Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Analisa
Tipe: Koran
Tanggal: 1997-12-07
Halaman: 04

Konten


ANALISA - MINGGU, 7 DESEMBER 1997 Salfin Salfin (25) TKI asal Desa Wua wua Kendari Sulawesi Tenggara. Seorang buruh ba- ngunan di Kedah. Ia sudah satu setengah tahun bekerja di tempat tersebut. Hampir semua TKI yang selamat mengatakan jera dan tidak akan kembali ke Malaysia Hanya Salfin sendiri yang menyatakan ingin kembali ke Malaysia. Salfin alumni SMEA Ken- dari menyatakan ingin kembali lagi ke Malaysia, namun dengan cara yang resmi. Salfin: "Hampir Saya Dimangsa Ikan Hiu" DIANTARA para TKI yang penjara." Dengan mimik ngeri ia menceritakan. selamat dalam musibah tersebut, mungkin Salfin yang paling bersemangat ketika menjawab pertanyaan yang disodorkan oleh Analisa. "Sebenarnya di Malaysia itu enak pak! Gajinya besar. Tapi kita harus resmi. Kalau tidak resmi memang lebih baik tidak usah." Ia memberikan alasan- nya. Saya sudah keluar uang banyak untuk mengurus permit (izin resmi red) namun tidak kunjung keluar. Capek sekali rasanya pak." Kemudian ia melanjutkan, "Kalau kedatangan kita tidak resmi pikiran kita tidak pernah tenteram. Tidurpun ngak bisa nyenyak. Sewaktu-waktu bisa saja terjadi razia. Tidak perduli malam atau bagi." "Yang jelas kalau sampai ketangkap bakal kena siksa, lantas dimasukkan ke dalam Ia bekerja sebagai buruh bangunan di Pulau Penang dan sudah bekerja selama 1 tahun. Ia bekerja secara ilegal. Melihat keberhasilan teman- temannya yang baru pulang dari Malaysia, ia merasa tertarik. Dan begitu diajak pergi oleh temannya ke Malaysia ia ikut saja dengan harapan merubah nasibnya. "Susah sekali kalau kita tidak punya izin yang resmi. Mau jalan-jalan misalnya ke plaza atau pusat pertokoan, pasti petugas keamanan Malaysia akan tahu dan menangkap kita", lanjutnya. "Memang enak pak di Ma- laysia. Gajinya besar. Saya saja bisa memperoleh upah satu "Punya uang banyakpun percuma pak, sulit untuk me- nikmati uang tersebut. Jadi ngak ada artinya uang tersebut." Ia menerangkan. IKAN HIU Ketika ditanya perihal pe- ngalamannya di laut iapun secara gamblang menceritakan- nya. "Saat berada di tengah lautan yang luas yang paling saya takuti adalah ikan hiu" "Saat siang hari dimana langit cerah tidak terlihat apa-apa. Biru semuanya." Ia bercerita. "Tiba-tiba beberapa meter dari drum yang kami tumpangi terlihat sirip-sirip ikan hiu mengitari kami. Ngeri sekali rasanya." Ia bercerita dengan ng mimik dan ekpresi takut. "Sirip yang terlihat banyak, tapi tidak ada satupun yang mendekat. Saya sudah takut sekali." Ia melanjutkan. Ketika ditanya, mungkin saja itu bukan ikan hiu, ia menjawab dengan tegas, "Saya lihat dari dekat. Itu pasti ikan hiu." "Saya mempunyai pikiran kalau ikan-ikan ganas tersebut sudah kenyang. Mungkin me- reka habis memangsa teman- teman saya yang tenggelam. Suliaji: "Kenapa ingin pulang ?", tanya Analisa. "Hidup ngak tenteram pak. Setiap hari selalu dikejar-kejar ketakutan. Bagi saya setelah mengumpulkan uang saya ingin pulang. Ternyata uangnya tenggelam semua ke laut. Yang saya pakai hanya (maaf katanya) celana dalam saja". JUMPA NYAI PUTRI "Saya dengar anda