Tipe: Koran
Tanggal: 1997-07-21
Halaman: 04
Konten
Senin, 21 Juli 1997 Penerbit Pemimpin Umum/Pendiri Wakil Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi/ Penanggung Jawab Wakil Pemimpin Perusahaan Managing Editor Sekretaris Redaksi Redaktur Anggota Redaksi Terbit Tarip Iklan Alamat Telepon Perwakilan Jakarta Perwakilan Banda Aceh SIUPP Dicetak Oleh Yayasan SIKAP PRESS.. Harta Susanto. Supandi Kusuma. H. Soffyan. H. Ali Soekardi. Joeli Salim. Paulus M. Tjukrono. analisa H. War Djamil. H. Amir Siregar, H. Kaharudin, H. Bahari Effendy, H. Naswan Effendi, Usman Alie, H. War Djamil, Mulyadi Franseda, H. Ismail Lubis, H. Basyir Ahzar, Buoy Harjo, Agus Salim, H. Azmi Majid (foto). M. Hatta Lubis, Mac. Reyadi MS, Budiman Tanjat, A. Rivai Siregar, Hasan Basri Ns, Timbul O. Simarmata, Johan Jambak, Ismugiman, Idris Pasaribu, M. Sulaiman, Ali Sati Nasution, Samil Chandra, M. Nur, Hermansyah, Aswadi, Faisal Fardede. Kwa Tjen Siung. Hendar Tusmin, Anthony Limtan. Seminggu 7 kali. Rp. 4.500,- per mm/kolom (umum). Rp. 3.000,- per mm/kolom (keluarga). Jalan Jend. A. Yani No. 35 43 Medan. Kotak Pos: 1481. Telex No.: 51326 ANALIS IA. Fax: (061) 514031, Telegram: ANALISA MDN. Redaksi: 556655 (2 saluran)/511256. Tata Usaha: 554711 (3 saluran)/513554, Frans Tandun, Jln. K.H. Hasyim Ashari. No. 43-A Jak. Pusat Tel. 3446609/3844339/3453912 Fax.: (021)- 363388. H. Harun Keuchik Leumiek Jalan Tgk. Cik Ditiro 106 Tel. (0651)- 23839. Fax: (0651) 23839. SK. Menpen No. 023/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1985. Tanggal 24 Desember 1985. P.T. KUMANGO Medan (Isi di luar tanggung jawab pencetak), Tajukrencana Bahasa Indonesia di Era Pasar Bebas ABAD ke-21 sudah di ambang pintu. Tinggal tiga tahun lagi. Memasuki abad ke-21 berarti berada di dalam era perda- gangan bebas, atau pasar bebas. Dan ini dampaknya akan luas sekali. Justru yang akan masuk ke negeri kita bukan sekedar barang-barang produk dari luar negeri, tetapi juga pengaruh budaya asing, termasuk di antaranya bahasa. Hal ini tidak mungkin dapat ditolak. Justru sekarang saja su- dah mulai terasa pengaruh budaya dan bahasa asing tersebut, terutama sekali bahasa Inggris. Dan kelak pada era perdagangan bebas, pengaruh bahasa Inggris akan lebih kuat khususnya di bidang perdagangan dan ekonomi. Akan lebih banyak kata dan istilah asing yang akan mendominasi aktivitas perdagangan khususnya, dan ekonomi umumnya. Hal ini menimbulkan kekuatiran para pakar bahasa Indonesia, bahwa suatu saat kelak beradaan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia, akan terdesak dan kehilangan wibawa. Keadaan seperti ini telah dialami oleh beberapa negara, meskipun secara resmi memiliki bahasa nasional namun tidak berfungsi sebagaimana semestinya karena kalah didominasi oleh bahasa asing (Inggris) yang memang lebih mendunia. Kekuatiran para pakar ini jelas tergambar dalam Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional (Munas) Him- punan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI) VII di Kampus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan awal Juli lalu. Mereka mempertanyakan, mampukan bahasa In- donesia bersaing dengan bahasa asing di era pasar bebas? Jawabnya memang sulit ditemukan. Seperti dikemukakan Prof. Dr. Amran Halim, pakar bahasa dari Universitas Sriwijaya Palembang, problem kebahasaan yang sampai saat ini masih tetap menjadi agenda adalah "sikap masyarakat Indonesia sendiri terhadap bahasa Indonesia". Jika sikap masyarakat Indonesia dalam mempergunakan bahasa Indonesia tetap tidak mantap seperti sekarang ini, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi akan lemah sekali dalam menghadapi persaingan bebas kelak, terutama sekali menghadapi bahasa Inggris. Tan- tangan ini adalah sangat berat, dan perlu secepatnya disadari oleh semua pihak. Para pakar bahasa tersebut, dan tentunya kita semua sebagai bangsa Indonesia, tidak menginginkan kelak bahasa Indonesia akan lebih tersisih, kehilangan fungsi dan wibawanya. Ini tidak diinginkan, justru bahasa In- donesia adalah bahasa nasional, bahasa persatuan dan kesa- tuan, yang lahir dan tumbuhnya melalui perjuangan dan pengorbanan yang berat. Bahasa asing (Inggris) jelas sangat diperlukan, bukan sa- ja kelak dalam pasar bebas, tetapi juga sejak sekarang. Yang sebaik-baiknya masyarakat Indonesia mampu berbahasa In- ggris, kalaupun tidak aktif yang setidak-tidaknya pasif dan mengerti maksudnya. Apalagi masyarakat yang tergolong intelektual, seperti para sarjana, dan sebagainya. Dengan demikian mereka pun dapat berkomunikasi secara