Tipe: Koran
Tanggal: 1988-08-25
Halaman: 06
Konten
Kamis, 25 Agustus 1988 Komentar: Larangan Ekspor Karet Mutu Rendah MENTERI Muda Perdagangan J. Soedradjat Djiwan- dono, dengan Surat Keputusannya No. 184/Kp/VI/1988, menetapkan pelarangan ekspor karet remah (SIR-50, SIR 5CV dan SIR' 5 LV) mulai 1 Januari 1989. Sebagai gantinya diterapkan skema standar karet remah baru, yakni SIR 3 CV. 31 dan WF, yang kualitasnya lebih tinggi. Karet spesifikasi SIR diperkenalkan di Indonesia 1969 (Menteri Perdagangan Sumitro), dengan tujuan untuk me- nangkal persaingan dengan karet sintetis. Spesifikasi teknis SIR itu sendiri, terus berkembang, di mana Indonesia meng- ikutinya dengan seksama. Atas hal itu, mulai Januari tahun depan, skema standar karet remah baru yang berlaku di Indonesia hanyalah SIR 3CV, 3 L, 3 WF, 5, 10 dan 20. Pelarangan ekspor karet mutu rendah (secara bertahap) diharapkan tidak mengganggu pelaksanaan ekspor karet secara keseluruhan. Bahkan juga tidak menimbulkan ekses, terlantarnya hasil karet rakyat, ataupun karet-karet hasil perkebunan. Mungkin juga, tidak mendorong terjadinya penyelundupan karet mutu rendah keluar negeri, yang dapat merugikan negara. Tahun lalu, Indonesia mengekspor karet sekitar 1 juta ton dengan nilai devisa USS 950 juta. Dari jumlah itu, ekspor karet mutu rendah SIR-50 sekitar 4.500 ton, yang menghasi- lan devisa US$ 3,5 juta. Ini berarti, hampir 50% ekspor karet Indonesia adalah bermutu rendah. Untuk itu memang perlu dilakukan re-adjusment dengan development product Stan- dard Indonesia Rubber. Diharapkan ekspor karet Indone- sia nanti, akan memberi perolehan devisa yang lebih besar. Disamping pula membawa dampak peningkatan pendapat- an dan tingkat hidup petani karet yang lebih layak. Surat Keputusan Menteri Muda Perdagangan telah dike- luarkan. Tentu diperlakukan aturan dan ketentuan pelak- sanaannya, sehingga pengertian larangan ekspor karet mutu rendah itu. Sama. Baik oleh aparat perdagangan ting- kat pusat dan daerah, maupun oleh aparat pemerintah daerah bersama aparatnya pula. Termasuk pula sikap masyarakat dan petani karet sendiri. Dalam menata perkaretan Indonesia, agaknya perlu pula dilakukan pengkajian menyeluruh, baik oleh pemerintah, maupun pengusaha dan produsen karet. Hal itu menyang- kut restrukturisasi perkaretan nasional, baik di bidang pro- duksi maupun di bidang tata niaga dan bisnis karet Indone- sia. Kajian mendalam, tentang orientasi produksi, akan menyangkut pula seberapa jauh produksi karet remah, di- samping untuk ekspor, dapat menunjang kebutuhan indus- tri karet dalam negeri dengan segala prospeknya. Dengan peningkatan mutu, seberapa jauh pula peningkatan harga dan penghasilan yang bisa diperoleh petani. Bahkan juga seberapa jauh saling manfaat dan kemajuan yang diperoleh petani karet dan pabrikan. Tak kalah pentingnya, tata informasi harga karet dan peluang pasarnya, harus dapat dimanfaatkan petani karet, dan tidak hanya dimonopoli pabrikan atau pengusaha karet belaka. Inilah langkah mutlak, yang mungkin perlu dilakukan pemerintah selanjutnya, dengan harapan ekspor dan pendapatan devisa bisa meningkat, petani karet dan perusahaan serta pabrikan, juga maju dan berkembang. Beban Koperasi Terlalu Berat ? Drs. Kwik Kian Gie (pengamat ekonomi) dalam cermah- nya di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wan- cana Salatiga Senin lalu mengatakan, beban yang diberi- kan kepada koperasi terlalu berat. Koperasi selalu disebut dalam satu napas dengan PT. firma atau bentuk perusa- haan yang lain. Padahal koperasi itu hanyalah barang mati yang diberi bentuk hukum. Menurutnya, ini merupakan akibat dari kecenderungan para pemimpin yang terlalu menganggap sakral terhadap apa yang ada dalam UUD-1945. Sehingga tanpa memper- dulikan apa itu hakikat koperasi, koperasi lantas diberi bobot idiologi, yang kemudian menjadi sakral, dan orang menggebu-gebu memaksakan pelaksanaannya dalam ben- tuk KUD dan lain-lain. Dalam membandingkan perusahaan lain dengan kope- rasi. Kwik Kian Gie melihat koperasi kita semakin jauh ketinggalan. Sedangkan di negara lain, koperasi ada yang berkembang dengan baik seperti dalam perbankan industri di Belanda, Jerman dan Swedia. Di kita Indonesia, tidak ada penggalian, mana yang cocok bagi koperasi untuk dikembangkan. Malahan, ada yang cocok untuk