Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Waspada
Tipe: Koran
Tanggal: 2005-03-05
Halaman: 14

Konten


4cm 14 5 MARET 2005 SABTU Menjajal Jalur Trek Ke Cibedug Pulang Dihadang Banjir Dan Longsor beranjak. Lestari dan Mbak Nana yang bekerja di salah satu bank asing, berada pada barisan terdepan diiringi Jumbana. Saya dan beberapa rekan lain di bela- kang menjadi tim penyapu, dite- mani Juna. Baru 200 meter mele- wati balai desa, hujan rintik- rintik turun. Namun tidak begitu menjadi masalah lantaran medan yang kami lalui masih jalanan beraspal dan selanjutnya berbatu. Saya dan beberapa rekan lainnya mengeluarkan ponco dan jas hujan (raincoat) dari ransel, takut kalau hujan tiba-tiba turun dengan deras. Untunglah hujan hanya rintik- rintik dan kemudian berhenti setibanya di jembatan gantung yang membentang di atas sungai Citorek. Kami membuka kembali ponco dan jas hujan karena tera- B AGI pekerja kantoran yang gemar travelling, punya libur dua hari merupakan berkah tersendiri. Maklum selama ini, mereka hanya bisa memanfaatkan libur akhir pekan atau cuti kerja un- tuk menyalurkan hobi jalan- jalan. Bila ada waktu libur mini- mal dua hari, pasti digunakan untuk melepaskan kepenatan dari runitinas sehari-hari, pergi ke luar kota. Begitulah yang dilakukan kelompok Kembara- tropis yang anggotanya terdiri atas eksekutif muda, wartawan dan pegawai swasta dari berba- gai perusahaan di Jakarta. Me- ngetahui ada libur dua har beberapa waktu lalu, klub pegiat alam bebas ini segera merancang perjalanan ke Cibedug, Banten, dimana terdapat peninggalan dan kehidupan purbakala. Waspada/Adji K Trekking: menuruni jalur trek dari Cibedug lebih santai. Namun jika hujan jalur berubah licin dan amat menyulitkan. Rencana ke situs Cibedug sebenarnya sudah terbersit sejak sebulan lalu. Namun baru dua hari menjelang hari libur nasio- nal itu, Lestari-salah satu serda- du (baca: anggota) Kembaratro- pis mengirim pesan pendek yang isinya mengajak saya mereali- sasikan rencana itu. Saya setuju mengingat belum pernah ke sana begitu juga dengan Lestari. Kami hanya tahu lokasi tersebut dari cerita orang lain. Lestari yang berprofesi seba- gai editor salah satu majalah di ibukota, mencari data seputar keberadaan Cibedug. Saya me- ngirim pesan ke rekan-rekan lain. Rabu pagi, pukul 7.00 WIB, kami kumpul di stasiun Beos- Kota. Tak disangka, ternyata peserta yang ikut berjumlah 14 orang, empat pria dan sepuluh wanita. Padahal semula saya memperkirakan paling banyak lima orang yang bergabung. Yang lebih mengejutkan lagi, Rita- karyawati perusahaan asing di bidang migas yang sedang ber- tugas di Alaska ternyata datang bersama adiknya. Lajang berda- rah Sumatera Utara yang biasa dipanggil si-Opung ini, rupanya El KAMPUNG Cibedug meru- pakan bagian dari desa Citorek, kecamatan Bayah, kabupaten Lebak, provinsi Banten. Jarak- nya lebih kurang 50 km dari Rangkasbitung atau delapan km dari desa Citorek yang merupa- kan pintu gerbang menuju Cibedug. Kampung Cibedug kini masuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Di sana sudah dibangun sektor Cibedug, sebagai salah satu pintu masuk menuju kawasan taman nasio- nal tersebut. Konon nama Cibedug berasal dari sebuah batu di tengah hutan yang mengeluarkan bunyi seper- ti bedug yang bertalu-talu saban sengaja diam-diam kembali ke Indonesia untuk bikin surprise kami. Setelah kumpul semua, Dyah yang bertugas sebagai ben- dahara, mengumpulkan uang untuk membeli tiket kereta api ekspres tujuan Rangkasbitung Rp 10.000 per orang. Sambil me- nunggu kedatangan kereta, kami menyantap sarapan bubur ayam di samping stasiun. Tak lama kemudian terde- ngar