Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1989-07-23
Halaman: 05

Konten


VOX 23 JULI 1989 ta : butku pasah an 3 a: gi שר perjalanan menyeret dolar- mancanegara ke ang jelas mampu eki ke anak-anak a hal ini luput dari inderaan Boping memang meng- knya itu untuk tensi akulturisasi uta? un menjawabnya ombak/ kita dija- Hal VIII kol 4) ba A 415 89 de I AH mery) ki a a 5 989 DRE C 699 pasar Bali MINGGU, 23 JULI 1989 Pulang Oleh Dwi Sturiyani H ujan gerimis ketika Ninis dan teman-temannya bertolak da- ri tempat perkemahan. Sementara empat colt telah siap membawa anak-anak menuju sekolah me- reka. Rasanya waktu seminggu di per- kemahan terasa begitu singkat. Se- lama perjalanan Ninis senang me- mandang ke luar jendela. Tampak pemandangan desa yang tenang dan hijau. Di kejauhan terlihat po- hon-pohon berwarna ungu kebiru- biruan. Beberapa bebek sedang mencari makan di sawah yang padinya sudah dipanen. Rumah- rumah gubuk yang tua berdiri di antara pepohonan dan persawah- an. Bocah-bocah desa menyabit. rumput di pematang sawah. Semua yang dirasakan dan dili- hatnya itu, mengingatkannya pada ayah, ibu, dan adik-adiknya. Mere- ka kini telah pindah ke sebuah de- sa, jauh dari Denpasar. Rumah yang sederhana tanpa pintu penu- tup. Rumah yang diapit oleh sa- wah-sawah dan kebun-kebun sing- kong dan jagung. Dimana setiap pagi ia bangun masih dapat melihat kabut tipis di kejauhan. Embun yang masih menempel di dedaunan hijau. Kemudian rumput-rumput yang nampak bercahaya karena embunnya tertimpa mentari pagi yang bersinar. Colt yang mengangkutnya tiba di Denpasar. Kota ini ia rasakan asing. Meski bertahun-tahun su- dah ia tempati, Sejak usia dua ta- hun ia kenal Denpasar. Sebenarnya dengan berat hati ia tinggalkan Denpasar menuju sebuah desa. Anak-anak beramai-ramai tu- run. Masing-masing sibuk menu- runkan tas dan sebuah tikar. Rupa nya cerita tentang perkemahan ma- sih dibicarakan oleh anak-anak itu. "Pukul berapa, Yus?" tanya Ninis pada salah seorang temannya. "Pukul 04.00 sore..." Ninis mengejapkan matanya, lalu me- mandang beberapa anak menuju terminal. Rupanya kebanyakan da- ri mereka tidak dijemput orang tuanya. Untuk sesaat Ninis ragu menung gu ayahnya. Memang kedatangan mereka lebih awal dari perencana- an. Sedangkan ayah Ninis akan menjemput pukul 17.00 nanti, itu pun kalau sempat jemput. Kalau ti- dak? Maka tanpa ragu lagi ia meng- angkat tas coklatnya dan sebuah ti- kar. Topi birunya masih bercokol di kepalanya. Tiba di sebuah jalan me- nuju terminal ia berhenti. Ninis la- lu bertanya pada salah seorang so pir kendaraan umum. "Pak, kalau bemo ke Ubung lewat ke sini?" Sambil membuka topi us- angnya sopir itu menjawab," Ya, tunggu di sini nanti saja liwat. Sambil meletakkan tasnya di tro- toar, ia memperhatikan satu per sa- tu bemo yang keluar terminal. Ada sebuah bemo lewat, tapi di dalam- nya telah penuh oleh penumpang. Nah! Itu! Ada sebuah bemo yang di bagian atasnya terdapat tulisan : Kreneng-Ubung. "Stop, Pak! Ubung?" Sopir ber- badan kurus itu mengangguk. De- ngan riang ia menaruh barang ba- waannya di depan, di samping so- pir. Sebelum