global. Pendek kata tidak tertinggal. Tapi ini bukan berarti harus meninggalkan atau meremehkan bahasa Indonesia. Tidak! Bahasa Indonesia tetap dipelihara, dikembangkan, dan digunakan secara baik dan benar. Dalam mengejar persaingan di dunia internasional, kita tidak boleh mengorbankan bahasa sendiri. Justru bahasa adalah jatidiri sebagai bangsa. Maka itu benarlah ucapan para pakar, agar sikap masyarakat harus positif terhadap bahasanya sendiri, bahasa Indonesia. Artinya senantiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan benar dan baik. Tidak seperti sekarang ini, masih banyak pihak yang meng- gunakan bahasa nasional ini secara serampangan, seenaknya sendiri, membuat kaedah bahasa menurut seleranya sendiri, sehingga bahasa Indonesia sekarang ini terasa seperti tum- buh secara "liar". Justru itu sangat diharapkan para pakar bahasa, dengan bantuan pemerintah secara aktif dan positif, menumbuhkan sikap dan prilaku berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam masyarakat Indonesia, untuk segala bidang termasuk bidang ekonomi dan perdagangan. Jika ini dapat terlaksana, tak ada yang perlu dikuatirkan, bahasa Indonesia pasti akan turut berperan dalam dunia internasional sebagaimana ba- hasa Inggris. Surat Pembaca. Beca Bermesin di Medan Sudah Mesti Diremajakan BECA ber nesin di kota Me- dan sudah lama membuat pusing petugas dan masyarakat. Tidak saja karena jumlahnya yang dira- sakan terus bertambah, walaupun tidak ada penambahan resmi. Te- tapi juga tingkah pengemudinya yang terkadang masih suka sem- barangan. Maksudnya tak kalah dengan tingkah pengemudi ang- kutan kota yang sudah cukup di- kenal kurang disiplin. Dalam upaya meningkatkan keadaan lingkungan di kota Me- dan, maka selama ini beca berme- sin dikenal sebagai salah satu dari perusak lingkungan, pembuat po- lusi paling banyak. Bukan saja po- lusi suaranya yang sangat hingar bingar memekakkan telinga, teta- pi terlebih lagi asap tebal berwar- na hitam yang keluar dari knal- potnya membuat udara benar-be- nar terpolusi. Tetapi herannya, mengapa hal ini tidak pernah ditindak?. Karena itu sudah saatnya su- paya seluruh beca bermesin di ko- ta Medan ini diremajakan. Kalau kita lihat beca bermesin di luar kota Medan, seperti Pa dang Sidimpuan yang mengguna- kan Vespa sebagai tenaga penarik- nya, disamping suaranya yang ti- dak begitu bising (apalagi yang di- gunakan Vespa keluaran terbaru) juga tidak sampai mengeluarkan Nama dan alamat harus jelas Sertakan Fotokopi KTP asap hitam yang tebal. Begitu pula dengan beca ber- mesin di ibukota Labuhan Batu, Rantau Prapat. Beca bermesin di- sini menggunakan sepedamotor Yamaha, Honda, Suzuki dan ba- nyak dengan keluaran tahun ter- baru. Polusi: yang diakibatkan asap dari knalpotnya sedikit sekali dan suara mesinnya juga tidak bi- sing atau mengganggu sama sekali. Kalau di luar kota atau di ko- ta kabupaten saja bisa mengatur beca bermesin dengan mengguna- kan mesin yang sedikit polusinya baik udara maupun suara meng- apa justru di kota Medan sebagai kota besar, kota metropolitan dan ibukota propinsi di Sumatera Uta- ra ini malah beca bermesinnya jauh ketinggalan?. Mungkin kalau dihapuskan sama sekali, sangat memberatkan dan juga memang masih dibutuh- kan lagi. Jadi sementara beca ber- mesin masih juga dioperasikan di kota Medan hendaklah seluruh beca bermesin di Medan diremaja kan "mesin"nya. Jangan lagi digunakan me sin yang ada sekarang. Disam ping mengganggu pemandangan, suaranya sangat mengganggu dan bising juga asap hitam tebal yang membuat polusi udara atau sama dengan racun bagi lingkungan. Apakah Pemda tidak menyadari hal ini?. YUSMAN BASRI Jl. Rahmadsyah Medan ANALISA Bertandang ke Negeri Seberang Oleh Drs.H.S. Pulungan MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia, bertandang ar- tinya bertamu, berkunjung atau singgah di. Dalam Kamus Batak Indonesia, martandang (bertan- dang) mempunyai arti yang lebih khusus pergi berkunjung ke rumah wanita menjajagi kemung- kinan kawin. Seberang yang saya negara maksudkan adalah tetangga Malaysia. Kalaulah bukan karena keharusan memiliki paspor, berkunjung ke Malaysia saya rasa sama saja dengan berkunjung ke daerah lain di In- donesia. Saya masih merasakan lezatnya makan pari bakar di Bukit Bintang Plaza ataupun di gerai di pinggir jalan di Malaka. Saya masih merasakan enak- nya gulai daun ubi waktu makan di pinggir jalan di dekat kantor Rubber Research Instutute. Masih dapat menikmati telur penyu disalah satu kedai nasi yan bahkan menyediakan secara gratis petai, jengkol muda dan lalap