pengumunan dari petugas kereta yang mengatakan bahwa kereta ekspres tujuan Rangkas- bitung datang terlambat. Pukul 9.00, kereta ekspres baru tiba di jalur tujuh. Kami segera naik dan mencari kursi sesuai nomor di tiket. Untunglah semua anggota perempuan kebagian duduk, sementara yang laki-aki terpaksa berdiri. Kondisi kereta ekspres ternyata tidak secepat dan senyaman namanya. Selain kerap berhenti beberapa kali di stasiun, fasilitasnya pun banyak yang rusak, antara lain kipas anginnya mati. Terlebih hari itu jumlah penumpangnya membludak melebihi kapasitas, sampai berdiri saja sulit. Setelah 3 jam berada di kere- ta yang sesak, kami turun di stasiun Rangkasbitung. Perut sudah keroncongan, lalu kami mencari rumah makan untuk santap siang. Suwasti, rekan kami yang sering berkun- jung ke Banten, rupanya hafal dimana warung yang enak untuk makan. Ia membawa kami ke rumah makan si-Koyo yang me- nyediakan makanan khas sunda, soto daging berikut lalapan dan sambal yang lumayan nikmat. Usai bersantap, beberapa rekan menjalankan sholat zuhur, seba- gian lagi bertugas mencari bahan makanan dan perlengkapan untuk bekal perjalanan. Saya mencari angkot carteran di ter- minal Rangkasbitung yang berjarak sekitar 100 meter dari stasiun. Tak ada 15 menit, saya men- Waspada/Adji K Dapur: Beginilah cara memasak warga kampung Cibedug, dengan tungku berbahan bakar kayu yang diambil dari hutan dan kebun. malam Jumat. Akhirnya kam- pung dan sungai yang mengalir di dekat batu bedug itu dinama- kan Cibedug oleh masyarakat yang pertama kali menetap di wilayah. Ada juga yang menga- takan sampai sekarang, batu bedug itu kadang masih menge- luarkan suara bedug, terutama menjelang bulan puasa Rama- dhan. Hingga kini, masyarakat di kampung Cibedug masih hidup terpencil, tepatnya di barat daya Gunung Bapang (1045 m dpl). Daerahnya masih sulit dijangkau oleh kendaraan. T Waspada/Adji K Batu Bedug: Inilah salah satu penginggalan purbakala di Cibeduk yang kerap dijadikan tempat untuk berziarah karena dianggap keramat. Selain itu terdapat punden berundak berupa susunan batu sebanyak sembilan tingakat, sumur kuno dan beberap menhir. dapatkan mobil carteran Elf 300 berkapasitas 16 orang. Setelah sepakat dengan har- ga carteran sebesar Rp 250.000 sekali antar, kami segera naik. Ransel-ransel besar ditumpuk diatas mobil ditutupi ponco untuk mengantipasi turunnya hujan. Salim-sopir Elf dan Ade- kernetnya, membawa kami me- laju dari Rangkasbitung menuju Citorek. Lantaran sudah terbiasa melewati rute tersebut, Salim hafal betul kondisi jalan dan lalu- lintasnya hingga ia berani mema- cu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun beberapa kali Sa- lim memberhentikan mobilnya untuk membeli solar dan menu- runkan beberapa warga lokal yang semobil dengan kami. engetrekí berjalan kaki melewati jalan berbatu, menyebrangi jem- batan bergoyang, areal persawa- han dan naik-turun perbukitan selama lebih kurang tiga jam. Kampung ini menjadi ter- kenal setelah ditemukan adanya peninggalan purbakala jaman prasejarah, tepatnya peningga- lan dari tradisi megalitik. Berupa batu berundak sembilan tingkat, beberapa menhir atau batu ber- bentuk lonjong dan berdiri tegak serta sumur kuno yang berada di satu kompleks. Masyarakat yang memegang kebudayan me- galitik, percaya bahwa orang yang sudah mati masih berhu- bungan dengan keturunannya, terlebih kalau almarhun adalah tokoh masyarakat atau orang yang dihormati karena kedudu- kan atau kedigjayaannya. Agar bisa terus menjalin hubungan dengan para leluhur, para penu- rusnya membuat bangunan- bangunan dari batu besar (mega- litik). Tak ketinggalan menga- dakan upacara