berjumpa dengan Nyai Putri", pancing Analisa. JENTERA TKI: Mencari Penghidupan Layak Mendapat Malapetaka Suara (Gema-2) - 5 - Oleh: Rizal R. Surya NEGERI Jiran, Malaysia dianggap surga oleh sebagian tenaga kerja Indonesia. Maka tidaklah mengherankan kalau berbondong- bondong banyak yang pergi mengadu nasib ke negeri seberang tersebut. Sayangnya apa yang diidam- idamkan tidak sesuai dengan realitas, terutama yang datang secara ilegal. Mereka selalu, dikejar-kejar oleh pihak ke- amanan negara jiran tersebut. Gaji yang didapat walaupun besarnya cukup lumayan tidak mampu menghapus kegelisahan akibat selalu dikejar-kejar. Kalau tertangkap maka siksaan yang akan diterima. "Saya Bertemu Nyai Putri" SEBAGIAN besar TKI yang harinya 50 Ringit (1 Ringgit = pulang menggunakan kapal Rp 1000). Kalau saya mem- pompong adalah ilegal. Salah punyai keahlian lebih bisa besar satu diantaranya adalah Suliaji. lagi", terangnya. Suliaji (23) asal Desa Puluran RT/03 RW/01 Kecamatan Kali Tengah Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Fan' 57 OLEH: DARMAN MOENIR Mengingat pertimbangan- pertimbangan seperti itu tidak sedikit yang memutuskan untuk pulang kampung. Karena si- fatnya ilegal maka kepulangan- nyapun sembunyi-sembunyi. Dan bahayapun mengancam di depan mata. Analisa/rrs RANGKUL Suliaji dengan akrab sedang merangkul Iman Musidi, padahal sebelum peritiwa ini mereka tidak saling mengenal Atau mereka tidak selera me- makan tulang saya." Katanya sambil tertawa. "Saat itu saya takut sekali. Takut dimakan ikan hiu, bukan takut apa-apa. Untunglah ma- lamnya kami diselamatkan oleh kapal nelayan." Dengan lega ia menjawab. Salfin memang termasuk dalam rombongan pertama yang berhasil diselamatkan oleh nelayan. Yang pertama sekali selamat adalah Edi Saputra (28), TKI asal Tanjung Beringin Deli Serdang. Begitu ia melihat ada kapal nelayan, ia berenang mendekati kapal nelayan ter- sebut dan langsung ditolong. Dari Edi Saputralah nelayan mendapat informasi bahwa ada kapal pompong yang tenggelam. Dan kemudian kabar ini di- sampaikan kepada nelayan- nelayan lainnya. Kemudian berturu-turut yang berhasil diselamatkan adalah La Apo (32), Hanafi Laode (42), Salfin (25) dan Karya Mbou (25).Mudente Tor "Bagaimanapun pak ini merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga sekaligus sangat mengerikan sekali. Untung saja saya selamat walaupun semua barang-barang saya turut tenggelam ke dasar laut. Tinggal jam saja yang melekat di tangan. Tapi kalau memang ada rezeki itu semua bisa dicari." katanya sambil mengakhiri percakapan dengan Analisa. (rrs) "Begini ceritanya pak." Ia Kemudian Suliaji melanjut- mulai bercerita. "Kemarin sudah kan ceritanya. "Karena drum banyak wartawan yang datang tersebut tidak bisa dinaiki tapi cerita ini belum pernah saya berdua, maka kami secara bergantian naik di atasnya. Kalau satu naik di atas maka yang satu menarik agar tidak terseret gelombang." "Kami selalu bergantian gantung sia yang capek maka gantianlah." Iman Rusidi menambahkan. beritahu. Dengan bapaklah yang baru saya ceritakan pertama sekali." "Karena sudah diberi rokok pak !" sambut temannya yang duduk disebelahnya. "Begitu