lalapan. Saya masih dapat berbual bual dengan supir taksi apakah dari turunan India, Cina apalagi Melayu. Dalam perjalanan terakhir saya berbual bual dengan supir taksi turunan Cina yang berumur tigapuluh tahun. Ia mengemudi- kan taksinya sendiri yang dibeli dengan kredit dari bank sebesar RM 100.000. sebagai kredit kelayakan dengan masa angsuran selama lima tahun. Saya meng- ganggunya dengan mengatakan pantas anda belum kawin karena menunggu angsuran selesai. Saya juga bercengkerama dengan mengatakan karena banyaknya Kancil dan Rusa yang biasanya berada di hutan masuk bandar (kota) timbullah traffic jam, sebagaimana juga Jakarta dipenuhi Kijang dan harimau (Mercy Tiger). Dua hari sebelumnya supir limusin (sedan) yang bernama Gopal yang membawa kami ke Malaka mengatakan gajinya sekitar RM 1.500 per bulan, seribu dikirimnya ke rumah di Kedah un- tuk disimpan ibunya dan sisanya digunakan sendiri. Menurut pengakuannya ia tinggal bersama abangnya yang bekerja di rumah sakit. Tidak ada masalah soal belanja, karena ia tidak sempat makan di rumah, karena subuh sudah keluar rumah dan pulang larut malam, bahkan pernah pulang pagi dari Genting, mem- bawa toke yang asal Medan. Ia mendapat bonus sebesar RM. 350 karena sang toke menang berjudi. Supir kami turunan Cina yang saya sebutkan diatas, menurut pengakuannya sering main judi dengan membawa uang terbatas, menurut dia main judi adalah peluang untuk kaya, jadi peluang itu jangan sama sekali tidak dimanfaatkan. Guided gambling, kira-kira begitulah. Seberapa jauh sikap seperti ini berpengaruh terhadap bakat risk taker kelom- pok Cina, barangkali perlu penelitian. MENCARI BUKU Seingat saya, saya sudah berulang kali berkunjung ke Malaysia, sejak cucu cucu saya belum lahir sampai cucu saya yang terbesar tammat SMP. Prestasinya pantas dihargai dengan membawanya jalan jalan dan sesuai dengan kemampuan saya sebagai pensiunan, saya hanya sanggup membawanya ke negara tetangga terdekat di Seberang. Pertama sekali saya berkun- jung ke Malaysia adalah dua puluh tahun yang lalu dan sejak itu pula tujuan kunjungan saya Kegiatan dominan yang mere- ka laksanakan di kampung ada- lah peresmian tugu atau tambak. Tugu, dalam hal ini, adalah se- buah bangunan beton permanen. Sedangkan tambak adalah ba- simpan tulang belulang para ne- ngunan tempat di dalamnya di- nek moyang atau orang tua dan kakek nenek. Dulu tambak hanya terbuat dari gundukan tanah, sekarang hampir semuanya sudah beton. Dulu, pada awal-awal pendirian tugu di Tanah Batak, tidak dima- sukkan tengkorak moyang ke da- lamnya, tetapi sekarang, bangun an tugu pun sudah berisi tulang belulang. Sehingga dari sudut fungsi, tidak ada lagi beda anta- ra tugu dan tambak, sama-sama kuburan tengkorak manusia. Ha- nya bentuk dan tinggi serta besar bangunan sajalah yang mungkin saat ini membedakannya. Agaknya hingga hari ini be- lum ada usaha untuk menghenti- kan pendirian tugu, malah seba- liknya yang terjadi, pendirian tu- gu semakin hari semakin marak. Bulan-bulan saat liburan sekolah berubah menjadi bulan-bulan tu- gunisasi di Tapanuli Utara khu- susnya dan daerah lain yang su- dah relatif lama dihuni orang Ba- tak Toba. tidak pernah berobah, mencari buku dan mencari perbandingan. bagusnya sarana dan prasarana Didorong oleh sudah semakin transportasi khususnya jalan raya Jakarta, semakin gampang da- maka Orang Batak perantau di tang ke Tapanuli dengan mengen- derai langsung mobil pribadinya. Karena itu bersileweranlah mobil- mobil asal Jakarta atau daerah lain di Tapanuli Utara bulan Ju- ni dan Juli mungkin Agustus nan Mencari buku merupakan aca ra tetap, karena kelengkapan dan kecepatan buku buku sampai di Malaysia, khususnya Kuala Lumpur. Pada tahun 1977 itu, sumber utama saya adalah toko buku universitas atau University of Malaya dengan informan kelas satu Prof. Dr. Amudi Pasaribu. Beliaulah yang membawa saya berkeliling kampus dan membawa saya ke toko buku universitas, membeli buku atas nama beliau. karena hal itu berarti lebih murah karena adanya diskon untuk dosen. Waktu itu saya mendapat pen- jelasan bahwa perpustakaan masih miskin, karena baru mem- punyai 65.000 judul buku. Terlepas dari interpretasi berapa jumlah yang dikatakan miskin, satu hal yang penting adalah ke- up to date- an buku buku yang tersedia. Dalam kunjungan saya yang terakhir saya langsung saja ke toko buku. Saya sudah lama mencari artikel Samuel H. Hun- tington The Clash of Civilizatons yang banyak dibicarakan pada tahun 1893 sampai sekarang, dan ternyata tahun yang lalu telah ter- bit bukunya sebagai perluasan