Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1990-05-20
Halaman: 10

Konten


2cm Color Rendition Chart HALAMAN X Serpihan Sejarah Revolusi Fisik di Daerah Jembrana Akhirnya Bertolak juga ke Banyuwangi i daerah Yeh Mecebur D 16 Juli 1946. "Bagaima- na kalau kita kembali saja ke Jawa?", tanya pak Ba- gyo, dari Malang (sekarang dia mengubah namanya menjadi Ketut Bagyo). Keadaan di sekitar dengan itu kelihatan lengang dan terasa sunyi-sepi. Hanya deburan om- bak yang silih berganti mene- bah pantai, memecahkan kesu- nyian malam itu. Abdul Rahm- an mengetuk pintu sebuah ru- mah seraya memanggil-manggil dengan berhati-hati setengah berbisik: "Ni!", "Ni!" yang suci dan karena itu, Tuhan pasti bersama kami. Ketut Wed- ha pun tidur pulas sekali. Besoknya Naeni kelihatan sa- ngat sibuk. Sebentar-sebentar dia didatangi oleh kawan- kawannya yang rupanya mela- porkan sesuatu. "Siapa?" suara bertanya dari dalam. "Aku, Aman!" jawab Abdul Rachman, menyebut namanya "Aman". "Dalam situasi seperti ini, saya kira tidak ada alternatif lain!", jawab Ketut Wedha. Ketut Wester yang dalam keadaan sakit (malaria tropi- ka), terpaksa kami titipkan di rumah salah seorang penduduk, yang dia sudah kenal. Tinggal- lah kami bertiga sekarang: Ke- tut Bagyo, Abdul Rachman dan Ketut Wedha. Kami memutuskan kembali ke Jawa, karena gagal hijrah ke daerah Tabanan untuk berga- bung dengan Pak Markadi. Se- bab tanggal 12 April 1946 terja- di dua peristiwa; 1. Di Nusamara Dauh Yeh, rom- bongan yang sedang membakar jagung dan merebus ketela po- hon, diberondong oleh tentara NICA dengan gencar, memper- gunakan senjata otomatis, sela- ma kl 10 menit, tetapi tanpa korban, sekira pukul 3.00. sore; -2. Malamnya di Nusamara- Sumatra, jaraknya dari Nusa- mara Dauh Yeh kira-kira 2-3 km ke timur, sekira pukul 11.00 di bawah sinar bulan yang ter- ang-benderang rombongan (yang sejak tadi sudah siap tempur"), dihadang dan ditem- baki oleh tentara Belanda dari jarak yang sangat dekat. Tak urung pertempuran sengit pun terjadi. Api-api letupan dari moncong senapan kedua belah pihak terlihat jelas bagaikan beratus-ratus kunang-kunang maut yang sedang mencari mangsa. Pertempuran hebat an- tara hidup dan mati ini berlang- sung kira-kira seperempat jam, yang menelan korban di pihak kita Ali, Miskanah dan Sa'ad (semua dari Loloan Timur Nega- ra) gugur; Pak Samekto dari Ja- wa tertangkap; Abdul Jalil dari Loloan Barat tertangkap dan Gst Ngurah Sualem dari Jem- brana juga tertangkap (dan akhirnya meninggal di dalam tawanan di tangsi Negara). Akhirnya kami berpisah dari rombongan. Oleh karena sepan- jang pantai dari Pengeragoan ke Barat sampai di Rening dija- ga ketat oleh Belanda dgn meng erahkan penduduk secara pak- sa dan jukung-jukung, sampan- sampan serta dayung dikumpul- kan di tempat jaga, maka kami menyuruh Pan Renten mem- buat 3 buah dayung di hutan Pengajaran. Tanggal 19 Juli 1946 malam, kami berangkat ke Pengambangan, langsung me- nuju rumah Naeni (tidak jauh dari Menara Lampu). Sekarang sudah kl pukul 12.00 malam. Pintu segera dibuka. Kami di- persilakan masuk oleh tuan rumah. "Kami akan menyebrang, carikan sampan!" pinta Abdul Rachman langsung. "Mari ke- nalkan dulu, Pak Subagyo, dari Jawa," Ketut Wedha memper- kenalkan Pak Ketut Bagyo. "Naeni!", kata tuan rumah, sambil mengambil tangan Pak Ketut Bagyo. "Keadaan bagaimana? Benar- kah sampan-sampan dicatat?", tanya Ketut Wedha. "Bapak-bapak tak usah kha- watir, di sini aman, walaupun ada penjagaan, tetapi itu palsu, sebab penduduk dipaksa berja- ga setiap malam!" Seterusnya Naeni mengatakan bahwa ma- sih ada beberapa sampan yang lolos dari pencatatan. Walau- pun demikian desa ini tidak le- pas dari pengamatan yang ketat dari tentara NICA. "Karena itu kita cari selah yang paling aman untuk menyebrang ke Jawa", kata Naeni meyakinkan kami. Isterinya datang menguguhkan, kopi-panas. "Silakan, bapak-bapak!" katanya. "Terima kasih!" kata Pak Ketut Bagyo. Setelah sele- sai minum kami dipersilahkan- nya istirahat. "Tentu bapak- bapak sangat lelah. Saya tidak ingin mengganggu dengan ba- nyak bertanya, besok masih ada waktu," kata Naeni. Malam itu kawan-kawan tidur nyenyak sekali. Ketut Wedha masih belum bisa tidur karena memikirkan soal mendayung dan mengemudi, sebab hal ini belum pernah sekali dia alami. Dia juga menduga kuat bahwa Pak Bagyoun belum pernah mengalami soal dayung- mendayung ini. Entahlah Abdul Rachman. Mudah-mudahan sa- ja dia bisa, demikian harapan Ketut Wedha. Mengarungi laut- an dengan hanya sebuah samp- an, dengan segala ketidak- tahuan. Namun semua ini dira- hasiakan kepada Pak