kapal mulai teng- gelam, kami berebut untuk mencari drum. Dan saya dapat bersama dengan Iman Rusidi." Katanya. Hal ini dibenarkan oleh Iman Rusidi (26) TKI asal Gersik Jawa Timur. Iman juga bekerja sebagai buruh bangunan di Pulau Penang namun berlainan tempat, Dan sebelumnya mere- ka belum pernah berkenalan. "Saat itu kami sudah satu hari satu malam terapung Pak. Bayangkan bagaimana rasanya. Kami sudah pasrah. Perut sudah perih rasanya, ditambah di- nginnya air tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata penderitaan kami saat itu." Suliaji me- lanjutkan. "Ketika Imam Rusidi sudah letih maka gantian saya yang mengarahkan drum, Hari itu masih siang." Ia mulai bercerita lagi. "Antara sadar dan tidak sadar Salah satu peristiwa yang baru terjadi baru-baru ini merupakan salah satu gambaran dari sekian bencana yang sudah dialami oleh para TKI khu- susnya yang ilegal. AWAL BENCANA Jam menunjukkan pukul 22.00 waktu Malaysia, sebuah kapal pompong (kapal kayu) akan berangkat meninggalkan dermaga Juru Bukit Martajam (2 jam perjalanan dari Pulau Penang), hari Kamis 13 Novem- ber 1997. "Kalau bukan pengecut", pikir Ruslan, "mengapa ia tak meninggalkan barak dan me ngembara atau jadi buron. Bahkan di titik keberaniannya yang terakhir, mengapa ia tak mengadakan perlawanan terha dap orang-orang yang mena hannya sebelum kemudian ia berhadapan dengan elmaut. Mati sebagai akibat memper- tahankan pendirian pada he matku terpuji". Kapal pompong tersebut membawa 36 penumpang di- tambah 4 ABK. Sebuah jumlah yang tidak sesuai dengan ka- pasitas sebenarnya. Penumpang berdesak-desak diatas kapal kayu tersebut sehingga tidak jarang terdengar derit bunyi geladak kapal. Cukup mengherankan se- buah kapal pompong berangkat di malam pekat, namun bagi penumpangnya sendiri ada prinsip, lebih cepat lebih baik. Keempat puluh orang ini merupakan Tenaga Kerja Indo- nesia (TKI) ilegal (tidak sah). Terdiri dari 26 laki-laki, 9 perempuan dan seorang anak perempuan berusia 2 tahun. Pemberangkatan mereka me- lalui Juru BM (sebutan populer untuk Bukit Martajam) pada malam hari untuk menghindari sergapan patroli keamanan Ma- laysia. Dalam keadaan laut tenang saja, kondisi kapal cukup mengkhawatirkan oleng ke sana ke mari akibat desakkan pe- numpang. "Silahkan merokok, Pak Idris", basa Ruslan menge luarkan rokok dari kantong bajunya. Idris langsung mengambil sebatang, dan mengisapnya sepuas-puasnya. Kiranya ia mendapatkan sebatang kenik matan yang mungkin sangat jarang ia dapatkan di barak itu. Menurut pengakuan penum- pang yang selamat, begitu kapal berangkat maka legalah pe- rasaan mereka. Mereka bebas dari kejaran pihak keamanan Malaysia. Dan mereka berpikir dalam jangka waktu 8 jam sesuai keterangan ABK mereka akan kembali ke tanah air. Dalam pekatnya malam ditambah dinginnya udara laut mereka hanya bisa berdoa semoga dengan segera tiba di tanah air dan berjumpa dengan orang-orang yang dikasihi. Namun Tuhan berkehendak lain, sekitar pukul 12 tempat tujuan belum juga terlihat. Langit tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan disertai badai datang menerjang. Isyarat yang telah diberikan tidak mereka