koperasi, diberikan pada segelintir orang dan yang tak cocok untuk koperasi diberikan pada koperasi. Pandangan dan bandingan Kwik Kian Gie ini, mungkin keliru atau mungkin ada benarnya. Namun begitu, Kwik Kian Gie lupa, bahwa kehidupan (sosial ekonomi) bangsa kita ini. baik di Jawa maupun Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dll, dilandasi oleh kebersamaan atau gotong royong. Mulai dari turun kesawah, sampai memetik hasil panen, dilakukan secara gotong royong, begitu pula dalam memikul beban keluarga dan masyarakat. Jika tak ada yang hidup sendiri-sendiri apalagi bebas sekehendaknya. Semuanya diatur menurut tatakrama, sopan santun lelu- hur bangsa dan negara ini. Penjajahan yang terlalu lama, termasuk pendidikan yang dikenyam pemimpin bangsa kita di Barat, tidaklah menggoyahkan tekadnya menghidup suburkan dan kembangkan negeri ini berdasarkan budi- budi luhur budaya sendiri. Dan inilah yang menjiwai UUD 1945, khususnya pasal 33 itu, yang secara tegas memberi perlakuan sama bagi koperasi, BUMN dan swasta. Terlepas dari segala kekurangan koperasi, PT atau firma dll. sebenarnya juga adalah barang mati yang diberi bentuk hukum. Permasalahannya kini, apakah ketinggalan kope- rasi dari swasta, lantas harus dimaki terus menerus. Mung- kin tidak, karena ada pedoman yang harus diikuti, yakni UUD pasal 33 itu, mungkin perekonomian negeri ini, sudah menjadi ekonomi liberal yang bersifat homo economicus secara total. Kita berharap, pandangan Kwik Kian Gie tentang kope- rasi ini, pantas di renungkan, tidak saja oleh pelaksana koperasi, tetapi juga pemerintah dan anggota parlemen ter- hormat kita. Harapan dunia usaha, sebagai lokomotif pembangunan, apakah hanya untuk swastaa yang menda- patkan tempat terhormat. Tidakkah juga koperasi ada dalam badan usaha ekonomi? Tinggal perlakuan, pemberi- an kesempatan dan kesungguhanlah yang mungkin dapat menggerakkan koperasi kita. HARIAN NERACA Perusahaan Penerbit Pers PT. PERSINDOTAMA ANTAR NUSA Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. No. 002/SK/Menpen/SIUPP/ A7/1985 Tanggal 14 Agustus 1985 Bank Pengasuh Pemimpin Umum & Pemimpin Redaksi : Zulharmans Pemimpin Perusahaan: Azwirman Noersal Redaktur Konsultan Staf Ahli Terbit Pagi Harga langganan Tarif iklan : BDN Cab. Gambir Jl. Ir. Haji Juanda Rekening Nomor : 30134740 BNI 1946 Cab. Kramat Jl. Kramat Raya Rekening Nomor : 0011472 BRI Cab. Khusus Jl. Sudirman Rekening Nomor : 3145.6823.5 Bank Umum Koperasi Indonesia Jl. Letjen S. Parman Rekening Nomor: 04.1508 Giro Pos: A 13350 Alamat Redaksi/ Tata Usaha/Iklan : Azwar Bhakti, Ferik Chehab, Drs. Peter Tomasoa : Ahmad S, Adnanputra : Dr. Anwar Nasution, Dr. Alfian, Drs. Abdul Latief, Tanri Abeng MBA, Sanjoto. : 6 X seminggu : dalam kota DKI Jakarta Rp 5.000,-/bulan luar kota DKI Jakarta/Daerah Rp 5.000,- /bulan ditambah ongkos kirim Display Rp 2.000 per mm/kolom Keluarga Rp 1.000 per mm/kolom *Baris Rp 2.000 per baris, minimal 3 baris : Jalan Jambrut No. 2-4 Kramat Raya, Jakarta 10430 323969, 332676, 337441 Telepon Tromol Pos No. 386. Telex Setting/Cetak 46000 NERACA 1 A Jakarta :P.I. Agrapress Isi di luar tanggungan percetakan Surat kabar ini dicetak di atas kertas produksi dalam negeri. ISSN 0215-3181 FORUM - OPINI Pengembangan Industri Komoditi Ekspor Indonesia * Masalah dan Pemecahannya galakkan ekspor komoditi non- migas. ADA empat alasan strategi yang". sangat mendesak mengapa kita me- merlukan pengembangan industri komoditi ekspor Indonesia, yaitu: Upaya untuk sejauh mungkin menekan, bahkan kalau mungkin mampu menciptakan surplus da- lam Transaksi Berjalan, sehingga kebutuhan dana bantuan/pinjam- an atau masuknya penanaman mo- dal asing tidak lagi terlalu dominan dalam pembiayaan pembangun- an. • Semakin mengurangi keter- gantungan pada ekspor migas, khususnya minyak mentah, yang selama tiga Pelita terakhir telah sangat menentukan posisi surplus dalam Neraca Perdagangan Indo- nesia. Memanfaatkan unggulan kom- paratif yang kita miliki dilihat baik dari segi sumber daya alam mau- pun sumber daya manusia yang kita miliki. • Sebagai ancang-ancang untuk persiapan yang lebih baik dalam memasuki era tinggal landas atau era Industrialisasi menjelang era Pembangunan jangka panjang ke- dua, yang akan kita mulai pada Pelita VI (1994/95-1998/99). Empat sasaran strategis tersebut, tentunya