duduk di bemo yang belum ada penumpangnya itu, Ni- nis teringat jumlah uangnya. Ya! Hanya tinggal Rp 875,00 ketika ia hitung di perkemahan. "Sewanya berapa sih, Pak?" "Nyarter mau? tanya sopir itu dengan suara tinggi. "Berapa?" "Seribu rupiah." "Weh! Dari mana saya dapat bil barang bawaannya. uang?" Cepat-cepat Ninis mengam- "Tidak, saya mau cari bemo yang lain saja!" katanya bersungut- sungut. "Uh! Seribu! Bukannya doang!" gerutu Ninis sambil mele- sampai di Ubung, tapi sampai Indra takkan kembali tasnya. lagi sore itu. Ninis berteduh di se- Hujan bulan Juni rupanya turun buah dagangan yang atapnya dari terpal biru. dagangan kecil itu mengangguk "Numpang, Pak." Bapak pemilik kaku. "Mau ke mana ?"q "Saya mau pulang ke rumah," jawab Ninis polos. "Ke mana?" BUAH HATI Perkenalan nama saya Ni Nyoman Sri Afryani. Lahir di dae- rah dingin Baturiti Bedugul 6 April 1987. Besar nanti bercita- cita pingin jadi ibu rumah tangga yang baik. Lewat rubrik ini nitip salam buat Buk De di Denpasar, Mas Sugeng dan semua dalam lindungan Yang keluarga di rumah. Semoga Maha Kuasa. Bunga Ken Klarasari nama adik manis ini. Hobinya suka nyanyi dan lahir 13 Januari 1986. Alamat rumah Jln. Sup. ratman 35 Denpasar. Cita-cita besar nanti pingin jadi Dok ter. Melalui rubrik ini Bunga nitip salam buat Papa dan Mama di rumah serta seluruh keluarga mat hari Minggu muda-mudahan selalu kertaraharja. "Ke Tabanan." "Sekarang mau cari bemo?" "Ya, yang ke Ubung." ov "Oohh, tunggu saja nanti pasti ada yang lewat." Perkataan bapak setengah baya itu telah menghibur hatinya. Setidaknya ia tak akan ke- tinggalan bemo. Hujan semakin deras. Ninis me- nyingkir ke dalam. Diperhatikan- nya beberapa anak-anak laki- temannya berlari-lari. Salah seo- rang di antaranya berteriak, "Oe!" ke arah Ninis. Ninis membalas de- ngan senyum di kulum. Rupanya anak laki-laki senang berhujan- hujan sambil mencari bemo, begitu pikirnya. hadi "Nak, berteduh di sana saja, nan- ti warung ini bocor." "Oh, karena sayakah?" tanya Ni nis lucu. "Bukan, itu atap terpalnya sudah mulai menampung banyak air huj- an." Ninis memandang ke atas, seo- lah-olah ia akan tertimpa air hujan saja. Lekas-lekas anak itu beranjak menuju bangunan tempat fotokopi. "Bolehkah saya berteduh di sini?" tanyanya basa basi kepada seorang pemuda yang didapatinya sedang berdiri. "Oh, boleh, boleh." Ninis terus memandang arah dat- angnya bemo. Terasa lama ia me- nunggu. Hanya colt-colt Gianyar saja yang banyak ke luar. "Pak! Tolong carikan saya be- mo...!" pintu Ninis pada Bapak pe- milik dagangan kecil yang ternya- ta seorang maklar. Sambil menunggu, hatinya begitu sedih karena rumahnya yang jauh. la tak punya saudara dekat di seki- tar sini. Andaikan rumahnya ma- sih di Jalan Nangka, tentu hatinya tak sesedih sekarang. Hampir saja air matanya menetes seiring deras- nya hujan, namun ditahannya. "Sekolah di mana ?" Pertanyaan itu mengejutkan Ninis. Terpaksa ia menoleh. "Di sini, di Jalan Kamboja." "Asal dari mana?" aw "Dari Singaraja." "Oo, sekarang mau pulang, ya?" "Ya, tetapi bukan ke Singaraja, tetapi ke Tabanan." "Lho, rumahnya di sana?" "Hm, ya!" Ninis