Bagyo, agar jangan mengecilkan hati- nya. Tetapi sebentar saja kera- gu-raguan ini menyelinap dan akhirnya pergi lagi dan lenyap, dikalahkan oleh keyakinan, bahwa semua yang kami laku- kan selama ini untuk tujuan "Sampan sudah dapat, bapak- bapak besok malam bisa ber- angkat!" kata Naeni pada suatu kesempatan. Talo Alto Terbalik sa- Malam penyebrangan tiba. Sekarang 21 Juli 1946. Kami di- antar ke pantai oleh Naeni de- ngan dua orang kawannya. Sampan sudah siap. Kami naik di atas sampan yang tidak begi- tu besar, setelah mengucapkan terima kasih dan memohon do'a bagi keselamatan kami. Samp- an meluncur ke tengah. Baru menempuh jarak kira-kira 30 m, sampan kami terbalik. Naeni dan dua orang kawannya terjun menolong kami dan menarik sampan itu ke pinggir. Kami di- katakannya melakukan lahan "cara". Sampan berlayar dengan tujuan "barat-laut" dan ombak datang dari arah tengga- ra. Ini berarti ombak akan me- mukul badan sampan dan de- ngan demikian, mau tidak mau, sampan akan terbalik. Dalam keadaan laut begini, sampan tetap arahkan ketempat tujuan yakni barat-laut. Manakala om- bak yang datang dari arah teng- gara hampir memukul badan sampan, sampan secepatnya ha- rus dibelokkan sehingga hidung sampan menghadap ke arah da- rimana datangnya ombak. De- ngan demikian sampan akan berayun dan berada di atas ombak. Setelah itu, lagi sampan arah- kan ke tempat tujuan dan be- lokkan lagi pada saat ombak mendekati sampan. Begitulah seterusnya. "Insya Allah, ba- pak-bapak akan sampai ke tem- pat tujuan dengan selamat!", kata Naeni. Sesudah itu kami naik lagi. Dan benar! Kami selamat sam- pai di daratan Pulau Jawa di te- pi hutan Sengrong kl pukul 10.00 pagi. Ketut Wedha sangat payah karena semalam mabuk di tengah laut. Dia tidur di ping- gir pantai, di bawah lindungan bayangan pohon-pohon kayu, dan menyuruh agar pak Ketut Bagyo dan Abdul Rachman me- neruskan berlayar. "Saya nanti berjalan kaki saja menyusuri pantai pasir ini sampai ke Mun- car," Mereka pun berlayar dan Ketut Wedha tinggal sendirian. Tersesat Kira-kira pukul 11.00. setelah tenaganya dirasakan pulih, dia berjalan menepi pantai di atas Apapun yang dicari ! tersedia pasti di swalayan kami PASAR SWALAYAN TIARA DEWATA & TOSERBA terus- pasir menuju ke barat. Semula dia menduga sore hari akan su- dah sampai di Muncar. Ternya- ta dugaannya keliru. Relatif jauh sudah jarak yang ditem- puhnya, tak dinyana, pantai pa- sir tiba-tiba berakhir pada te- bing yang tinggi dan meman- jang dari timur kebarat. Di sini air-laut bergulung-gulung tak pernah berhenti. Rupanya su- dah sejak berabad-abad tebing karang ini diterjang gelombang yang sangat ganas, menerus tak henti-hentinya. Namun tebing raksasa ini tak bergeming sedikit pun. Malah sebaliknya, gelombang- gelombang itu yang pecah ber- antakan, hancur dan muncrat berhamburan bagaikan butir- an-butiran ribuan berlian, yang kemudian jatuh dan lenyap di- telan air laut yang berputar- putar deras sekali. Benar-benar ia merupakan panorama alam yang mengagumkan tetapi juga mengerikan!. Tidak ada pilihan lain! Ketut Wedha terpaksa harus naik gu- nung Sengrong dan nyelusup di hutan belantara, hutan yang "angker," kata orang dan ja- rang dijamah manusia. Seorang diri, hanya ditemani oleh sepu- cuk karaben dengan sekantong peluru. Dia berjalan ke arah berat, ya, terus ke barat dan akhirnya sesat tak tahu arah. Satu-satunya pedoman, yakni suara air laut! Tandanya, kalau tangan kanan ada di arah suara air-laut, pasti muka menghadap ke barat, dan dengan demikian berarti dia sudah mengikuti arah yang benar. Entah berapa jauh jarak yang dia tempuh, ma- lam pun tiba. Besoknya pagi- pagi bangun. Matahari dirasa- kannya terbit dari selatan. Teta- pi makhluk penghuni hutan ini sadar, bahwa matahari "pasti" terbit dari timur dan arah yang bertentangan pasti Barat!. Sekarang sudah tanggal 23 Juli 1946. Ketut Wedha berjal- an lagi mengikuti arah jalannya matahari. Suara air laut tidak terdengar lagi. Berarti dia ber- ada keliwat jauh di selatan. Te- tapi tak apa. Toh sudah ada "matahari" sebagai pedoman. Kalau matahari berada di atas kepala, terpaksa dia mengaso. Dalam keadaan mengaso inilah baru perut merasa lapar. Mulut merasa haus. Tetapi mau apa? Di mana makanan mau dicari? Karaben ditembakkannya seka- li. Tiba-tiba terdengar gema bermacam-macam suara satwa yang menjadi penghuni hutan ini. Barangkali mereka semua kaget karena baru sekali ini mendengar bunyi aneh dan se- keras itu. Sesudah itu dia terti- dur, beralaskan daun-daun ke- TIMA DEWAdis Lebih baik belanja di Tiara Dewata C 791 Bali Post ring, sungguh, lelap sekali. Ke- mudian