dari artikel itu dengan judul The Clash of Civilizatison namun ditambah dengan The Making of the World Order. Buku inipun sudah tercantum sebagai salah satu bahan bacaan dalam buku Anwar Ibrahim yang saya sing- gung diatas. Buku lain yang banyak di singgung singgung dalam internet adalah Reinventing the Govern- ment karangan Osborne dan Gaebler sehingga saya tertarik un- tuk memilikinya. Sewaktu nama buku itu saya sebutkan pada pegawai toko buku University of Malaya, beliau menanyakan apakah karangan kedua penulis itu (ternyata dia hafal nama pengarangnya), ia mengatakan persediaan sudah habis dan ia mencatat nama saya sebagai pemesan dan akan memberitahu- kan kalau persediaan sudah ada. Di toko buku Universitas. Islam Antar Bangsa saya hanya mampu membeli beberapa buku, karena buku memang banyak, namun tertutup bagi saya karena ditulis dalam bahasa Arab. Apa boleh buat, ibarat kata pepatah tempo dulu, tidak salah bunda mengandung, salah dibadan buruk pinta (apa ia ?) Supir taksi pun tahu, kampus. yang megah ini segera disusul oleh kampus yang kedua, yang sedang dibangun. Xisqneto u nas Beberapa tahun yang lalu saya masih berkunjung secara "resmi" ke universitas ini, diterima oleh staf pengajar, dimana seorang dosen tamu dari Bangladesh mengatakan diperlukan waktu setengah abad untuk membina full fledged Islamic Economics. Sekarang saya hanya berani menyelinap ke toko buku karena uluran tangan dari dosen dosen Universitas yang pernah datang ke Medan menghadiri seminar ekonomi Islam tidak dapat spar- ring partner yang serius, janganlah dulu dipermasalahkan seimbang atau tidak. Sejauh mana dampak kehadiran universitas ini dalam kebangkitan Islam di Malaysia, perlu dicermati. Sekarang misalnya sedang hangat hangatnya pro dan kontra diseret- nya tiga orang peserta perlombaan miss Malaysia dari salah satu ada penelitian ilmiah tentang hal itu. Tetapi gejala dan fenomena yang tampak, paling tidak sepu- luh tahun terakhir, memperlihat- kan hal-hal berikut. hotel di Selangor dan diajukan ke pengadilan agama atas tuduhan sebagai muslimat mereka ber- pakaian yang tidak pantas. Obyek lainnya adalah melihat economics in actions. Dalam kunjungan pertama, karena saya masih aktif di perkebunan, objek saya adalah perkebunan, saya mengunjungi kebun Suharto, suatu proyek Felda yang pernah dikunjungi beliau sehingga namanya digunakan untuk proyek itu. Pada waktu itu konsep yang menarik buat saya antara lain adalah rumah inti (nucleus house), rumah murah pada pertapakan yang cukup luas sehingga dapat dikembangkan kemudian. Sekitar lima belas tahun mudian saya melihat kebenaran konsep itu dimana rumah rumah inti itu telah berkembang jadi rumah lengkap dengan air dan api (air bersih dan listerik). Tuan rumah mengajukan pertanyaan yang dibisikkan puterinya apakah pak Sadono Sukirno, teman saya berkunjung adalah penulis buku Ekonomi Pembangunan? Sewaktu dijawab ya, dengan muka berseri seri puteri petani yang berhasil ini datang menemui kami, merasa kagum dan bangga rumahnya didatangi penulis buku yang dielus-elusnya di universitas. Saya pun bangga melihat peserta "PIR" telah mampu mengirim anaknya ke universitas. Dalam kunjungan berikutnya saya mengunjungi sebuah kebun yang sedang dirancang full com- puterized, mulai dari timbangan buah sampai ke isi tangki timbun. Saya pernah diajak mengadakan one day visit dengan meng- gunakan helikopter, dalam satu hari dapat ditinjau beberapa ob- jek yang kalau dengan mobil memerlukan waktu berhari hari. JEMBATAN Dalam kunjungan beberapa tahun yang lalu mengikuti sidang asosiasi sarjana ekonomi Asean di Penang saya berkesempatan me- lewati jembatan yang menghu- bungkan pulau Penang dengan daratan semenanjung Malaysia. Dari sisi positif maka budaya tugu ini merupakan penampakan kekompakan satu-satu marga atau satu-satu cabang marga atau satu keturunan Ompu tertentu. Simbol pemersatu. Dengan peng organisasian manajemen model Batak, akhirnya bisa juga mere- ka mengumpulkan banyak uang bagi pembangunan tugu di kam- pung asal. Menurut kabar keberhasilan pembangunan jembatan inilah yang memberi inspirasi dan keberanian kepada Malaysia un- tuk merancang jembatan lintas Selat Malaka yang salah satu gagasan yang dipikirkan adalah melintas dari Malaka ke Dumai di Riau. Seorang pemandu wisata yang bernama Linda yang men- jelaskan bahwa di Malaysia harga bensin adalah yang termurah di dunia, Kuala Lumpur mempunyai menara kembar tertinggi di dunia, Malaysia mempunyai pemerin- tahan parlementer, saya mendapat kesan bahwa warga Malaysia bangga atas keberhasilan