diam sejenak, la- lu ia bertanya," Kenapa ya, sewa bemonya kok bisa seribu?" "Ya.... Mereka itu kan mencari kesempatan saja." Terlihat sebuah bemo kosong menghampiri makelar tadi. Tak la- ma kemudian makelar itu me- manggil Ninis. Ninis sedikit gem- bira walau akhirnya kakinya ter- tahan jua. "Sewanya seribu, ya!" Aduh, kenapa orang itu tega meme- ras? Rasanya mau menangis saja ia saat itu. Kali ini ia hanya diam se- dih sambil memandang sopir bemo yang ribut-ribut mengajaknya naik. Makelar tua itu juga tak ka- lah sengit. "Ayo, naik! Susah cari bemo huj- an-hujan begini! Cepat...!" Ninis tak beranjak. Ingin rasanya ia ber- teriak juga dan mengatakan," Saya tidak punya uang seribu!" Tapi ma- lu ia berkata begitu. Dengan membesarkan hatinya ia tetap berdiri. Hujan yang deras me- nyebabkan terminal banjir. Bah- kan bemo roda tiga hampir tak bisa lewat. "Kalau mereka mencoba lewat, bisa tenggelam mereka! Makanya lebih banyak bemo yang lewat sini," begitu kata makelar yang kini ada di sampingnya. "Wah, Pak.. makanya saya eng- gak mau naik tadi.." katanya sam- bil menaruh tangannya di bawah tetes air hujan. "Kenapa" "Yahh... uang saya kurang..."ja- wab Ninis dengan nafas tertahan. *** HARI kian sore. Perasaannya kian gelisah... Ia pandangi orang- orang yang berlari-lari karena ke- hujanan. Banyak juga yang berte- duh di emper-emper toko. Akhir- nya. "El Bemo, bemo!" panggil seorang makelar. Bemo pun ber- henti. Ninis langsung mengangkat tasnya menuju bemo. Walaupun agak sesak, tak apalah. Asal sewa- nya tidak lagi seribu! Bemo itu lewat di sebuah jalan yang banjir. Mata Ninis terus mem- perhatikan setiap sudut jalan, ka- lau-kalau dilihatnya bapaknya. Ta- pi ternyata ia tak melihat ba- paknya. "Eh, bayar!" seru sopir bemo itu ketika sampai di Ubung. "Aduh maaf, Pak... saya lupa... soalnya cepat-cepat pengen pu- lang." katanya jujur. Ia lalu me- nyodorkan uang Rp 300,00. Ninis iseng memasukkan tanngannya la- gi ke saku celana panjangnya. "Oh, uang lima ratusan tak ada lagi..." Untunglah pikirannya tidak begitu letih: la segera teringat pada sopir tadi. "Pak, mungkin lembaran lima ra- tus nyangkut di sana," katanya pe- nuh harap. Tangan kekar itupun terbuka. Kebetulan! Uang yang ba- ru dibayarkan itu masih tergeng- gam di tangan kanan. Ninis meli- hat uang Rp 800,00 di sana. "Nah, ini dia." katanya sambil mengambil uang itu. Sedangkan sopir itu hanya diam melongo, Ia bersyukur sekali dapat menai- ki kendaraan menuju Tabanan. Ni- nis bangga bisa pulang sendiri tan- pa orang tuanya, Ketika sampai di Desa Abian Tu- wung, tepat di depan rumahnya kendaraan umum itu berhenti. Di teras depan telah menunggu ibu dan adiknya. Ninis tersenyum gembira. ahu Nila nggak? Wah, dia angnya payah! Memang sih imut-imut, kayak bayi, tetapi tingkahnya ternyata juga kayak bayi. Bapaknya juga kebangetan. Masak Nila yang sudah kelas dua SMP itu dibuatin ayunan di bawah pohon mangga, di ha- laman rumahnya. Lucu kan? Saya pertama kenal Nila ga- ra-gara saya nyapu halaman rumah, terus iseng-iseng lihat pohon mangganya. Saya jadi heran. Lho kok mangganya goyang-goyang? Baru