Tipe: Koran
Tanggal: 1992-10-18
Halaman: 04
Konten
Color Rendition Chart 2cm 4. MINGGU KLIWON, 18 OKTOBER 1992 BUDAYA Adi Luhung PADA Kamis malam yang lalu, jelasnya malem Jemuaban yang lewat, di rumah Lik kupingan tampak regeng. Beberapa orang pakar kebudayaan pada ngumpul; bahkan di antara mereka ada yang ahli kebatinan. Kelompok yang disebut terakhir ini, sesuai dengan nama kelompoknya, kebatinan tidak banyak dan bahkan hampir tidak ngomong sama sekali. Yang banyak dilakukan perbuatan-perbuatan: gelas-gelas berisi teh hangat segera kosong, piring-piring berisi pisang goreng, oyol- oyol, rondho-royal, gethuk lindri, sosis, lumpia, segera dibersih- kan. Demikianlah, kelompok kebatinan ini selalu menguman- dangkan dan melaksanakan petuah para leluhur yang disebut nilai-nilai adi lubung ialah 'sepi ing pamrih rame ing gawe". Sebagai tuan rumah, Lik Kupingan tidak banyak komentar melihat gejala-gejala kebudayaan seperti itu. Maklumlah, seba- gai orang yang dilahirkan di tengah-tengah kebudayaan Jawa, Lik Kupingan, terus-terang saja, sering tidak paham dengan nilai-nilai luhur yang banyak dibangga-banggakan orang Jawa itu. Dan karena merasa bukan pakar, Lik Kupingan cuma bisa memandang saja, sambil mencatat semuanya dalam hati, kemu- dian merenungkannya sendiri di kala sepi. Beberapa orang pakar kebudayaan yang berkumpul malam itu pada sibuk membicarakan berbagai penampilan kebudayaan adi lubung itu, misalnya unggah-unggub, tari-tarian Jawa, tata pergaulan, hasil kesenian lainnya, seperti topeng, ukiran, keris, wayang kulit, gamelan dan sebagainya. Menurut para pakar itu, hasil kebudayaan Jawa sungguh tinggi nilainya. Sayangnya, mereka tidak menjelaskan berapa meter tingginya. Akan tetapi menurut mereka, hasil budaya Jawa sangat dikagumi orang- orang manca negara. Mereka juga mengatakan, misalnya, orang-orang bule begitu terpesona melihat pertunjukan wayang kulit. Mereka terpukau oleh kehebatan seorang dalang yang duduk semalam suntuk, menyanyi, berdialog, memainkan boneka wayang, menguasai gamelan, tanpa berhenti. Mereka juga tak habis pikir bagaimana seorang dalang bisa membuat lelucon sekaligus memainkan adegan perang, perdebatan, mengucapkan omongan tokoh wanita dan tokoh raksasa tanpa menjadi bingung. Tak jarang, dalang juga memberi petuah: hidup baik-baik, pasrab dan lega-lila, serta sabar. Mas Marto Lenga yang ikut juga duduk-duduk di antara mereka, berbisik kepada Lik Kupingan, setelah mendengar omongan para pakar itu. Menurutnya, nilai-nilai luhur sebangsa pasrab, sabar, lega-lila itu ajaran untuk wong cilik Tetapi untuk sebangsa Duryudana, Burisrawa, Sengkuni, Kartamarmo, Jayajatra, Citraksa-Citraksi, ya tidak tepat. Bagi mereka, ajaran yang tepat adalah sepi ing pamrib rame ing gawe itu tadi. Sebab untuk berbuat demikian dimungkinkan. Mendengar bisik-bisik Mas Marto Lenga, Lik Kupingan mengatakan bahwa tidak setuju. Bagi Lik Kupingan, ajaran luhur itu berlaku bagi siapa saja. Hanya saja, kadang-kadang disalahgunakan. Misal- nya saja ajaran isib kulit daging dhewe, masih saudara sendiri. Kalau wong cilik alias kaum W.C. mau marah karena kepen- tingannya dirampas oleh priyagung lubur, maka berlakulah ajaran itu. Yang menjadi soal, apakah para priyagung lubur juga menganggap wong cilik masih saudara sendiri? Melaksana- kan nilai-nilai luhur ajaran para nenek moyang memang tidak gampang. Mas Marto Lenga terdiam mendengar komentar Lik Kupingan demikian. Beberapa pakar yang tengah berdebat itu segera memasuki persoalan pandangan alus-kasar dalam kebudayaan Jawa. Tarian raksasa adalah tarian kasar, tarian sebangsa bedbo- yo adalah tarian halus, lembut, dengan irama yang sangat lambat. Maklumlah tarian bedboyo adalah tarian yang melukis- kan pengalaman jiwa. Lik Kupingan, setelah mendengar pembi- caraan para pakar, gantian berbisik kepada Mas Marto Lenga. Dibisikkannya dengan nada bertanya, mengapa setiap nonton pertunjukan tarian Jawa, yang katanya halus itu, kok selalu ada perangnya? Jika ada tarian lepas tanpa perang, jumlahnya sedikit sekali. Apakah dalam benak para pencipta tarian Jawa itu penuh dengan gagasan rebut-rebutan, tusuk-menusuk keris, tombak-menombak melulu? Benarkah ini manifestasi nilai-nilai luhur atau gambaran bagaimana kebudayaan Jawa selama ratusan tahun terus dijajah, sehingga hatinya was-was terus? Mas Marto Lenga dan Lik Kupingan tak bisa memecahkan masalah ini. Tapi jika benar demikian, alangkah malangnya nilai-nilai adi lubung itu."