Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1994-01-16
Halaman: 06

Konten


2cm HALAMAN 6 21 JIM ZAMORAM A MUMOM MAR TIN 94 Antara Dua Warna Cerpen Budi Rahayu BIBIR Dewi bergetar hebat, menatap seraut wajah tegas di depannya. Lelaki setengah baya itu adalah bapaknya, dan kini le- laki itu menatap wajah Dewi de- ngan tatapan yang membuat ku- duk Dewi merinding. Baru saja Correial bibir laki-laki itu mengucapkan ultimatum yang dirasakan Dewi teramat pahit. Teramat pahit bagi perjalanan hidupnya. "Bapak tidak setuju kau pa- caran dengan Han!" Masih ter- ngiang dengan jelas di telinga Bali Post/ist Dewi bagaimana bapaknya mengucapkan kata-kata itu de- ngan suara menggelegar. "Kenapa, Pak? Han anak baik. Dia pintar dan mau mengerti hati Dewi!" bela Dewi tak terima. "Karena dia bukan orang Jawa, Dewi! Dia bukan orang pribumi! Bapak tidak mau darah keturunan Bapak tercampur oleh darah non-pribumi!" "Itu pemikiran kuno, Pak! Se- karang bukan zamannya lagi. Toh kita sama-sama manusia, Pak! Hanya warna kulit saja yang membedakan kita. Kulit Han lebih putih dari kulit kita. Selebihnya kita sama. Dan Han sudah berbaur dengan pribumi: Han tak pernah mempermasa- lahkan darah apa yang sekarang mengalir dalam tubuhnya!" "Pokoknya Bapak tetap tidak setuju! Titik!" Bapak tetap bersikeras. Dewi menatap wajah bapak- nya dengan sedih. Dia betul- betul putus asa. Seumur hidup dia tidak pernah merasa sakit hati seperti ini. Selama ini dia mengenal bapaknya sebagai orang yang sabar, mau mengerti keinginan anaknya. Tapi meng- apa kini lain? Bapak begitu membenci Han, setelah tahu bahwa Han bukan orang asli pribumi. Ya Tuhan, andaikata Ibu ma- sih ada, tentu dia akan membela- nya. Ibu jarang sekali menuruti perasaannya. Ibu selalu berada di atas alam yang realistis. Betul-betul seorang ibu yang baik. Sekarang dia telah tiada. Gadis itu tak tahu pada siapa dia harus menumpahkan perasaannya. Dewi menatap foto Han yang sedang memeluknya dengan se- dih. Dalam foto itu Han sedang tertawa lucu, memamerkan se- deretan giginya yang putih. Se- dang dirinya tampak teramat ba- hagia dalam dekapan cowok itu. Ditelusurinya gurat-gurat yang ada pada wajah Han. Me- mang, wajah itu tampak kalau Han bukan sebagai orang pri- bumi, namun wajah itu telah ber- ubah sama seperti anak-anak Jawa yang lain. Kulitnya pun ke- coklatan, meskipun lebih terang dibanding dengan orang-orang Jawa. Mata Han memang agak sipit, tapi mata itu kan tertutup oleh kacamata minusnya. Pokok nya Dewi tak menemukan perbe- daan yang menonjol dalam segi fisik. Dan satu lagi, Dewi teramat mencintainya. Sebaliknya Han pun teramat mencintainya. Dewi tak meragukan hal itu. Selama ini dia tak pernah mempermasa lahkan mengapa kulit Han pu- tih, mata sipit, tidak lebar se- perti cowok-cowok lainnya. Atau menanyakan dari mana asal ne- nek moyangnya. Dewi tak peduli. Tapi Bapak? Mengapa Bapak teramat mempermasalahkan- nya? Mengapa Bapak menolak keberadaan Han? Mengapa Ba- pak masih membedakan bangsa? Dewi tahu Bapak orangnya me- miliki wawasan yang luas. Tapi mengapa tentang pacar anak ga- disnya yang bukan pribumi Ba- pak menolaknya mentah- mentah? Toh Bapak telah meng- enal Han dengan baik. Bahkan Bapak dulu pernah bilang kalau dia juga menyukai Han. Ah... Han, mengapa harus ada kendala ini? Dewi menangis sedih. Dibiarkannya air mata meleleh di kedua pipinya yang putih, lalu turun melewati dagu- nya yang runcing dan akhirnya jatuh dengan sia-sia di permu- kaan bantal membentuk lingkaran-lingkaran basah yang kian melebar. *** Han menatap permukaan wa- Bali Post teramat sipit di matanya kini? Dewi tak beraksi. Ekspresi wajahnya tetap datar, tak me- nyíratkan apa-apa. Perlahan-lahan dahi Han ber- kerut wajah gadisnya tanpa eks- presi sama sekali. Hal ini jarang sekali terjadi, biasanya Dewi akan tersenyum malu bila Han menatapnya seperti itu. Tapi kali ini? Ada apakah gerangan? Batin Han. Dia mulai mencium ada hal yang dihadapi Dewi. "Ada apa Dewi? Ada yang nggak beres?" Han memegang kedua bahu gadisnya dengan sayang, lalu mengajaknya duduk di kursi