Tipe: Koran
Tanggal: 1990-05-20
Halaman: 04
Konten
2cm Color Rendition Chart HALAMAN IV Catatan Budaya Pekan Ini: BUTA S asuke menusukkan jarum ke bintik putih matanya. Pelahan dia merasa api penglihatannya padam, cakram cahaya meremang di hadapannya, meninggalkan kesan seolah-olah ada benda di depannya, kemudian dia buta. Dia masuk ke dunia gelap tempat Shunkin hidup. "Inilah rupanya dunia batin tempat Nyonya hidup," pikir Sasuke. Novel Jepang "Shunkin" karangan Junichiro Tanizaki berkisah tentang percintaan batin antara dua makhluk buta. Shunkin, mulanya adalah seorang penari cantik, putri keluarga terpandang. Dalam umur 9 tahun dia kehilangan penglihatannya. Padam jugalah bakatnya yang amat besar dalam dunia panggung. Dia lalu beralih ke musik, belajar memain- kan koto dan samisen. Nyatanya, bakat Shunkin luar biasa. Namun, perangai Shunkin berubah keras. Dari seorang gadis penari yang lembut, dia berubah menjadi pendiam, tapi menyimpan dendam dan kemampuan untuk bertindak kasar. Pada masa-masa itulah datang Sasuke yang bertugas sebagai pelayan Shunkin: pergi ke tempat les musik, pergi mandi, pergi makan, ke mana saja. Sasuke mengenamkan jari jemarinya ke telapak Shunkin dan begitulah biasanya sepanjang hari mereka berpegangan. Sasuke tak pernah bertanya, dan tak pernah berani bertanya, karena takut akan menyinggung perasaan majikannya yang "buta". Namun, dalam keheningan diam itu, Sasuke acapkali men- dengar getaran batinnya, terus menerus setiap hari, bahwa dirinya punya perasaan tertentu pada Shunkin, bahwa tumbuh rasa kagum pada ke- cantikan Shunkin yang mempesona, belakangan malah rasa cinta. Shunkin pun nampaknya menikmati juga genggaman telapak tangan Sasuke. Tapi, di depan umum, Shunkin tetap memperlakukan Sasuke dengan keras, seakan-akan dia membantah anggapan umum, bahwa ada hubungan istimewa antara dirinya dengan Sasuke. Pun, ketika akhir- nya Shunkin hamil dan melahirkan anak, teka-teki tentang siapa bapak anak itu, tetap bagai kabut. Seting cerita itu sendiri gelap, segelap dunia tempat hidup Shunkin. Akhirnya, mereka memang dibiarkan hidup berdua di sebuah rumah, tapi tidak pernah ada pengesahan bahwa hubungan mereka adalah hubungan suami istri. Sampai tua mereka tetap berdampingan sebagai bos dengan pelayan, Shunkin tetap memperlakukan Sasuke sebagai pelayan. Tetapi, Sasuke melayani Shunkin tak hanya di meja makan, tapi juga sampai ke kamar mandi dan di atas ranjang. Ketika Sasuke mengambil keputusan untuk menancapkan dua jarum ke biji matanya, Junichiro sungguh-sungguh menggiring pembaca alam gelap misterius dari ceritanya. Sasuke sungguh-sungguh masuk ke dunia gelap tepat Shunkin hidup selama ini. "Oo, di sini pun aku baha- gia," keluh Sasuke, puas. Junichiro sangat bagus menggarap sisi batin kehidupan orang buta, atau orang-orang yang berhubungan intens dengan orang buta. Me- mang, buta tak melulu dilihatnya sebagai nasib. Dia juga menjadi sema- cam dunia tersendiri, bagai planet lain yang jaraknya setapak saja dari api penglihatan manusia. Orang Bali mengenal Panca Maha Butha, dunia gelap dimana mereka hidup berdampingan dengannya. Karena "butha", dia memang serba tidak jelas, apakah dia itu absurd, apakah abstrak, atau bagaimana. Orang Bali menjalin kontak dengan sarana ritual, dengan upacara kea- gamaan. Memang, untuk masuk ke planet lain "Panca Maha Bhuta" itu, tidaklah cukup dengan menjadi