**(Bakdi Soemanto) Endang Susanti Rustamaji Catatan Peradaban 1 Sisa peradaban renta melahirkanku dari rabim Eva. Deru laut dan debur samudra mengajariku mengemudi angin dan nafasnya. Airmata kuubab Cakrawala. Kupandang ia menyala, memoleskan warna pias ke kanvas kelabu yang aku bawa. 2 Setangkai kembang diselipkan ibu di jantungku. Lagu keharumannya tak kunjung tiba di bidungku Hingga kuncup kuyupku mekar beraroma anyir Semesta. Sedang bapakku terus mengasah kapak penebas kebijauan yang bersemi di benak 3 Seiring putaran galaksi aku belajar menelan api Dan mengerti: oleb air padamnya api Bosan aku alirkan tuba pada sungai sungai mampat zamanku, Kucipta senjata bagi segala perang. Karena kehidupan adalah perang panjang yang tak pernah melahirkan pablawan. Dan kutemukan batinurani: senjata ampub tanpa tuba dan api. 4 Sebelum kukenal tawanya, ibu membuangku ke buma kumub dijaga seratus singa. Keresaban membuatku gerab. Dan kautinggalkan jasad rapubku. Kurindukan kelembutan, kutemukan pada wajah bayi yang terdampar di lorong lembab mimpiku Menyala matanya, melambungkan sebaris pedang terbunus. Kulawan dengan kesenyapan, lenyap ia serupa asap. 5 Musim musim legam berbinar dan berguguran. Menjelma warna warna baru melumuri kanvasku. Seperti warna langit ketika prabara reda. Begitu sejuk, begitu lembut, begitu tedub, Perlaban mengangkatku. Nur Iswantara Selalu dan Selalu tangisanku teriak rindu terlabir dari gua tua di perbukitan yang renta pada bisu menunggu selalu datangnya wahyu Cakraningrat dari sang dewa bayang-bayang suaraku tertinggal di sepi wajahMu selalu dan selalu menggalau semua yang berharap S.H.MINTARDJA: SERI MAS DEMANG Apa yang Dapat Kubantu? 30 Ki Jagabaya ternyata meng- angguk-angguk. Katanya, "Kau benar Mas Demang. Jika aku harus menganggur untuk sebu- lan, tentu badanku mulai terasa ngilu. Kita, yang terbiasa beker- ja, memang sulit untuk melepas- Yogyakarta, 1992 Jomblang, 141992 kan kerja itu dengan serta-mer- ta." BERNAS Sejak hari itu, Ki Jagabaya telah melakukan tugasnya kem- bali. roblematika Guru Sastra Sebuah Tanggapan Tulisan Linus Suryadi AG nuh untuk rubrik GEMA yang Ivan Adilla dikelola siswa-siswa berbagai sekolah. Tulisan-tulisan berupa artikel, esei atau cerpen yang dimuat setiap minggu mungkin bisa menjadi contoh kasus un- tuk menjelaskan materi pelajar- an di kelas. ULISAN Linus Suryadi AG di bawah judul Sang Guru Sastra (Bernas, Minggu 27 September 1992) yang mencoba menjelaskan posisi dan sikap yang harus diambil guru dalam pengajaran sastra, menarik untuk dibincangkan Pada satu sisi, tulisan itu boleh dianggap 'mewakili' suara pe- ngarang tentang pengajaran sastra yang selama ini jarang diungkapkan. Sisi lain yang lebih penting lagi, tulisan terse- but mempersoalkan kembali pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah-sekolah yang cenderung dianggap gagal. Persoalan ini menjadi kepen- tingan yang aktual justru karena saat ini kurikulum semua bi- dang studi sedang dalam peng- godokan di Puslitbang Depdik- bud. Dialog-dialog -seperti bentuk tulisan ini- barangkali bisa menjadi pertimbangan un- tuk penyelesaian kurikulum yang direncanakan dipakai ta- hun 1994 itu. Itulah sebabnya tulisan yang berawal dari gagas- an Linus di atas mencoba me- nempatkan persoalan yang sa- ma dalam kerangka yang lebih luas. Nyi Jagabaya pun berusaha untuk menguasai perasaannya. Jika ia mulai lagi dengan sindir- an-sindiran yang tajam serta wa- jah yang cemberut jika Ki Jaga- baya melakukan tugasnya, ma- ka Ki Jagabaya tentu akan kehi- langan lagi gairah kerjanya. Tetapi ketika Nyi Jagabaya bertemu dengan Nyi Limaran di pasar, jantungnya masih juga merasa berdebar-debar, meski- *** SAMPAI hari ini, materi sastra masih merupakan bagian dari pelajaran Bahasa dan Sastra In- donesia, meski beberapa pihak mengusulkan kedua materi itu dipisahkan saja. Pemisahan ma- u pun penggabungan kedua materi itu masing-masing memi- liki problematik dan kelebihan tersendiri. Pemisahan memung- kinkan materi yang dicakup le- bih luas dan mendalam karena waktu pemberian materi lebih leluasa. Namun kebijaksanaan seperti itu dikhawatirkan me- nimbulkan persepsi bahwa ba- hasa dan sastra merupakan dua dunia dan persoalan yang terpi- sah dan tak berkaitan. Setiap orang yang bergelut dengan bi- dang bahasa dan sastra menya- dari bahwa persepsi demikian adalah keliru. Sebaliknya, jika Arison Ada satu keanehan yang se- lalu membuat pusing para war- ga Blue Garden, yakni keingin- an dan kelakuan para tuyul itu yang selalu sama persis. Ketika tuyul si Buang bermaksud me- nggasak uang Badrun, misalnya, maka pada saat yang sama tu- yul-tuyul lain pun ingin meng- gasak uang Badrun, karena si Badrun punya tuyul dan seluruh warga juga punya tuyul, maka pada saat yang sama semua tu- yul pun datang ke rumah Ba- drun untuk berebut menyikat uang itu. Cerpen Ahmadun Y Herfanda- WARGA pemukiman baru di selatan kota Jakarta, Blue Gar- den, sepakat untuk memulai tra- disi aneh: arisan tuyul. Ini gara- gara semua warga pemukiman itu memelihara tuyul sehingga makhluk-makhluk kecil gundul tersebut tak punya ruang gerak lagi untuk melakukan aksinya. Padahal mereka sudah terlanjur menyerahkan upeti istimewa kepada juragan tuyul yang ber- mukim di sebuah gua di bawah pohon munggur di selatan kam- pung mereka. Kalau sudah begitu, perkela- hian massal antartuyul tak bisa dihindari lagi. Mereka akan langsung saling tonjok, saling tinju, saling tendang, saling cekik dan saling tindih. Dan sesuai dengan kehendak Sang Mitos, para pemilik tuyul itu pun menyusul datang untuk ikut berkelahi ramai-ramai sam- pai babak belur. Mereka baru berhenti berkelahi setelah keha- bisan tenaga. Tak jarang mereka lantas masuk rumah sakit bersa- ma. Perkelahian massal yang aneh itu terjadi hampir tiap hari, tiap ada tuyul yang berinisiatif