beton di depan perpusta- kaan kampusnya. Ditanya seperti itu Dewi bu- kannya menjawab, malah kedua bola matanya mulai digenangi air. Dia tetap diam mematung. Bibirnya tetap tak mau terbuka. "Dewi?" Han mulai kebi- ngungan. Dia tahu Dewi bukan gadis cengeng. Dia tahu seka- rang ini Dewi sedang mengalami sesuatu yang teramat menggon- cangkan jiwanya. Han tahu Dewi memiliki seorang bapak yang bi- jaksana, yang selalu terbuka pada anaknya. Mengapa menda- dak gadis ini berurai air mata? "Aku membuat kesalahan pa- damu Dewi?" Dewi menggeleng perlahan. Lemah dan tak berdaya. "Atau teman-temanmu?" Sekali lagi Dewi menggeleng. "Dengan Bapakmu?" Dewi diam tak bereaksi men- dengar pertanyaan Han. "Perkara akukah itu Dewi?" tanya Han sambil menghela na- fas panjang. Dewi tetap membisu. Pan- dangannya tetap menerawang jauh ke angkasa. Gadis itu mulai jah Dewi dengan sinar mata terisak. Dalam dekapan dada- sayang yang tak tersembunyi- nya yang bidang, Han membiar- kan. Wajah ayu Dewi pun ditelu- kan air mata Dewi merembes surinya dengan mata yang kini membasahi baju. "Saya tidak dirasa Dewi memang sipit. Su- mau berpisah denganmu, Han", dah beratus kali Dewi menatap gumam Dewi di sela isaknya. wajah Han bahkan memelototi "Tapi Bapak..." "Akhirnya semua itu harus matanya, tapi selama ini dia ti- dak pernah merasa kalau mata terjadi, Dewi". Han sipit. Mengapa mata itu jadi "Apa maksudmu, Han?" tanya Dewi sambil menatap lekat wa- jah tampan di depannya. "Dewi, aku akan menghadap Bapakmu", suara Han terdengar tegas. *** Minggu Kliwon, 16 Januari 1994 RESENSI BUKU Kebangkitan Hindu, Mengisi Gairah "Sudah kubilang, Bapak tak setuju kalau hubungan kalian di- Judul Buku teruskan. Mengapa kalian tetap Pengarang ngotot saja, he?" Lelaki setengah baya itu mendengus keras. "Kenapa Bapak membenci saya?" kata Han. "Karena saya bukan orang Jawa? Karena saya bukan orang pribumi?" "Jangan ikut campur!" bentak Bapak Dewi galak. "Yang bukan orang Jawa ada- lah nenek moyang saya, Pak! Se- lebihnya saya lahir dan besar di sini, di tanah Jawa. Dan saya su- dah menjadi orang Jawa. Saya bahkan tak tahu di mana tanah air saya selain Jawa ini. Sejak kecil saya..." "Diaaaam!" bentak Bapak ke- ras, membuat Han tak jadi mene- ruskan kalimatnya. Han masih berusaha menen- tang lelaki itu dengan sinar ma- tanya yang sipit. Wajah di dep- annya tampak memerah, sebe- lum kemudian berubah menjadi pucat. Sedetik kemudian tubuh itu limbung sambil tangannya berusaha menekan ujung ke- ningnya. Han melesat bangkit dari tempat duduknya, mencoba meraih tubuh yang kehilangan keseimbangan itu. Terlambat. Tubuh itu keburu meluncur ke lantai. Kepalanya membentur ujung meja sebelum akhirnya terjerembab ke lantai. Tangan lelaki setengah baya itu terasa dingin dalam geng- gaman Han. Cowok itu menekan pergelangan tangannya. Diam. Tak ada denyut di sana. Wajah Han berubah pucat. Ditatapnya Dewi yang mang Han mengge- ngan penuh harap. leng berat. Sedetik kemudian tu- buh Dewi menghambur meme- luk tubuh Bapaknya. Pameran Koleksi Neka di Singapura MUSEUM Neka, Ubud nafas- nya kian berhembus tak hanya di dalam negeri Indonesia, namun juga ke mancanegara. Lembaga swasta bidang seni lukis itu be- berapa kali mendapat keper- cayaan untuk menampilkan ko- leksinya di beberapa negara. Dan mulai 21 Januari ini Mu- seum Neka memajang 44 lukisan keleksinya di Museum Seni Na- sional Singapura. Dalam pa- meran yang berlangsung se- bulan itu selain diketengahkan 20 buah koleksi Museum Nasio- nal Singapura, juga disertakan 14 buah lukisan koleksi seorang kolektor seni Indonesia, Yusuf Wanandi. Lengkap Pande Wayan Suteja Neka, pendiri Museum Neka, Rabu (12/1) mengatakan, pihak Mu- seum Nasional Singapura meni- lai koleksi Museum Neka paling lengkap di Indonesia. Inilah yang melatarbelakangi kenapa Museum Neka diminta ikut am- bil bagian dalam pameran seni itu. Sementara itu Garret Kam ke- pameran tersebut ikut sebagai Neka, gelar seni lukis kali ini penyeleksi mengatakan, nama bertema khusus, yakni lukisan Museum Nasional Singapura yang berimajinasi Bali. Materi mulai