hiraukan. Bocah perempuan berusia 2 tahun telah memberikan isyarat sepanjang jalan. Ia menangis tiada hen- tiba-tiba di depan saya sudah ada sebuah istana yang sangat besar sekali. Pintunya terbuka dan keluarlah seorang putri. Putri itu menyebutkan diri namanya "Nyai Putri". Pakaian bagus sekali dan terjurai sampai ke lantai." "Ia melambai-lambaikan tangannya. Saya ikut dan masuk ke dalam istana tersebut. Istana tersebut sangat megah dan cantik sekali. Namun ia terus dan masuk ke dalam satu satu kamar sambil terus memanggil- manggil saya." Dengan serius Suliaji bercerita. "Saat itu saya sebenarnya masih sadar. Saya tidak berani masuk. Dalam benak saya kalau masuk berarti maut. Dalam keadaan seperti itu saya me- nyebut-nyebut "Nyai Putri" dan di dengar oleh Iman Rusidi." Paparnya. Iman Rusidi membenarkan apa yang dikatakan rekannya tersebut. "Memang saya dengar ia menunjuk ke depan sambil menyebut-nyebut "Nyai Putri". Tapi saya tidak melihat apa- apa." "Karena saya lihat dia (Suliaji maksudnya) sudah banyak sekali minum air, maka saya angkat dan gantian ia yang saya telungkupkan di atas drum." Iman Rusidi memberi penga- kuan. "Memang pak saya tidak tahu, apakah ini pertanda berkah kepada saya atau sebaliknya." Lanjut Suliaji. "Tapi mudah-mudahan saya tetap selamat dan nasib saya lebih baik dibandingkan dengan teman-teman saya yang sampai dengan saat ini tidak tentu entah kemana rimbanya." Ungkap suliaji sambil menghisap rokok yang dibelikan Analisa. (rrs) Mengapa Idris bukan masih suka menjilat? Buktinya, ia dengan cepat menyitir, bahwa aku orang kampungnya sete lah aku menyatakan ada pesan dari kampung. Sesungguhnya ia bisa menjawab, ia tidak memerlukan pesan dari siapa pun. Dan orang arif cepat paham. Bukankah barak itu berpesan pesan ke mana-ma na ? tinya. Mungkin perasaannya telah mengetahui "maut" telah memanggil. Hanya yang diberi isyarat tidak memahami "isya- rat" yang terlah diberikannya tersebut. Tetapi ternyata Idris masih senang dipuji-puji dan dile takkan di sebuah menara ga beru- saha mengeluarkan air yang sudah memenuhi geladak kapal. Tapi badai tidak bisa di lawan. Maka dengan pelan namun pasti kapal tersebut mulai tenggelam. Penumpang mulai berlom- patan satu persatu menye- lamatkan diri masing-masing. Mereka mencari benda-benda yang bisa membuat mereka tidak tenggelam. Drum (tong ukuran 5 liter) menjadi rebutan. "Hukum Rim- ba" yang terjadi. Siapa yang kuat mendapat dan yang lemah siap- siap untuk dijemput maut. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada lagi yang namanya teman. Semuanya menjadi musuh. Teriakkan minta tolong memecah keheningan. Tapi siapa yang bisa menolong. Laut masih gelap diiringi gemuruh petir yang saling bersahutan Akhirnya yang memperoleh pelampung (tong/drum) yang bisa bertahan. Kalaupun ada yang bisa berenang mungkin hanya bisa bertahan beberapa jam saja. Selain dinginnya air laut belum lagi kegamangan melihat luasnya lautan tanpa batas. Mulailah satu persatu korban berjatuhan. Mereka tenggelam ditelan ganasnya badai. Hanya Tuhan yang tahu makna dibalik peristiwa ini. Anehnya, cerita korban yang selamat. Sesudah kapal pom- pong tenggelam awan