untuk mencuri. Bahkan pada suatu hari, saking serunya per- kelahian massal, pakaian mere- ka sampai robek-robek total, sehingga mereka menjadi telan- jang bulat dan menjadi tontonan anak-anak kecil. "Kalau begini kita bisa mam- pus gara-gara tuyul," kata Bu- ang, yang kebetulan menjabat sebagai ketua RW, sambil me- ngusap-usap dahinya yang ben- jol dan berdarah. Ki Kamituwa yang sudah tua itu pun menyahut, "Ya. Seperti aku misalnya. Jika harus ber- henti bekerja dan duduk saja menganggur, umurku akan menjadi lebih pendek." "Nyi Limaran sama sekali ti- dak bertanya tentang kepergian kami. Agaknya ia memang tidak Ki Jagabaya dan mereka yang peduli terhadap Ki Jagabaya se- mendengarkan tertawa. Tetapi karang ini." seorang bebahu yang juga su- * Meskipun demikian, jika di dah setua Ki Kamituwa berkata, dalam pertemuan-pertemuan "Ki Kamituwa benar. Itulah se- Nyi Jagabaya mendengar orang- babnya aku masih juga mela- orang yang memuji Nyi Limaran kukan tugas-tugasku terus sam- sebagai seorang perempuan pai wadagku tidak lagi mampu yang baik, yang dermawan dan mendukungnya.* suka menolong orang lain yang mengalami kesusahan, hatinya masih tergelitik juga. pun pertemuan itu diwarnai dengan sikap yang ramah dan akrab. materi yang sama disatukan dan waktu pemberiannya hanya un- tuk satu porsi bidang studi, kurikulum akan menjadi amat padat dan proses pengajaran materi tidak bisa secara menda- lam. Risiko dari pilihan ini ada- lah materinya harus dibatasi melalui seleksi yang ketat. Alasan yang paling obyektif untuk menentukan pilihan dari dua alternatif di atas adalah tujuan pengajaran bahasa dan sastra itu sendiri. Jika tujuannya adalah membekali siswa dengan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang bahasa dan sastra Indonesia-dengan asum- si bahwa pengetahuan itu akan bermanfaat bagi kelanjutan ka- rier keilmuan-maka pemisahan kedua materi itu adalah pilihan yang paling mungkin. Tapi se- andainya pengajaran materi itu hanya dimaksudkan sebagai pe- ngetahuan dasar yang mampu menyadarkan siswa bahwa ba- hasa dan sastra adalah feno- mena kehidupan yang cukup penting, ma pilihan kedua a- dalah kemungkinan yang paling baik. Mengamati materi dan waktu pengajaran yang dipilih diterap- kan selama ini dengan perspek- tif seperti di atas, akan terlihat banyak kejanggalan. Kurikulum yang digunakan saat ini memuat materi yang terinci dengan ca- kupan yang luas, padahal waktu penyampaiannya amat terbatas. Materi seperti itu seakan dimak- sudkan membekali siswa untuk menjadi ahli linguistik dan sas- tra sekaligus, padahal materi yang sama diberikan pada se- mua jurusan. Jika materi demiki- an hanya diperuntukkan bagi jurusan bahasa dan budaya de- ngan waktu yang lebih panjang, mungkin tidak menjadi masalah. Namun apakah relevansi materi yang detail dan luas itu bagi jurusan lain? Sebagai pelaksana langsung Namun Nyi Jababaya berusa- ha untuk menahan diri. "Kita harus cari jalan keluar- nya, Pak," sahut Badrun. "Bapak selaku Ketua RW harus ikut ber- tanggung jawab." "Bertanggungjawab bagaima- na? Kan kemauan kalian sendiri untuk ikut-ikutan memelihara tuyul. Sekarang begini ini aki- batnya." Tapi kan Pak RW yang men- jadi pelopor pemelihara tuyul?” Tapi aku kan tidak menyu- ruh kalian ikut memelihara tuyul." "Ya jelas kami harus ikut, Pak. Kalau Bapak sendiri yang pelihara tuyul, apa Bapak mau menggilir uang kami semua un- tuk digasak? Tidak adil dong." "Daripada kita selalu berke- lahi macam begini. Tidak lucu dong." "Sudahlah. Kita jangan berde- bat lagi. Yang penting kita cari jalan keluarnya." "Bagaimana kalau tuyul-tuyul itu kita larang mencuri di kam- pung kita? Mereka kita tugaskan untuk mencuri di luar kampung saja. Di bank, misalnya." "Itu gagasan yang baik. Tapi apa mereka mau?" "Saya kira mau saja. Asal gaji mereka kita tambah dengan uang transport dan uang saku. Ini lebih baik daripada kita semua kehilangan sumber peng hasilan sama sekali." "Hai para tuyul!" teriak Pak RW. Para tuyul itu pun segera berkumpul. "Mulai hari ini kali- an kami larang untuk beroperasi di kampung ini. Kalian harus mencari sasaran di luar kam- pung. Soal uang transport ja- ngan khawatir. Juga kami sedia- kan uang saku. Apa kalian si- ap." "Siap, pak!" SYAHDAN dimulailah operasi para tuyul di luar Blue Garden. Tuyul Pak RW mengincar uang di Bank Plencit, di dekat pasar kota. Ia sudah membayangkan tuyulnya bakal membawa pu- lang uang puluhan juta secara sekaligus. Tapi dasar otak para tuyul itu sudah terlanjur sera- gam, tuyul-tuyul yang lain pun mengincar uang di bank yang sama. Pada jam, menit dan detik dari kebanyakan gadis yang la- in, Nyi Limaran itu pun telah memanggil anak gadisnya untuk berbicara ketika anak gadisnya itu datang mengunjungi nenek- nya. "Atiharsi," berkata ibunya, "Kau menjadi semakin sering pulang kemari. Bahkan terlalu sering." Atiharsi masih juga mencoba untuk beralasan, "Aku mence- maskan nenek, Ibu. Nenek yang tampaknya selalu gelisah." "Hanya karena itu?" Atiharsi mengerutkan dahi- nya. Dengan nada dalam gadis itu bertanya, "Maksud ibu?" dari kebijaksanaan yang rancu ini, para guru umumnya menca- ri jalan aman