menanjak di mata interna- pameran dipilih sedemikian sional. Maka dengan hadirnya rupa sehingga dapat memberi- Museum Neka di sana akan memberikan dampak positif ter- utama dalam hubungan lebih memperkenalkan kesenian In- donesia di mancanegara. Garret Kam yang berijazah bi- dang sejarah Asia Tenggara me- nambahkan, Singapura kini se- dang mencari identitas nasional nya. Dan pameran seni kali ini menurut Garret Kam yang su- dah lama tinggal di Bali, meru- pakan salah satu kiat pemerin- tah Singapura untuk mencapai tujuan tadi. Dari pameran ini di- harapkan ada acuan dan bahan banding dalam mencapai identi- tas nasional Singapura terutama dalam hal seni. India, Inggris, Melayu dan Cina Dikatakannya, kebudayaan kan gambaran mengenai upa- cara adat sampai pada gairah hi dup masyarakat Bali. Dalam hu- bungan ini tim penyeleksi telah memilih karya Nyoman Mandra, Meregeg, IB Rai, AA Gede So- brat, G.K.Kobot, Lesug, IB Made, IB Togog, Wija, Bendi, Lempad, Rai, Erawan, Atjin Tisna, Surita, Wardhana, Budiana, Pugur, Chakra, Tagen, Anton, Soebroto, Popo Iskandar, Affandi, Wi dayat, Sudjojono, Sudarso, Dul- lah, M Coverrubias, Hofker, Do- Penerbit : Kebangkitan Hindu Menjelang Abad Ke-21 : Putu Setia : Pustaka Manikgeni, 1993. BAGI banyak kalangan muda ke-21 dianggap sebagai situasi Hindu, kata kebangkitan meng- yang menantang dan berbeda de- andung arti yang dalam. Ini wa- ngan yang dialami umat manu- jar, karena pengalaman yang sia saat kini, maka dapatkah bergairah baru terasa bela- agama dipersiapkan untuk kangan ini. Agaknya Putu Setia memperkokoh landasan religio- dengan sadar mengangkat kata sitas umat menjelang abad ini menjadi judul bukunya, mes- ke-21? Pengarang sendiri tidak kipun mungkin ada sebagian mendeskripsikan apa yang orang yang tidak menyukai isti- mungkin diprediksi sebagai se- lah kebangkitan. "Sebaliknya, suatu yang dapat 'menakutkan' kata kebangkitan kurang tepat atau yang cenderung memero- digunakan dalam konteks sotkan nilai religiositas manusia agama Hindu, sebab agama seyo- abad ke-21, sehingga perlu dije- gyanya dibangkitkan oleh peme- lang secara agamis. luknya," tulis Putu Setia Tanpa memberi kesempatan lagi kepada pembaca untuk tidak mempercayai apakah Hindu benar-benar mengalami kebang kitan, pengarang segera saja menggelindingkan pandangan pandangannya tentang berbagai masalah yang dihadapi umat Hindu lewat 12 artikel, yang se- mula merupakan naskah yang pernah dimuat harian Bali Post dan naskah presentasi pada ber- bagai forum agama Hindu. Di angkatnya kembali semua arti- kel dan makalah itu dimaksud- kan untuk mengisi kegairahan dalam kesadaran religiositas, yang memang muncul ke permu- kaan belakangan ini. Dikatakannya bahwa kegai- rahan umat Hindu sedang ber- ada dalam berbagai bentuk: menjalankan ritualisasi keaga katakannya muncul atau ber- kembang) kesadaran bahwa ri- tual itu harus dekat dengan maan telah mulai ada (=tidak di- ajaran-ajaran Hindu yang tersu- lagi mengacu pada apa yang di- rat dalam Weda. Artinya, bukan wariskan tradisinya. Tanpa ha- rus menyebut apakah warisan (tradisi) itu selalu buruk, peng- arang mensinyalemen bahwa grafik yang belakangan semakin menaik dan berisi kegiatan ri- tualitas kalangan muda; dilihat- nya bahwa semula anak-anak adalah peserta yang pasif, kini berubah aktif. nald Friens, Lee Man Fong, Paul Nagano, Arie Smit, Rudolf Bon- net, dan karya pelukis Theo Tentu saja tidak seorang pun Meier. Sedangkan Museum Na- yang menolak pandangan bahwa sional Singapura juga mengete- abad 21 adalah terminus yang ngahkan koleksi karya pelukis harus disongsong umat manusia; dari Indonesia seperti Saptohu- saat ini peranan agama pun di- doyo, Mangku, Made Surita, pertanyakan. Apabila, abad Tjandra Kirana, Made Djirna, Bagong, Srihadi, dan IB Taman. Museum Neka sejak diresmi- kan 7 Juli 1982 sudah menggelar koleksinya khusus di luar negeri sebanyak empat kali yakni ta- hun 1988 di Hawaii, tahun 1990 di Sydney, 1990-1992 di Amerika Serikat, dan di Amsterdam ta- hun 1993. (Rit). Chang Fee Ming Merekam Objek "Sebagian" DI TENGAH koleksi