buta secara lahiriah. Apa lagi cuma dengan memejamkan mata. Namun, berbagai pertanyaan bisa muncul, "Toh, ketika kita tidur, sekali-sekali kita masuk ke alam gelap hidup kita, ke alam mimpi, ke alam batiniah yang tidak pernah kita sentuh dengan bentuk-bentuk lahir jasmani kita," ujar seorang kawan. Tetapi, ini sungguh-sungguh diskusi orang-orang melek. Seperti apa- kah kiranya andai yang berdiskusi adalah orang-orang buta, orang-orang seperti Prabu Drestrarastra, misalnya? Raja Kuru itu buta sejak lahir, sampai-sampai istrinya pun - Dewi Gandari bersumpah untuk ikut ke dunia gelap kehidupan suaminya dengan cara membalutkan kain hitam ke matanya. Tetapi, ketika Bagawan Abiyasa memberinya penglihatan, agar bisa menyaksikan perang keluarga Baratha, Drestrarastra menolak. "Tidak usah, nanti aku sakit hati," ujarnya, sebab yang akan dilihatnya adalah banjir darah putra-putranya, cucu-cucunya, kerabat dan handai tolannya. Dia tak mau melihat langsung, tetapi dia ingin tahu. Maka, sang begawan lalu menunjuk Drestadyumena sebagai "pelapor pandangan mata." Drestadyumena inilah yang diberi penglihatan batin, agar bisa melaporkan segala yang terjadi di medan perang, langsung dari istana raja Drestrarastra. Drestrarastra sudah lama hidup dalam alam gelap, ia tak mau masuk ke "planet kehidupan" lain, justru ketika umumnya sudah uzur. Dia tidak mau melihat, sama seperti Shunkin tak mau dilihat ketika wajahnya hancur, kecantikannya hilang, karena disiram air panas oleh orang tak dikenal. Shunkin menutupkan kerudung sutera. Tetapi, Sasuke nampak- nya amat kesepian hidup di dunia terang tanpa Shunkin. Lalu, dia menan- capkan dua jarum ke biji matanya. Gelapnya, hilanglah cahaya, hilanglah matanya. (Wira Batu Karu). Ayakus 1. Tawakus mi hari pertama musim hujan. Ada gerimis di ha- Di rerimbunan rumput liar yang tumbuh di sepanjang pinggir gang, yang biasanya tempat banyak ayam mencari makanan, namun pagi ini sepi. Hanya geri- mis yang menggoyang-goyang bunga rumput itu. Air limbah yang hitam pekat dan berbuih, mende- kati bibir selokan. Jalanan pun mulai becek. Orang- orang berjalan melompat-lompat dan terbungkuk- bungkuk di bawah payung kembangnya. Dan mere- ka berjalan lebih bergegas dari biasanya, seolah di musim hujan ini putaran jam menjadi lebih cepat, sementara orang-orang lebih malas menanggalkan selimutnya. Lonceng kota menunjukkan pk 08.00, hari me- mang cukup lingsir. Tapi gerimis semakin tebal saja, membuat kota seolah kehilangan kesibukannya. Ha- nya satu-dua bemo lewat, mengangkut ibu-ibu yang pergi-pulang pasar dengan ikan dan sayur kangkung dalam kantong plastik. "Darwis, pagi ini kita tak sarapan, Ibu kena flu, sejak subuh tadi anginnya buruk sekali," kata Mbok Soroh, ibunya Darwis. "Tak apa-apa, Bu," jawab Darwis sambil meng- enakan ikat pinggang, dan menghirup kopi. "Habiskan kuenya, biar kenyang." lanjut Mbok Soroh. Tapi Darwis tak menyahut. Dia menggeser tubuhnya ke dekat pintu karena angin bertiup ken- cang dan basah. Di kejauhan terdengar suara berdentang-dentang, mungkin anak-anak bermain hujan sambil memukul- mukul tiang listrik. Darwis merasa, pagi ini, dia akan terlambat tiba di kampus. Karena sejak tadi dia telah mencari-cari baju mantelnya, tapi belum juga ketemu. "Baju mantelmu telah ibu buang ke tempat sampah karena berlobang dimakan tikus," kata Mbok Soroh sambil menahan flu, "nanti belilah mantel plastik