pem- bangunannya. Saya merasakan adanya rasa kebanggaan padanya menceritakan keberhasilan pem- bangunan di negaranya, suatu yang sama sekali lain apabila kita ngobrol dengan supir taksi di Jakarta. satu dua yang sudah tidak setuju BUDAYA TANDING ? lagi pembangunan tugu-tugu ter- Sesungguhnya apakah yang sebut. Argumentasinya berdasar- menggerakkan maraknya pem- kan ratio (nalar) yang sedikit il- bangunan tugu dalam diri Orang miah, setelah menengok dengan Batak? Pertanyaan ini sukar di- seksama sisi negatif gejala pendi- jawab, karena memang belum rian tugu tersebut terhadap bumi dan terhadap sesama manusia. Dari aspek ekologi (lingkungan hidup) misalnya, bahwa berku- rangnya vegetasi (tumbuhan) ka- rena telah didesak oleh bangunan tugu dan tambak yang adalah be- ton semen yang tidak terbarukan (non-reclying), maka akan men- dorong perubahan klimat makro Tetapi bagi keluarga turunan marga tersebut yang masih berge- lut dalam kemiskinan, maka ke- si uang untuk rencana pemba- wajiban memberikan konstribu- ngunan tugu merupakan suatu ri, maka rasa harga dirinya am- tragedi kecil. Jika tidak membe- blas. Karena itu bagaimana berat- nya beban hidup guguan tok-tok ripe (kontribusi wajib) harus di- penuhi. Sangat manusiawi jika gengsi berperan. Para perantau tentu saja ada Saya panggil Linda dan mena- nyakan berapakah harga bensin, dia mengatakan RM 1.20 per liter dan saya mengatakan bahwa di Indonesia hanya RM 0.70. Namun saya sendiri berpikir jangan jangan perbedaan ini adalah gara gara adanya subsidi BBM di In- donesia. Ada dua berita yang sangat kontras dalam The New Straits Time dan Harian Metro yang menyangkut Indonesia Malaysia. Sewaktu saya berangkat de- (micro climate) ke arah yang le- bih rentan di kampung halaman. Sesungguhnya hal ini sudah terjadi. Di kawasan dataran tinggi Tapanuli Utara, fluktuasi tempe- ratur semakin senjang. Siang ha- ri semakin panas, sedangkan ma- lam hari semakin dingin. Kerjasama antara Orang Ba- tak di rantau dengan mereka yang masih bermukim di kampung ha- laman merupakan faktor penting berhasil tidaknya pembangunan hasil di rantau dalam arti punya tugu. Bagi orang yang sudah ber- duit banya, maka pemberian uang kepada panitia pembangun bangun di sawah atau ladang Berikut menyusutnya luas la- han produktif yang bisa diolah oleh petani di Tapanuli Utara. Kalau tugu didirikan di lahan yang kurang subur atau tandus, masih mendingan. Tetapi bagai- mana halnya jika tugu justru di- yang subur produktif dan me- mang diusahai petani di kam- pung. Lahan subur sempit sema- kin dipersempit lagi. Yang men- jadi korban tentulah orang kam- an tugu tidak terlalu sukar. Se- bab, ternyata sejauh mana pun moderennya orang Batak, tiga H cita-cita Batak masih dimilikinya (walau secara pasif), yaitu Hamo- raon (kekayaan), Hagabeon (ba- pung. Mereka belum sadar benar nyak turunan) dan Hasangapon (kehormatan). tentang fenomena itu, sehingga belum ada ungkapan keberatan terhadap proses tugunisasi. Seba- liknya ada juga orang kampung yang bersukaria kalau ada renca- na pembangunan tugu di kam- pung, sebab bagi dia ini kesem- patan menangguk uang pangaran to. Ada sebuah cerita yang mena- rik tetapi mengiris hati berkaitan dengan tumbuhnya tugu seperti cendawan di musim hujan di Pu- Utara umumnya. lau Samosir khususnya Tapanuli Sekelompok petani bawang merah dan padi bertanya kepada ngan Malaysia Airlines ke Kuala Lumpur pada tanggal 27 Juni DAPI MASA KEKERINGAN NANTI, BANG...! 1997 saya membaca berita hasil wawancara dengan Konsul Jende ral Malaysia di Medan, Moh. Nor Haji Atan, dengan judul "North Sumatera offers bright investment prospects, profits" yang pada in- tinya mengutarakan the succes story investasi Malaysia di Sumatera Utara. Sehari kemudian dalam harian Metro saya membaca berita '47 pendatang asing dijumpai kebu- luran". Cerita tentang warga In- donesia yang mencoba mengadu nasib di Malaysia tanpa surat surat yang sah, sehingga sewaktu Polisi Malaysia mengadakan pembersihan mereka bersembunyi di hutan dan berhari hari tidak makan sehingga kebuluran. Kem- bali ke kisah jembatan diatas, dari supir taksi saya mendapat berita tentang hubungan antara sukses pembangunan jembatan dengan pengorbanan bahkan tewasnya beberapa orang tenaga kerja Indonesia. Jadi harapan saya adalah bagaimana agar success story itu berimbang, bermanfaat untuk In- donesia dan Malaysia bukan saja pada tingkat atas (katakanlah konglomerat) tetapi juga pada tingkat akar rumput (akar umbi, grass root). Saya seolah olah mendapat in- spirasi beberapa kali dalam kun- jungan