seni iu- Wartika, penjaga galeri. Tulisan merupakan sasaran bahan ban- kis art-shop, studio seni lukis, media massa di Indonesia mau- ding bagi Singapura untuk me- galeri maupun museum seni lu- pun di Malaysia memiliki per- wujudkan identitas nasional kis di perkampungan seniman sepsi yang sama terhadap sang tersebut. lukis yang bernama Ubud (Bali) seniman ini, yakni pelukis de- pertengahan tahun ini terselip ngan karya rinci dan rumit. lukisan corak realis di dua tem- Upacara-Gairah Hidup SINGAPURA - Lukisan karya Miguel Covarrubias (1904-1957) lahiran Hawaii, 1954 yang dalam Menurut Pande Wayan Suteja yang ikut dipamerkan di Singapura. Dari Dunia Pewayangan Pandangan Mata Seorang Ibu yang Melumpuhkan DI siang hari itu, di medan perang Kuruksetra, Bhagawan Byasa terus memberi nasihat dan menghibur anak cucunya, yang sedang dilanda duka nes- tapa. Terutama kepada Ibu Suri, Gandhari Dewi, yang kehilangan keseratus putra-putranya dalam pertempuran yang hanya ber- langsung selama delapan belas hari. Seperti telah dikemukakan dalam kisah dunia pewayangan edisi minggu lalu, Bhagawan Abyasa menasihati Gandhari Dewi, bahwa dalam hidup dan kehidupan, adalah tidak patut untuk membiarkan hati dan pi- kiran selalu dikendalikan oleh kemarahan dan dendam di masa-masa lampau. Lama benar Gandhari Dewi merenungkan nasihat Bhagawan Abyasa yang sangat mendasarkan dan men- terbebas dari beban kemarahan Bali Post/NOS mengalami kegagalan diplo- masi. Oleh karena itu, maafkan- lah daku Ibu," demikian Bhima- sena mengakhiri kata-katanya Bamboo Gallery. Aneh dan boleh pat yakni di Museum Neka dan Inspirasi Bali Pelukis yang bernama Chang dibilang ajaib bahwa lukisan itu Fee Ming ini, terakhir di Treng- hanya menggambarkan "seba- gano, Malaysia pada 1959. Sejak gian" dari objeknya, dilukis me- beberapa tahun yang lalu kecan- nyerupai rekaman kamera foto. tol dengan Bali dan hampir se- Pada lukisan yang berjudul Ma- tiap tahun berkunjung ke Bali, lioboro (1990) seperti yang ter- hanya untuk mençari inspirasi. gantung di ruang koleksi Mu- Setiap mengunjungi Bali ia se- seum Neka, Ubud, misalnya, ter- lalu menggelandang ke tempat- lihat sebagian suasana di salah satu pojok Malioboro (Yogya- karta). Entah apa yang merupa- kan objek lukisan tersebut. Yang jelas, kain batik Jawa yang dipa- kai 4 orang selaku figur objek di- lukis persis sebagai aslinya. gawan yang tidak dapat diban- dan kewibawaannya, setelah tah itu. Memang Pandhawa ada- lah juga putra-putra anaknda. Anaknda sadar, bahwa Duryod- hana, Dussasana, Sakuni adalah tiga serangkai yang menjadi pada waktu itu. pangkal dan miang jelatang ke- hancuran dan kemusnahan para ksatya dan rakyat Bharata- warsa. Arjuna dan Bhimasena memang tak dapat dipersalah- kan. Benar pula seperti ajaran Bhagawan sendiri, yang pernah Bhagawan ajarkan kepada anak- nda sendiri, bahwa kebanggaan, itulah yang akhirnya patut di- umat Hindu di Bali. Tetapi objek seum. Chang Fee Ming ikut serta promosikan Bali lewat karya- tempat tertentu atau melihat ak- tivitas keagamaan dan segala- nya akan merupakan rekaman dalam perjalanannya dan selan jutnya akan menjadi objek lukis- annya. Ditemani istrinya, ketika ditemui di Ubud, ia mengaku baru datang dari suatu desa un- "Apa yang nanak Bhimasena kemukakan itu betul juga se- 56x76 cm dibuat dengan cat air, ben. Pada lukisan berukuran tuk menyaksikan upacara nga- muanya. Karena memang itulah berjudul Departure koleksi Bam- yang namanya dharma, dalam Konon, lukisan-lukisan karya artian yang luas. Memang seba- boo Gallery di Ubud misalnya, Chang Fee Ming sudah berte- gai ksatrya, kalau para diplo- ke Pura Sakenan saat Umanis mengambarkan keberangkatan baran di tempat-tempat kolektor matnya telah mengalami kega- Kuningan sebagai acara tetap kenamaan serta beberapa mu- galan, bahasa dan sikap ksatrya yang dituju seperti pantai, pura mendokumentasikan dan mem- Kesiapan PUTU SETIA KEBANGKITAN HINDU MENYONGSONG ABAD KE-21 Juga tanpa mengacu pada ru- musan permasalahan yang mampu menenggelamkan kema- kepada religiositas itu, memang nusiaan menjelang