yang baru di warung sebelah, asal baik memakainya bisa digunakan dua minggu." Mbok Soroh mengen- dorkan ikatan kain di kepalanya, dan menggosokkan balsem di pelipis dan lehernya. "Beberapa hari lalu ibu membersihkan kamarmu, dan menemukan baju mantelmu rusak di bawah di- van. Ibu juga menemukan tumpukan pamflet di sana. Untuk apa semua tulisan itu, Darwis? Hati-hatilah." Darwis tak menyahut. Untuk ke kampus, biasanya dia menempuh satu kilo meter lewat belakang, me- nyusuri gang kecil dan menyapa anak-anak yang se- dang jongkok di pinggir kali. Kemudian meniti jem- batan kayu sepanjang lima meter, di dekat sungai yang menikung. Namun tanpa mantel, di awal musim hujan ini, dia harus pergi ke kampus dengan bemo dan menempuh jarak yang jauh. Karena terlebih dulu perlu mengitari kota sebelum turun di perempatan dekat kampus. Kemudian baru berjalan kaki di atas trotoar, di antara pohon palma peninggalan Belanda. Dia akan melihat teman-teman sesama mahasiswa berjalan tergopoh-gopoh. Yang lain, menerobos geri- mis dengan sepeda motornya yang dilarikan kencang- kencang. Darwis berharap kedatangannya di kampus pagi ini tak terlambat. Dia khawatir, menteri telah mem- beri ceramah di auditorium, dengan demikian kesem- patan bagus pun berlalu begitu saja. Bendera, umbul-umbul, dan spanduk yang berisi ucapan selamat datang terpancang di seputar halam- an kampus, tapi tentu saja basah sebasah-basahnya, sehingga tak satu pun yang berkibar. Dan kalau ada angin kencang tiba-tiba bertiup, maka beberapa um- bul-umbul yang berisi reklame rokok itu akan jatuh terkulai di atas tanah berlumpur. Mayat Menempel Pamflet tanggal 5 Mei 1990 dimainkan oleh Kaseno dan kampus FKIP Unud Singaraja. at masih Gerimis tampaknya terlalu nyirnyir, turun terus- menerus tanpa pernah jeda. Sekali-sekali, di balik bangunan bertingkat dan menara-menara kota yang menosok angkasa, terlihat pijaran guntur. Di ujung gang fakultas, teman-teman Darwis telah berkumpul. Menahan dingin, dan kepala mereka basah. Lalu begitu mereka melihat Darwis, mereka pun me nyambutnya dengan semangat, "Menteri telah ter lambat satu jam. Kami sudah menunggu sejak pagi. Dari Malam Chairil Sapu Lidi: niatnya untuk bunuh diri. Keti- juga Menulis di Musim Lomba? ka dia akhirnya menghunus pi- sau untuk melakukan aksi bu- nuh diri di belakang rumah, ti- ba-tiba timbul ide yang aneh. Dia melampiaskan keinginan- nya itu ke sebatang pohon pi- sang. Pohon itulah yang diang- gapnya pengganti dirinya, hing- ga menusuk-menusukkan pisau ke batang pisang itu dia anggap sama saja dgn menghujamkan pisau ke perut sendiri. Puas "membunuh pisang, niat bu- nuh dirinya sirna. Aneh, tak ada plot yang jelas. ebanyakan penulis sastra di ketika ada lomba, kata Putu Fajar Ar- cana, alumnus Faksas Unud, ke- tika bicara di gedung PWI, pada peringatan wafatnya pelopor sastra modern Chairil Anwar, akhir April lalu. Tak banyak yang membantah sorotan pem- bicara dari Kelompok Sapu Lidi dalam makalah yang berjudul "Sosok Cerpen Bali, Rekaan dan Harapan" itu. Apakah me- reka setuju? Kata Fajar, perkembangan cerpen Bali boleh dikata mulai merosot setelah Rastha Sindhu. Benang merah kemunduran itu nampak jelas, ataukah orang bi- sa berkilah, bahwa inilah yang namanya pembaharuan?. Era 1960-an, era Rasta Sindhu dkk. ini karena Fajar mengambil na- ma cerpenis ini saja sebagai sampel-adalah suatu zaman ke- tika pengarang cerpen itu me- nulis karya-karya fiksinya ber- landaskan kebudayaan Bali, se- lain aturan sastra yang jelas. Ada tema yang jelas, ada plot, dan watak-watak pelakunya yang kuat dan menonjol. Cer- pen-cerpen mereka, sebenar- nya, berguna juga untuk mem- pelajari sosiologi. Amat jauh berbeda dengan karya pengarang dalam tahun. 