bangun, matahari su- dah condong ke barat. Sekarang berjalan menentang letaknya matahari. Sampai di suatu tempat, di muka terdapat hutan rotan yang teramat tebal, memanjang dari utara ke selat- an. Di sini juga ada banyak se- kali semak-semak "ketket" yang berduri tajam. Hal ini mengingatkannya hutan rotan dan ketket di Nusamara! Ter- paksa jalan dibelokkan ke selat- an mencari batas di mana hutan rotan itu berakhir. Cukup jauh. Suara air laut benar-benar su- dah tidak terdengar lagi. Seka- rang tanggal 24 Juli 1946. Mata- hari dirasakannya terbit di uta- ra. Seperti kemarin, dia pun mengikuti arah matahari ber- jalan. Jika matahari di atas kepala dia istirahat dan menembakkan ka- raben sekali lagi. Kini pun ter- dengar suara yang riuh-rendah dari bermacam-macam bina- tang hutan serta burung-burung berterbangan kian-ke mari se- raya menyuarakan nada-nada ketakutan. Dia terus berjalan, tidak. menghiraukan semua itu! Be- soknya tanggal 25 Juli 1946, su- dah menginjak hari ke-3. Hari ini rasa lapar seperti tak terta- hankan lagi. Bibir sangat kering dan sudah pecah-pecah. Tiba- tiba di suatu lembah yang tidak dalam terlihat umbi-umbian yang rupanya baru saja dima- kan binatang. Kelihatan isinya kekuning-kuningan. Serta-merta dituruninya lem- bah itu dan tak berpikir pan- jang, umbi yang sudah digeng- gamnya dimasukkan ke mulut dan dikunyahnya. Tetapi astaga.......! Mulutnya se- ketika gatal bukan main, bibir terasa tebal, seperti dirubung ratusan semut. Dia pun naik lagi "ngeregah" (dengan cara me- rangkak). Sampai di atas, dia terhenyak duduk, napasnya kembang-kempis. Kemudian di tempat lain me- nemui pohon "jaka" (enau) kecil-kecil. yang (Menurut pengalaman di hutan Bali, po- hon jaka ini kalau dicabut, pada batang bagian bawahnya terda- pat yang di Bali disebut "em- pol". Ini bisa dimakan dalam keadaan mentah, enak dan ma- nis rasanya). Dicobanya pohon jaka itu dicabut, namun tak ter- cabut, malah dia yang jatuh ter- duduk. Hal ini membikin dia sa- dar, bahwa tenaganya sudah ha- bis. Apa hendak dikata. Kepada siapa harus minta tolong? Seki- las terlintas dalam hatinya sua- tu bisikan-gaib, menyuruh dia memberikan kepada siapa saja orang yang ditemuinya di hutan ini, baju yang sedang dipakai- nya. Dia berjanji memenuhi bisikan-gaib itu. Kemudian ber- jalan, entah ke mana, sudah ti- dak perdulu lagi. Arah pun ti- Monolog nikmati pementasan monolog. Sebab dalam monolog akan se- makin dikaburkan peran-peran yang akan dimainkan oleh pe- main. Dalam monolog "BOS" seorang pemain berperan seba- gai pelayan, tiba-tiba ia juga memerankan sebagai bos tanpa harus mengganti kostum. Mono- log yang dipentaskan tentang batas-batas itu tidak perlu jelas, berbeda halnya dengan lawa- kan tunggal si Dorce tempo hari di televisi. Yang penting dalam monolog bukanlah perubahan peran secara lahiriah, tapi saya pikir adalah rentetan dialog yang mewakili peran dan diser- tai dengan perubahan warna suara untuk membangun keu- tuhan sebuah cerita monolog. Sama halnya dengan pantomin Karya garan hidup pada mereka, baik yang bersifat moril, terutama, yang bersifat material. Dalam segi material agaknya bukan ra- hasia lagi bahwa di tanah air ki- ta ini masih sangat jarang se- niman dapat "hidup" dari hasil karya-karya seninya. Hal ini pernah disinggung oleh drama- wan dan penyair Rendra dalam pidato kebudayaannya, berduet dengan budayawan Umar Kayam, tanggal 17 dan 18 Agus- tus tahun lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pada zaman ini, menurut Rendra, tantangan mencari nafkah sungguh sulit dijawab oleh para penari, dramawan, dan penyair. Sebab, kata Rendra, tari, puisi dan dra- ma, dalam zaman modern ini su- dah berkurang fungsi riilnya. Tapi, seniman yang sulit menca- ri nafkah, seperti diungkapkan si "Burung Merak" itu, sebenar- nya masih bisa ditambah de ngan pelukis, pematung, peng- erawit, dan pengarang. Sponsor Seniman memang perlu di- Perjalanan mengherankan jika perusahaan Humas Carl Byoir dimana Ro- bert J. Wood adalah otaknya menjadi incaran dan rebutan para pelanggan. Kontrak kerja setahun sebesar $ 135.000 de- ngan perusahaan General Mo- tors hanya berlangsung selama empat bulan. Perusahaan mobil Ford menawarkan kontrak menggiurkan $ 500.000 seta- hun; dengan catatan, kontrak dengan dua perusahaan mobil lain, General Motors dan Alfa Romeo harus diputus. (hal. 16). Keberhasilan perusahaan Hu- mas Robert J. Wood sering men- jadi tumpuan bagi para klien yang terjepit mendekati ajal. Begitu besar kepercayaan klien, hingga kadangkala Wood dipaksa untuk membuat mukji- zat. Namun Wood selalu meng- atakan pada