abad ke-21, dapat dilihat dari tiga aspek, buku ini pun lebih condong yang saling berkaitan, yakni per- mengingatkan kesiapan dalam tama pengalaman manusia da- menghadapi abad yang mence- lam bentuk pemikiran Kedua, maskan itu. Mengapa begitu? pengalaman agama dalam ben- Andaikata tidak tercantum kete- rangan "agak sulit juga meru- tuk perbuatan dan ketiga peng- muskan permasalahan yang di- alaman agama sebagai lembaga. hadapi umat Hindu menjelang buku ini agaknya lebih memberi abad ke-21" (halaman 1), maka pembaca mungkin dianggap te- tekanan pada pengalaman lah mengetahui rumusan masa agama sebagai lembaga yang lah umat Hindu menjelang abad hendak disongsongkan ke abad ke-21. Jika ini dianggap kesu- 21. litan, maka bukanlah kesulitan Bahasan-bahasan artikel dalam Pelembagaan Salah satu lembaga yang di- pengarangnya semata yang ti- dak banyak melibatkan diri pada usulkannya dan yang dianggap lembaga-lembaga keutamaan sesuai dengan tuntutan zaman yang selalu membahas masalah ialah Forum Cendekiawan nya soal perumusan verbal atas membentangkan pemikiran mo- berbagai masalah keagamaan, dernitas atas banyak masalah bentuk kesadaran modernitas Hindu di Indonesia. Dengan de- boleh dikata baru muncul dalam keagamaan yang dihadapi umat dan intelektual belaka. itu, namun juga karena umum- Hindu, yang sekurangnya dapat mikian, proses di mana struktur sosial yang tadinya tertutup dan suci, tidak dan akan ditransfor- masikan menjadi suatu bentuk kontrol dan institusi yang ter- jangkau akal modernitas. Permasalahan mendasar yang bertautan dengan isi buku ini ia- lah tidak adanya prediksi makro terhadap era globalisasi, indus- Agaknya, proses yang dicita- trialisasi, entah apa lagi nama yang dapat diberikan untuk era citakannya adalah membelah si- menjelang abad ke-21, maka kap rental stereotipe, tanpa ada mustahil pula dapat melihat pandangan-pandangan yang ter- peran agama dalam menyong- lihat mematahkannya. Kesan song abad ke-21. Boleh jadi sub- inilah yang bisa ditangkap dari judul buku "Menyongsong Abad banyak kasus yang dikemuka- Ke-21" hanyalah unsur yang di- kannya di dalam buku ini. Aki- belanjakan pengarangnya. batnya, tidak ada alternatif lain, kecuali menerima atau menolak Terlepas dari semua itu, apa pelembagaan proses pemikiran yang disebut 'kegairahan' keuta- keagamaan. maan manusia yang bermuara (Jiwa Atmaja) Pluralisme Hindu Menuju Tuhan * KETUT WANA Bagaimana Umat HINDU Menghayati TUHAN De Made Titib Judul Buku Pengarang Penerbit Tebal hanya para arif bijaksana me- nyebut dengan banyak nama se- suai dengan ista-dewatanya. Tuhan dijuluki dengan seribu nama 'saharsa'. Dengan tegas pandangan teo- logis tentang keesaan Tuhan te- lah terjawab dari uaraian yang begitu panjang berdasarkan ki- tab Veda yang di antaranya ter- dapat dalam mantra puja tri san- dya. Adanya sarana seperti pra- tima dalam pemujaan, semata-mata sarana untuk mempermudah konsentrasi, se- bab kemampuan manusia sa- BUKU ini hadir dengan te- ngat terbatas. Pengarang juga densi permasalahan yang tidak menyinggung mengenai tempat begitu riskan, akan tetapi, keha- dan arah yang baik memuja dirannya menjadi penting di Tuhan, bahwa arah utara, gu- tengah-tengah masyarakat nung dan matahari terbit, ada- Hindu Indonesia, justru dalam lah arah yang paling suci menu- format kebangkitannya buku ini rut kosmologi Hindu, sebab arah mempunyai nilai lain, yaitu se- itu terkait dengan kesucian dari bagai jawaban atas tendensi mana kerahayuan itu datang. yang sifatnya gugon tuwon dan sekaligus sebagai apologi. Banyak Jalan Ditandaskan bahwa Veda me- pula tingkah laku orang-orang suci, yang telah mendalami ajaran-ajaran Veda, ... demikian : Bagaimana Umat Hindu Mengahayati Tuhan : Ketut Wiana : Pustaka Manikgeni, Jakarta, 1993 : 136 halaman untuk memantapkan keyakinan umat tentang kemahakuasaan Hyang Widhi. Ketika berbicara tentang ha- kikat pura atau kahyangan, Wiana memperjelas pandangan kita tentang konsepsi filosifis dari esensi pura yang sebenar- nya. Konsep-konsep yang dikem- bangkan oleh Mpu Kuturan menjadi jelas kita