penghormatan supaya para leluhurnya itu tetap bermurah hati. "Saya tidak tahu siapa saja yang membuat bangunan dari susunan batu itu Mobil hanya bisa sampai di dan kapan dibuatnya. Tapi yang Desa Citorek. Satu-satunya cara, jelas itu peningalan dan titipan Kondisi jalan menuju Citorek cukup bagus, melewati perkam- pungan dan perbukitan. Menjelang Citorek, kondisi jalan naik turun dan berkelok- kelok. Jarang sekali motor dan mobil pribadi yang melewati jalan tersebut. Sore itu kami hanya sesekali berpas-pasan de- ngan angkot atau mobil bak ter- buka yang mengakut hasil perke- bunan, seperti durian. Di bebera- pa sudut jalan sebelum mema- suki Citorek memang banyak penjual durian. Aromanya me- nusuk hidung dan mengundang selera. Beberapa rekan mengan- cam akan membeli durian setibanya di Citorek. Setelah hampir tiga jam be- rada di mobil, kami tiba di desa Citorek. Salim mengantar kami sampai ke balai desa Citorek dan setibanya di sana kemudian Ade menurunkan ransel-ransel. Di sana kami disambut Aga Azhari, staff balai desa Citorek yang bertugas dan sekaligus menem- pati balai tersebut. Saya lang- sung memberitahu maksud kedatangan kami dan kemudian Aga membuatkan surat pengan- tar untuk disampaikan kepada ketua adat kampung Cibedug. Sesampainya di Citorek, bebe- rapa rekan yang ingin membeli durian kecewa lantaran tidak ada satu pun pedagang yang menjual buah berduri itu. Di ruang dalam balai desa yang kosong, kami istirahat sejenak. Beberapa rekan yang lain asyik memotret orangtua dan anak-anak setempat yang ramah dan lugu. Saya menemui Salim untuk mencarter mobilnya kembali esok hari. Kami sepakat mencarternya lantaran malas mengejar kereta terakhir dari Rangkasbitung menuju Jakarta Tanpa banyak komentar, Salim bersedia menjemput kami di balai kelurahan dan mengantar kami ke terminal Jasinga, Bogor esok harinya. Jadi urusan trans- portasi pulang sudah tidak ada kendala. Usai shalat magrib, kami makan malam bersama ala Kembaratopis, dengan beralas- kan daun pisang utuh yang dita- ta sedemikian rupa secara lese- han, tanpa sendok dan garpu. Nasi, empal daging, lalapan dan sambal yang kami beli di Rang- kasbitung habis kami santap. Cara makan seperti itu sudah menjadi ciri khas kami dan se- lalu kami lakukan setiap kali melakukan travelling bersama. Selain terasa lebih nikmat, rasa keakraban pun semakin erat terjalin. Usai makan malam kami berangkat menuju Cibe- dug. Kang Juna dan Jumbani, keduanya petugas hansip yang biasa mengantar tamu ke Cibe- dug, memandu kami. Menurut Juna, dari balai kelurahan sam- pai kampung Cibedug cuma bu- tuh 2,5 jam dengan berjalan san- tai. Saya memprediksikan waktu tempuh tersebut akan membeng- kang mengingat perjalanan dilakukan malam hari dan kami buta kondisi treknya. Sebelum perjalanan dimulai, Oom Narto-anggota rombongan tertua yang berprofesi sebagai kontarktor memimpin doa. Ini juga sudah menjadi kebiasaan kami, sebelum melangkah ke tempat tujuan sekalipun bukan mendaki puncak gunung, selalu berdoa agar senantiasa diberi kemudahan, kelancaran dan keselamatan oleh Tuhan YME. Dalam doa, saya memohon semo- ga malam ini tidak turun hujan begitupun saat pulang besok. Maklum bulan Februari, curah hujan masih tinggi. Saya teringat perkataan teman selagi masih di Jakarta. Ia melarang saya trekking ke Cibedug saat musim hujan karena kalau hujan turun lama dan deras, medan treknya yang berbukit-bukit menjadi sangat licin dan sulit. Karena saya fikir mumpung ada waktu libur dua hari, sayang kalau tidak dimanfatkan ke Cibedug. Sebab kalau ditunda-tunda, bisa urung dan belum tentu semua anggota ikut mengingat kesibu- kan dan urusan masing-masing