para pelanggan- nya: "Kami tidak bisa membuat mukjizat", Begitulah, dengan berat hati Wood menolak tawaran raja mi- dak tahu, karena daun-daun kayu hutan di atas kepala de- mikian tebalnya, sehingga sinar matahari tak mampu menem- busnya. Suasana di hutan men- jadi gelap. Dan terus berjalan. Daun-daun kayu di atas kepala semakin menipis, sudah mulai ada celah-celah di mana langit menampakkan dirinya. Makin lama semakin terang. Pikiran menjadi lega. Tiba-tiba dia di- kagetkan oleh suara yang berse- ru dari kejauhan: "lha, iku lho wong!". Ketut Wedha melihat dua orang rakyat (kampung) tetapi masih sedikit jauh. Siapakah yang dimaksudkan dengan seruan itu? Kalau dirinya, dari mana mereka bisa tahu bahwa dirinya ada di dalam hutan? De- mikian dia bertanya pada diri- nya sendiri. Tetapi dia tidak perduli. Dua orang itu didekati- nya. Sementara mereka pun mempercepat langkahnya. Dan setelah dekat salah seorang ber- tanya, "apakah bapak dari Ba- li?" "yal, kenapa bapak-bapak tahu?" "Dari dua orang teman bapak yang kemarin tiha di desa Te. galdelimo. Mereka mengabar- kan, bapak masih ada sendirian di dalam hutan dan oleh karena itu, Pak Lurah mengerahkan se- uruh penduduk masuk hutan mencari bapak!" "O ya, Saya bertirima kasih se- kali!" "Sebaiknya bapak makan dulu, ini kami bawa makanan!" "Ter- ima kasih, bapak-bapak!" sam- bil menikmati nasi yang diber- ikan oleh orang kampung itu. Tidak lebih dari tiga suap kecil yang masuk ke dalam perut, ter- asa sudah amat kenyang. Tetapi minumnya agak banyak. Sesuai dengan "bisikan-gaib" itu, baju- nya dibuka dan diberikan kepa- da orang kampung yang baik ha- ti itu. Sebentar mereka kelihat- an seperti kaget. Ini memang niat saya di dalam hutan ini. Ka- lau bapak-bapak sudi mene- rimanya, berarti bapak-bapak sekali lagi menolong saya untuk melunasi niat saya! "kata Ketut Wedha mengharap. Mereka pun menerimanya dengan senang hati baju kemeja bertangan panjang warna putih dari kain dril (belacu?) itu, dan langsung mengantarkan ke rumah Pak Lurah, yang memperkenalkan diri dengan nama "Prayitno". Ketut Wedha minta tolong un- tuk menghubungkannya ke Markas ALRI di Sukowidi. Sore hari sekira pukul 16.00 dia di- jemput oleh Pak Yacup. Setelah menyatakan terima kasih kepa- da Pak Lurah, dan melalui Pak Lurah, kepada rakyat yang te- lah bersusah payah masuk hutan. Demikianlah kami berangkat dan malam sampai di Ba- nyuwangi. (Ketut Wedha). (Sambungan hal IV) yang tidak perlu terlalu jelas bahwa pemain akan memeran- kan sebagai apa, tapi lewat gerakan-gerakan khaslah, ima- jinasi penonton digiring untuk memahami peran-peran yang dimaksud. PEMBUKA kedok monolog "BOS" berawal dari munculnya Alimin sebagai pelayan yang menelanjangi si iam dinding yang didengung- tua dengungkan mempunyai nilai sejarah lantas seenaknya ber- tindak, karena merasa dirinya sangat berjasa bagi hidup ini. Kedok ini mengingatkan kita pada peristiwa di lingkungan ki- ta tentang orang-orang yang berjasa atau orang-orang yang membuat sejarah, lalu mereka bertindak seenaknya karena (Sambungan Hal VIII) bantu. Jika cipta seni itu sudah kita sepakati memiliki arti pen- ting dalam kehidupan ini, sudah sewajarnyalah para seniman itu disokong secara material. Kalau belum mampu membantu kebu- tuhan hidup kesehariannya, mensponsori mengwujudkan gagasan seninya pun tentu su- dah merupakan langkah yang konstruktif. Pada zaman sekarang, untuk membuat suatu garapan seni atau untuk mewujudkan gagas- an estetik seorang seniman, membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit. Banyak se- niman yang memiliki ke- mampuan dan gagasan yang be- sar, kandas sebelum melangkah karena tiadanya uang untuk mendukungnya. Potensi yang dimilikinya jadi menguap seca- ra sia-sia. Modal semangat saja memang tidak cukup untuk me- macu kreativitas dan mewujud- kan gagasan seorang seniman. Sebenarnya peranan sponsor dalam membantu seniman da- lam mewujudkan suatu cipta se- ni sudah berlangsung sejak zaman dulu. Dukungan materal nyak Aristole Onassis yang se- dang mempunyai masalah hu- bungan masyarakat di New Hampshire. Rencana Onassis untuk membangun pabrik peng- olahan minyak di daerah itu mendapat reaksi keras dari publik. Robert J. Wood diberi waktu dua hari untuk meng- ubah opini publik. Pekerjaan yang mustahil, dan Wood meno- laknya. "Saya sudah bisa menerima tugas berat dan tantangan yang jujur, sebagaimana harus di- lakukan semua profesional Hu- mas. Tetapi saya tidak pernah menawarkan untuk membuat mukjizat. (hal. 90). Kepingan COME GELED Keagungan Pura dalam Brosur Hotel janganlah kau mengangkat yang bukan persoalan