70 dan 80-an. Fajar menyebut beberapa nama, misalnya Syah- ruwardi Abbas, Gde Aryantha Soethama, Ngurah Parsua, Sti- raprana Duarsa, dan pengarang lainnya. Mereka ini memang la- hir belakangan, ketika teknolo- gi cetak dan jumlah buku kesu- sastraan yang beredar di ma- syarakat cukup banyak. Media massa yang memuat karya sas- tra pun juga cukup banyak, hingga peluang untuk saling mempengaruhi atau terpeng. Mungkin kendaraannya macet oleh banjir," bisik me- reka. Yah, tetaplah hati-hati dan sabar sampai menteri datang," sahut Darwis. Semua teman-temannya telah membawa gulungan pamflet dan spanduk. Mereka melihat dinding-dinding kampus yang beku, tempat pamflet dan poster itu akan ditempelken dengan kece- patan yang luar biasa. Mereka ingin melihat mosaik yang sarat uneg-uneg di sana. Kalau perlu, setiap undakan di lantai dua, jalan menuju auditorium akan dihiasi dengan pamflet, sehingga rektor dan para do- sen tak punya kesempatan untuk tersenyum kepada menteri di pagi yang tak cerah itu. Mereka merasa yakin dengan kenakalan yang akan mereka lakukan. Meski mungkin keinginan yang dat- angnya dari para mahasiswa, di bawah pimpinan Darwis, itu akan ada yang mencap sebagai kegiatan yang ditunggangi pihak ketiga. Namun toh mereka tetap merasa pantas mewakili dirinya sendiri untuk berkata tentang segala sesuatu yang dirasakan tapi tak pernah dapat diucapkan. aruh semakin besar pula. Dan yang perlu dicatat juga, Fajar menemukan, bahwa mereka ini "Tiga bulan saya membubuhi tanda tangan di buku penjaga pintu depan," kata Darwis. Dan selama itu telah empat ballpoint telah dihabiskannya. Di pintu terdepan, di jalur ruangan rektor, Darwis akan disa- pa oleh Satpam bernama Jarot, laki-laki kekar bercu- kur pendek. Dia akan bertanya untuk keperluan apa Darwis menghadap rektor. Darwis harus menjelas- kan sejelas-jelasnya, dengan kata-kata yang cukup keras, karena Jarot agak budeg. sebagian besar ternyata berasal dari kalangan intelektual aka- demis. Monolog Putu Wijaya Bos Si Pembuka Kedok Setelah Jarot menghabiskan rokok- nya dan mondar-mandir ke kamar mandi, dia akan menyerahkan buku kecil dan kumal, sambil meme- rintah, "Tulis di sini namamu, alamat atau dari fakul- tas mana, apakah sudah janji atau belum, keperluan, lalu..... tanda tangan, dan jangan lupa, tinggalkan tanda pengenal di sini. Begitu aturan yang berlaku." Kemudian tibalah saatnya Jarot menunjuk ke se- buah ruangan panjang. Di sebelahnya, kantor sekre- tariat yang pegawainya kebanyakan wanita. Bunyi mesin pendingin ruangan menggetarkan kaca jende- la. Ada saatnya Darwis melirik ke kolong meja, siapa tahu ada pegawai wanita itu yang duduknya ngawur. Kalau sudah menunggu lima belas menit, Jarot akan menjemput Darwis, dan mendorongnya ke luar ruangan itu, baru kemudian melingkar ke gang yang lebih pendek. Lantas mengetuk pintu dan membung- kuk kepada sekretaris pribadi rektor, yang kelihatan- nya amat sibuk dengan tumpukan kertas di atas meja- nya. Di sini Darwis tak perlu menunggu terlalu lama, apalagi kalau sekretaris itu langsung mengangkat bahunya