berbeda. Lalu kami memasuki ka- wasan batu berundak. Setibanya di batu lonjong mirip alat kela- min pria yang kurung dalam saung bambu, Nurja berjongkok lalu mulutnya komat-kamit Tuntas berdoa, kami segera Kini medan kembali menu- run, saya fikir sebentar lagi juga Upaya Melestarikan Sisa Peninggalan Megalitik Di Cibedug dari luluhur kami," kata Nurja, rukun kampung. Tingkat pendi- kepala adat Cibedug menggan- dikan masyarakat Cibedug, tikan Ahmad Astara yang ber- umumnya hanya sampai tingkat tugas menjaga sekaligus mem- Sekolah Dasar (SD). Di kampung perjuangkan keberadaan ini memang ada satu SD yang peninggalan nenek moyang yang dulu guru-gurunya kerap keluar mereka anggap keramat. karena tidak betah. Warga yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi harus berse- kolah ke luar kampung yang jaraknya puluhan km. Meski kini dihuni oleh lebih kurang 300 jiwa, dan terdapat 70 rumah namun kampung ini nampak sepi. Hanya terlihat beberapa orangtua yang sudah sepuh dan anak-anak kecil di kampung itu. Sementara orang tua dan remajanya pergi ke sawah dan kebun. Mata pencaharian meraka memang mayoritas bertani dan berkebun. Panen padi hanya se- tahun sekali dan hasilnya tidak untuk dijual melainkan untuk makan dan di simpan di lum- bung. Galeri Penduduk kampung Cibedug beragama Islam, namun pada saat-saat tertentu mereka masih mengadakan upacara yang berkaitan dengan kultus leluhur yang dipimpin kepala adat. Pusat upacara di saung batu bedug yang kini kerap didatangi orang sebagai tempat ziarah (penzarahan). Kedudukan dan peran kepala adat, terasa lebih menonjol meskipun ada ketua sa panas. Meniti jembatan kayu sungai Citorek pada malam hari ternya- ta cukup menyeramkan. Selain karena belum terbia- sa, kami sulit melihat dengan jelas ketinggian antara jembatan dengan permukaan air dan kondisi arus sungai, lantaran ge- lap apalagi jembatannya bergo- yang-goyang. Satu-persatu kami meniti jembatan semi permanen ini dengan hati-hati sambil me- megang kiri-kanan kawat penga- man. Itulah cara yang aman daripada berjalan beriringan, mengingat kekuatan jembatan masih jadi tanda tanya besar. Rintangan kecil itu pun berakhir mulus. Kami terus bergerak naik-turun melintasi jalan berbatu besar. Keringat & muntah Anak panah jam menunjuk angka 9, kami masih terus me- napaki medan tanjakan tanah dalam kegelapan. Tak bisa kami bayangkan kalau hujan turun, tentu setengah mati melewa- tinya. Meskipun trekking malam hari, bukan berarti tubuh kami tidak mengeluarkan keringat. Kaos katun yang saya kenakan sudah basah oleh peluh yang tak hentinya mengalir setiap kali menapaki tanjakan dan turunan. Jika ada medan yang rata, kami merasa bahagia sekali, kata-kata 'bonus' terlontar dari mulut beberapa rekan. Setelah menuruni bukit, kami melewati setapak persa- wahan. Terlihat memang mudah, tapi kalau tidak hati-hati bisa terperosok dan mandi lumpur sawah. Baru bisa santai sejenak di areal persawahan yang landai, selanjutnya medan yang kami hadapi kembali menanjak. Bukan lagi jalan besar berbatu melainkan setapak kecil layak- nya jalur pendakian gunung. Marno, rekan kami yang memang kurang fit, tiba-tiba merasa pusing. Karyawan perusahaan asing yang juga bergerak di bidang pengeboran minyak ini minta istirahat. Saya hanya bisa menolong membawakan ranselnya agar bebannya berkurang. Kemudian Marno bergerak lagi, namun satu jam kemudian ia muntah. Setelah kening dan perutnya diolesi minyak kayu putih, akhirnya kondisi Marno mulai membaik dan kembali melan- jutkan perjalanan. Jalur trek ternyata masih naik turun. Beberapa senter su- dah kehabisan baterai, terpaksa beberapa rekan jalan beriringan. Kami