dengan mengikuti secara setia Garis Besar Pokok- pokok Pengajaran (GBPP) dan buku teks sebagai penjabaran kurikulum. Seperti sering dike- luhkan, guru dan siswa mesti berpacu dengan waktu untuk menuntaskan materi tersebut. Perbincangan mendalam sekitar problematik dan alternatif dari materi yang sedang diajarkan tidak mungkin dilakukan. Aki- batnya, pelajaran bahasa serasa rangkaian undang-undang yang harus dihafalkan, sementara materi sastra ibarat data sejarah yang bisu. Korelasi kedua mate- ri itu dengan kehidupan menja- di kabur. Adalah wajar jika ba- nyak siswa menganggap pelajar- an bahasa dan sastra Indonesia membosankan dan tak begitu penting. Tugas seorang guru bukan hanya menuangkan pengetahu- an ke kepala siswa. Yang lebih penting justru bagaimana mena- rik simpati dan minat siswa un- tuk mengejar pengetahuan yang lebih luas. Dalam situasi pelik yang menyelimutinya, tak ada pilihan lain bagi guru selain mencari kiat yang bisa mem- bantu proses pengajaran. Kiat itu mungkin dengan mengolah lagi rangkaian urutan pemberian materi sebagaimana dijabarkan dalam GBPP, membina majalah dinding atau bekerjasama untuk melakukan temu ahli dan penu- lis sastra. Penerbitan majalah dinding adalah kegiatan ekstra yang telah umum dilakukan. Me dia itu bukan saja dapat menjadi arena belajar menulis bagi siswa --yang amat sedikit diberikan di kelas. Media itu bahkan dapat menjadi 'guru bantu' bila guru mau menuliskan materi pelajar an dalam bentuk artikel kecil. Dalam kaitan ini, Yogya lebih beruntung karena harian Bernas menyediakan satu halaman pe- "Apakah tidak ada dorongan lain yang membawamu pulang ke rumah kakekmu ini?" Atiharsi menarik nafas pan- Dalam pada itu, ternyata Ati- harsi menjadi semakin sering pulang. Gadis itu mempunyai alasan yang tepat untuk hilir-. jang. Ia memang seorang gadis mudik ke rumah kakeknya. Ati- harsi selalu mengatakan, bahwa ia menjadi sangat mencemaskan keadaan neneknya. Tetapi ibunya ternyata ber- pendapat lain. Karena itu, sebagai seorang perempuan yang mengajari anaknya untuk lebih terbuka yang sama mereka pun tepat sampai di pintu bank. Mereka berebutan masuk lantas berkela- hi habis-habisan di halaman bank. Sesuai dengan kehendak Sang Mitos, para pemilik tuyul itu pun lantas menyusul bersa- ma-sama dan pada detik yang sama mereka sampai di hala- man bank. Kemudian, tanpa ba bi bu, mereka langsung saling menempeleng, saling jambak, saling pithing dan saling tindih. Halaman bank berubah menjadi arena perkelahian massal yang benar-benar seru. Tuyul lawan tuyul, orang lawan orang, laki- laki perempuan, tak jelas mana "Kita minta agar disetrap katan dengan Mas Demang." "Aku sudah mengira. Bagai- mana menurut pendapatmu?" "Aku belum dapat mengata- kan, apakah Mas Demang itu sesuai bagiku, Ibu. Aku me- mang baru menjajagi penalaran nya, perasaannya serta sifat dan wataknya." "Aku senang bahwa kau ter- nyata menjadi seorang gadis yang tidak hanya menuruti pe- rasaan saja. Tetapi juga mem- pertimbangkan penalaran. Teta- pi untuk mencari seorang sua- mi, kau tidak dapat membuat perhitungan dan pertimbangan sebagaimana kau memilih beras yang paling sesuai dengan ke- pentingan kedaimu. Beras yang putih, pulen tetapi mekar sehi- ngga kau akan mendapatkan nasi yang lebih banyak dari je- nis beras yang lain." yang tidak terlalu banyak me- nyembunyikan perasaannya. Atiharsi menarik nafas dalam- Karena itu, maka ia pun kemu- dian menjawab, "Ibu. Agaknya panggraita itu sebagai seorang dalam. "Dalam memilih bahan men- tah bagi kedaimu, kau benar- ibu memang tajam. Sebaiknya benar berpijak pada kepenting- aku memang mengatakan berte- anmu. Demikian pula memilih rus-terang kepada ibu. Aku ter- tenaga yang akan membantumu tarik untuk mengadakan pende- menyelenggarakan kedai itu. kawan mana lawan. Orang- orang sepasar berbondong-bon- dong menyaksikan perang bara- tayudha itu. Jalan besar di de- pan bank menjadi macet total. Perkelahian baru berhenti ketika mereka menyadari pakai- an mereka sudah tidak karuan lagi. Ada yang robek dadanya. Ada yang hilang bagian pantat- nya. Ada yang copot kedua le- ngan bajunya. Ada yang lepas rok bawahnya. Bahkan ada yang copot seluruh celananya. Yang tidak memakai celdam langsung berlari pulang sambil menutup barang terlarangnya dengan kedua telapak tangan- nya. "Ini lebih memalukan!" teriak Pak RW sesampai di kompleks Blue Garden. "Salah siapa? Tuyul pada edan disuruh operasi di luar kampung!" sahut yang lain. Tuyul-tuyul itu pasti sengaja mengerjai kita!" "Kita laporkan saja pada mbah dukun." "Kita minta agar mereka dia- dili." Kegiatan ekstra lain yang ternyata juga mampu menggai- rahkan perhatian siswa pada pelajaran bahasa dan sastra adalah dengan melakukan temu ahli dan penulis sastra. Untuk hal ini, saya ingin membagi pengalaman di daerah lain. Di Sumatera Barat, kegiatan seperti ini pernah dilakukan beberapa kali sepanjang tahun 1989-1990. Kegiatan itu terlaksana melalui kerjasama antara Himpunan Sar- jana Kesusasteraan Indonesia (HISKI) dengan Kanwil Depdik- bud dan sekolah yang dituju. HISKI mengajukan topik terten- tu dan mendatangkan sastrawan yang karyanya