dan berkata, "Pak Rektor sedang tak ada, beliau sedang rapat. Bagaimana kalau lain hari?" Kalau begitu Darwis harus sabar dan segera mening- galkan tempat itu. "Telah tujuh kali selama tiga bulan ini saya berusaha bertemu rektor, tapi gagal terus," bisik hati kecil Darwis. Adakah ini punya pengaruh kuat? Tidak jelas benar me- mang, apakah ada hubungan an- tara perubahan gaya karangan mereka dengan latar belakang akademiknya. Gde Aryanta dan Ngurah Parsua adalah insinyur peternakan, sementara Stripra- na adalah dokter. Yang bisa di- runut dari gaya tulisan mereka- tulis Fajar bahwa merekalah yang mulai menulis dengan gaya "baru", bahasa mereka lin- cah, idenya aneh-aneh, acap me- reka mengabaikan logika riil se- hari-hari, hingga kadangkala terjebak dalam apa yang oleh Fajar dikatakannya "cerewet". Cerpen Rasta Sindhu, "Keti- ka Kentongan Dipukul di Bale Banjar" (KDB), pemenang hadi- ah cerpen terbaik majalah Hori- son 1969, jelas punya plot. Latar belakang budayanya jelas, ide- nya ada dan begitu juga watak pelaku pelaku cerita. Pendek kata, cerita itu tidak lepas dari sosiologi Bali, karena itu pula orang yang membacanya bisa memberi reaksi: tak setuju ter- hadap seorang tokoh, sedih, benci, senang. Persoalan pembuka kedok barangkali dapat dianggap sebagai salah satu tema yang digemari sastrawan Indonesia masa kini, bah- kan jauh sebelumnya. Atau paling tidak para sastrawan suka menyelipkan dialog. dialog yang berusaha menelanjangi diri kita. Sehingga terasa cukup relevan dan komunikatif dengan situasi yang sedang menggejala dalam masyarakat. Kelihat- an sastrawan yang menakjubkan mampu menampilkan sebuah potret diri yang karikaturis, tanpa mesti disambut dengan ketersinggungan, mampu mengajak masyarakat melihat dirinya sendiri atau tanpa sadar kita mengambil cermin untuk meneliti raut wajah kita sendiri, mengajak kita mentertawakan diri sendiri sebelum ditertawakan oleh orang lain, sebab sangat banyak peristiwa konyol dan memalukan yang diperbuat entah disadari ataupun tidak, yang jelas justru akan mencelakakan diri sendiri dan masyarakat. Kesan itulah yang terasa jelas bahkan penuh dengan bukti-bukti autentik dalam monolog "BOS" karya Putu Wijaya, pada disutradari oleh Abu Bakar di aghih grilsq ung Oleh Nyoman Sudana Mbud Tapi rupanya itu bukan hanya pengalaman Darwis sendiri, sebab teman-temannya yang lain juga meng- alaminya. "Persoalan saya hanya sepele, skripsi saya tak pernah diperiksa padahal sudah selesai enam bul- an lalu. Saya sudah bosan berhubungan dengan do- sen pembimbing itu!" Beda sekali dengan cerpen Gde Aryantha Soethama, "Tak Ja- di Mati" misalnya. Cerpen ini bercerita tentang seorang tokoh yang begitu patah hati hingga timbul niat untuk bunuh diri. Tetapi, dia berusaha keras un- tuk melawan keinginan itu, sampai-sampai dia minta nase- hat pada seorang teman. Tapi, apa pun nasehat temannya yang pintar ilmu kebatinan itu, tak MONOLOG ini bermula de- ngan dialog pelayan yang me- numpahkan kejengkelannya pada jam dinding tua yang ko- non memiliki nilai sejarah, ke- mudian berlanjut pada peristi- wa lahiriah maupun batiniah yang menimpa tokoh Bos dan di- akhiri dengan terbunuhnya Bos di perempatan jalan. Dari awal hingga berakhirnya monolog ini senantiasa menampilkan di alog-dialog yang pada hakekat- nya selalu berusaha membuka kedok yang selama ini barang- kali sangat kontroversial dari kenyataan kulit