tidak lepas dari perma- salahan maupun kendala yang me- merlukan pemecahan sejak dini, sehingga empat sasaran strategis tersebut dapat terpecahkan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan Pelita V, yang akan kita mulai pada tahun anggara 89/90 tahun depan. Sesuai permintaan panitia pe- nyelenggara, maka kami ingin mengkaji keempat sasaran strate- gis tersebut dari segi permasalahan yang dihadapi dan bagaimana pe- mecahannya untuk kita kaji ber- sama. Masalah Transaksi Berjalan DALAM mengkaji perdagang- an luar negeri Indonesia, yang ter- cermin dalam Neraca Pembaya- ran, yang terpenting kita simak adalah posisi Transaksi Berjalan, bukan posisi Neraca Perdagangan (ekspor-impor komoditi). Posisi Transaksi Berjalan inilah sebenarnya yang akan menentu- kan arus modal dari luar negeri yang kita perlukan. Selama Transaksi Berjalan defi- sit maka selama ini posisi Neraca Pembayaran ataupun posisi cada- ngan devisa sangat tergantung pada keberhasilan menarik dana dari luar negeri, baik melalui pinjaman pemerintah maupun pemasukan modal asing (PMA). Sejak melakukan pembangun- an, hanya dua tahun berturut-turut kita mengalami surplus dalam Transaksi Berjalan, adalah pada tahun-tahun 79/80 dan 80/81, masing-masing sebesar US$ 2,2 miliar dan 2,1 miliar. Kemudian terus menerus defisit, US$ 2,8 (81/81), US$ 7 miliar (82/83), US$ 4,1 miliar (83/84), US$ 1,9 miliar (84/85), US$ 1,8 miliar (85/86), US$ 4,1 miliar (86/87), US$ 1,6 miliar (87/88, perkiraan realisasi), dan US$ 0,6 miliar 1988/89 (angka APBN). Terjadinya defisit Transaksi Ber- jalan yang cukup besar, baik me- rupakan perkiraan atau telah men- jadi kenyataan, telah mendesak pemerintah untuk melakukan de- valuasi Rupiah pada akhir Maret 1983 (defisit US$ 7 miliar) dan tanggal 12 September 1986 (defisit diperkirakan akan mencapai US$ 6 miliar bila tidak dilakukan tin- dakan devaluasi Rupiah). Pada tahun anggaran 87/88 ba- ru kita berhasil mencapai nilai ekspor non-migas sebesar US$ 9,4 miliar, dibandingkan dengan nilai ekspor migas US$ 8,9 miliar, dan total nilai ekspor adalah US$ 18,3 miliar. Dengan asumsi realisasi impor tidak melebihi US$ 12,5 miliar, serta impor jasa tidak lebih dari US$ 6,7 miliar, maka defisit Tran- saksi Berjalan untuk tahun 87/88 akan bernilai US$ 0,9 miliar, lebih kecil dari perkiraan realisasi se- mula (US$ 1,6 miliar). Upaya menekan defisit Transak- si Berjalan, atau mencapai surplus dalam Transaksi Berjalan, juga merupakan sasaran strategis untuk menekan tingkat Debt Service Ra- tio (DSR) oleh karena dengan peningkatan nilai ekspor yang di- dukung oleh eksor non-migas yang lebih besar, akan mengurangi per- sentasi DSR. Dengan rata-rata be- ban pembayaran hutang pokok plus bunga men- capai US$ 6 miliar/ta- hun untuk masa Pelita V nanti, maka sasaran eks- por total harus dapat mencapai jumlah US$ 30 miliar, untuk menjamin DSR aman pada tingkat 20 pct. Masalah Migas dalam Per- dagangan Luar Negeri WALAUPUN migas terdiri dari komoditi minyak mentah dan gas bumi, tetapi karena sebagai komoditi harga yang berlaku selalu terkait satu sama lainnya maka penurunan harga atau penerimaan minyak juga berarti penurunan pe- nerimaan dan harga gas alam. Melihat pada pengalaman tahun 1986, pada waktu harga minyak merosot secara drastik, ditambah dengan peranan suplai minyak OPEC dalam dasawarsa delapan- puluhan yang tidak lagi menguasai sebagai pemasok terbesar (hanya 35-40 pCt suplai minyak dunia) sehingga tidak lagi menjadi "price leader" seperti halnya dalam dasa- warsa tujuh puluhan (menguasai 6- 70 pCt suplai dunia), maka upaya untuk melepaskan diri dari keter- kan suatu sasaran strategis yang gantungan pada minyak, merupa- harus dapat dicapai dalam pelak- sanaan Pelita V. Memang betul pada tahun 1978/88 ekspor minyak realisasi- 8,9 miliar, tetapi hal ini bukan oleh nya masih dapat mencapai US$ karena volumenya yang mening- kat, tetapi disebabkan oleh harga minyak pada tahun 1987/88 da- pat bertahan rata-rata US$ 17/- barel; sedangkan dalam perhitung- an semula (APBN) harga minyak ditetapkan dengan harga US$ 15/barel. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah harga mi- nyak yang menggunakan valuta USS adalah sangat merugikan bagi negara kita sebagai pengekspor mi nyak ke Jepang, yang mengalami apresiasi mata uangnya terhadap US$ dolar. Kalau pada tahun 1985, untuk 1 barrel minyak Jepang harus me- nyediakan dana US$ 25 atau Y 5.950 (koers 238), maka dalam tahun 1988 dengan nilai tukar 125 dan harga minyak US$ 17/barrel Jepang cukup menyediakan dana Y 2.125. Dengan kata lain dengan nilai nominal yang sama Y 5.950 pada tahun 1988 Jepang dapat memper- oleh minyak Indonesia sebanyak 2,8 barrel. Karena Rupiah Indonesia terkait dengan US Dolar maka secara serta merta depresiasi Dolar terhadap va- luta asing lainnya juga berarti depresiasi Rupiah terhadap valuta asing yang mengalami depresiasi terhadap US$. Dalam tiga tahun terakhir depresiasi rupiah terhadap £ Inggris, D.M. Gulden Bld. Fr. Swiss dan Y; menimbulkan angka PCt=84 pCT, 115 pCt, 117,6 pCt, 121,4 pCt dan 206,6 pct. Depresiasi Rupiah diperkuat oleh adanya devaluasi 12 Septem- ber 1986 dan karena itulah dalam masalah penurunan harga minyak dan depresiasi Rupiah, situasi dan kondisi kita tampak seperti halnya: "Sudah jatuh ditimpa tangga pu- la". Perkembangan ketergantungan ekspor maupun penerimaan dalam APBN; terhadap minyak, dapat dilihat dalam Tabel 1 HARIAN NERACA Dari Tabel terlihat dengan jelas bahwa dampak kemerosotan har- ga minyak sejak 1986 telah meru- bah struktur maupun penerimaan dalam negeri APBN, sejak tahun 1986/87. Realisasi ekspor tahun 87/88 telah mencapai tingkat nilai ekspor migas lebih rendah dari ekspor komoditi non migas, yang dapat mencapai US$ 9,4 miliar. sini kualitas manusianya dilihat dari segi ketrampilan, keahlian, profesionalismenya dan tingkat tek- nologi yang dikuasainya (perang kat lunaknya). • Komoditi tersebut mampu memilik daya saing yang tinggi, dalam harga dan mutu baik seba- gai produk subtitusi impor dari luar negeri maupun sebagai komo- diti ekspor untuk pasar luar negeri. Mampu menciptakan nilai tambah (value added) yang cukup besar dari sumbangannya terhadap Produk Nasional Bruto atau sum- bangannya terhadap pendapatan masyarakat, terutama dilihat dari sudut partisipasi angkatan kerja, atau daya serapnya terhadap ke- sempatan kerja. Mampu menjadi komponen Tahun Anggaran 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 (APBN) a) Oleh Soeharsono Sagir Tahun/jenis Komoditi 1985 1986 1987 Tahun/jenis. komoditi 1985 1986 1987 kan nilai tambah, tetapi juga per- luasan kesempatan kerja. • Komoditi ekspor non-migas benar-benar merupakan produk dengan pengendalian mutu, sehing- ga bukan saja mampu bersaing dalam harga, tetapi juga dalam mutu produk. Prioritas utama komoditi eks- por adalah labour-intensive export commodity, dengan kata lain pri- madona ekspor adalah produk sub- sektor aneka industri dan industri kecil. Secara terarah ekspor komo- diti non-migas dicarikan pasaran baru sehingga tidak hanya terbatas pada pasar kuota. Sumber: Nota Keuangan Negara/RAPBN 1988/89 a). Harga minyak diperhitungkan US$ 16/barrel. Demikian pula tanpa kualitas manusia yang prima, yang me- nguasai ilmu dan teknologi, te- rampil, ahli dan profesional, inova- tif dan kreatif, tidak mungkin di- ciptakan nilai tambah dan perluas- an kesempatan kerja. Akhirnya tanpa kemampuan bersaing dalam harga dan mutu produk di pasar ekspor, sulit untuk dapat menjadikan komoditi eks- por industri sebagai andalan peng- himpunan dana devisa. Selain empat prasyarat tersebut, untuk jangka panjang perlu pula diperhatikan perubahan yang ter- jadi dalam tata ekonomi dunia, yang menurut Peter Drucker, ke- cenderungannya menunjukkan : *Bahan baku alam tidak lagi . Untuk semua jenis komoditi ekspor perlu adanya product de- velopment atau pengembangan produk, yang disesuaikan dengan selera pasar, kemajuan iptek mau- pun ketrampilan dan keahlian sum- Tabel I Nilai Ekspor dan Penerimaan Migas dalam APBN Pelita IV, 1984/85-88/89 (dalam pCt) Nilai Ekspor Penerimaan Migas migas, Juta US$ Kecenderungan yang dikonsta- tir Peter Drucker tersebut menun- jukkan bahwa selama negara kita masih dapat melakukan pengem- bangan produk dari bahanbaku dan tenaga kerja, sebagai unggulan komparatif, maka kesempatan ter- sebut perlu dimanfaatkan sebaik- baiknya. 