di langit hilang dan badaipun berlalu. Cuaca menjadi cerah dan sang surya memperlihatkan dirinya. Saat itu pukul 12.00 siang hari Jumat. Berarti mereka telah berlayar selama 14 jam. Satu drum dipergunakan untuk dua atau tiga orang. Dan dari 18 TKI yang selamat hanya tiga orang tidak memperguna- kan drum. Sumardi (34) TKI asal Lamongan Jawa Timur mempergunakan serpihan papan untuk menyelematkan dirinya. Sementara Suladi (38) TKI asal Banyumangi Jawa Timur "diselamatkan ikan lumba- lumba". Sedangkan Ramayanti (22) TKI asal Banjarnegara Jawa Tengah yang sama sekali tidak bisa berenang, "tidak tahu" kenapa ia bisa selamat. Dari 18 TKI yang selamat, dua diantaranya wanita dan sisanya pria. Bahkan Seni (30) TKI asal Banyumas Jawa Timur sedang hamil 7 bulan. TKI yang lolos dari maut berhasil diselamatkan nelayan yang sedang mencari ikan. Dan mereka ditemukan dalam dua gelombang. Gelombang pertama 5 orang hari Jumat (14/11) pukul 20.00 WIB. Sedangkan gelombang kedua keesokkan harinya pukul 9 pagi. Yang pertama sekali mene- mukan nelayan adalah Edi Saputra (28) TKI asal Tanjung Beringin Deli Serdang. Ia berenang mendekati nelayan yang sedang berlayar. Selanjutnya ia bersama de- ngan nelayan tersebut mencari teman-teman yang lain dan menemukan empat orang yakni, La Apo (32) dan Hanafi La Ode keduanya asal Bitung Tengah Sulawesi Utara, Salfin (25) asal Kendari Sulawesi Tenggara dan Karya Mbou (25) asal Muna Sulawesi tenggara. Dan sisanya diketemukan esok harinya oleh nelayan yang lain. HIDUP ENAK Mengubah nasib, merupakan tujuan utama mereka berangkat ke negeri seberang. Kisah sukses dari teman-teman sekampung merupakan pembakar semangat keberangkatan mereka ini. Memang secara finansial, hal tersebut tidak bisa dibantah. Gaji di Malaysia cukup besar untuk ukuran kehidupan kita. Gaji seorang buruh bangunan bisa mencapai 70 Ringit setiap harinya. Namun itu bagi yang sudah memiliki keahlian ter- sendiri, seperti memasang tegel atau memplester dinding. Bagi buruh biasa (non pe- ngalaman) hanya sekitar 30 Ringit saja. Itupun sudah cukup besar untuk ukuran kita. Penentuan besarnya gaji biasanya dilakukan setelah seseorang itu menyelesaikan pekerjaannya. Semakin baik maka akan besar pula upah yang akan diterimanya. Dibandingkan dengan upah buruh negara lain, seerti dari Tahiland, Pilipina atau India upah buruh dari Indonesia tergolong cukup mahal. ding, sehingga ia sendiri tidak bisa lagi melihat ke bumi, pikir Ruslan. "Wali Negari dijabat Pakiah Basa", Ruslan menyebut nama dan identitas sesungguhnya. Ruslan tak merasa perlu menjelaskan, kehadiran Wali Negari yang telah memerintah dua periode itu juga tak beda dengan Wali Negari yang lalu. Maksudnya Idris sendiri. Kiranya jelas sekali pak Hanya beberapa bulan Pakiah Idris mengidapkan kelainan Basa berbuat agak baik dan jiwa. Kalau tidak, tentu ia ter- memberikan janji muluk- singgung ketika aku mengata muluk, lantas kemudian ia kan, aku rindu padanya. Bu lebih mementingkan masalah kankah kalimat itu menyindir, keluarga dan keperluan pri bahkan bisa dikatakan meng badinya daripada kepentingan hina? Siapa pula yang rindu masyarakat dan pemerintah. pada tahanan