luar yang dili- hat sehari-hari. Betapa Bos keli- hatannya mereguk kehidupan ini dengan serba berkecukup- an, tapi sebenarnya Bos itu jauh lebih buruk dan lebih jahat dari penjahat atau pelacur di muka bumi ini. Pelayan yang sebagai wakil dari orang-orang yang bu- kan Bos dalam kesehariannya. selalu merasa di bawah dan se- lalu tertindas, justru lebih te- nang dan lebih bahagia daripa- da Bos-bos. Hal-hal semacam inilah yang dijadikan bahan tumpuan oleh Putu dalam mengembangkan unsur-unsur ceritanya dalam monolog "BOS", kemudian didukung oleh penampilan yang cukup mengesankan dari pemain, olahan sutradara, dan diramu dengan tata panggung dan tata lampu, menjadikan pementas- an monolog "BOS" patut dicatat sebagai pementasan monolog yang cukup berhasil. Bali Post ADA TIGA peristiwa penting yang tertuang dalam monolog ini yang kiranya dapat membu- ka lebar-lebar mata kita untuk melihat lingkungan dan melihat diri kita sendiri secara jujur dan terbuka. Pertama, jam dinding tua yang berlaku seenaknya lantaran jam dinding itu punya nilai seja- rah. Kedua, seorang Bos adalah bawahan dari Bos-Bos di atas- nya dan kadangkala tindakan seorang Bos adalah perintah yang seenaknya Bos-Bos di atas- nya. Dan ketiga, kesadaran seo- rang Bos atas segala kemunafi- kannya, sehingga terjadi per- golakan batin yang hebat dan menyebabkan pemberontakan. Dari ketiga peristiwa penting ini sebenarnya masih ada ber- bagai peristiwa penting itu, atau teramu dalam unsur lain untuk memperkuat eksistensi monolog ini. Dari ketiga peristi- wa penting itulah yang lebih ba- nyak saya soroti untuk meleng- kapi tanggapan saya atas mono- log "BOS" sebagai si pemuka kedok. Kecenderungan beraneh- aneh, kata Fajar, lebih hebat la- gi pada pengarang muda Stirap- rana. Dalam cerpen "Bulan Singgah di Halaman" dia men- ceritakan pengalaman tokoh- nya yang serba aneh, dan menu- rut logika normal tidak mung- kin terjadi. Stiraprana berceri- ta tentang seorang penjual sate yang membunuh penjual sate, lalu membuang mayatnya ke tong sampah. Kemudian, tokoh yang "terbunuh' itu membunuh si penjual sate pula. Apakah ia penjungkirbalikan logika riil, adakah ini pembaharuan? Teta- pi, adakah setiap yang melawan konvensi bisa dikata pemba- haruan? "Ah, semestinya dulu kita tak perlu suka mendebat dosen di ruang kuliah," sambung yang lain. Hujan masih saja turun, dan bertambah lebat. Ruangan dan gang kampus mulai penuh genangan air, karena banyak genteng berlobang. Tikus-tikus pun kedinginan, dan turun dari sarangnya, lalu ber- sembunyi di bawah almari di pojok ruangan yang MONOLOG ini kelihatannya gelap. Kampus masih tetap sepi, kecuali mereka yang sebagai suatu lukisan yang pe- sejak tadi pagi bergerombol di depan fakultasnya nuh dengan kesadaran akan masing-masing. Sampai saatnya tiba pegawai sekreta- peran yang mesti dijalani manu- riat menempelkan secarik pengumuman, yang isinya sia sehari-hari, meskipun jauh "karena sesuatu dan lain hal, menteri tak jadi mampir bertentangan dengan kejujur an hati nurani. Tetapi karena peran itu justru demi maksud memperlancar kelangsungan suatu kehidupan, maka jadilah manusia memerankan tokoh- tokoh sandiwara yang lengkap (Bersambung ke Hal XI kol 2) dengan topeng-topeng kepal- ke kampus kita, dengan demikian acara ceramah pun batal." Selesai membaca pengumuman itu, Darwis dan teman-temannya menghela nafas, tangan mereka ber getar. Mereka