merambat pelan karena sinar senter terbatas. Beberapa rekan bahkan ada yang terpele- set hingga jatuh duduk. Untuk mengurangi rasa letih, Saya, Jenny dan Suwasti menyanyikan lagu-lagu yang tengah tren sambil terus menapaki medan menanjak. Cara itu setidaknya bisa menghibur diri dan memom- pa semangat kembali. Dengan begitu perjalanan yang cukup menguras tenaga ini, terasa lebih santai. sampai di kampung Cibedug. Saya percepat langkah kaki, berusaha mengejar Lestari dan Mbak Nana yang sejal tadi belum nampak. Namun mereka tidak terkejar, hanya sinar senter me- reka saja yang sesekali terlihat. Saya kira mereka sudah sampai di kampung Cibedung sejak tadi. Setelah menuruni bukit, kami melintasi sungai Cibedug dan akhirnya memasuki per- kampungan Cibedug. Benar saja, dua rekan kami sudah tiba di rumah ketua adat setempat. Ternyata mereka baru saja tiba tepat pukul 11.00 Wib, hanya berselang lima menit dari saya. Lestari sempat bilang selama trekking tadi, ia enam kali terpeleset dan jatuh. Tak lama kemudian seluruh anggota rombongan datang, terakhir Oom Narto dan Nur yang tadi sempat tercecer dibe- lakang. Kami langsung masuk dan menemui Muhammad Nurja, 65, kepala adat Cibedug. Saya memberikan surat pe- ngantar yang tadi diketik oleh Aga di balai desa Citorek. Usai berkenalan dan memberi tahu maksud kami datang Cibedug, lalu kami berbincang-bincang dengan Nurja, seputar asal muasal Cibedug dan keberadaan batu yang berundak-undak yang menurut mereka peninggalan leluhur. Tamu yang memasuki wila- yah Cibedug harus mematuhi aturan tak tertulis yang berlaku di sana, antara lain pengunjung dilarang makan sambil jalan, dilarang kencing sambil berdiri meskipun laki-laki, tidak boleh membawa atau mengambil beba- tuan yang ada di kompleks situs. Bahkan perkampungan ini dike- lilingi pagar tabu setinggi tiga meter untuk mencegah penga- ruh dari luar. Pengunjung dapat memasukinya lewat arah barat dan utara. Pantangan lainnya, pengunjung yang bermaksud berziarah, dilarang datang pada Jumat dan Sabtu. Konon menu- rut mereka, makhluk halus yang berada di kawasan kompleks megalitik sedang bersembah- yang Jumat di Makkah. Sedang kan hari Sabtu dianggap hari yang angker, siapa yang mem- Nurja, menjawab semua per- tanyaan kami meskipun dengan bahasa sunda dan sesekali ber- campur bahasa Indonesia, sambil tak henti mengisap rokok kretek- nya. Maklum lelaki berpe- rawakan tinggi kurus ini kurang lancar berbahasa Indonesia. Untunglah ada beberapa rekan kami yang paham bahasa sunda. Lantaran sudah letih usai trek- king selama empat jam, beberapa rekan tak kuasa melawan kan- tuk dan akhirnya tertidur pulas beralas kasur yang disediakan istri Nurja. Udara cukup dingin, untunglah saya membawa sa- rung bag yang multiguna, bisa untuk sholat dan juga tidur. Keesokan paginya, kami baru bisa melihat keadaan se- keliling kampung Cibedug de- ngan jelas. Kondisi rumah mere- ka sangat sederhana, dari kayu dan bilik bambu. Beratap de- dauan kering dan berbentuk segi empat dan merupakan rumah panggung untuk mencegah bi- natang melata dan kemungkinan gempa. Kendati begitu letak rumah-rumahnya tersusun rapi. Di tengah-tengah rumah ter- dapat lapangan tanah dan pos ronda. Kampung Cibedug di aliri sungai Cibedug yang airnya tidak pernah kering sepanjang tahun. Warga setempat biasa menggunakan air sungai untuk mandi, meskipun beberapa rumah ada yangmemiliki toilet atau kamar mandi sendiri, seperti halnya rumah ketua adat. Sambil menunggu sarapan, beberapa rekan asyik memotret rumah, orangtua sepuh dan juga keluarga Nurja. Sementara Jenny dan Suwasti memasak kornet dan mie goreng di dapur dengan menggunakan tungku berbahan bakar kayu. Saya me- nyempatkan diri mengabadikan suasana dapur dan juga bela- kang rumah Nurja, di mana ter- dapat kolam ikan (empang). Keluarga ini juga memelihara ayam kampung dan beberapa itik. Setelah menu siap, kami menyantap sarapan bersama. Sebelum berangkat ke batu berundak yang oleh beberapa kalangan disebut situs Cibedug, kami kumpul di dapur mende- ngar petuah Nurja. Ayah delapan anak ini meminta dibelikan beberapa bungkus rokok sebagai sarat. 