungan masyarakat lebih terbuka. untuk terbentuk. Keinginan pemberantasan korupsi, kolusi dan manipulasi sangat kecil peluangnya untuk direalisasikan, bahkan akan memungkinkan mengalami peningkatan. Keempat, mengapa berba gai gejala yang bersifat destruktif dan yang meng arah kepada disintegrasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini terlihat dengan lebih transparan? Jawaban dari pertanyaan di atas ada- lah karena format politik, budaya dan ekonomi yang dikembangkan sudah tidak mampu lagi untuk men- jawab dan memenuhi aspi- rasi rakyat. Demikian pula Dalam kasus lain masyarakat langsung bereaksi dengan kekerasan fisik dengan mengabaikan otoritas aparat penegak hukum, Ini terjadi, misalnya, dalam kasus bentrokan antara warga masyarakat dengan preman di Tanah Abang. Perlawanan juga terjadi dalam kasus-kasus pelang. garan hak-hak konsumen melalui class-action, seper- ti dalam kasus PLN dan Jamsostek. Dan kalau boleh disebut situasi sosial yang nyaris tanpa aturan yang pasti, atau dalam ilmu sosial disebut dengan "situasi anomi". Situasi ini dapat kita saksikan dalam pembuatan KTP, pem- buatan SIM dan lain sebagainya. Reaksi terhadap berbagai kasus baik itu ekono- mi, kebakaran, simpang siurnya pernyataan peja- bat, demikian pula dalam praktek keseharian dengan korupsi, demikian pula gampangnya dipergunakan kekerasan menunjukkan makin menipisnya penggunaan akal sehat oleh masya- rakat Indonesia. Budaya politik yang berkembang tidak terasa memandulkan budaya intelektual dan sebaliknya budaya materialistik, budaya kebendaan dan budaya kekuasaan tumbuh dengan suburnya. Hingga pada akhirnya yang berkembang dan kita ketemukan di tengah-tengah masyarakat adalah adanya kesadaran palsu. Yang pada akhirnya dikhawatirkan kita akan menjadi bangsa yang terbelakang disebabkan kita tidak terbiasa berpikir logis dan rasional. Keenam, untuk mengantisipasi agar bangsa ini tidak semakin terperosok di masa-masa akan datang, diperlukan perubahan dan penataan sis tem sosial politik, budaya dan ekonomi yang lebih ideal dan rasional. Apabila dirinci, maka penjabarannya terdiri dari adanya reformasi poli- tik, orientasi politik haruslah ke bawah yang dis ertai dengan syarat-syarat kebebasan, keter- bukaan, kesederajatan kejujuran dan keadilan. Syarat-syarat di atas haruslah dicerminkan ke dalam sistem kepartaian dan kemasyarakatan, sistem pelaksanaan Pemilu, susunan dan keang- gotaan DPR/MPR, penyeimbangan kekuatan legislatif, eksekutif dan yudikatif, kejelasan pelak- sanaan pasal 33 UUD 1945, penegakan etika dan moral, kejelasan sikap dalam menghadapi nepo- tisme, korupsi, kolusi dan manipulasi. Penguasaan dengan pola memusat seperti ini menimbulkan longgarnya kontrol dan responsibili- tas kepada masyarakat. Dan ini menyuburkan tindakan-tindakan penyalah- gunaan kekuasaan dan wewenang, seperti korupsi, kolusi, manipulasi, dan sejenisnya. Manakala figur sentral mengalami masa-masa krisis, maka timbul kekhawatiran akan lahirnya kekuatan yang mengan- cam pola penguasaan sumber daya tersebut yang mau tidak mau akan disertai dengan tuntutan akan responsibilitas. Keempat, konflik antara lembaga penegak hukum, yaitu Polri dan Jaksa, nampaknya merupakan dimen- si lain dari rivalitas antar lembaga pemerintah. Jika dile takkan dalam konteks penguasaan sumber daya ekonomi dan politik, maka rivalitas tersebut memun- culkan ke permukaan pola persaingan di kalangan pemerintah dalam rangka penguasaan sumber daya strategis. Kelima, masalah wibawa kekuasaan ini seringkali melahirkan tindakan kekerasan yang kemudian menggejala sebagai pola relasi kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, tidak saja aparat keamanan yang sering menggunakan kekerasan, tetapi juga anggota warga masyarakat. Kasus-kasus penganiayaan pembantu rumah tang- ga, kekerasan dalam Pemilu, dan bahkan perkosaan menjadi cermin bahwa kekerasan telah menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat dalam penyelesaian masalah. Khulasah Fenomena dalam bidang hukum tersebut mencer- minkan bagaimana pola perlawanan masyarakat dan konsolidasi elit kekuasaan mempengaruhi proses hukum pada tahun 1997. Kedua pola tersebut dalam skala makro menun- jukan tengah berlangsung konsolidasi kekuatan di kalangan masyarakat dan di kalangan elite kekuasaan negara sehingga masing-masing pihak dapat menaksir kekuatan. Dalam konteks seperti ini hukum menjadi andalan untuk sama-sama memperoleh legitimasi yuridis bagi masing-masing tatanan sosial politik yang diper- juangkan. Demi perkembangan hukum dan responsif demokratis kecenderungan seperti ini harus terus dipelihara untuk menumbuhkan konvensi-konvensi baru, preseden-preseden baru, dan kreativitas sosial lainnya dalam proses-proses hukum. Untuk itu, perlu didorong keberanian masyarakat untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kebijakan melalui proses hukum yang sekaligus pula dapat men jadi alat pemaksa bagi pemerintah untuk memasuki proses-proses hukum yang adil, jujur, transparan, dan demokratis. Perlawanan-perlawanan masyarakat melalui pro- ses hukum tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Sebaliknya, perlawanan masyarakat tersebut harus dipandang sebagai bentuk responsivitas masyarakat untuk menemukan pola partisipasi masyarakat melalui mekanisme legal sekaligus untuk membantu per- tumbuhan hukum yang responsif terhadap tuntutan perkembangan sosial. Kedua, terjadinya represi melalui instrumen hukum atas partisipasi dan kreativitas masyarakat oleh kekuasaan sebagai bagian dari proses konsolidasi kekuatan menjelang SU-MPR 1998. Hal ini juga bisa dipandang sebagai salah satu cara Represi dengan menggunakan instrumen hukum untuk menghindarkan tumbuhnya hedayı kekerasan ini memiliki keuntungan terpeliharanya legitimasi di tengah masyarakat.