mengguman, putus asa, begitu penting- Apa pun alasannya, peng- arang-pengarang cerpen "Bali" sekarang ini nampaknya tidak- lah terlalu subur. Tidak banyak di antara mereka yang benar- benar bertahan dan konsisten. untuk terus mengarang, secara intens. Persis seperti kata Fa- jar, mereka muncul semusim- semusim, terutama ketika di- adakan lomba mengarang. Jadi- nya, motivasi mereka menulis tentulah lebih berat pada peng- akuan, bahwa apa yang mereka kerjakan mendapat status, mendapat pengakuan. Kalau ini tak ada, karang mengarang di- hentikan sejenak. Tak banyak yang membantah pendapa: Fajar Arcana ini. An- da barangkali? (Wira Batu Karu). suannya. Putu banyak menam- pilkan kekaburan peristiwa dan simbulis yang menyebabkan si sutradara mesti memanfaatkan daya interpretasi yang tinggi untuk memvisualkannya di atas panggung. Dan sebaliknya si su- tradara juga tidak bermaksud memvisualkan senyata- nyatanya dan secara gamblang hasil dari interpretasinya yang barangkali ada kekhawatiran tersendiri agar dia tidak terper- angkap oleh interpretasinya sendiri, sehingga penonton pun terseret juga mau tidak mau un- tuk memanfaatkan daya imaji- nasi dan apresiasinya untuk me- mahami atau menikmati pe- mentasan ini. Barangkali se- buah interpretasi akan sangat lemah apabila si penikmat tidak memiliki bekal imajinasi dan apresiasi yang kuat. Dalam mo- nolog "Bos" ada peristiwa keto- kan pintu yang kemudian di- sambut akrab oleh Alimin si pe- layan. Barangkali daya imajina- si dan apresiasi yang lemah per- istiwa itu merupakan peristiwa biasa, atau betul-betul ada orang yang mengetok pintu. Pa- dahal kalau diikuti secara utuh penampilan monolog ini diser- tai dengan kemampuan kita un- tuk memilah-milah mana ke- jadian lahir dan mana kejadian batin, jelas akan mengarahkan penonton bahwa peristiwa itu adalah terjadi dalam batin si to- koh bahwa dalam puncak per- golakan batinnya, masih juga terselip kesadaran akan kehadi- ran Tuhan. Seperti yang di- katakan oleh Umar Yunus bahwa dalam kita menikmati suatu ka- rya sastra yang inkonvensional, semestinya dalam pikiran kita pun tidak memakai pola berpi- kir konvensional yang akan menjebak kita ke arah kebi- ngungan. Kita harus melepas- kan pola lama dalam menikmati karya sastra konvensional, dan membentuk sebuah pola baru yang bertumpu pada karya sas- tra inkonvensional yang sedang a nikmati. Interpretasi terha- dap peristiwa dalam monolog "BOS" jelas harus dibedakan dengan interpretasi yang biasa dipakai dalam menikmati cerita drama gong, drama klasik atau fragmen di televisi. KABURNYA peristiwa anta- ra lahir dan batin tokoh dalam monolog ini dapat dimengerti lantaran cara bercerita pada ka- rya sastra novel, cerpen, dan drama-dewasa ini yang meng- alir setara. Kabur yang dimak- sud yakni tanpa jeda yang cu- kup untuk memberi peluang pa- da imajinasi penikmat bahwa yang ini adalah dialog nyata dan yang lain adalah dialog dalam batin. Untuk memastikan hal inilah diperlukan kepekaan imajinasi dan daya apresiasi yang tinggi dari penikmat bila mereka benar-benar ingin seba- gai penikmat yang baik dan me- mahami amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang- nya. Kepekaan itupun harus le bih ditingkatkan lagi dalam me- (Bersambung ke Hal X kol 5) MITSUBISHI MOTORS JANGAN BELI FASILITAS TANPA KUALITAS MITSUBISHI KENDARAAN MITSUBISHI '90 ETERNA PERLU PRIORITAS!! 