tangkap, an- tara lain mengenai konsepsi; Sad Kahyangan Jagat, Ka- hyangan Catur Lokapala, Ka- hyangan Rwa Bhineda serta konsep mendirikan Gedong dan Kahyangan Tiga, begitu pula hal memendem pedagingan. Jika Mpu Kuturan sebagai penganjur pemujaan terhadap manifestasi Tuhan sesuai de- ngan fungsinya masing-masing, maka hadirnya Dang Hyang Dwijendra pemujaan lebih me- nekankan pada pemujaan keesaan Tuhan, terbukti dari konsep bangunan Padmasana. Sementara konsep-konsep yang lain seperti konsep Tri Bhuana (Bhur Loka, Bhuah Loka dan Swah Loka), Sad Winayaka (Su- rya, Candra, Bheswara, Kala, Gana dan Kumara), Sad Kertih (Atma Kerti, Danu Kerti, Samu- dra Kerti, Wana Kerti dan Yana Kerti) dijelaskan dengan gam- lang berdasarkan presentasi dari sumber-sumber sastra yang luas dan memadai. "Menghayati Tuhan Melalui Sastra Agama" yang dengan je- las kita paham, bahwa dalam kesombongan akan harga diri, laksanakan, yakni pertempuran. dan juga wajah-wajah orang karyanya. Di rumahnya, Treng- Titib (hal 10-15), ternyata yajna dia banyak jalan, jika bisa kita pengertian Hindu sastra dan pertempuran, sebagai ksatrya lau saja anaknda tinggalkan pu- kan, ya boleh dibilang tak dilu- gano pun banyak pengunjung te- yang berangkat tidak ditonjol- karma mereka masing-masing. seratus orang itu, dan telah puas sana keberangkatan itu dilukis karya seni yang dipajang di stu kis. Hanya sebagian dari sua- lah menyaksikan Bali melalui asalkan keiklasan itu menjadi katakan sebagai wujud plura paman anaknda masih memiliki tidak bisa dihapuskan dari re- mendera, di saat-saat hari tua katan itu. dionya. Gelar seni baginya ada- agama memiliki esensi yang sama. Ramayana dan Mahabha- rata adalah karya sastra tetapi lige at a spiritual, yang umum disebut mengandung ajaran kitab-kitab sastra seperti Arju- agama, karena sastra dan agama merupakan kesatuan harmoni tak terpisahkan. Maka nawiwaha, Arjunawijaya, Siwa- ratrikalpa, Bharatayuddha, Su- tasoma dan yang lainnya, bagi Wiana dinyatakan sebagai me- dia penghayatan kepada Tuhan. Kendati dalam konteks para kawi karya sastra seperti kaka- win adalah yantra baginya. Permasalahan yang hadir da- lam buku ini, menukik pada rupakan sumber penghayatan esensi penghayatan terhadap paling asasi ke hadapan Tuhan, Tuhan sebagaimana doktrin doktrin dan kitab Manawa Dhar Hindu. Diawali kata pengantar masastra menjelaskan; bahwa oleh Dr. Titib, yang mengete- "Seluruh pustaka suci Veda ada- lah sumber dharma termasuk ngahkan doktrin keesaan serta kemahakuasaan Tuhan berda- sarkan kitab suci Veda. Justru dalam konteks peng- hayatan yajna menjadi esensi seterusnya". Seterusnya (hal 49-60) meng- yang paling dalam maknanya. Hal ini akan menjadi lebih jelas etengahkan uraian "Cara men- akhirnya disudahi di gelanggang Tetapi anakku Bhimasena, ka- jika kita membaca pengantar Dr. dekatkan diri dengan Tuhan", yang bagi ideologi Hindu terse- hingga menemui nasib dan memiliki aktualisasi begitu luas, tra ibu barang seorang saja dari Anaknda memang tak pernah hati anaknda membunuh sam- motivasi dasar dari segala tinda- lisme Hindu menuju Brahman, menyesalkan semua itu, yang pai di situ, kiranya Ibu bersama dengan detail. Ada jukung di lah merupakan aktivitas yang Tuhan, termasuk pula pembo- individu untuk 'mencari Tuhan kan mengabdi (sevaka) kepada karena di sini tersirat kebebasan memang harus terjadi. Tetapi di atas air laut diduduki 4 orang de- dalam itu. Sehingga hati dan pi. Yudhistira, empu jari kakinya tengah-tengah peristiwa itu, ada tempat untuk menumpangkan ngan pakaian adat Bali. Warna harus dilakoni oleh setiap pelu: botan filsafat (tatwa). Di awal tu- sesuai dengan pilihan dan ke- kiran Gandhari Dewi menjadi lumpuh dan berwarna hitam. satu peristiwa yang terjadi, yang kesedihan dan kedukaan yang warna aslinya. "Saya sudah per- Bip Desember tahun lalu, ia doktrin keesaan Tum doktrin kan; Bhakti Yoga, Jnana Yoga, kis demi komunikasi antara sang lisannya Wiana meyakinkan mampuannya. Jalan peng- air, warna jukung persis seperti hayatan itu antara lain disebut- dan dendam. Hati dan pikiran- rentak