ke Malaysia ini. Satu kali saya sadar bahwa untuk bertahan kita harus berjalan. Setelah saya pensiun saya ingin memanfaatkan apa yang ada dan tidak perduli dengan adanya perobahan. Tustel saya yang manual yang dapat mengambil gambar jarak jauh ter- nyata sudah kuno, karena saya melihat kamera yang modelnya sama dengan yang saya punyai, bedanya hanya saya punya full manual sedangkan yang baru sudah full otomatic. Demikian juga dengan penge tahuan kita tidak mungkin ber- tahan dengan pengetahuan yang lama kalau kita ingin tetap komunikatif, mengerti orang dan dimengerti orang. Hal yang sama seolah olah terrekam dalam kali- mat Anwar Ibrahim dalam buku- nya yang jadi best seller, The Asian Renaisance:" Not content to be.. a more bystander, I choose to be an active participant instead? How to cope with the rapid change, barangkali inilah per- tanyaan inti yang harus kita jawab secara dinamis. Kita tidak bisa memutar jarum jam ke belakang dan seperti dikatakan Anwar Ibrahim kita tidak bisa menjadi bystander saja tetapi harus aktif sebagai participant. Dalam salah satu artikel dalam The New Straits Time, Menteri Megat Juned me- ngatakan "Social ills due to ina- bility to cope with cultural shock" dan berita lain juga dalam The New Straits Time berjudul "Am- pang Jaya 'plagued' by success", bagaimana keberhasilan pemba ngunan di Ampang menjadi bala bagi sebahagian penduduk yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan majunya pembangunan. Topik kesenjangan yang ramai diangkat dalam sekitar Pemilu Point saya adalah untuk ber- tahan harus bergerak, pembangun an mempunyai dimensi baru, ti- dak saja membangun yang baru tetapi juga termasuk mengupgra- de yang ada, dan masyarakat tidak dengan sendirinya siap menghadapi perobahan sehingga menimbulkan social ill. Semua harus berusaha meng atasi masalah itu dan motornya adalah dunia universitas yang merupakan kumpulan orang orang yang berpikir serius untuk mengatasi persoalan. * Pembangunan Tugu, Simbol Pemersatu atau Proyek Pemborosan SETIAP kali musim liburan ti. sekolah, Oleh Eliakim Sitorus 1 ma- ka berduyun-duyunlah warga Ba- tak dari perantauan pulang ke kampung halaman, Bona ni Pa- sogit di Tapanuli Utara, Sumate- ra Utara. Dalam kunjungan terakhir saya mendapat kesadaran menge- nai pergeseran konsep pem- bangunan. Berpuluh puluh tahun saya terpaku pada kuliah dosen saya pada tahun lima puluhan yang mulai dengan pertanyaan retoris mengapa PBB menspon- sori pendirian Bank for Re- construction and Development. Beliau menjawab sendiri dengan mengatakan reconstruction ada lah membangun kembali yang pernah ada, sedangkan develop- ment berarti membangun sesuatu yang baru. Konsep ini sangat jelas pada waktu itu, dimana negara negara maju di Eropa yang hancur kare- na perang, mempunyai modal da- lam bentuk tenaga kerja terlatih dari industri yang hancur, in- frastruktur yang telah ada, per- tapakan paberik dan lain-lain sehingga dengan sedikit sentuhan dapat berjalan kembali. Konsep reconstruction ini juga dibawa Bank Dunia pada kredit generasi pertama yang dinamakan kredit rehabilitasi atau reconstruc- tion perkebunan. ORANG SUDAH MULAI HEBOH MENGHA- seorang ahli pertanian, tanaman apa yang paling cocok tumbuh di sana. Secara bercanda teman in- sinyur pertanian tadi menjawab: "Setelah tanah dari pulau ini me- lewati pemeriksaan laboratorium tertutup dan laboratorium terbu- ka, disimpulkanlah yang bisa tumbuh subur di Pulau Samosir adalah tugu". Memang petani itu tertawa, tetapi hatinya lirih. Se- bab keputusan untuk memba- ngun atau tidak membangun tu- gu di kampung mereka lebih ba- nyak diambil oleh perantau, bu- kan oleh penduduk kampung ter sebut. Tidak ada barang yang tidak dipaksakan ke pasar, sampai sam- pai rumah dan mobil. Rumah yang dahulu dibangun dengan Baru pada kredit generasi segala upacara sakral, mengibar- berikutnya muncul kredit develop- kan Merah Putih dan peng- ment atau pembangunan, yang gunaan segala bahan bahan lain dalam istilah perkebunan dinama- nya, sekarang sudah ditawarkan kan kredit pengembangan, sampai dalam segala bentuk iklan di Dari aspek sosial budaya, ma- ka sesungguhnya telah terjadi bu- daya perlombaan yang kurang ba gus di kalangan Orang Batak yang gemar membangun tugu. Ji- ka marga A sudah mendirikan tu- gunya, maka keturunan marga B akan mengusahakan tugunya ju- ga, tidak mau ketinggalan. Bu- daya tanding bukan atas dasar pe- ningkatan kualitas sumber daya manusiawi ini, menurut hemat penulis sudah waktunya untuk di- cermati. Memang melalui pem- bangunan tugu seseorang bisa