13.994 12.437 kayu karet timah kopi 1.207:526 720.379 580.053 246.239 1.418.703 720.417 829.756 180.626 2.210.482 961.056 526.309 139.305 Udang lainnya 201.152 42.442 288.846 58.661 353.825 88.449 tahun terakhir telah mengalami maan negara di luar migas, yang apresiasi terhadap mata uang Do- perlu lebih ditingkatkan, untuk dengan out ward looking strategy, lar Amerika yang terutama didu- sumber pembentukan tabungan ku dan sumber daya manusia seba- dengan memanfaatkan bahan ba- kung oleh Surplus dan Transaksi pemerintah. Berjalan yang cukup besar, sebalik- gai unggulan komparatif. nya defisit yang besar terjadi pada Sasaran ekspor komoditi non- Transaksi Berjalan Amerika Seri- migas yang ditargetkan bernilai kat. US$ 11,3 miliar untuk 1988/89, menurut pendapat kami dengan mudah dapat dicapai asal enam syarat harus terpenuhi, ialah: Masalah Unggulan Komparatir tahun ADA empat prasyarat yang ha- Catatan terakhir (1987) menun- rus dipenuhi agar komoditi ekspor jukkan surplus Transaksi Berjalan non-migas, khususnya komoditi Jepang, Taiwan dan Korea Sela- industri, mampu menjadi prima- tan mencapai jumlah : US$ 82,5 dona ekspor komoditi non-migas miliar, US$ 18,3 miliar dan US$ 8 untuk menunjang total ekspor miliar. Indonesia, yaitu 6.966 8.900 8.174 Total ekspor komoditi non migas (dalam ribuan US$) kenaikan (pet) Jenis komoditi ekspor non- migas harus benar-benar memiliki unggulan komparatif, baik dilihat dari segi bahan baku, tenaga kerja maupun teknologi yang berlaku. Ekspor komoditi non-migas benar-benar merupakan hasil olah- Berdasarkan angka surplus ini- • Memiliki unggulan kompa- lah Ketua BKPM, melihat adanya ratif (comparative advantage) baik peluang besar menarik modal atau dilihat dari segi sumber daya alam- memanfaatkan modal tiga negara nya (bahan mentah), maupun sum tersebut, untuk mendukung peng-ber daya manusianya, termasuk di an, sehingga bukan saja mencipta- KB D pCt 70,3 66,8 50,9 48,6 41,9 Tabel 2 Perkembangan nilai ekspor komoditi non migas (dalam ribuan US$) utama dalam nilai total ekspor, ber daya manusia, sehingga mam- penghimpun utama devisa dalam pu memproduksikan komoditi Neraca Pembayaran dan menjadi yang sama untuk pasar ekspor, sumber utama untuk membentuk cadangan devisa negara kita. Empat prasyaratan yang dike- mukakan tadi secara tegas sulit untuk dipisahkan satu sama lain oleh adanya keterkaitan langsung atau tidak langsung yakni oleh karena nilai tambah tidak mung- kin terjadi tanpa adanya unggulan komparatif, sebaliknya tanpa ung- gulan komparatif tidak mungkin bersaing dalam harga dan mutu. 1985 5.983.292 Permasalahan bisa menjadi bagian perkembangan in- menggunung, namun dustri. *Di negara-negara industri, te- naga kerja tidak lagi menjadi bagi an perkembangan industri. *Ekonomi dunia semakin lebih banyak digerakkan oleh mobilitas modal dari pada mobilitas perda- gangan. Miliar Rupiah 10.430 11.144 6.338 W Sumber: Laporan Mingguan Bank Indonesia, nomor 1.513, 5 Mei 1987 Catatan: ada beberapa jenis komoditi yang tidak dikutip, seperti: barang-barang lainnya tapioka, rempah, kopra, alat-alat listrik dan semen. tetapi dengan disain, mutu yang lebih baik. 6.939 (APBN) 8.856 Dalam menjawab tantangan ekonomi, Bung Hatta meletakkan ikhtiar pada pengembangan eko- nomi rakyat kecil melalui bangun perusahaan koperasi. Dalam menanggapi tantangan politik, Bung Hatta menekankan persatuan dan kemurnian pelak- sanaan Pancasila. Dan dalam menjawab tantang- an internasional, Bung Hatta me- ngajak kita berpaling ke kawasan semudra Pasifik dan melaksana- kan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Data 1984 Dept. Perindustrian menunjukkan bahwa komponen impor untuk jenis produk IMLD (Industri Mesin dan Logam Dasar) dan IKD (Industri Kimia Dasar) menunjukkan persentasi rata-rata 62-70 pCt. Hal ini berarti komoditi d. Pakaian jadi, garment dengan ekspor olahan industri ILMD dan IK secara potensial belum cukup memiliki unggulan komparatif un- tuk pasar ekspor. desain khusus dan spesifik Indo- nesia, dan Pengembangan industri komo- Iditi ekspor yang memiliki unggu- lan komparative, menunjukkan pe c. Hasil agro industry lainnya ningkatan yang cukup besar, da- yang merupakan product deve- lam tugas tahun terakhir, diban- Menurut pendapat kami ada lopment; seperti jamur, sayur, dingkan dengan komoditi ekspor dalam kaleng dan lain-lain. Peningkatan ekspor komoditi beberapa jenis komoditi ekspor Taiwan berhasil memasuki era yang dapat dijadikan andalan, baik oleh adanya unggulan komparatif, industrialisasi, sebagai salah satu non migas, diperlukan bukan saja non INDIKATOR MAKRO