dicek melongok tembok.. waduh, ada anak main ayunan. Ternyata Nila itu murid baru juga di kelas saya. Dia ramah, manja dan pintar. Semua me- nyukainya. Apalagi Nila ini pintar bahasa Inggris. Tahu nggak, sejak Nila ada di kelas saya, nilai bahasa Inggris anak-anak satu kelas bagus- bagus. Yah, karena Nila suka ngasih contekan. Kalau tadi itu ada saya bi- lang Nila orangnya payah, soalnya suka keterlaluan. Nah, seperti kali ini, tuh lihat, dia berlari-lari menuju rumah saya. "Hai, Santi.." sapanya. Saya tersenyum. "Masuk deh, La," Nila masuk rumah. Eh, san- dal jepitnya nggak dicopot dulu! "Sandalnya dilepas dong, ka- sihan kan yang baru ngepel," tegur saya. Nila nggak peduli. Dia terus berjalan ke ruang ta- mu. Wah, saya jadi menelan lu- ah. Jejak-jejak sandal jepit Nila tercetak dengan jelas di lantai. Nila terpekik begitu melihat sebuah piano di ruang ke- luarga. "Aduh Santi, kamu kok nggak cerita kalau punya pia- no?" serunya. "Bukan punyaku. Itu hadiah paman buat Tuti adikku," "Eh, Tuti bisa main piano toh?" "Iya. Dia kan ikut les," Mm... begitu?" Nila mengge- rakkan jemarinya di atas tuts- tuts piano. Segera terdengar alunan irama sebuah lagu. Merdu sekali. Saya terkesima. Lagu apa tuh? Kalau nggak sa- lah, sebuah lagu kelompok mu- sik The Beatles. Wah, mahir be- nar agaknya si Nila ini. Jemari Nila terus menari- nari. Wajahnya berseri-seri, sesekali menggelengkan ke- palanya ke kiri ke kanan. Dan penghabisan, dia menelungkup di atas deretan tuts-tuts itu. Saya langsung bersiul kagum. "Fiuuw...bagus sekali!" puji saya. Nila cengengesan. Aku dulu sempat kursus, Santi. Dan di Surabaya dulu ju- ga ada piano. Sayang, bapakku nggak mau membawanya ke sini," "Ya, kalau lagi kepingin, pa- kai aja pianonya Tuti ini," "He-eh. Eh iya, aku kemari ini, mau pinjam buku kok. Itu tuh, catatan Sejarah," "Lho, memangnya di kelas tadi kamu ngapain aja?" saya bertanya heran. Nila nyengir. "Biasa, San. Si Denny minta di- ceritakan tentang Surabaya." "Wuuh," saya beranjak ke kamar mengambil catatan Se- jarah, Nila membuntuti. Dan sampai di kamar, dia duduk di pinggir tempat tidur Tuti. Ka- ki kanannya bertumpang di lu- tut kiri, lalu bibirnya berse- nandung seiring dengan ketu- kan kakinya di keset. Sementara itu, saya mencari- kan catatan Sejarah. "Cepat dong. Lama amat," gumamnya. "Nih, udah ketemu!" saya se- rahkan buku itu padanya. Nila menerima, lalu beranjak ke- luar kamar, masih dengan se- nandung kecil di bibirnya. Sore harinya, saya terba- ngun dari tidur ketika mende- ngar seruan Tuti adik saya be- gitu dekat di telinga. "Bangun! Hee, banguun.!" seru Tuti ribut. "Apa sih?" dengan malas saya pun bangkit. Lihat jam weker, o...jam setengah enam. Pantas si Tuti sudah pulang se- kolah. "Mbak Santi, coba lihat. Apa- an tuh di keset ku?" Tuti me- nunjuk keset di bawah tempat tidurnya. Saya terperangah. Idiih, ada kotoran! "Sudah lihat kan? Siapa "Ketemu bapak?" itulah yang pertama kali ditanyakan ibu. "Tidak, bu!" katanya seraya me- naruh tas. "Kami pulang lebih awal dari per- encanaan. Rumah yang ia tinggalkan se-, minggu tidak banyak berubah. Ha- nya ada