2.0i DOHC 16V MULTI POINT INJECTION ETERNA Teliti dulu sebelum membeli Tampil makin gagah dan menawan, dengan styling dan perlengkapan Hi-Performance Executive Trendy Look. Ketangguhan performanya telah terbukti dengan menjuarai berbagai reli internasional, seperti seri reli Asia Pasifik dan World Rally Championship. Grill baru dengan air dam depan, lebih besar, lebih aerodinamis dan stabil. CASH 90 Side skirt lebih lebar dan trendy. Lis dan Handel pintu-all black. JL.M.T. Haryono 453 Telp. (024) 22582 Semarang-Jateng MINGGU, 20 MEI 1990 E LANCER DO MITSUBISHI MOTORS AUTHORIZED DEALER MITSUBISHI ETERNA CREDIT STERING Under spoiler belakang, lebih mantap. MITSUBISHI ANDA ADALAH KAMI! ANDALAN ANDA, TEKNOLOGI MITSUBISHI P.T.BUMEN REDJA ABADI Jl. Hayam Wuruk 888 R (Tanjung Bungkak) Jl. Indrakila P.O. Box 11 Telp. 88345-87451-87452-87453 DENPASAR Telp. (0287) 81073-81222 Kebumen -Jateng AUTHORIZED WORK SHOP JL. TEUKU UMAR, 52 A TELP. 34608 DENPASAR C. 182 MINGGU, 20 MEI 1990 F Hadiah buat Oleh N. H reek-Kreek". Bunyi ke Kontak telah lewat di depan ru mah Anita. Dengan bergega Anita segera bangun dari tem pat tidurnya. Setelah merapi kan tempat tidurnya, ia mula mengulangi pelajaran yang te lah dipelajarinya semalam. Entah siapa yang pertama menjuluki Pak Suteja, laki-lak tua pengangkut sampah de ngan julukan Pak Kontak. Teta pi yang jelas, anak-anak koma pleks Sakura, dimana Anita tinggal memberikan julukan yang sedemikian pas. Wajal Pak Suteja memang mirip seka li dengan wajah pemeran Pal Kontak dalam acara Kontak Ta ni di TVRI. Anehnya, Pak Kon tak ek, Pak Suteja tidak pernal marah dengan julukan itu. Hampir setiap pukul lima pa gi dan empat sore, Pak Kontak selalu menjalankan tugasnya sebagai pengangkut sampah dari rumah ke rumah. Anita memang tinggal di sebuah kompleks perumahan Sakura Anak-anak di sana terkena kreatif dan cerdas-cerdas. Tugas sebagai pengangkut sampah sudah dikerjakannya semenjak setahun yang lalu Walaupun tugas ini berat bag orang seusianya namun Pak Kontak selalu mengerjakan nya dengan gembira. Yang le- bih mengharukan lagi, kalau Pak Kontak bekerja selalu di iringi dengan siulan-siulan ke- cil sehingga seolah-olah tugas itu dirasakan sebagai kewajib an yang menyenangkan. Ibu-ibu yang tinggal di kom- pleks perumahan Sakura juga sangat merasakan jasa Pak Kontak. Berkat jasa Pak Kon- tak, lingkungan mereka men- jadi bersih dan bebas dari sam- pah yang menggunung. Selain para ibu, anak-anakpun me rasakan jasa Pak Kontak. "Berkat bunyi kereta sam- pah Pak Kontak, saya dapat ba- ngun lebih pagi. Jadinya saya. tidak pernah datang terlambat lagi ke sekolah" kata Krisna. yang memang terkenal sedikit. malas. "Kalau sayah sih, dapat ba- ngun lebih pagi sehingga da- Cerita Bersambung Aryo da Oleh Adhi Parniti iang itu seisi rumah se- duk di kebun belakang. Mere- nung-renung. Terbayang Aryo yang rada sakit-sakitan. Tapi Aryo aneh, ia justru ber- syukur diberi kondisi seperti itu. Memang, mama jadi sayang padanya. Aryo pun di hadapan mama begitu penu- rut. Saking seringnya mama membelanya, Aryo jadi besar kepala dan merasa seperti anak emas. Aryo juga punya watak yang culas. Hanya bisa berlaku baik di hadapan orang tua, tapi kenyataannya di dep- an Ayik dan Jaka, Aryo seperti tak punya hati. Jaka bergegas ke kamar. Belajar. Disimaknya baik-baik catatan geografi itu. Tekad Jaka cuma satu, ia ha- rus berhasil. Aryo cuma lebih