EKONOMI INDONESIA 1. Pertumbuhan Ekonomi GDP (pCt) 2. Transaksi Berjalan dalam juta US$ 3. Nilai Cadangan Devisa Des. (juta US$) 4. Tingkat Inflasi (pCt) teh tembakau tekstil handicraft rotan 151.319 45.079 454.044 141.303 88.814 101.419 72.320 682.613 175.425 96.120 111.420 64.751 873.808 233.148 141.896 1986 1987 6.626.001 8.430.347 15,8 pCt 27,2 pct Dalam menghimpun kepingan jawaban Bung Hatta atas berbagai tantangan, tampaklah benang me- rah gagasan Bung Hatta yang me- nunjukkan corcern-nya yang pe- nuh pada nasib kemajuan rakyat kecil. apapun penyelesaiannya yang mau dicari, orien- tasi haruslah selalu pada kepentingan rakyat kecil, meningkatkan derajat dan harkat kesejahtera- an rakyat banyak. 5. Arus Pinjaman Pemerintah (juta US$) 6. Arus PMA 7. Kewajiban Pembayaran Hutang Luar Negeri dalam juta US$ 8. Debt. Service Ratio (dalam pCt) 9. Nilai Tukar Rupiah Terhadap US$ Concern-nya pada rakyat kecil ini pulalah menyebabkan penye- lesaian permasalahan ekonomi di- kembalikannya pada ide pokok : mengembangkan ekonomi rak- yat kecil melalui koperasi. Dan dari sinilah Bung Hatta melihat dasar politik perekonomi- an Republik Indonesia sebagaima- na terpancang dalam bab Kesejah- teraan Sosial pasal 33 Undang- Undang dasar 1945 bahwa: 1. Perekonomian disusun seba- gai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. nya kemakmuran rakyat." Sesuai dengan penjelasan dari pasal 33 UUD 1945 maka "dalam pasal ini tercantum dasar demo- krasi ekonomi. Produksi diker- jakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemak- muran orang-orang. Sebab itu per- ekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa "Perekonomian berdasar atas de- mokrasi ekonomi kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu ca- tembaga nikel 125.993 116.850 157.860 98.156 153.745 115.362 Defisit Transaksi Berjalan da- lam tiga tahun terakhir, sejak ta- hun 1985, kemudian ditambah de- BERTOLAK dari pikiran dan mengacu pada pasal-pasal lain da- lam Undang-Undang Dasar 1945 yang dianggap relevan menanggapi tantangan masa depan maka mun- cullah enam ciri dari sistem eko- nomi Indonesia yang mencakup: Pentingnya peranan Negara dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. ngan kemerosotan harga minyak mentah secara drastik pada tahun 1986 (pernah dibawah US$ 10/- barel, Agustus 1986, diperkuat. lagi dengan depresiasi Dolar Ame- rika, bukan saja berpengaruh ter- hadap Neraca Pembayaran, tetapi juga terhadap APBN, baik dilihat dari segi penerimaan maupun be- ban belanja rutin, yakni untuk membayar kembali hutang pokok plus bunga yang jatuh tempó, ke- semuanya itu telah berakibat se- lama tiga tahun terakhir arus modal luar negeri secara absolut terus mengalami peningkatan. • Pentingnya wewenang Nega- ra untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkan- dung di dalamnya untuk diguna- kan bagi sebesar-besarnya kemak- muran rakyat. Masalah Ancang-Ancang Tinggal Landas PELITA V mendatang merupa- Realisasi APBN 87/88 menun- jukkan adanya ekstra penerimaan migas, akibat harga minyak yang kan ancang-ancang untuk tinggal lebih tinggi (semula US$ 15/bar- landas, atau pembangunan jangka rel, nyatanya dapat mencapai US$ panjang kedua, yang akan dimulai 17/barel rata-rata) sebesar Rp 3,1 pada pelaksanaan Pelita V. Ting- Pemerintah mengusahakan sis- tem pengajaran dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Arus pemasukan modal untuk mengimbangi defisit Transaksi Berjalan, serta kewajiban melunasi Hutang Pokok (beban bunga di- perhitungkan dalam impor jasa triliun). Transaksi Berjalan), berturut-turut menunjukkkan angka = US$ 4 mi- por lar (85/86), US$ 6,7 miliar (86/- maka tidak saja nilai total ekspor gal Landas berarti memasuki era Industrialisasi. Negara memelihara fakir mis- kin dan anak-anak yang terlantar. Dasar perekonomian Indone- sia adalah demokrasi ekonomi Dengan meningkatnya nilai eks- komoditi Dengan kata lain tinggal landas bermakna menjadikan industri 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang me- nguasai hajat hidup orang banyak yang tercermin pada: a. Produksi dikerjakan oleh se- dikuasai oleh Negara. 87) US$ 5,3 miliar (87/88) dan dapat ditingkatkan, untuk surplus duct) sebagai motor penggerak uta- pengolahan (manufacturing pro- US$ 5,1 miliar (88/89). 