gorden coklat yang menu- tup pintu dan jendela yang bo- long Dwi Sturiyani SMA I Denpasar Bali Postikk VE ULANG TAHUN-HUT ke-3 Sekeua Teruna Teruni Eka Darma Kelompok Tanjung. Desa Sanur Kauh, diperingati dengan beberapa atraksi kesenian, pada 17 Ju't vt. Pada peringatan ini, hadir beberapa pemuka setempat, diantaranya Ketua LKMD, Drs. Gusti Made Sudarsana. Meriah dan semarak. MAR TIN Bali Post POS ANAK- ANAK Nila, Tetanggaku Oleh Tjitra Juni BURUNG yang ngeset di sini? Mbak San- ti ya?" "Bukan. Tadi Nila yang du- duk di situ," "Nila?" Tuti langsung keluar kamar. Dan beberapa menit kemudi- an terdengar pertengkaran se- ru di halaman depan. Aduh, Tuti dan Nila! Saya buru-buru lari ke ha- laman. Bukan main! Tuti dan Nila saling tuding saling melo- tot, meskipun berbataskan tembok. "Hee... apa-apaan ini?" seru saya lantang. Nila menoleh, dan mendadak marah pada saya. Matanya disipit-sipitkan. "Eh, Santi! Adikmu itu, apa nggak pernah diajar ya? Sem- barangan aja nuduh. Memang- nya aku ini jalan-jalan di kan- dang sapí? Masak sandalku dia bilang membawa kotoran," omelan Nila berapi-api. Saya mau buka mulut, tiba-tiba ke- duluan sama Tuti. "Dia memang yang bawa ko- toran! Coba, tadi siang siapa yang ngeset di kamarku? Ka- mu kan?" "Ya, tetapi nih lihat.. sandal- ku bersih! Bisa saja si Bogi an- jingmu itu yang bawa kotoran! Dasar Tuti... bawel!" Nila men- cibir sengit. Tuti rupanya pa- B erabad-abad yang lalu ada suatu kerajaan di bawah sungai Mahakam Kerajaan ini dihuni oleh manusia-manusia. Tapi mereka tidak seperti ma- nusia-manusia yang ada di da- Pada suatu hari seorang ne- nek dukun yang biasa memban- tu ibu-ibu yang akan melahir- kan, seolah-olah mendapat ke- kuatan gaib. Entah mengapa si Nenek berhasrat sekali orang- orang mandi, mencuci dan seba- gainya. Tatkala ia berada di sa- na seseorang dengan meng- emudikan sampan mengham- pirinya. Buaya Kuning ratan. kor buaya pun. Yang dijumpai- nya manusia-manusia seperti yang dijumpai di daratan. Mere- ka tampak ramah dan rukun. Akhirnya sampailah mereka ke suatu tempat yang lebih te- pat dikatakan istana. Dinding Mereka bukanlah manusia dan pilarnya indah berwarna biasa, tapi jelmaan dari buaya- kuning keemasan. "Wuihh, ista- buaya kuning. Buaya-buaya ter- na ini terbuat dari emas," pikir sebut tidak pernah menggang- gu manusia-manusia yang ting- gal di darat. Namun, mereka mempunyai kemampuan me- manggil orang yang ada di da- rat, untuk dimintai pertolo- ngannya. Terutama bila mereka mendapat kesulitan yang tidak dapat diatasi oleh mereka sen- diri. si Nenek. "Wahai Nenek Dukun yang baik hati, dapatkah Nenek membantu saya," pinta orang yang di sampan itu penuh harap. nas. Dia beranjak menghampi- ri tembok pemisah. Wah, sege- ra saya tangkap tangannya. "Sudah, Tut. Malu dikit dong.." bujuk saya. Tuti me- ronta-ronta. "Dia jahat, Mbak Santi..." "Sudah... malu lho. Ayo, ma- suk saja. Biar mbak Santi yang nyuci kesetnya," Tuti menu- rut. Dia saya tarik masuk ke rumah. Sebelum masuk, Tuti dan Nila sempat saling lirik sinis. "Kalau Nenek sanggup tentu mau membantu. Kesulitan apa yang kau hadapi?" tanya si