sebetulnya." Menurut Mencrut, kehidupan ini jauh lebih sadis dari sekadar pemasangan gambar yang ada dalam brosur. Dura Uluwatu ketika senja. Meru tumpang lima laut sebagian juga tampak hitam, sebagian lagi tam- pak kuning keemasan ditimpa cahaya surya. Di atas, bola dunia tampak putih dikitart awan kuning. Manis sekali foto siluet Pura Uluwatu yang terletak di atas batu karang kokoh yang setiap detik dihantam gelom- bang Samudera Hindia. Dalam sebuah brosur, foto itu menjadi ilustrasi dasar. Di sebelah kirinya, seikat anggrek pink dan kuning tertempel manis. Di bagian atas -- tepat di samping ujung meru-- seorang pelayan hotel memba- wa tampan berpose di depan kamar hotel. Di atasnya lagi, membentang foto kolam renang yang di tepinya tampak seorang turis tergolek dengan pakaian re- nang. Tentu saja, kedua pahanya yang mulus tampak terjulur di atas selembar handuk berwarna kuning. Di sebuah brosur yang lain, terpasang sebagai ilus- trasi visual Pura Tanah Lot yang agung dan anggun. Langit di belakangnya merah bagaikan terbakar mentari sore. Putih perak buih ombak berkeliaran, membuat para penyungsung pura berpakaian adat mengangkat sedikit kainnya agar tak tersapu air. Ma- nis sekali sudut pengambilan (angle) perangai Pura Tanah Lot itu. Akan tetapi, di sebelah kanannya agak ke bawah, tampak foto dua turis berpose bagaikan orang kasmaran: si bule laki bercelana kain poleng dan ikat pinggang merah memeluk pinggang si bule cewek yang badan bagian atasnya telanjang (kecuali BH yang menutup gegunungannya). "Apa arti kedua brosur itu? Apa yang harus diper- soalkan? Keindahannya? Pak Sanglir jangan ma- cam-macamlah," ujar Mencrut. "Lihatlah ini. Tepat di atas meru kok ada peman- dangan kolam renang dengan bule berbusana minim. Ini kan ciri kita tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya yang tepat," ujar Sanglir. Sejak da- hulu sebetulnya sopir taksi gelap ini ingin memperca- kapkan soal brosur-brosur yang tidak mempertim- bangkan banyak faktor dalam pemasangan gambar, dalam pemilihan gambar, dan dalam penggunaan gambar, "Masak gambar Pura Uluwatu dan Pura Tanah Lot didekatkan dengan foto pose orang berpa- kaian tak lengkap. Ini 'kan bisa digolongkan pence- maran tempat suci," ujar Sanglir, ayah dua anak yang gemar memperhatikan hal-hal kecil tetapi penting. "Itu 'kan cuma gambar. Bagus 'kan gambar itu. dipasang? Promosi gratis. Brosur ini beredar ke luar negeri. Banyak yang tahu jadinya kita mempunyai pulau yg indah, beribu pura, Island of God, begitu orang bilang, sanggah Mencrut. Meskipun sering bercakap-cakap tentang banyak hal penting dan tidak penting, persoalan ini menjadi menarik bagi kedua sopir taksi gelap itu. Sanglir ber- usaha mempengaruhi pikiran karibnya itu bahwa pe- masangan gambar yang tidak tepat bisa melahirkan penafsiran yang merugikan. "Banyak brosur yang bagus tanpa harus mengorbankan wajah pura-pura kita. Apakah harus sebuah brosur berisi Pura Besa- kih, apakah harus memasang Pura Tanah Lot? Ke- napa tak cukup memasang teras sawah yang indah? Kenapa tak cukup memasang monyet Sangeh bercan- da?" sergah Sanglir. Mencrut tampaknya tidak mau kalah. Baginya, Sanglir terlalu mengada-ada. Baginya, Sanglir terlalu mencari-cari persoalan. "Pak Sanglir," kata Men- crut," banyak persoalan yang ada di muka bumi ini, mereka merasa jasanya tak ter- nilai bagi kelangsungan hidup ini. KEDOK Bos dibuka lebar- lebar lantaran rasa irinya pada pelayan yang justru lebih ber- hak disebut manusia sejati. Meskipun pelayan mengalami keadaan terjepit dan serba ku- rang, ia masih bisa menciptakan lelucon, juga tanggung jawab yang tidak seberapa, serta kesa- lahan yang dibuatnya mudah sa- ja dimaafkan. Sedangkan Bos yang nampaknya berkharisma dengan hidup yang serba berke- cukupan, sebenarnya Bos ba- nyak menyimpan ilusi buruk se- bagai ancaman yang bisa da- tang dengan tiba-tiba bahkan mungkin dapat membunuhnya. Bos selalu harus curiga terha- dap peristiwa-peristiwa yang ada di luar dirinya. Bos meme- gang tanggung jawab yang be- sar yang terkadang harus berpi- kepada seniman sudah sempat mentradisi. Tradisi seperti itu sudah banyak melahirkan ka- rya-karya seni adi luhung. Pengertian penyandang dana dalam dunia seni tidak sesempit sponsor dalam dunia niaga yang lebih menekankan segi untung- rugi saja. Penyedia dana dalam dunia seni ada yang disebut de- ngan impresario. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) is- tilah itu berarti pengusaha, sponsor (pemimpin hiburan, se- perti film, sandiwara, pertunju- kan musik). Selain itu ada isti- lah maesenas. Juga menurut KBBI, maesenas berarti orang kaya pendukung kebudayaan, pelindung seni dan seniman. Pa- da hakikatnya kedua istilah sponsor dalam dunia seni itu, pengertiannya tidak jauh ber- beda. Impresario lebih meng- esankan profesional dan lebih "terlibat" ke dalam seni yang dibiayainya. Sedangkan maese- nas lebih memiliki kesan idealis dan hanya berpartisipasi secara pasif. Namun baik yang nama- nya impresario maupun maese- nas adalah sama-sama diperlu- kan dalam menggairahkan ke giatan seni. Kedermawanan dan perlin- (Sambungan Hal VI) fungsi mengedit press release, ar- tikel, naskah pidato, dan semua bahan tertulis untuk pers serta menghindari "omongan Hu- mas"; yaitu jenis bahasa yang sangat tidak menarik dan di- benci oleh semua orang pers. Sejak keluarnya Wood, per- usahaan tersebut menempat- kan orang-orang yang kurang profesional dengan mengirim- kan naskah penuh "omongan Humas". Maka orang akan me- nemukan kata "utilisasi opti- mal" dan bukannya "pengguna- an terbaik", sebab itu kede- ngaran lebih mentereng. Dalam omongan Humas, orang tidak pernah "menduga", mereka se- lalu "membuat estimasi"; sebab kedengaran lebih hebat. Jenis bahasa semacam itu tampak pe- nuh kecongkakan dan sok in- telek Karir Robert J. Wood sebagai petugas Humas yang mumpuni berakhir pada pertengahan ta- hun 1984, disusul kemudian de- Lantas penyebab kedua ke- ngan matinya perusahaan Carl hancuran perusahaan Humas Byoir pada bulan Agustus 1986. itu adalah dicaploknya Carl Berawal tatkala boss perusa- Byoir & Associates oleh per- haannya menghapuskan copy usahaan Humas yang lebih be- desk Robert J. Wood yang ber- sar, Hill & Knowlton, seharga $ "Kita harus menghargai tepat suci kita. Perlu sege- ra dipikirkan aturan bagaimana orang-orang bisa memanfaatkan dengan tepat objek wisata yang ada. Waktu ini tokoh-tokoh umat Hindu kita 'kan kabar- nya protes terhadap perusahaan rokok yang meng- gunakan foto Tanah Lot untuk iklan rokok. Dalam sebuah koran-koranan saya juga lihat Pura Tanah Lot dijadikan visual iklan credit card. Apakah pema- kaian kedua gambar tempat suci itu tepat? Ada juga hotel besar di Nusa Dua yang menstilisasi potret Pura Ulun Danu sebagai logo hotelnya. Apakah juga te- pat? Ini yang saya persoalkan!" kata Sanglir. Untuk meyakinkan Mencrut, Sanglir terpaksa mengeluarkan banyak data seperti itu tadi. Kalau objek-objek kultural, objek-objek spiritual diman- faatkan untuk kepentingan yang bisa menguntung- kan, apakah tidak perlu dipikirkan bagaimana agar yang dimanfaatkan itu juga mendapat percikan keun- tungan! Menurut Sanglir, kalau kita sudah terbuka membebaskan apa yang kita miliki untuk kepenting- an kepariwisataan dan bisnis lainnya, mengapa kita malu-malu meminta keuntungan? Kalau kita tidak mau mengkomersialkan objek kultural kita secar keliru, mengapa kita tidak cabut saja iklan rokok yang memanfaatkan Pura Tanah Lot itu? "Kemarin saya lewat di depan sebuah restoran di Jl. Teuku Umar. Di sana masih terpampang iklan rokok de- ngan background Pura Tanah Lot. Kok tak ada lang- kah apa-apa?" ujar Sanglir. "Maksud Pak Sanglir, kita harus ikut mencari keuntungan?" tanya Mencrut. Belum sempat Sanglir menjawab, Mencrut berkata lagi," Kalau begitu, ba- gaimana cara kita menuntut?" "Jangan mau kalah sama Rebecca Gilling. Wajah- nya dipotret untuk iklan sabun mandi, dia tentu di- bayar. Jutaan rupiah lagi. Dikontrak dalam waktu tertentu. Pembuat iklan tak boleh main sembarangan. Harus bayar! Kenapa pura kita dipakai dia tidak bayar? Soalnya hanya dua: kita minta bayaran seperti Rebecca Gilling atau kita larang menggunakan gam- bar pura kita?" cetus Sanglir. Mencrut yang berotak batu, tampaknya tidak paham-paham dengan kata- kata kawannya itu. "Oh, jangan begitu. Saya paham sekarang. Tetapi, ada satu soal lain lagi. Apakah pemakai gambar Pura Besakih, Uluwatu, Tanah Lot, Ulun Danu dalam brosur juga harus dimintai bayaran? Pembuat pos- tcard apakah juga harus dimintai bayaran?" Menja- wab Sanglir," Itu kasusnya lain. Kalau postcard itu promosi murni. Objek kita dibuat, dicetak bagus, dijual, bukan untuk kepentingan barang tertentu. Tak usah ditagihi uang. Kalau gambar-gambar pura agung di dalam brosur pun kita tidak punguti uang. Cuma, kalau bisa, ya...pasang gambar tempat suci diatur sedikit. Jangan dekatkan dengan foto peman- dangan bule berbikini. Hidup ini pelik. Jangan diper- pelik lewat selebaran pariwisata yang beredar ke selu- ruh penjuru!" Lama Mencrut tak bertanya lagi. Matanya mena- tap brosur hotel bergambarkan Pura Uluwatu yang ditindih gambar pemandangan kolam renang dengan cewek bule tergolek penuh nafsu. Matanya menatap brosur hotel