3 Waspada/Adji K Jembatan Gantung: jembatan yang membentang di atas sungai Citorek ini harus dilalui pengunjung yang ingin bertandang ke Cibedug. Waspada/Adji K Ketua Adat: Muhammmad Nurja, kepala adat Cibedug merupakan orang yang kini ber- pengaruh di kampung tersebut. Tugasnya selain memimpin upacara juga menjaga dan memperjuangkan keberadaan kompleks situs Cibedug. seperti membaca doa atau man- tera. Kemudian kami melihat batu tersebut dari balik pagar bambu. Di bawah batu lonjong berdiri itu, berceceran uang recehan. Setelah itu, kami menda- tangi bangunan batu bersusun seperti candi yang belum jadi. Sepintas tidak begitu nampak bentuk susunan batu-batu tersebut karena sudah berlumut tebal dan di atasnya berdiri pohon-pohon besar. Ketika kami lihat lebih seksama, jelas bentuk susunan batunya yang oleh para ahli disebut punden berundak. Lantaran terlalu asyik me- motret, beberapa rekan sampai lupa waktu. Pukul 11.00 kami kembali ke rumah Nurja, untuk mengambil ransel dan kemudian pamit pulang. Siang itu kami baru jelas melihat kondisi medan sesungguhnya. Ternyata perbu- kitan yang kami lewati semalam, dikelilingi hutan yang cukup le- bat, kemudian pematang sawah Tips perjalanan Jika Anda terbersit untuk berkunjung ke Cibedug, sebaik- nya datang saat musim panas. bandel akan terkena malapetaka. Larangan atau tabu itu bisa jadi sebagai langkah preventif warga Cibedug untuk menjaga peninggalan nenek moyangnya. Kondisi treknya mirip de- Bayangkan saja, jika ada pen- ngan jalur trek ke Baduy Dalam gunjung yang datang mengambil lewat Ciboleger. Tapi lebih lebih bebatuan, menhir atau merusak variatif, ada jembatan, anak punden berundak, pasti tak ada sungai, persawahan, hutan dan lagi kebanggan yang dimiliki naik turun perbukitan. Bagi yang warga Cibedug. Kini saja, kondisi gemar fotografi, cukup banyak kompleks situs ini sangat me- objek yang dapat diabadikan. nyedihkan. Bagi orang awam Transportasi menuju Citorek bisa jadi kurang menarik, karana cukup mudah. Jika berangkat hanya melihat susunan batu dan beberapa menhir. Namun bagi masyarakat Cibedug, kebara- daannya sangat penting. Kom- plek situs tersebut bisa jadi men- jadi gambaran karakter dari masyarkat itu sendiri yang hidup tenang, bersahaja dan pantang menggangu orang lain. Meski ada pantangan dan lokasinya terpencil, namun tak mengurangi minat orang untuk bertandang ke kampung Cibe- dug. Berdasarkan buku tamu di rumah kepala adat, kebanyakan yang datang selain para pegiat alam bebas, juga para peminat di bidang arkeologi. Bahkan beberapa tamu asing juga kerap berkunjung terutama turis asal Jepang. dari stasiun Beos-Kota, naik ke- reta ekpres menuju Rangkas- bitung. Lalu naik angkot jurusan Citorek sekitar 2,5 jam bila berjalan mulus, ongkosnya 15.000 perorang. Mungkin ka- rena BBM naik bisa jadi seka- rang sudah naik menjadi Rp 20.000 orang. Perhatikan jadual angkot dari Rangkasbitung ke Citorek atau sebaliknya. Ada enam mobil yang berangkat dari Citorek ke Rangkasbitung mulai dari pukul 6.00 s/d 8.00 pagi. Sedangkan dari Citorek ke Rang- kasbitung ada dua mobil yang berangkat mulai pukul 5.00 s/ d 6.00 sore WIB. Jika pergi rom- bongan, misalnya 