Ne- nek bijaksana. "Istri saya hendak melahir- kan, tak seorang pun warga ka- mi dapat menolongnya. Maukah Nenek membantunya?" "Baiklah," jawab si Nenek tanpa ragu-ragu karena pe- kerjaan itu sudah menjadi ke- wajibannya. "Naiklah Nek ke atas sampan- ku," kata orang itu. Si Nenek pun naik ke sampan tanpa curi- ga sedikit pun. Sampan mulai bergerak, tapi si Nenek tidak menyadari, ia bukan berada di atas sampan, melainkan di atas punggung seekor buaya. Sepan- jang perjalanan si Nenek tidak merasakan sesuatu yang aneh. Baru setelah tiba di depan gua si Nenek menyadari, ia se- dang berada di alam lain. "Tak perlu takut, ikutilah saya," kata orang itu. Nenek pun mengikutinya. Dengan rasa heran campur takut Nenek me- mandang sekeliling gua. Di di- nding gua itu banyak sekali sa- rung kulit buaya yang berwarna kuning keemasan. Selama mengikuti orang yang mem- bawanya, si Nenek berpikir, tentu ia sekarang berada di sa- rang buaya gaib. Sebab di da- lam gua itu ia tak berjumpa see- Sejak itu rupanya Nila tak mau lagi main ke rumah saya. Masalahnya, tiap dia hendak ke rumah, selalu ditatap tajam oleh adik saya. Sama saya sih biasa-biasa saja. Masih ramah seperti dulu. Dan waktu saya sarankan salah satu supaya mengalah, eeh...malah saya yang nyaris diajak berteng- kar. Apalagi kalau sama Tuti, wah... ngomongnya cepet se- kali. Suatu hari, pulang sekolah, saya dan Nila jalan barengan. "Adikmu itu payah ya, San. Bawel dan judas. Sejak perta- ma di sini, mukanya selalu ke- lihatan masam," celoteh Nila. "Sebetulnya baik kok dia. Cu- ma día itu orangnya rapi. Ko- tor dikit aja, dia pasti marah. Yang ngepel lantai tiap pagi Dongeng kan dia," sahut saya. "Yah, mungkin memang aku yang mengotori kesetnya. Aku nggak tahu. Soalnya di rumah, aku pakai sandal. Dari halam- an masuk ke rumah tetap pa- sandal," OSCH "Wah, pantes aja. Tapi ja- ngan samakan dong sama orang. Padahal sandalmu itu kotor, rumah orang juga jadi kotor." Nila terdiam. "Aku ingin main piano.." gu- mamnya tiba-tiba. Saya ter- cekat. "Hari ini hari Minggu. Tuti adik saya agaknya semangat banget. Ya, dia mau ikut ibu saya ke rumah Om Iwan. Kata- nya nenek saya akan di sana. Hitung-hitung, sekalian ne- ngok nenek, bolehlah. Dan keberangkatan Tuti rupanya dilihat Nila. Maka be- gitu Tuti pergi, Nila langsung melompati tembok, dan mun- cul di pintu kamar saya. Eeh, kamu! Bikin kaget saja. Ngapain?" sergah saya. "Mumpung Tuti pergi, aku ingin main piano," sahut Nila. "Sembarang aja. Kenapa nggak baikan langsung sama dia ?" "Ngeri, ntar malah, dia nggak terima," Nila mulai me- mainkan jemarinya seperti du- lu. Dan lagu itu pun mengalun lagi. Kayaknya Nila pengge- mar Beatles. Soalnya dulu sore- Cisilia Werdi Pratiwi sore waktu dia mandi juga ter- dengar nyanyiannya. Bagus sekali. Dia amat fasih berbaha- sa Inggris. Alunan piano Nila masih ter- dengar. Saya memperhatikan- nya. Enak juga nih. Dan tanpa diduga-duga, pintu ruang ta- mu mendadak terbuka. Saya dan Nila begitu tercekat meli- hat siapa yang berdiri di am- bang pintu. Astaga....si Tuti!! "Tut, lho...nggak jadi ke.." ucapan saya menggantung. Tuti tak