politik. "Aku salah besar", tiba-tiba Idris memberi pengakuan. Ruslan tersintuh mendengar pengakuan orang yang selama Alasannya adalah buruh dari Indonesia cukup rajin disamping orang-orang asal Indonesia lebih cepat menguasai bahasa Malay- sia (Melayu red). Bagi TKI legal tidak ber- lebihan kalau dikatakan Malay- sia merupakan surga bagi TKI kita namun itu bagi yang legal. Bagi TKI ilegal akan mendapat berbagai permasalahan. Setiap harinya mereka akan dipenuhi perasaan was-was. Bagaimana tidak pihak ke- amanan Malaysia selalu merazia TKI-TKI yang ilegal. Razia ini waktunya tidak bisa ditentukan. kapan. Bisa setiap hari, bisa dua hari sekali. Jam-jamnyapun tidak bisa ditentukan. Bisa pagi atau bahkan malam hari. Keadaan ini yang membuat mereka tidak pernah bisa ten- teram bekerja. Saat ini saja menurut pengakuan TKI yang selamat ada sekitar 650.000 TKI ilegal yang ditangkap. Kalau hanya ditangkap dan dipenjara saja itu sudah biasa bagi mereka. Namun biasanya mereka akan disiksa terlebih dahulu. Inilah yang ditakutkan oleh mereka. Maka tidak sedikit yang berniat untuk pulang. Namun untuk pulang saja bukanlah pekerjaan yang mudah. Perlu dicari pengangkutan yang bisa meloloskan mereka kembali ke tanah air. Seperti kasus yang terjadi di atas. Mereka pulang dengan kapal kayu (pompong) yang sebenarnya tidak layak lagi untuk berlayar apalagi mem- bawa penumpang banyak. Namun daripada tidak pu- lang, cara apapun di tempuh termasuk naik kapal pompong ini. Karena sifatnya ilegal mereka biasanya berangkat dari dermaga pada malam hari. Biayanya sekitar 600 - 700 Ringit tergantung negosiasi calon penumpang dengan te- kong (toke atau pemilik kapal tersebut). Merekapun tidak bisa be- rangkat begitu mereka ingin pulang, namun menunggu sam- pai kapal tersebut penuh barulah mereka berangkat. Bisa saja seorang menunggu sampai 15 hari baru berangkat. Ada juga yang hanya menunggu dua hari terus berangkat, itu kebtulan karena kapal tersebut sudah penuh dan tinggal be- rangkat saja. Informasi keberangkatan sebuah "tongkang" (kapal ba- hasa Malaysia) bisa diperoleh dari mulut ke mulut. Kalau sampai tersebar secara terbuka maka dengan mudah akan ditangkap oleh aparat keamanan negara tersebut. Jadi untuk berangkat saja sudah sulit, belum lagi ke- selamatan di perjalanan yang keamanan tidak bisa dijamin. Inilah resiko yang harus mereka tempuh dan tentunya merupakan pelajaran bagi mereka yang ingin mengadu nasib ke negeri jiran tersebut. 8 "Tapi aku benar-benar ingin tahu, kau siapa? Sesungguh nya siapa ?", Idris melanjut kan. Idris belum bisa menebak siapa tamunya. Wajah Ruslan sangat berubah : berkumis, berjenggot, kulit kian hitam dan terkesan agak kekar dan liat. "Pak Idris tak bisa mener ka ?" tanya Ruslan berkela kar. "Ah, aku sudah tua untuk meneba-nebak". "Anak muda yang dulu se ring merongrong rencana Wali Negari", jelas Ruslan sejujur-jujurnya. "Aku sangat menyesal, tak menuruti apa yang dulu kau Analisa/rrs BERSAMA: Para TKI yang selamat berfoto bersama dengan Kabag Binorbansos Depsos Sumut, Drs. Surthan Hutagalung (pakai topi) sebelum diberangkatkan ke daerahnya masing-masing. Ramayanti: "Kalau Belum Ajal 