10 orang sebaiknya mencarter. Bila pulangnya mengguna- yang berteras, menawarkan panorama cukup menawan. Be- berapa kali saya mengabadikan gambar. Kali saya berada di depan, agar rekan-rekan lain terpacu untuk cepat sampai di balai desa. Di tengah jalan, saya bertemu beberapa warga Cilebak yang turun membawa kayu bakar dan buah nangka. Menurut mereka, beberapa tahun ke depan peme- rintah daerah setempat akan membangun jalan raya sampai Cibedug untuk dijadikan objek wisata andalan Banten. Cuaca cukup bersahabat siang itu, saya dan Yoga tiba lebih dulu di balai desa setelah dua jam berjalan cepat. Usai santap siang bersa- ma, kami beranjak pulang menu- ju Jasinga. Belum lama keluar dari desa Citorek, tiba-tiba hujan deras turun. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya kalau trekking semalam atau tadi ketika turun dari Cibedug diguyur hujan seperti ini. Un- tunglah doa kami terkabulkan. Salim terus menancap gas mobilnya meski tidak secepat kemarin. Hujan terus menggu- yur, di beberapa tempat jalanan sudah berubah menjadi aliran air layaknya sungai. Kami di dalam mobil hanya terpaku, tak bisa berbuat apa. Kami seperti sedang rafting di sungai yang berjeram dan berbatu. Tiba-tiba mobil yang ada di depan kami berhenti, karena di depan jalanan tergenang banjir berarus deras dan airnya ber- warna coklat. Sementara di ba- wahnya me-nunggu jurang cu- ram. Kondisi itu membuat kami sedikit was-was. Salim tetap nekad melewatinya. Pemuda berbadan kurus ini nampak sudah berpengalaman dan yakin mampu mengatasinya, akhirnya kami berhasil melewati rin- tangan itu. WASPADA Luput dari hadangan banjir berarus deras, kami sedikit lega. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Hujan masih turun meski kan rute yang sama, harus tahu jadual kereta terakhir yang berangkat dari Rangkasbitung sampai stasiun Beos-Kota agar tidak ketinggalan kereta. Bisanya kereta terakhir dari Rangkasbitung hanya sampai pukul 5.00 sore. Cara lain bisa naik angkot ke pertigaan Cipa- nas, lalu ganti mobil angkot ke Jasinga. Atau kalau rombongan dengan mencarter angkot semula ke Jasinga dan kalau bisa sampai terminal Barangsiang, Bogor lalu ke Jakarta via tol. Kalau ingin menginap bebe- rapa hari, Anda tak perlu mem- bawa tenda. Inap saja di rumah kepala adat atau penduduk lain tidak selebat tadi. Kira kira 500 meter di depan terlihat beberapa gundukan tanah bekas longsoran kecil. Bukan cuma satu tapi ada beberapa titik. Tak lama kemu- dian longsor besar datang tiba- tiba. Kami melihat dengan jelas pohon-pohon besar berjatuhan diikuti gemuruh tanah dan bebatuan. Untunglah Salim cepat tang- gap dan lekas memundurkan mobilnya. Alhamdullilah, kami selamat. Tak ada korban jiwa akibat longsor tersebut, lantaran saat kejadian jarang kendaraan yang lewat. Sambil menunggu longsor dibersihkan kami berteduh di warung pinggir jalan. Untung menenangkan diri, beberapa rekan menyantap mie, minum teh manis dan kopi hangat. Saat asyik berteduh, tiba-tiba seorang ibu yang rumahnya tak jauh dari warung berteriak sam- bil berlari, "awas ada longsor." Kami berhamburan keluar. Ternyata cuma longsoran kecil di samping rumah ibu tersebut yang berada percis di bawah tebing tanah yang rawan longsor. Hampir tiga jam lebih kami menunggu, akhirnya pukul 6.00 sore kami baru bisa melewati longsoran itu setelah dibersihkan secara gotong royong oleh pen- duduk setempat dengan pera- latan seadanya. Selepas petigaan desa Cipanas menuju Jasinga, kondisi jalannya beraspal mulus dan lengang. Salim leluasa memacu mobilnya dengat kencang. Tak ada dua jam kami tiba di Jasinga kemudian mencarter dua angkot ke terminal Baranangsiang, Bogor, lalu