dibicarakan, se- dangkan sekolah hanya menye- diakan tempat, audiens, waktu dan perbanyakan makalah. Kri- tikus yang membicarakan topik persoalan mau pun sastrawan tidak dibayar secara langsung. Bagi anggota HISKI (yang u- mumnya dosen sastra), kegiatan itu dapat membantu proses ke- pangkatan. Sedangkan sastra- wan 'dibayar dengan cara men- jual buku-buku mereka dengan harga rabat di sekolah beberapa waktu sebelumnya. Sayangnya, kegiatan bulanan yang berman- faat ini kemudian terhenti kare na lemahnya koordinasi. Dalam hal ini, Yogya jelas amat berun- tung. Bukan saja di sini banyak sekali sastrawan dan kritikus, tapi juga kegairahan siswa un- tuk mengikuti kegiatan kegiatan seni. Beberapa jalan itu barang- kali bisa menjadi alternatif un- tuk dipertimbangkan. AKHIRNYA kita sampai pada pendapat yang diajukan Linus Suryadi menjawab pertanyaan seorang guru; bagaimanakah ca- ra terbaik menjelaskan pada siswa kata-kata kotor yang ter- dapat dalam karya sastra? Sete- lah menjelaskan pendapatnya saja." "Kita usulkan saja agar predi- kat ketuyulan mereka dicopot!" Mereka langsung mengadu pada mbah Sarmio, dukun pe- nyalur tuyul, yang bermukim di dalam gua, di bawah pohon munggur, di bagian selatan pemukiman itu. "Salah kalian juga," kata mbah Sarmio begitu mendapat pengaduan warga Blue Garden. "Masak, sekampung minta dibe- ri tuyul semua. Mana bisa tuyul- tuyul itu bekerja dengan baik." Orang-orang itu hanya diam sambil bersila di depan gua. "Kalian ini aneh. Ingin tam- bah kaya tapi malas bekerja." "Lantas sekarang sebaiknya bagaimana, mbah. "Sekarang pakai sistem arisan saja." "Arisan bagaimana, mbah." "Ya arisan tuyul. Seminggu sekali tuyul-tuyul itu biar men- curi di rumah masing-masing saja. Agar adil, tiap orang harus menyediakan uang limapuluh ribu tiap minggunya untuk dicu- ni tuyul. Uang itu biar dikumpul- kan di gua ini saja. Tiap Jumat sore kalian harus berkumpul di rumah Pak RW. Sayalah yang akan mengundang siapa yang mendapat giliran menerima uang arisan itu. Nah, sekarang kalian pulang saja. Jumat sore besok kita mulai." "Wah, sama saja tak pelihara tuyul" gumam orang-orang. "Daripada berkelahi tiap hari." Tibalah hari yang mereka tunggu-tunggu, Jumat sore, hari putaran pertama arisan tuyul. Sejak pukul empat sore semua warga telah berkumpul di ru- mah Pak RW. Dengan gelisah mereka menunggu kedatangan mbah dukun bersama tuyulnya, Tenaga yang memberikan arti yang sebesar-besarnya bagi per- kembangan kedaimu. Tetapi ti- dak demikian dengan memilih seorang suami. Kau justru harus bersiap untuk mengorbankan sebagian dari kepentinganmu." Atiharsi mengangguk sambil menjawab, "Aku mengerti, Ibu. Tetapi seperti yang aku katakan, aku sedang menjajagi, apakah Mas Demang itu sesuai bagiku atau tidak." "Kalau sesuai?" "Aku akan memilihnya untuk menjadi seorang suami." "Kalau tidak?" Tentu saja aku akan meng- hindarinya." "Kau pertimbangkan perasa- an Mas Demang? Jika ia sudah terlanjur mencintaimu sementa- ra kau merasa bahwa Mas De- mang itu tidak sesuai untuk menjadi suamimu?" "Aku tidak akan dapat me- ngorbankan perasaanku sepan- jang umurku, Ibu. Jika aku me- rasa tidak sesuai, apa boleh bu- at." "Kau harus mempertimbang- tentang posisi yang selayaknya diambil guru pada masa kini, Linus menyimpulkan bahwa ba- gi guru yang mengambil posisi sebagai penunjuk jalan yang moderat, hal itu tidak jadi masa- lah. Perkara penyampaian, itu hanya persoalan teknis. Ada be- berapa catatan yang perlu diaju- kan tentang pendapat tersebut. Konsepsi Linus tentang guru sebagai penunjuk jalan adalah bahwa guru menunjukkan siswa pada penguasaan ragam ilmu. Konsepsi itu mengandaikan gu- ru memperlihatkan secara jelas dan obyektif duria ilmu tanpa memasukkan pendapatnya me- ngenai jalan yang terbentang itu. Konsepsi tersebut mirip dengan posisi seorang dosen di perguruan tinggi, meskipun Li- nus sendiri menolak kesan ini. la hanya bertugas mengantar- kan siswa pada jalan tertentu. Pendalamam keilmuan adalah tugas siswa secara pribadi. Sis- tem CBSA yang dilontarkan dan diterapkan sejak beberapa wak- tu lalu sebenarnya berangkat dari konsepsi seperti itu. Tapi pelaksanaan sistem itu agaknya belum begitu lancar dan tidak banyak yang berhasil menerap- kannya. Pada tahap konsepsi, pikiran itu mungkin bisa diterima. Ke- sulitan justru muncul ketika konsepsi itu dilaksanakan dalam bentuk tindakan. Selaku penun- juk jalan, ternyata guru sulit sekali menghindarkan penilaian subjektifnya. Persoalannya, se- lain menunjukkan jalan, guru juga memperlihatkan liku-liku, problematik dan berbagai ke- mungkinan yang barangkali bisa terjadi. Ibaratnya, guru tidak hanya memberitahu bahwa ada jalan ke sorga dan ke neraka, tapi juga memberitahu bahwa sorga itu kenikmatan dan nera- ka itu siksaan. Agar mampu memperlihatkan berbagai pro- blematik dan alternatif di dunia keilmuannya, penguasaan mate- ri dan pengalaman guru me- mang dituntut. Hanya guru yang memiliki keluasaan dan keda- laman pengetahuan serta ber- pengalaman yang mampu men- tentu dengan bungkusan uang dalam jumlah besar. Masing- masing berdoa suntuk, mengha- rapkan rezeki pada putaran pertama jatuh ke tangannya. Setelah