beramai-ramai ke dunia lung hati anaknda yang terda- ibu yang penuh derita kehidupan ini hasilnya," kata sang pelukis muncul di Jakarta dengan lu- kan. Lewat pertanyaan yang Karma Yoga. nah ke Sakenan tahun lalu dan Bulan mana ajaran Hindu nya betul-betul menjadi seim- Raja Yoga, Wibhukti Yoga dan ini. Demikian pula sebaliknya, lam. Di depan mata Sri Kresna ini. Di mana Dharmaputra? bang pada waktu itu. Dalam pada waktu umat manusia tidak sendiri terjadi pergumulan an- Panggillah dia", pinta Gandhari kisannya tentang Keberang bilan pelukis ini menggelar ka- sudah menjadi klasik di ka budaya agama ternyata menda- sambil mengomentari hasil lu- kisan Selamat Pagi bersama de- menggelitik, pengarang mere- keadaan seperti itu Gandhari tara Duryodhana dan Bhima- Dewi, bersungguh-sungguh. lapan pelukis lainnya. Kesem- duksi kembali pertanyaan yang Penghayatan Tuhan melalui dalam waktu yang sama Dewi berkata: beramai-ramai mati sampai ha- sena. Sadar akan kekuatan Du- rya lukis dalam pameran "Super langan masyarakat non-Hindu pat perhatian intens dari penu- Walaupun terkenal sebagai "Bhagawan yang Agung, yang bis meninggalkan dunia ini. Me- ryodhana yang lebih unggul, Bhimasena menghantam paha satrya pahlawan yang memiliki Realis" di Andi Gallery, Jakarta. anaknda muliakan. Sesungguh- mang sesuai dengan titah-Nya, kiri Duryodhana yang lemah. kemampuan mengendalikan itu ikut memperkuat bahwa pe- seorang pelukis super realis. Itu Yang Esa? Dengan gamblang miliki, bentuknya beraneka ra- termasuk kaum awam. Betulkah is, antara lain Wiana menyata- Seorang penjaga galeri saat Chang Fee Ming dikategorikan umat Hindu memuja Tuhan kan "Budaya agama yang kita nya sedikit pun di hati anaknda dunia ini tetap akan menjadi hi- Perbuatan Bhimasena itu me- diri, mendengar ucapan Gan- lukis yang satu itu memang me- adalah pandangan publik pe- Wiana menjawab, "Sesungguh- gam seperti arsitektur, icono- pernah tumbuh rasa iri-hati dup dinamis, karena harus ada akan kemenangan Pandhawa. yang lahir, hidup dan mati, se- nyalahi kode etik perang kom- dhari Dewi seperti itu, tak urung miliki corak tersendiri. "Coba adalah pandan Benar, derita dan duka yang suai dengan karmanya. Seperti bat, yang tak boleh memukul la- badan Yudhistira menjadi geme- saja baca dan lihat karya seni ha- nya umat Hindu menyembah grafi, seni sastra, upaka dan Lambang wan di bawah perut. Tetapi Sri tar, dengan menunduk dan ca sil karyanya yang lain," kata Alit (IK Lanus Sumantra) Tuhan (Hyang Widhi) Yang Esa, lain-lainnya. Semuanya meru- mendalam, karena gugurnya se- kenyataan yang kita terima se- pakan visualisasi filsafat agama Dalam dimensi Acara Agama, luruh putra anaknda dalam per- karang. Banyak anak kemena- Kresna diam, membiarkan dan kupan tangan, Yudhisthira se- Hindu. Budaya agama ang pe- tang esensi upacara dan beban- Wiana juga membicarakan ten- tempuran telah merampas ke- kan, misan, mindon, relasi, sim- hanya melihat saja. Perbuatan gera menyembah di kaki Gan- nuh simbolis itu dapat dipakai ten yang diakui sebagai jalan seimbangan kesadaran jiwa patisan yang gugur dalam per- Bhimasena seperti itu adalah sa- dhari Dewi, seraya berkata: "Maafkanlah hamba Sri Ratu media penghayatan oleh semua anaknda. Tetapi hal itu wajar tempuran, karena memang lah besar, dan sungguh amat su- lapisan umat. Bagi umat yang Widhi. Banten merupakan vi- penghayatan menuju Hyang terjadi bagi seorang ibu, yang ke- karmanya yang menentukan de- kar bagi anaknda untuk me- Permaisuri Raja". Sekarang hilangan putra-putrinya. Ibu mikian. Tetapi, di antaranya, ba- maafkannya," kata Gandhari Yudhistira yang jahat dan ganas memiliki tingkat Jnana dan Wij- sualisasikan dari filsafat agama mana di dunia ini yang mampu nyak di antara kita masih diberi- Dewi emosional. Pada waktu yang telah membunuh putra- nana tinggi, mereka akan dapat Hindu. Banten merupakaan akan membebaskan diri dari kan kesempatan hidup sampai Gandhari Dewi sedang berdialog putra Sri Ratu di medan perang, menikmati latar belakang filsa- lambang Sang Hyang Widhi de- beban derita dan rasa