11 Berpantang Mati bersama oleh-oleh TKI yang akan dibawa pulang ke tanah air. RAMAYANTI (22) TKI asal Desa Kedang RT/03 RW/05 Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, mungkin merupakan satu- satunya TKI yang legal dari 36 TKI yang pulang menaiki kapal pompong yang naas tersebut. Yanti demikian ia dipanggil berangkat melalui jalur resmi, Ia memiliki paspor maupun visa untuk bekerja di Malaysia. Karena ia berangkat melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), maka ia dipekerjakan pada sebauh pe- kerjaan elektronik di Kuala Lumpur. Wanita tamatan sekolah dasar ini sudah bekerja hampir dua tahun di negeri tersebut dari kontrak dua tahun yang di- tandatanganinya. Analisa/rrs LUKA: Ramayanti sedang memperlihatkan luka gigitan ikan yang menolongnya. ini ketahuan licik tetapi pada gilirannya mau mengungkap kan kata hatinya. Namun sepuluh bulan yang lalu ia berkenalan dengan seorang buruh pada pabrik elektronik tersebut. Pemuda yang berhasil me- mikat hatinya tersebut juga berasal dari Indonesia namanya Rinaldi. Rinaldi berasal dari Aceh Timur, Setelah berpacaran selama sepuluh bulan mereka berencana untuk menikah di kampung halaman Rinaldi (Aceh Timur). Perjanjian antara sesama mereka berjalan cukup sederhana. Mereka bertukar cicin emas 5 gram. Setelah sepakat maka mereka mencari informasi kapan ada tongkang (kapal red) yang akan berlayar ke Indonesia. Karena kontrak mereka belum habis maka mereka tidak berani untuk berangkat secara terang-te- rangan. Akhirnya berangkatlah me- reka menaiki kapal yang naas tersebut. Tujuan mereka Aceh. Menurut pengakuan Yanti sehabis menikah mereka akan menetap di Aceh dulu baru setahun kemudian akan ke Jawa. Namun rencana tinggal ren- cana. Tuhanlah yang menentu- kan nasib anak manusia. Kapal yang mereka tumpangi tidak mampu melawan ganasnya ombak dan akhirnya tenggelam tawarkan. Tapi, kapan kami dibebaskan? Kalau tidak, apakah kau bisa membebas kanku?", tanya Idris langsung dengan nada pahit. "Pak Idris, yang bersalah keadaan", jawab Ruslan lam- bat, mengalihkan pembicara an. Ia memandang ke barak itu. Ada beberapa ukiran kayu ter gantung. Dan, beberapa utas tali. "Kapan Idris dibebaskan? Sungguh, aku tak tahu. Dan aku pun tak berwenang. Ja ngankan untuk membebas kan, mengusahakan agar ia bebas pun aku tak mungkin. Persoalan Idris sangat rumit. Rakyat bahkan sekarang amat takut kalau terkena tuduhan terlibat atau punya indikasi berhubungan dengan (eks) par MUKJIZAT Karena hanya seorang wa- nita, Yanti tidak mampu berebut tong (drum) dengan TKI lain. Akhirnya ia pasrah yang ada hanya bag (tas). Ia peluk tas itu kuat-kuat. Namun dinginnya air laut membuat ia menggigil dan melepaskan tas tersebut. Ta- ngannya dilingkarkan ke kaki. Yanti sama sekali tidak bisa berenang. Dalam peristiwa tersebut ia tidak tenggelam. Ia hanya menengadah ke atas agar hidungnya tidak masuk air. Dalam situasi seperti itu, beberapa ekor ikan sebesar lengan mengelilingi Bahkan ada yang menggigit keningnya. Kening tersebut sampai ber- darah. Diusirnya ikan-ikan tersebut. Namun ikan tersebut tidak mau pergi bahkan mengitari dirinya. Yang jelas dirinya tidak te- nggelam. Antara