ditunggu dua jam lebih, orangtua penghuni gua itu baru muncul bersama tuyul dan bung kusannya. "Kenapa terlambat, mbah?" tanya orang-orang. "Ini gara-gara kalian juga. Kalian tidak menyediakan uang limapuluh ribu untuk dicuri tuyul, bukan "Kalau kami harus menyedia- kan uang, lantas apa bedanya dengan arisan ibu-ibu PKK, mbah." "Itulah masalahnya. Padahal uang itu wajib demi kelancaran arisan. Tuyul saya terpaksa mencarikan uang pengganti. Makanya terlambat." Tapi uang itu ada toh, mbah." jelaskan secara sederhana pro- blem yang rumit. Sehubungan persoalan di atas, untuk menjelaskan kata- kata kotor dalam karya sastra, guru harus membedah' dan menjelaskan unsur-unsur karya tersebut hingga terlihat bahwa kata-kata kotor di dalamnya berfungsi untuk menjelaskan persoalan yang lebih besar dan penting. Bahwa kata-kata seper- ti itu tidak dimaksudkan untuk merangsang nafsu birahi --se- perti yang terjadi dengan novel- novel picisan. Berikutnya, masa- lah ini harus dijelaskan juga melalui posisi karya dalam seja- rah pemikiran kesusasteraan di Indonesia. Berbagai gejolak dari luar dan pendapat di kalangan sendiri telah sastrawan kita melahirkan berbagai konsepsi tentang sastra yang berbeda dari sebelumnya. Dunia sastra yang mengagungkan kreativitas mela- hirkan tradisi pembaruan yang berlangsung terus menerus dan mengakibatkan karya sastra menjadi hentakan bagi banyak orang. Berapa orangkah guru sastra kita yang mampu menje- laskan persoalan yang luas ka- itannya itu? Marilah kita andaikan; ada banyak guru yang mampu men- jelaskan persoalan tersebut. Tapi bagaimana dengan siswa sendiri? Materi pelajaran mereka jelas tidak mencakup persoalan yang begitu luas. Lagi pula, untuk apa materi yang luas bagi mereka? Dengan kondisi demikian, penjelasan seperti itu di kelas akan mubazir. Memilih kesempatan lain di luar kelas mungkin lebih bijaksana. Yang lebih penting dari per- soalan itu agaknya adalah; ba- gaimanakah pertanyaan seperti itu bisa muncul? Jika pertanyaan itu muncul karena pembacaan siswa di luar -kelas dan materi yang ditugaskan, maka tak ada pilihan lain bagi guru untuk menuntaskannya. Namun jika pertanyaan itu lahir karena memang guru menugaskan sis- wa membaca karya-karya seper- ti itu untuk dibincangkan di kelas, apakah pilihan itu cukup bijaksana? kan kemungkinan itu sejak se- karang. Kau tidak boleh terlalu sering datang kemari sebelum kau yakin. Mas Demang akan dapat menjadi salah paham." Seperti diungkapkan di atas, penjelasan materi seperti itu -- bersama-sama dengan beberapa karya sastra Indonesia mutakhir lainnya-membutuhkan penge- Nasib Pengarang Sastra Jawa SEBUAH ungkapan klise, bahwa pengarang sastra Jawa berkehidupan pahit, sangat ber- tolak belakang dengan para pe- ngarang yang berkecimpung di sastra Indonesia. nambah penghasilan juga bisa sebagai pemacu semangat ber- karya. Apakah arti ketenaran kalau ternyata kehidupan pe- ngarang sastra Jawa kekurang- an. Hingga sudah biasa jika profesi ini hanya merupakan sambilan belaka, mengingat segalanya yang serba terbatas. Ini memang sah saja, karena jumlah majalah atau koran yang berbahasa Indonesia jauh lebih banyak. Dari daerah sampai pu- sat jumlahnya tak terhitung. Se- ADA sesuatu yang menggan- karang bandingkan dengan jal dalam diri pengarang sastra yang berbahasa Jawa, jumlah Jawa, yakni hasil karyanya yang medianya cukup dihitung de- ngan jari sebelah. Seperti misal- nya, Djaka Lodbang dan Mekar- sari di Yogyakarta, tabloid Pa- nakawan di Jawa Tengah (Solo) dan Panyebar Semangat serta jaya Baya di Jawa Timur (Su- rabaya). telah dimuat di mass media di- siarkan kembali oleh radio swas ta niaga dalam bentuk pemba- caan buku, dan biasanya ber- bentuk cerita bersambung atau cerita cekak Dalam penyiaran sekitar 45 menit tersebut sarat dengan iklan sebagai sponsor yang tentunya menghasilkan uang tidak sedikit. Memang se- buah kerja yang ringan, tinggal mencomot majalah kemudian membacakan saja hasilnya lu- mayan, sementara si pengarang harus puas bila namanya cukup disebut saja, ini pun tanpa pem- beritahuan terlebih dulu, hingga tidak jarang si pengarang justru tahu dari orang yang mende- ngar. Celakanya, banyak orang bahwa jika karya- beranggapan nya disiarkan ulang, pasti peng- arangnya mendapat honor lagi, sesuatu yang menggelikan teta- pi pahit. "Lihat saja nanti." Arisan pun dimulai. Nama ti- ap-tiap kepala keluarga peserta arisan ditulis pada sesobek kertas HVS, lantas dilinting kecil dan dimasukkan ke kaleng. Se- telah dikocok, mbah Sarmio mengambil satu lintingan dan membukanya. "Kali ini yang beruntung mendapat rezeki saudara Bu- ang. Selamat atas rezeki nom- gai Rp 10.000 sampai Rp 15.000, plok ini. Harap jangan dibuka di ini sini. Bukalah di kamar saja," pun tidak diterima utuh kata mbah dukun. "Sekarang karena masih dipotong pajak 15 persen, sementara dalam cerita saya mau pulang dulu." Mbah Sarmio, dukun tuyul itu pendek dengan jumlah halaman yang sama honornya bisa berli- pun meninggalkan tempat ari- san bersama tuyulnya. Buang pat. Boleh saja kita mempunyai idealisme, bahwa pengarang tidak sabar menunggu. Begitu sastra Jawa dalam menggeluti