3. Bumi dan air dan kekayaan mua, untuk semua di bawah pim- alam yang terkandung di dalam- pinan atau penilikan anggota ma- NTS (Dolar Taiwan), dalam tiga merupakan sumber untuk peneri- growth tersebut harus kita mulai pergunakan untuk sebesar-besar- katlah yang diutamakan, bukan Motor penggerak atau engine of nya dikuasai oleh Negara dan di- syarakat. Kemakmuran masyara- Yen, Won Korea Selatan dan yang lebih besar dalam Neraca Perdagangan, tetapi juga dapat ma untuk tinggal landas. kemakmuran orang seorang: 1983 1985 1986 1987 1984 1.640 1.020 1.100 970 1.670 Sumber : Nota Keuangan, Laporan Bank Indonesia dan sumber lain, diolah kembali oleh : S. Sagir. APBN pCt 65,6 57,6 39,3 40,3 40,6 kel. sawit 186.787 102.626 168.723 kelangkaan maupun bersifat pro- duk spesifik, misalnya: a. Hasil budidaya perikanan da- tangan orang-seorang. Pokok ketiga yang dimuat da- lam penjelasan adalah bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi ada- rat; beberapa jenis udang dan ikan darat, b. Hasil kerajinan tangan tradi- an ini, sebagai berikut : • Pengembangan Industri Ko moditi -ekspor merupakan suatu sional, spesifik Indonesia; kulit, keharusan; terutama mengingat kayu dan rotan, unggulan komparative, dan nilai un- c. Furniture khas Indonesia, baik tambah yang dapat diciptakan, tuk pemupukan devisa dan perluas an kesempatan kerja. dari kayu, bambu maupun ro- tan. OM NER 1982 1983 2,6 1987 1984 1986 6,1 1,9 3,2 2,2 3,3, 82/83 83/84 84/85 85/86 86/87 87/88 4.096 900 1.968 1.832 7.039 1986 1987 1982 1984 1985 4.151 1983 4154,2 5.143,8 5.751,4 5.846,2 5.302,3 6.512,4 1987 1985 8,9 1982 1983 1984 1986 11,5 8,8 4.30 8,8 9,7 82/83 83/84 84/85 5.793 3.519 5.011 1.191 499 1.795 84/85 85/86 86/87 2.684 84/85 13,5 Kerakyatan dalam Pembangunan (4) b. bangun perusahaan yang se-, suai adalah koperasi; bang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh Nega- ra. Kalau tidak, tampak produksi jatuh ke tangan orang-seorang Kentara dari ciri-ciri pokok ini yang berkuasa dan rakyat yang bahwa sistem ekonomi Indonesia, banyak ditindasnya. Hanya peru- yang bisa juga disebut sistem eko- hidup orang banyak boleh ada di organisasi ekonomi terdiri dari Ba- sahaan yang tidak menguasai hajat nomi Pancasila, memiliki susunan dan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Masyarakat (kope- rasi) dan Badan Usana Milik Dan motif usa hanya adalah me- menuhi keinginan pemegang sa- ham yang diungkapkan melalui Dewan Komisaris dan mengusaha- kan imbalan yang sebaik-baiknya atas saham yang dibeli pemegang saham. Swasta. Karena Indonesia sudah mewa 3.270 4.235 5.004 85/86 86/87. 87/88 17,2 32,2 33,2 Demikian pula Korea Selatan telah berhasil menaikkan tingkat pendapatan perkapita dari US$ 80 (tahun enampuluhan) menjadi US$ 2.700 (1987); surplus Tran- saksi Berjalan menunjukkan US$ 4,9 Milyar (1986), US$ 8 milyar (1987). Hutang Luar Negeri (Debt Burden) cukup tinggi, US$ 37 Mil- yar, dengan tingkat DSR:15 DCt. Bahwa perkembangan ekspor komoditi non-migas pada periode pasca devaluasi Rupiah 12 Sep- tember 1986 menunjukkan pening- katan yang cukup berarti, dapat dilihat dalam Tabel 2 dari "empat macan Asia", melalui untuk kompensasi penurunan har- ga dan penerimaan migas; tetapi juga untuk mencapai tingkat sur- plus Transaksi Berjalan, yang akan menjamin kuatnya nilai tukar Rupiah. pengembangan industri skala me- nengah dan kecil sebagai pendu- kung industri besar (proses keter- kaitan industri' Industri skala me- nengah dan kecil meliputi 98,3 pCt dengan tenaga kerja yang terserap lebih dari 70 pCt populasi angka- tan kerja (labor intensive); tetapi telah mampu menciptakan surplus dalam Transaksi Berjalan sebesar US $ 16,8 milyar (1986) dan US$ 18,3 (1987); cadangan devisa sebe- sar US$ 46 milyar (1986); nilai hutang luar negeri, hanya US $6,3 milyar, pada tingkat DSR 4 pCt (1987); dan pendapatan perkapita meningkat dari US $ 387 (1970) menjadi US $ 3.650 (1986). Oleh Prof. Dr. Emil Salim Halaman VI hak begrooting ada pada De- wan Perwakilan Rakyat. lah pokok-pokok kemakmuran risi sejumlah Badan Usaha Milik rakyat. Sebab itu harus dikuasai Swasta maka badan-badan ini te- oleh Negara dan dipergunakan un- tap dimanfaatkan kecuali badan- tuk sebesar-besarnya kemakmuran badan yang karena sifat strategis- rakyat. " nya perlu dialihkan menjadi Badan Usaha Milik Negara, seperti Javas- che Bank menjadi