mencapai paling tidak satu H dari tiga H cita-cita orang Batak tadi. PERLU PEROBAHAN ORIENTASI Minggu lalu saya bersama se- orang rekan dari Thailand me- ngenderai bus umum dari Taru- tung menuju Parapat. Di satu tempat di pinggir jalan, katanya rekan saya ini melihat ada para- bola di atas sebuah tugu. Sebe- lumnya, semampu saya sudah sa ya jelaskan padanya apa arti, makna dan fungsi bangunan-ba ngunan batu kaku yang semakin sukar dibedakan mana tugu ma- na tambak itu. Jadi ketika melihat ada ante- ne parabola dicantolkan di atas tugu, dia segera mengomentari. media cetak dan elektronik. pada diciptakannya jabatan baru yang diberi nama Direktur Pengembangan. Suatu konsep saya lupakan selama ini, bahwa development berarti to build something new, tidak terbatas pada new territory. Ia dapat berupa new technology, mengenai Ekonomi Keserakahan. PENTINGNYA PENGEMBANGAN Barangkali disinilah penting- nya pengembangan apa yang per- nah dilontarkan Pak Ace new housing, new knowledge, new procedure. Ini jugalah inti dari the third wave, yang dikupas panjang lebar oleh Alvin Tofler dalam bukunya The Powershift, dengan motornya keberhasilan dalam bidang teleko- munikasi (telpon) dan pengolahan informasi (komputer) serta ga- bungan keduanya berupa internet dan intranet dengan segala variasi dan pengembangannya, dengan Rasa miskin akan senantiasa tam- bah besar kalau miskin itu diar- tikan sebagai kesenjangan antara kebutuhan dengan barang, dan banjirnya barang barang baru mendongkrak kebutuhan baru. Kebutuhan ini pulalah yang menghasilkan barang barang palsu dengan merk terkenal yang bisa melalap orang yang tidak tahu namun ingin memiliki barang barang dengan merk terkenal. kata kunci on line dan interactive. Konsep pembangunan baru ini lah yang melahirkan penggusur- an daerah pemukiman kumuh, pembongkaran bangunan lama diganti dengan yang baru, kadang kadang bangunan lama yang mengandung nilai sejarah pun ter- silap ikut dibongkar, pelebaran jalan tanpa ganti rugi, mana- dengan pembangunan kota dan jemen air yang tidak selaras lain lain. Monetisasi berkembang dengan hebat, dan menurut sinisme rakyat kecil, untuk buang air saja pun memerlukan duit. Adanya monetisasi yang hebat ini memaksa orang harus beker- ja, dan bekerja berarti terlibat dalam proses produksi. Produksi berarti menghasilkan barang dan jasa. Barang dan jasa ini harus dipompakan ke pasar, diadakan strategi pemasaran paksa (Market Forschung), sehingga seolah olah semua barang diperlukan. Ada juga bangunan tugu yang diterangi dengan lampu listrik, te- tapi rumah reot di samping tugu itu gelap gulita, lampu teploknya memberi warna cahaya redup, lan taran penghuninya tidak sanggup membayar uang sekitar Rp. 250.000,- kepada PLN agar pene- rangan listrik masuk ke rumah- nya. Sementara si empunya tugu, bukan hanya ke rumah orang hi- dup dia sanggup membayar iyu- ran listrik, ke tugu alias rumah orang mati pun dia sanggup. Da- lam hal solidaritas antara orang bertetangga di Bona ni Pinasa se- sungguhnya patut dipertanyakan. AH, AKU YANG SUDAH KEKERINGAN SEJAK TIGA BULAN YANG LALU, NGGAK PERNAH HEBОН KOK, DUL...! WiWiD -97. Sekitar delapan tahun lalu ada diskusi yang menarik tentang tu- gu ini. Seorang antropolog dan seorang teolog sama-sama orang Batak saling adu argumentasi yang berbeda. Peserta diskusi pun terbagi ke dalam dua kubu me- ngikuti argumentasi kedua pembi cara. Sang antropolog mengatakan bahwa tugu adalah pengungkap an nilai budaya yang ada dalam diri orang Batak. "Sekarang me- mang seolah besar pengorbanan untuk membangunnya, tetapi ke- lak di abad yang akan datang, tu- gu itu akan menjadi prasasti yang bernilai historis tinggi", demikian antara lain kesimpulannya. Dia menceritakan Menara Babel da- lam cerita Alkitab, Candi Boro- budur dan Prambanan bahkan Sebagai mahasiswa pada tahun lima puluhan saya sudah puas dengan satu speda sebagai alat pengangkutan, sekarang dengan satu dua mobil saya tetap merasa miskin, karena mobil saya berumur lima sampai sepuluh tahun, belum punya power stee- ring, belum punya peralatan audio yang berupa compact disk dan seterusnya dan seterusnya.clisd Halaman 4 Sementara sang teolog kristen tadi melihat bahwa maraknya pendirian tugu-tugu oleh Orang Batak adalah upaya menutupi in- ferioritas Orang Batak. Tugu ada- lah ungkapan kerendahdirian, yang kebetulan bisa mendapat cantolan karena motifnya seka- rang, ada uang bisa bangun. Dia mengajak hadirin untuk menyimak bentuk-bentuk tugu- tugu yang ada di sekitar. Sebut- lah nilai artistik apa yang dikan- dung dan diungkapkan ? Hampir sulit menyebutnya. Ada tugu se- perti monumen nasional, sehing- ga disebut monas kecil. Ada yang berbentuk rebung (tubis), ada pu- la yang berbentuk tiang persegi dan macam-macam yang aneh- aneh, sukar membuktikan ada wujud serupa itu dalam Budaya Batak dulu. Semuanya itu menu- ju satu petunjuk bahwa Orang Batak yang membangunnya se- dang dalam tangisan yang tidak terungkap di hadapan khalayak ramai (yaitu kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya) nega- ra bangsa kita di mana Orang Ba- tak hidup bertarung. Kehilangan identitas, itulah yang lebih ba- nyak diungkapkan oleh kehadiran tugu-tugu. Bentuk-bentuk dan ru pa-rupanya tugu itu terkesan se- bagai ungkapan kesedihan dan ke pedihan. Mengingat proses desintegra- si (perpecahan) yang telah, tengah dan masih akan terus terjadi di kalangan warga Batak, apalagi sebagai akibat pecahnya gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), agaknya ungkapan sang teolog itulah yang lebih benar. Se- dangkan ucapan sang antropolog kelihatannya membuahkan ke- banggaan yang terlambat. Dar Jika semarak pembangunan tugu-tugu Batak itu terjadi pada abad ke-18 hingga abad ke-19 bo- BU Saya terperangah, memang saya tembok raksasa di China pun lehlah kita klaim bahwa kelak sendiri belum pernah menyaksi- adalah wujud keberadaan budaya rupa-rupa akan menjadi pusat kan hal tersebut. Meski begitu masa lampau yang bisa dinikma- perhatian wisatawan mancanega- saya berusaha menjelaskan ke- ti oleh generasi sekarang. ra yang datang berkunjung ke Ta- mungkinan, si pemilik parabola nah Batak. Tetapi kalau marak- berpikir bahwa bangunan tugu le- nya pembangunan tugu terjadi di bih kokoh menjadi tempat berdi- penghujung abad ke-20, sementa- rinya parabola ketimbang tiang ra kita siap-siap memasuki abad rumahnya. Pastilah kabel parabo- ke-21 tiga tahun lalu, kapankah ke la dihubungkan ke rumah di ma- banggaan atas tugu-tugu itu akan na ada pesawat televisi. Meski be- muncul. Tidakkah dengan demi- gitu sang tamu gadis Thai tadi kian sesungguhnya orientasi pem- masih sempat bergumam : bangunan tugu sudah sepatutnya "Orang mati masih sempat me- dirobah misalnya dengan mendi- nonton tivi rupanya. rikan lembaga ketahanan pereko- nomian masyarakat se-kampung. Program Martabe, kiranya bukan dimaksudkan untuk membangun tugu. Sekali lagi orientasi pemba- ngunan tugu batu kaku dan tak terbarukan harus dirobah sece- patnya, jika Orang Batak generasi sekarang tidak ingin menjadi ba- han ocehan, ejekan dan cercaan Orang Batak generasi mendatang. Yang paling dibutuhkan sekarang adalah peningkatan mutu manu- sia agar tidak tercecer nanti da- lam persaingan yang semakin ke- tat dengan bangsa lain atau sub- suku lain. barangkali dapat dihubungkan dengan coping with the rapid change ini. Tanggerang, yang dalam pela- jaran Ilmu Bumi saya di SD dikatakan sebagai produsen topi Tanggerang, sekarang telah ber- tukar wajah antara lain dengan adanya kota satelit Karawaci, dengan sebagian penduduk telah menggunakan heli-taxi, berdam- pingan dengan orang yang naik ojek, sawah yang berubah jadi lapangan golf, yang punya tarif miring pada hari Senin, "hanya" Rp 100.000, makan di "warung" alias club house setara restoran hotel Bintang Lima, hidup berdampingan (apa bisa secara damai?) antara orang yang ber- pikir dalam Rp dan orang yang berpikir dalam US$ yang bedanya hanya 2400 kali. It is cheap, less than $100,- dengan mahal amat Rp 200.000. Naik ojek speda dengan biaya Rp 1000.- dan naik ojek heli yang barangkali juga murah tidak sam- pai US$1000,- dari rumah di Karawaci ke kantor di Jakarta. Ojek speda dan ojek heli sama sama merupakan service pengang-- kutan namun pada dua dunia yang berbeda. Dapatkah dua dunia ini disatukan, dapatkah diantaranya diadakan kemitraan? Biasanya kalaupun ada yang membaca tulisan ini cenderung akan bertanya: What is your point? PENUTUP Seorang turis berkebangsaan India, pernah berucap bahwa se- andainya dijumlah seluruh dana yang telah dipakai mendirikan tu- gu di Tapanuli Utara, maka bu- kan mustahil bisa dibangun seti- daknya 2 (dua) universitas yang besar, moderen, lengkap sebesar Universitas Sumatera Utara (USU) yang di Medan itu. Me- mang di Tapanuli Utara sudah ada perguruan tinggi. Tetapi itu tidak upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Orang Ba- tak di Tapanuli Utara sudah terja min. Mutu sumber daya manusia yang berkualitas, sebagai prasya rat utama untuk bisa ikut dalam percaturan dunia di era globalisasi (Bersambung ke hal 15) Se m Ra ta al: ta se pe A pa m bu ga ye m ca b K n