mbah dukun sudah jauh, ia langsung membuka bungkusan karya-karyanya tidak memikir- besar dari orangtua itu. Ia sa- kan honor namun toh kita tidak ngat kaget. Isinya ternyata ha- munafik bahwa uang memang perlu, di samping untuk me- nya tumpukan daun nangka. *** tahuan yang luas. Bukan saja guru, siswa pun harus mengua- sai keluasan pengetahuan untuk dapat menerima penjelasan gu- runya. Tidak bisa diduga bagai- manakah guru harus menjelas- kan latar belakang dan persoal- an yang dikandung puisi-puisi Sutardji, cerpen cerpen Danarto atau novel-novel Iwan Simatu- pang. Bagaimanakah reaksi sis- wa terhadap penjelasan karya- karya yang rumit itu? Tentu saja karya-karya itu merupakan fakta dari perjalanan sejarah sastra Indonesia. Namun persoalannya kembali pada tujuan dari penga- jaran sastra di sekolah mene- ngah. Yang jelas, mereka tidak dituntut menjadi ahli sastra. Persoalan itu bisa diamati ju- ga dari sisi lain. Tradisi sas kita cenderung mengaitkan sas- tra dengan moral. Hal itu bisa diamati dari berbagai dongeng maupun sastra klasik yang di- anggap merupakan uraian sikap moral yang harus diacu dalam menempuh kehidupan. Tradisi sastra yang telah amat lama dan hingga kini masih tetap hidup itu tentu saja berpengaruh besar terhadap konsepsi sastra yang diyakini siswa. Ketika mereka disuguhkan karya yang memuat kata-kata kotor dan dikatakan itu adalah karya sastra, maka dua kemungkinan akan timbul. Pertama, mereka sepenuhnya menyadari konsepsi mereka ha- rus diperluas. Kedua, mereka cap antipati dengan sastra modem karena karya itu tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Jika kemungkinan kedua ini yang terjadi, bukan saja contoh itu tidak membantu menjelas- kan materi, bahkan dapat meng- gagalkan usaha menarik minat siswa pada pengetahuan sastra- -salah satu tujuan pengajaran. Menurut pengamatan dalam be- berapa dialog, mahasiswa jurus- an sastra pun masih mengalami memahami persoalan untuk muatan dan konsepsi karya-kar- ya seperti itu. Bahwa kata-kata kotor dan gambar-gambar vulgar bersili- weran dalam kehidupan sehari- hari di luar sekolah, tidak cukup menjadi alasan untuk membica- rakan hal yang sama di kelas. Kita tahu, kata-kata dalam karya sastra memiliki posisi yang ber- beda dengan kata-kata dalam kehidupan sehari-hari.*** Mengingat bahwa majalah- majalah tersebut terbit seminggu sekali, bahkan tabloid Panaka- wan dua minggu sekali, praktis tidak ada harian yang berbahasa Jawa. Itu pun masing-masing media beroplah paling banyak 15.000 eksempar. Dengan demi- kian kita bisa membayangkan kehidupan wadah sastra jawa memang memrihatinkan. Apa- lagi yang namanya iklan, cuma sedikit sekali, atau boleh dikata- kan tidak ada. Padahal iklan merupakan pemasukan uang a- khimya bisa dipakai menambah honor penulis, atau setidak- tidaknya bisa menekan biaya produksi penerbitan. De-ngan demikian, praktis Masalah ini pernah saya ung- ceran. kehidupan kapkan pada acara temu pener- majalah berbahasa Jawa hanya bit pengarang dan pembaca sas- tra Jawa pada pertengahan bu- tergantung dari uang langganan lan Desember 1990, sejauh ma- atau pembaca yang membeli e- na tanggungjawab dan etika ra- dio yang menyiarkan pembaca- an buku terhadap pengarang- nya, apakah tidak sebaiknya minta izin lebih dulu atau seti- dak-tidaknya memberitahu. Bahkan waktu itu ada yang mengusulkan adanya royalti karena acara tersebut adalah komersil. Namun toh mereka tidak peduli, menganggap sah- sah saja, karena berpendapat toh hasil karya tersebut sudah dipublikasikan di media. Dan hak cipta juga sudah menjadi milik koran atau majalah yang telah memberi honorarium bagi pengarangnya. "Jika ada laki-laki yang tidak berbuat seperti itu, maka laki-la- ki itu adalah laki-laki yang ber- baik hati. Melimpahkan sebagi- an kuasanya kepada istrinya. "Bagaimana aku dapat me- Tetapi aku tidak ingin sekadar mantapkan keyakinanku jika mendapatkan pelimpahan se- aku tidak sering bertemu, berbi- perti itu. Sekadar karena kebaik- cara untuk menjajagi kesamaan an hati seorang suami. Aku dan perbedaan pendapat. Kese- ingin sejak semula, kedudukan diaan untuk menerima masing- kami sudah tegas. masing sebagaimana adanya. Batas-batas pengorbanan yang harus diberikan oleh masing- masing pihak, serta seberapa ja- uh kebebasan yang masih dimi- liki setelah terjadi pernikahan." Nyi Limarah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau akan mengalami kesulitan untuk menemukan seorang laki-laki yang dapat kau ajak berbicara tentang syarat-syarat yang me- musingkan seperti itu." Dari kenyataan itu, bisa dike- tahui nasib pengarangnya. Pa- dahal pengarang juga merupa- kan salah satu unsur yang pen- ting bagi sebuah penerbitan ma- jalah. Apa jadinya sebuah maja- lah jika tidak dibantu oleh para pengarang. Sebagai gambaran, honorarium sebuah cerita cekak atau cerita pendek yang terdiri sekitar lima halaman folio dihar- "Katakan, seandainya kau te- mui laki-laki seperti itu, bagai- mana dengan Panuntun?" "Kenapa dengan Panuntun?" "Jangan pura-pura tidak ta- hu." Atiharsi menarik nafas dalam- dalam. Katanya, "la anak muda yang baik. Tetapi Panuntun justru tidak pernah