yang bergambar Pura Tanah Lot ber- dampingan dengan foto dua bule berangkulan di pan- tai! (W). kir ganda, dan Bos harus tetap Bos. Bos harus kelihatan kuat, teguh, dan tidak boleh gagal da lam setiap tindakan, sehingga mau tak mau Bos mesti bertin- dak sewenang-wenang. Kesewe- nangan puncak yang dilakukan Bos dalam monolog ini adalah ia harus memusnahkan rumah- rumah petak termasuk memba- kar rumah pelayannya sendiri, sebab di lokasi itu akan diba- ngun pertokoan. MINGGU, 20 MEI 1990 BOS membongkar semua ke dok kejahatannya lantaran rasa irinya yang hebat terhadap ke- rinduannya menjadi manusia semacam Alimin. Ia menyadari bahwa banyak tindakannya bu- kan atas kemauan dirinya sen- diri. Orang lainlah yang menun- tut, memperbudak, dan ia ha- nya robot yang digerakkan oleh orang lain. Kontroversial selalu terjadi dalam batinnya hingga puncak kesadaran, Bos melaku- dungan terhadap kehidupan ke- senian, seperti sudah dising- gung di atas, sudah ada sejak dulu yaitu sudah mentradisi pa- da beberapa abad sebelum ta- hun Masehi pada zaman kekai- saran Romawi kuno. Seperti kita ketahui, pada waktu kerajaan masih berjaya, pusat-pusat dinamik promosi seni dan seniman adalah berki- sar di sekitar raja, kaum aristo- krasi, dan kaum agamawan. Struktur sosial pada waktu itu memungkinkan hal-hal itu. Menurut Prof. Dr. Umar Kayam, keputusan-keputusan terpenting yang mengatur kehi- dupan negara, masyarakat dan orang-seorang diputuskan di ka- langan-kalangan itu. Begitu pu- la dengan kekuasaan dan ke- kayaan dibagikan dan dikem- bangkan. oleh kalangan kalangan itu. Maka tidak meng- herankan bila maesenas- maesenas itu terutama terdapat di kalangan-kalangan itu. Di is- tana-istana raja, bangsawan, dan kaum agamawan, juga di gereja-gereja berbagai hasil ke- senian diperkenalkan, dipamer kan, didengarkan, dibeli, di- simpan. Di tempat-tempat itu pula seniman-seniman diperke- Bagi mahasiswa yang mena- ruh minat pada masalah-masa- lah hubungan masyarakat, bu- ku ini dapat memberi penuntun jalan bagi berbagai teori ilmu komunikasi. Sedang bagi prak- tisi Humas dan orang-orang bis- nis, pengalaman Robert J. Wood ini dapat dipakai sebagai tambahan kiat di tengah musim go public dan konglomerat. (Chusmeru). kan pemberontakan. Ia membe- berkan semua kejahatan yang pernah dilakukannya. Ia buka semua topeng yang selama ini dipakainya meskipun dengan susah payah lantaran topeng- topeng itu sudah merenggut se- bagian dari tubuhnya. Topeng- topeng itu sudah menjadi lintah yang juga mengisap darahnya. BOS ingin meninggalkan se- mua kebohongan itu. Bos bukan manusia lagi tapi mayat dengan prilaku binatang. Dalam keada- an goncangan batin yang me muncak Bos pergi melepaskan segala tanggung jawabnya. Pelayan yang menjadi tumpu- an iri oleh Bos ternyata juga tak terlepas dari kedok yang harus dibuka. Pelayan yang diam- diam memanfaatkansituasi yang baik untuk mengangkat derajatnya.Ia melepaskan atri- butnya sebagai pelayan dan ia (Bersambung ke Hal XI kol 6) nalkan, dipuji, dicaci, didorong, dihadiahi dan dihukum. (Seni, Tradisi, Masyarakat, 1981). Namun ketika pamor pe- kerjaan makin luntur, begitu ju- ga kekayaannya kian menipis, pusat kesenian melebar dan le- bih bersifat umum. Para maese- nas pun tidak lagi berasal dari kalangan istana, namun kaum penguasa dari kalangan umum. Dan ketika kesenian mulai di- kembangkan secara formal dan lebih melembaga, para maese- nas pun tidak lagi bersifat per- sonal tapi disalurkan lewat ta- ngan yayasan-yayasan yang di- sokong oleh kaum kelas baru yang berkuasa itu. Begitulah perkembangan se- kilas kedermawanan dan per- lindungan terhadap seni dan se- niman. Tapi bagaimana pun wa- jah maesenas itu yang harus ada kualifikasi pada sponsor seni dan seniman itu yakni ada- nya unsur kecintaan terhadap seniman dan kreasi seni. Dan di- tambah memiliki kemampuan, baik uang, posisi, dan fasilitas. Kebiasaan melindungi dan memelihara karya seni di tanah air kita sebenarnya sudah per- nah mentradisi di masa lalu. Se- perti misalnya kedermawanan dan perlindungan seni dan se- 12 juta. Dengan demikian, per- Jawa. Sulit membayangkan ke niman di lingkungan keraton di usahaan tempat Robert J. Wood mengabdi lenyap begitu saja nilai seninya, seperti wayang senian Jawa yang begitu tinggi dari eksistensi sebagai sebuah kulit misalnya, tanpa patronisa- entitas yang terpisah. (hal. 130). Namun demikian Wood mera- sa optimis dengan masa depan hubungan masyarakat, Jack O'Dwyer, penerbit buletin Hu- mas terkemuka memperkira- kan sekitar 300.000 pria dan wa- nita menggeluti profesi Humas pada zaman sekarang. Dengan mantap, Wood