Bank Indonesia, KMP (Perusahaan Perkapalan Be- landa) menjadi 'BUMN Pelni, dan seterusnya. Pasal 33 berikut penjelasannya ini merupakan buah pikiran Bung Hatta 85/86 86/87 87/88 3.432 572 5.296 5.187 776 88/89 178 87/88 Dari Tabel 2 jelas terlihat po- Demikian beberapa kesimpulan tensi yang dapat dikembangkan untuk bahan kajian mengenai ma- untuk jenis komoditi: kayu lapis, salah pengembangan industri ko- meubel kayu; undangan d budi moditi ekspor, masalah dan peme- daya lainnya, tekstil, termasuk cahannya. garment; handicraft dan rotan. DARI apa yang telah diuraikan dimuka, maka sampailah pada pe- nutup atau lima kesimpulan tulis- ga Kerja R.I. Sebaliknya Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Masyarakat seperti Koperasi be- lum terbentuk pada permulaan ke- lahiran Republik Indonesia. Kare- na itu perlu dibentuk. Proses pengambil alihan sejum- lah besar perusahaan Belanda dan Inggris pada akhir tahun limapu- luhan oleh Pemerintah membuka sejarah perkembangan BUMN. Sedangkan kooperasi secara sadar dikembangkan sebagai bagian dari kebijakan Pemerintah sejak tahun limapuluhan. PENYELUNDUP ROTAN BISA DIHUKUM MATI! 6.400 88/89 35 Antara ketiga-tiga badan usaha terdapat perbedaan pokok dalam kelonggaran pimpinan badan me- ngambil keputusan dan pada arah orientasi usaha memenuhi kepen- tingan siapa. Selama Rupiah tidak didukung oleh Devisa hasil ekspor (surplus transaksi berjalan), maka selama itu, Rupiah selalu akan mengalami depresíasi; dan cepat atau lambat akan disusul oleh tindakan deva- luasi baru. Peningkatan ekspor komoditi non migas, sebagai bagian dari total ekspor harus ditingkatkan un- tuk dapat mencapai minimal 5 kali nilai kewajiban membayar hutang pokok plus bunga, vang rata-rata pertahun telah mencapai US$ 6 milyar; hal ini berarti dalam Pelita, V nilai ekspor total minimal harus dapat mencapai US$ 30 milyar/- tahun untuk mengamankan DSR. Hal ini dapat dicapai jikalau nilai ekspor non migas minimal dapat mencapai US$ 1,5 milyar/- bulan. Pengembangan industri komo- diti ekspor merupakan strategi yang dapat memecahkan masalah DSR, nilai tukar Rupiah dan posisi cadangan devisa. Juga sekaligus merupakan ancang-ancang untuk tinggal landas memasuki era indus- trialiasi. Soeharsono Sagir adalah Do- sen Univ. Pajajaran Bandung dan mantan Staf akhli Menteri Tena- Buruh yang pekerja dalam peru- sahaan tetapi tidak memiliki sa- ham diperlakukan sebagai pekerja yang menjual tenaga kerja untuk diimbangi dengan imbalan upah. Badan usaha milik negara beker- ja hampir serupa dengan badan usaha milik swasta. Yang membe- dakannya adalah bahwa pemilik saham perusahaan ini untuk seba- gian atau sepenuhnya adalah milik Pemerintah. Sedangkan buruhnya masuk da- lam barisan pegawai negeri yang hubungan kerjanya dengan perusa- haan lebih permanen. Pembebasan kerja seseorang kar- ya wan tidaklah longgar seperti yang terdapat di lingkungan peru- sahaan swasta. Yang membedakan perusahaan negara dengan perusa+ haan swasta adalah bahwa perusa+ haan negara harus bekerja dalam ruang lingkup yang dibatasi ken- dala yang ditetapkan Pemerintah. BUMN misalnya harus bekerja dengan harga atau biaya yang di- tetapkan Pemerintah. Barang dan jasa sudah ditentukan jumlah dan kualitasnya. Badan usaha milik masyarakat seperti koperasi merupakan orga- nisasi yang berlainan karakternya dibandingkan dengan perusahaan negara lain swasta. Orientasi usaha tertuju pada pengembangan diri manusia sebagai anggota koperasi. Partisipasi anggota, kemajuan anggota dalam kedudukannya se bagai manusia utuh merupakan tujuan kooperasi dalam ikhtiar me- ngisi kesejahtraan rakyat. Badan usaha milik swasta memi- liki tingkat kelonggaran yang besar bagi pimpinan perusahaan dalam Kooprasi bukan badan usaha mengambil berbagai keputusan milik swasta perorangan, karena penting. Karena pimpinan perusa- motivasinya tidak mengejar keun- haan bertanggung jawab kepada tungan bagi orang-perorang. Koo- Dewan Komisaris yang mewakili perasi bukan pula badan usaha pemegang saham, maka orientasi milik negara, karena yang memili- usahanya tertuju pada pemegang kinya bukan negara. sa ham. (Bersambung) Acap BUMN bisa diserahi tugas lain oleh Pemerintah yang bisa tidak bekaitan langsung ketimbang badan usaha milik swasta. KALAU PERLU DIDERA DENGAN ROTANNYA SENDIRI SEBELUM DI HUKUM MATI