menghiraukan saya. Dia menatap lekat-lekat pada Nila. Nila menunduk, tanpa berani membalas tatapan Tuti. Ya, dalam posisi seperti ini, alangkah malunya. Sudah mu- suhan, eh, ketangkep basah se- dang memakai piano orang. Tiba-tiba Tuti mendekati Ni- la. Saya siap-siap mau melerai. Tetapi sekali lagi saya kaget. "Mbak Nila, pintar sekali main piano. Lagunya terde- ngar sampai di jalan depan. Ajarin Tuti dong, mbak...." Waduh... saya menghela na- pas lega. Nila tersenyum ce- rah. Tuti tersenyum ramah. "Eh, Tut, kamu nggak jadi nengok nenek?" sela saya. "Barusan ketemu Om Iwan dan nenek di ujung jalan sana. Mereka hendak kemari, mbak," sahut Tuti cuwek. Dia beralih pada Nila. "Ayo mbak Nila. Mainin lagi dong Beatles-nya.." "Okey....beres...." Lagu itu mengalun lagi. Tuti mengangguk-angguk. Nila tersenyum-senyum, dan saya menggeleng-geleng heran.*** (Buat Catharina Effendy) Tjitra Juni SMAK Swastiastu Jl. Serma Kawi 4 Denpasar Apalagi setelah orang yang me- minta pertolongannya itu ke- luar dari kamar istrinya dengan senyum gembira. Ia lalu menja- bat tangan si Nenek sebagai tan- da terima kasihnya. Nenek pun tersenyum mengangguk. "Nek, hadiah apa yang hen- dak Nenek pinta. Katakanlah Nek, jangan menolak," ujar orang itu. Nenek itu menjadi bingung, katanya kemudian, "Terserah sajalah, apapun akan Nenek terima." "Ehm, baiklah." Orang itu ke- mudian mengambil seonggok kunyit kuning dari keranjang kecil. MILIK MONUMEN PERS NASIONAL SURAKARTA "Ambilah, Nek" katanya sam- bil menyerahkan keranjang itu. Karena yang di lihat hanya ku- nyit saja, Si Nenek kemudiar Imp LIA, panggilan akrab Cisilia Werdi Pratiwi, mempunyai ha- ri kelahiran sama dengan Hari Kejaksaan, yaitu 22 Juli. Ia tinggal di daerah kampus UI sekarang, Depok, padahal ke- lahiran Jakarta, sebagai bung- su dari keluarga Ir. Susanto dan Yohana Yudaningsih. Ingin Jadi Wartawati Namanya sudah dapat kita lihat dalam Buku Bahasa Indo- nesia. Lia memang tidak me- nyangka sama sekali namanya bisa tercantum di sana, karena dirinya tidak dihubungi sebe- lumnya. Bermula dari sekedar iseng-iseng menulis puisi. Pui- si itu berbicara tentang pahla- wan tanpa tanda jasa, karena- nya diberi judul "Untukmu Guruku". Puisi "Untukmu Guruku" ternyata digaet penerbit Panca Karya Bandung. Puisinya itu sebelumnya telah dimuat oleh harian umum Suara Karya yang berlokasi di Jakarta. Dari mana bakatnya ini? Me- nurut pengakuannya bahwa bakatnya ini mengalir dari Ayahnya. Ayahnya yang Insi- nyur ini selalu mengajarkan dan menerangkan tentang tu- lis-menulis, dan juga teknik wawancara. Lia pernah mewa- wancarai tiga Lady Rockers dari Kota Kembang Bandung, yaitu Yossy Lucky, Sally Lasalle, dan Marty Samala. Ia juga per- nah wawancara dengan tokoh jurnalistik kawakan Sjamsul Basri. Karya-karyanya me- mang baru hanya dimuat pener- bitan di atas. Tapi bukan berar- ti tidak ada keinginan untuk mengembangkan sayapnya ke penerbitan lain. orang itu. Agar tidak meng- ecewakan tuan rumah. Ia meng- ambil seruas saja dan me- nyimpannya dalam saku baju. "Sudah lama Nenek di sini. Tentu Nenek ingin pulang, mari saya antar. Duduklah," kata