menegaskan: "Sungguh, saya merasa tidak- lah membesar-besarkan untuk mengatakan bahwa ledakan Humas yang dimulai sejak akhir tahun 1970-an, sedang berlangsung sekarang". (hal. 123). si pihak keraton. Begitu juga di Bali. Menurut Dr. I Made Ban- dem dalam bukunya, Etnologi Tari, antara abad ke-16 s.d. 19 yaitu pada masa jayanya ke- rajaan Bali dengan raja-raja se- perti Dalem Waturenggong (1460-1550), Dalem Bekung (1550-1580), Dalem Sagening (1580-1665), Dalem Dimade (165-1686) dan seterusnya ke- senian Bali mendapai puncak keemasannya yaitu dengan ter- ciptanya tari-tarian seperti gam- buh, topeng, wayang wong, parwa, arja, legong kraton, dan seni kla- sik lainnya. Keberadaan seni pertunju- kan Bali yang umumnya masih berkembang baik hingga kini, adalah berasal dari kederma- wanan dan perlindungan terha- dap seni dan seniman ketika struktur sosial budaya ma- syarakat kita bersifat "istana sentris". Puri jadi pusat keseni- an. (Bersambung Minggu Depan). MINGGU, 20 MEI 1990 Gen M alam bulan mati. Udara ce gemerlap memberi warna pa an laut. Rombongan turis turun laut naik glass bottom boat bua alam bawah laut. Gulung gelombang menghambat laju boat. Ketika masuk nang, semua mata terpaku pada kei dan fauna lewat kaca yang terpasang perahu. Tiba-tiba juru mudi menunju tempat, dari mana tampak sinar bende sar laut. Perahu pun diarahkan ke pe "Aneh bin ajaib!" teriak Tanuka me nyian karena semua penumpang sepe menyaksikan pemandangan bawah kedalaman sekitar 35 meter. "Aku juga seperti bermimpi! Tidak m mahal untuk tour ini, lho!" sahut Ch seperti berbisik. "Haayaa! Gua juga helan, sebab pemandangan sepelti ini cuma bisa d ma, tempat makan shiobak, bakmie, b haaayaa!" ujar Li Swie Liem dengar keras. "Tuan-tuan dan nyonya-nyonya tak Inilah Bali yang juga sering disebut dengan sejuta keajaiban. Misteri ini m Belanda harus berkali-kali datang untu Bali, namun gagal. Pulau ini baru bisa lah terjadi pengkhianatan oleh bangs nyak darah bangsa kami tumpah lewa dung, Jagaraga, Klungkung sejak 19 mikian pula puputan Margarana setela Mereka rela mati agar bumi ini tak nyatanya? Kini timbul penjajahan dala "ujar Made Rubag, yang malam itu guide marine sport dan wisata bahari "Anda tidak usah bicara soal sejara da zaman perang saya juga tugas di Selain kena samurai, banyak pula gugur sebagai romusha. Mewakili saya minta maaf. Tetapi saya sedik alasan Anda mengatakan kini ada pe lam bentuk lain? Saya lihat bangsa A nya orang Bali sekarang hidup serba b Kendaraan berseliweran di jalan, nya kepadatan lalu-lintas di beberapa kota kami. Saya malah merasa berada kalau berada di jalan raya, karena di s pir semua kendaraan produk negeri ka an-papan reklame yang bergelayut s sarkan produk kami. Demikian pula bingar musik yang keluar dari masing mengingatkan saya pada keramaian pongi dan Ginza Dori. Malah di sini, radio dan tape, beli mobil pun orang n beli pisang goreng. Bukankah ini ciri-c an yang berlimpah?" tanya Wakaba Pernah "Waktu itu anggota asosiasi seki- tar 22 orang pengusaha. Jumlah anggota asosiasi memang jauh lebih sedikit dibandingkan sekarang. Akan tetapi itu bukan berarti para pengusaha dapat menjalankan per- usahaannya dengan mulus," sam- bung Winarno, salah seorang pani- tia Seminar Kelirumologi Wanita yang diselenggarakan Rotary Club di Percot Minggu ini (20/5). "Waktu itu untuk perusahaan ek- spedisi seperti saya ini terlalu ba- nyak kena pungutan. Ya pungutan macam-macamlah," jelas Winarno tetapi tidak memerinci jenis pungut- an itu. "Ya pungutan untuk keper- luan operasionalnya," tambahnya, sambil melanjutkan akibat terlalu Hari Ini 1611 Garnizun Denpasar. Lebih kurang dua tahun kemudian yakni tahun 1988 ia dipindah- kan ke Kodam IX/Udayana se- bagai Perwira Bantuan Madya Staf Operasi. Jabatan Berikut- nya Komandan Yonif 741 di Si- ngaraja tahun 1988-1989 dan se- belum dilantik menjadi Bupati Alit Putra menjabat Kepala Seksi Teritorial di Korem Timor Timur sejak tahun 1989. Di samping di Timtim, Alit Putra juga pernah bergabung dalam kegiatan operasi di Kali- PERSEDIAAN DARAH Persediaan darah, Minggu 20 Mei menunjukkan, rhesus posi- tif A 2, B3, 02, AB 4. Sedang- kan rhesus negatif 0 4 yang lain nihil. Hubungi PUTD PMI Badung d.a. RSUP Denpasar, telepon 27224 dan 27912 (4 saluran) pesawat 48. DOKTER DAN APOTEK JAGA Minggu, 20 Mei 1990 Dokter Nyoman Kadi, Jl. Nusa Indah Denpasar (praktek) Dokter Made Dianthi, Jl. Dipo- negoro 65 (praktek) Dokter Conny Pangkahila, Jl. Pasar Seni Sanur (praktek) Apotek Sidi Waras, Jl. Sulawesi 112 (telepon-) Apotek Suli Farma, Jl. Suli No.8 (telepon-) Mengucap Bap Bapak Se