sadar dan tidak sadar dibiarkannya ikan ter- sebut. buh. Dan ketika diwawancarai Analisa di Panti Sosial Permadi Putra (PSPP) Insyaf, kondisinya LAPORAN APAKAH MBAK INI PER- NAH MELAKU- KAN ABORTUS? ( Selama dua hari satu malam ia hanya bisa pasrah sambil mengharapkan pertolongan. Bagaimana tidak gamang. Se- tiap hari hanya lautan biru tanpa batas saja yang dilihatnya. Sampai satu hari tanpa pertolongan ia hanya bisa memasrahkan dirinya kepada yang kuasa. Sampai akhirnya ketika nelayan menemukannya. y Ia tidak sadar selama satu hari satu malam di rumah sakit. Namun selanjutnya secara berangsur-angsur mulai sem- HALAMAN 4 tai yang terkutuk itu", kata hati Ruslan. Ruslan memandang wajah Idris. "Bagaimana pun, Idris tak harus sepanjang waktu ber ada di sini. Barangkali di sisa- sisa usianya, ia masih perlu menghidup udara dan alam bebas. Bukan saja masih perlu, sungguh perlu, malah. Sayang, aku tak tahu bagai mana membukakan pintu un- tuk pergi ke alam bebas itu", batin Ruslan. sudah membaik. Bahkan ia sudah bisa tertawa walaupun keletihan masih tergambar di wajahnya. Ketika ditanya bagaimana perasaannya ditinggalkan oleh orang yang paling dicintainya, ia hanya tertunduk lesu. "Bagaimana lagi pak, sudah nasib." Jawabnya lirih. Saat" Analisa memancing soal ke- nangan dengan pacar ia belum bisa berberita banyak. Dan setelah itu Ruslan tak tahu lagi bagaimana mesti menjawab pertanyaan Idris. Kecuali mengisap rokoknya dalam-dalam, ia tak menge luarkan kata apa pun untuk be berapa saat. Ia menyesal, belum dapat membantu orang "Kami sempat tukar cincin, Sayang cincinnya hilang di laut. Apa boleh buat, saya kembali ke Banjarnegara saja". "Kalau sang pacar selamat bagaimana?", pancing Analisa. "Tipis kemungkinannya pak. Saya lihat sendiri ia tenggelam. Sebenarnya ia mampu berenang. Ia ingin menolong saya karena ia tahu saya tidak berenang. Tapi ketika ia ingin menggapai saya, ada yang menariknya dari belakang sehingga ia tenggelam dan saya lihat tidak muncul- muncul lagi." Katanya dengan mimik wajah sedih. "Mungkin ikan-ikan tersebut yang membimbing saya, hanya saya tidak mengerti apa mak- sudnya. Tapi sukurlah, saya selamat. Memang kalau belum ajal berpantang mati", lanjutnya. "Apakah keluarga sudah mengetahui ? "Sudah ada yang menghu- bungi ke sini. Dan kalau mereka menonton televisi pasti mereka mengetahui kalau saya selamat." Memang hanya karena ber- katNyalah, Yanti masih bisa menghirup nafas segar hingga saat ini. Bagaimana mungkin seorang yang sama sekali tidak bisa berenang bisa selamat berada di lautan luas selama dua hari, satu malam. (rrs) • WIWID -'97. LISA oleh OWWID IDDIH...! BORO BORO ABORTUS, HAMIL AJA GAIC PERNAH.- GUE INI LAKI- LAKI, NENS..! yang memerlukan pertolong an. TAK lama kemudian dari ujung sana terdengar suara menggema, merdu. Gendang te- linga Idris cepat menangkap suara itu. "Sutan (Sutan, panggilan untuk laki-laki), permisi seben- tar. Nanti pembicaraan kita sambung. Aku salat," ucap Idris pasti dan bersiap-siap untuk berdiri. "Aku juga," jawab Ruslan mengetahui, bahwa yang meng- gema itu adalah suara azan yang dikumandangkan tanpa penge- ras suara. (Bersambung)