suami buaya yang ditolongnya itu. HALAMAN V M Terpilih karena mutunya "Selain menulis di koran SK, saya juga harus mengisi koran lain sambil mencari pengalam- an, ya 'kan??" ujarnya. Dari kegiatan tulis menulis ini Lia mengaku mendapat ho- nor yang lumayan untuk uang tambahan, dan juga, untuk membeli perangko di pakai membalas surat-surat. "Masuklah Nek, istri saya ada di dalam kamar," kata orang itu seraya membukakan pintu ka- marnya. Cukup lama Nenek berada di dalam. Ketika ia keluar dari ka- mar itu, wajahnya menggam- barkan keberhasilan. Ia puas karena berhasil menolong orang. Rasa takutnya hilang. menanamnya di depan rumah Nenek tak habis pikir, ia tadi menolong seekor buaya yang melahirkan. Ia lalu teringat pa- da kunyit pemberian suami buaya tadi, kemudian mengam- The ultimate performance shoes BOSCH Ball Postdok Sejak tulisan sering muncul, Lia mendapat kiriman surat dari anak-anak hingga orang dewasa. Surat-surat setiap hari diantarnya pos ke rumahnya, sampai-sampai ia dibuatkan pusing namun senang. Di samping suka dunia tulis menulis iapun senang menari Bali. Walaupun yang terakhir ini jarang dilakukannya lagi, karena sibuk, tapi sewaktu SD sempat meraih juara I jenis Ta- ri Pendet. Lia yang suka pelajaran IPA, IPS, dan sudah tentu - baha- sa Indonesia sangat mengagu- mi karya-karya Chairil Anwar. "Apalagi puisi yang berjudul 'Aku', asyik, deh," akunya. Tidak sulitlah menebak apa cita-cita Lia kelak, jadi warta- wati. Ia tidak hanya menulis 'di atas meja', pun acap turut/ terjun langsung ikut rom- bongan wartawan, seperti me- ninjau suatu tempat untuk mencari berita, atau dengan rombongan-rombongan KLH. Mengenai hal ini ia berkomen- tar sembari bercanda, "Laga sok jadi wartawatilah, gitu!!" Ingin kenal: Kirimi saja Lia surat. Alamat rumahnya, Jln. Mang- gis II/60 Depok I Jabar (16432). Surat-surat pasti dibalas. (Ide ko Mahadewa). bil dari saku bajunya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat hadiah itu bukan kunyit, me- lainkan sepotong emas. Walau demikian ia tak menyesal, kare- na tujuan utamanya bukan mengejar hadiah. Tapi me- nyelamatkan sesama mahluk dari kesulitan. Nenek pun duduk. Lagi ia tak sadar, bahwa ia sedang berada di punggung buaya. Setelah buaya itu muncul ke permuka- an air barulah Nenek itu sadar, ia sedang berada di punggung buaya. Tak ada sedikit pun rasa takut pada diri Nenek. Karena ia tahu buaya yang sedang di dudukinya ini adalah buaya yang baik. Setiba di tepi sungai tempat tadi, buaya itu mening. galkan Nenek dan masuk kem- indah, dengan riak-riak sungai bali ke air sungai. yang berkilauan.*** Menurut cerita, bila diterpa sinar matahari atau bulan, kita akan melihat air sungai Maha- kam berwarna kuning berkilau- an. Ini karena pengaruh istana emas dan buaya-buaya kuning yang pernah hidup nun jauh di dasar sungai Mahakam. Bila kita duduk di tepiannya, (diberi nama Tepian Etam), pa- da saat sang surya tenggelam, akan tampak pemandangan nan Bost Diceritakan oleh : Sukartini. Jln. Belimbing 61. Denpasar GRATIS 1 PASANG KAOS KAKI BOSCH, SETIAP PEMBELIAN 1 Ps. SEPATU C 1099 2cm Color Rendition Chart