kembali ke Jakarta ke rumah masing-masing. Per- jalanan dua hari ke Cibedug, je- las menambah koleksi perben- daharan wisata dan pengalaman kami. Meski dihadang banjir dan longsor, kami cukup senang karena justru itulah bumbu- bumbu perjalanan. ● Adji K. K Kampung Cibedug: meski rumah diperkampungan Cibedug, Lebak, Banten ini sederhana, namun tersusun rapi dan tahan gempa. yang biasa menerima tamu. Ken- dati begitu tamu yang menginap di kampung ini, dilarang tidur menghadap ke timur. Jangan lupa membawa bekal makanan untuk dimasak. Objek wisata lain yang bisa Anda kunjungi adalah Baduy Dalam. Dari Citorek terus ke Cilebak, Nyalindung dan sampai Cikeusik (salah satu desa di wi- layah Baduy Dalam) memakan waktu lebih kurang delapan jam dengan berjalan kaki. Jika belum puas, Anda bisa mendaki gunung Nyuncung (3100 m dpl) yang terletak di Citorek dari kampung Lebaktugu, lebih kurang 3 jam. ● Adji K. WASPADA Color Rendition Chart KILA "Njunjungi B HMS Kaban MEDAN: Sebaga atas terpilihnya put Langkat Hulu sebaga SBY-Kalla, masyarak Adat "Njunjung Bera Hal itu dikatak: budayaan Karo Rung Sitepu, APTH, MM, Dikatakan Yusu acara itu pada 6 Mar RI H Malem Sambat) untuk mengikuti sida ditunda dan diundum acara, langsung disa muan dengan paniti Sitepu, Dr. Layari S SH, Minggu (27/2) di Dikatakan Yusuf, Piher" dan Tepung' ribu masyarakat Kar Simalungun Atas, L dan dari Pulau Jaw Gaji Pegawai TG.BALAI: Panit diharapkan menyele Hal itu diminta aga Pemko Tanjung Bala tahan akibat belum Anggota DPRD Hadi Sucipto, SE me Rabu (2/3) di Kantor mendengarkan kelul menerima gaji sam. Sementara Wak dalam keteranganny untuk kepentingan DPRD sudah si keuangan eksekutif ini yang direncanak nyampaikan RAPBL datang. (a10) Didukung Pe TG.BALAI: DPC menyatakan menduk Aliran Sungai (DAS Tanjung Balai yang Pemko Tanjung Bala 18 Mei 2004 untuk d wisata. Pernyataan ter Tanjung Balai 28 Feb dan sekretaris terc Damanhuri Marpaur mega proyek membu pakan bantuan mant ilmiah tentang penat antisipasi pencemar sesuai Undang Und Sesuai dengan pr lingkungan buatan c termuat dalam prog nyangkut AMDAL ya 1999 serta perhitun Pemahaman mendal kerusakan lingkung Minah Rp 2.0 TANJUNG TIRA Kecamatan Tanjung pengumuman pemer ternyata harga baha terdongkrak dan m Menurut keteran mendapatkan Mina sampah harganya Rp dijual di warung/kic kios mengambil prer dengan harga Rp.2. pokok seperti beras Rp 250 per kilogram Rp.6.000 per kilogra Kepala Desa Tar menyatakan rasa kep kebutuhan pokok se harga minyak tanah Ir-64 mengalami kem jadi Rp 6.000 per Kg Festival Lang LIMAPULUH: B kan membuka Festiva akan melantik tujuh Medang Deras, Sei. Tanjung Tiram, Sei E Simpang Dolok, Kec Kegiatan Festiva putra/i asal Kecamata Air Putih dan Simalu 2005 akan dibuka Bup panitia bersama PB M agar Ketua Umum PI turun ke Asahan mel PC Mabmi kecamata PB Al Washliyah In Dukung Alir Balon Bupati MEDAN (Waspada) surat ber Nomor: INT-69 Ketua Umum HAziddin Sambas mengimbau kep Ir Aliman Saragih, MS 2005-2010 dalam Pilka Surat itu telah dikiri Cabang Al Washliyah s sudah disampaikan pac dipusatkan di Pesantrer "Isi surat telah disan perwiritan," demikian pe anggota teras Al Washl di Univa Medan. Dalam kesempatan yang disampaikan L.Sial gaskan kepada seluruh & Ir Aliman Saragih seba "Kita marga Parna te memenangkan Dongar Nanti," ucapnya dengan beberapa waktu lalu. Ha ketua terpilih. Dia men di Kecamatan Perbaung umumnya untuk membu Ir Aliman Saragih. Drs P Situmorang P. E Putra Munthe juga mena dukung orang lain, jika a Bupati, malah kami jug baik itu sebagai Hela (M untuk memenangkan E Aliman Saragih yang tidak ada kendala denga (rel/m39)