bersikap." *** Waktu itu memang menjadi adu argumentasi yang berke- panjangan dan masing-masing memberi pendapat dan alasan yang meyakinkan. Namun toh hasilnya tidak ada sama sekali. (AY Suharyono). kepadanya? Maksudku, apakah kau tidak membuat pendekatan dengan anak muda itu?" "Aku sudah lama bergaul de- ngan Panuntun. Aku sudah se- ring berbicara dengan anak mu- da itu. Tetapi anak muda itu ti- dak pernah berbicara tentang persoalan-persoalan yang lebih luas dari harga beras dan ba- han-bahan pangan yang lain." "Bukankah ia telah berbuat apa saja untukmu. Bukankah justru orang seperti itu yang kau perlukan? Wajah Atiharsi tampak berke- rut. Namun sebelum ia menja- wab, ibunya berkata, "Aku ha- nya bermaksud menggelitik ha- timu, agar kau dapat mengambil sikap. Jangan terjadi salah pl ham sehingga menimbulkan persoalan yang tidak kita ke- hendaki." "Ia telah melakukan apa saja untuk pengembangan kedaimu Tetapi jika hal itu tidak jelas, tanpa menuntut imbalan apa maka keseimbangan perkawin- pun juga. Maksudku, imbalan an sulit untuk dipertahankan. uang. Tetapi bukan berarti ia ti- Atiharsi menarik nafas pan- jang. Tetapi ia dapat mengerti Seorang laki-laki cenderung un- dak mengharapkan imbalan sa- maksud ibunya. Tetapi Atiharsi tuk berkuasa mutlak di dalam rumah tangganya." ma sekali." "Aku akan berbicara pada- nya." Tidak semua laki-laki, Ati- harsi." memang berpendapat bahwa ia harus membuat pertimbangan yang panjang sebelum menen- tukan sikap. (Bersambung) "Apakah kau tidak tertarik 4cm BERAN Asuhan: dr Soeliadi Ho Mimisen Dokter Yth Anak saya berusia 7 tabu Apabila subu badannya sed masuk angin, sudah dapat mengeluarkan darah. Suda saya lebih cepat mimisen, the pada saat anak saya terlalu Dokter, apakab sebenarn mimisen memang benar dis kata para orangtua? Kemua bungannya dengan penyak yang mengerikan tersebut? Terima kasih atas penjela Ibu Waskito yang bijaksan Perdarahan hidung atau suatu kelainan setempat, na penyakit sistemis dalam tub pa trauma dan kekerasan, im keganasan misalnya kanker darah atau hemangioma dan karena adanya cacat bawaan Sebab-sebab sistemik yai darah misalnya tekanan dar darah. Selain itu dapat pula kelainan darah seperti heme demam tifoid, demam berda dan juga dapat disebabkan misalnya pada kehamilan, n Mimisen pada anak-anak pembuluh darah kapiler pa biasanya dapat berhenti spe ini biasanya disebabkan ole pada anak tersebut belum ngaruhi oleh kebiasaan jara buahan. Begitu banyak kelainan misen sehingga untuk men nyingkirkannya satu persat apabila perdarahan sukar b gejala-gejala lain misalnya batuk pilek yang tidak sem Nah Ibu Waskito walaup kelihatannya ringan dan tic baiknya bila putra ibu dipe kelainan lokal di hidung. A hidung, kami anjurkan aga untuk dicari kemungkinan suk faktor-faktor pembeku Apabila semuanya norm pembuluh darah hidung p dibantu dengan diet yang dan buah-buahan segar. Se Yogyakarta Minggu, 18 Oktober 1992 Dokter Umum buka puku Van Sasongko, Jl Suryatmaja Merry, Jl Suryatmajan 36 A; d Yuwono Mardi Husodo, Jl Tan JI Golo UH XII/99 B; dr Ilyas,. Ludiro Husodo Tama JI Wirat Dokter Gigi buka pukul 0 Haryono 54; drg Prihatinings Kauman 22 Dokter Gigi buka pukul 1 5; drg Rinaldi Budi Utomo, JI Apotek buka biasa pukul Kodya Yogyakarta: Apotek S AM Sangaji 35; Apotek Medis Gejayan 5 Telp 86530; Apotek Babarsari, JI Laksda Adisutjip Demangan Baru 5; Apotek E Apotek Kusuma Indah, JIKusu km 6 Kentungan; Apotek Kimia 57; Apotek Pelita, JI Gejayan JI Malioboro 179; Apotek Ria JI Parangtritis 104 telp. 6116 telp 63242; Apotek Bhuana, Malioboro 123 (buka 24 jam) Rumah Sakit buka puku Sekip Yogyakarta telp 87333 telp. 88876; RS Panti Rapih, PKU Muhammadiyah, JI KHA 66129. Rumah Sakit Khusu Kabupaten Bantul tell UH IV402 telp. 2683. RS Ludi F telp. 3651 Yogyakarta; Bunda, Desa Dongkelan, Sewon, Kabupaten Bantul; Al No 1 Yogyakarta telp 71195. Pelayanan PMI Cabang PMI telp 72176; Ambulans Ga Darah Cabang Kodya Yogya Poliklinik Umum dan Tegalgendu No 25 Kotaged= pukul 14.00- 16.00 WIE Penya SIAPA sangka kalau ga an akibat kekurangan y (GAKI) merupakan m spesifik dibanding tiga m kesehatan di Indonesia L (kurang kalori protein, w A, dan anemia? Untuk me gulangi GAKI yang sudah hun-tahun belum juga m mulai tahun anggaran 19 93 pemerintah mendistrib kapsul yodium, sebagai ganti metode suntik yang tikan karena terbentur per an. Kapsul yodium dengan Lipiodol buatan Guebert cis. Karenanya, tidak her biaya pengadaan juga Jika saja belum naik, perbandingan, bisa diliha harga yodium suntik, yan ap 10 ml-nya diberi harg tar 2,75 dollar AS. Untur impor tersebut hanya tahun-tahun pertama ini. selanjutnya, dibuat di negeri. Industri farmasi Farma menyanggupi memproduksi kapsul tersebut. Yang menggembiraka distribusian kapsul bery sudah dimulai bulan ini, sasaran awal 14 propin ngan jumlah 2.404.500 Pada dasarnya seluruh p di Indonesia bakal me atah, kecuali DKI Jakarta mungkin bisa dipuji adal Pendistribusiannya yan nempuh jalan pintas Kal pendistribusiannya mela pinsi kemudian baru ke paten, kini langsung ke ten. Dengan demikian kan akan cepat sampai an. Tablet yodium deng- 200 mg tersebut diberik