duka yang saat ini, karena karma kita dengan Bhagawan Byasa, Pan- tunduk dan menyembah di kaki fat agama, yang dipakai lan- ngan segala manifestasinya. dhawa juga telah berada di sana, Paduka Sri Ratu. Kutuk dan hu- mendalam kalau seluruh putra- sendiri. dasan konsep dasar untuk me- Banten juga lambang manusia putrinya yang pernah dikan- Sesuai dengan penetapan dan dapat mendengarkan apa kumlah Yudhisthira atas semua wujudkan budaya agama terse- baik jasmani maupun rohani, ia dungnya, dilahirkannya, diti- Sang Kalamrtyu, kita yang ma- yang diucapkan oleh Gandhari dosanya yang tak terhingga itu. Bagi yang tingkat juga lambang alam semesta. mang dan diasuh sampai de- sih hidup pada akhirnya akan Dewi. Bhimasena yang juga da- Yudhisthira tidak peduli lagi kecerdasan rohaninya rendah, Dalam konteks yoga, upacara wasa, tetapi tiba-tiba saja dalam menyusul mereka yang telah pat mendengarkan kata-kata akan hidup dan kerajaan." budaya agama itu akan dipakai agama tergolong Karma Yoga. Mengenai Yudhisthira sedang waktu sekejap semuanya hilang mendahului kita kembali ke Gandhari Dewi tentang dirinya, untuk menambatkan keyakin- Namun dalam pelaksanaannya dari samping ibunya. Ooooo....., sumbernya. Sebaliknya, ada dengan keras dan tegas berkata: tunduk dan menyembah di annya kepada kemahakuasaan landasan filosofisnya dilatarbe "Ibu, janganlah hanya menya- depan kakinya, Gandhari Dewi Bhagawan junjunganku yang pula yang akan lahir, menyam- Sang Hyang Widhi, sehingga bu- lakangi oleh Jnana Yoga, Bhakti mahasuci, dunia ini bukan pasar bung kehidupan kita di dunia ini, lahkan aku saja. Aku lakukan se- yang matanya tertutup dengan daya agama tersebut dapat me- Yoga dan Raja Yoga. malam," demikian Gandhari sehingga seperti Bapa telah ke- mua itu, semata-mata untuk kain, takut melihat Yudhisthira. numbuhsuburkan rasa ke- Pada akhir tulisannya Wiana Dewi berkata kepada Bhagawan mukakan dinamika hidup dan membela diriku sendiri. Terikat Sehingga dengan segera mele- banggan. Jadi melalui seni itu juga mengetengahkan konsepsi Abyasa di antara sedu- kehidupan di dunia ini tetap ek- oleh sumpah Dharmaputra, de- ngoskan mukanya ke samping. lah, orang akan menerima pembinaan terhadap kehidupan sis dan berkembang. Oleh ka- ngan tabah kami telah melaksa- Tetapi dari sela-sela pori kain pe- ajaran-ajaran ketuhanan (hal agama dengan mentradisikan rena itu tabahkanlah hati anak- nakan hukuman selama tiga be- nutup mata Gandhari Dewi itu, catur dharma, di antaranya bisa nda Ibu Suri. Walau pun semua las tahun. Setelah itu, kami ingin terlihat juga empu jari kaki Yud- Seni budaya agama di sam- kita sebut; Dharma Wacana, putra-putra yang anaknda kan- mengembalikan kehormatan histhira, sehingga menjadi lum- ping merupakan perwujudan Pa- Dharma Tula, Dharma Gita dan dung dan lahirkan dari rahim dan kewibawaan kami. Mulai puh dengan meninggalkan rawidya dan Aparawidya, juga Dharma Yatra. anaknda, semuanya telah tiada, dari diplomasi para diplomat warna hitam. Itulah akibat ke- mengandung nilai keharmo- Ajakan dari Parisada untuk tetapi yang masih ada adalah kami yang selalu gagal, karena kuatan pandangan mata den- nisan hubungan antara manusia membangun Dharma Pangas- anak kemenakanmu, para Pan- ulah putra-putra Ibu sendiri. Ka- dam kesumat seorang ibu yang dengan penciptanya, manusia raman (sejenis pesantren) meru- dhawa, yang lahir dari pihak pu- rena ternyata gagal dalam usaha melumpuhkan. Arjuna yang se- dengan alam lingkungannya, pakan ide yang sangat baik perlu Tetapi setelah usai semua peng- rusha. Mereka juga adalah dan jalan diplomasi, terpaksa manusia dengan sesamanya ter- mendapat dukungan dari umat. putra-putramu," demikian Bha- jalan akhirlah yang kami tem- masuk untuk mengharmoniskan Bagi Wiana, jika wadah ini biasa gawan Abyasa menasihati Gan- puh. Jalan akhir yang kami tem- dengan dirinya sendiri, demi- terlaksana, lengkaplah pranata dhari Dewi. puh itu adalah pertempuran, da- kian pengarang mempresentasi penghayatan agama itu, kendati "Betul sekali nasihat Bhaga- lam perang besar. Itulah bahasa kan. Sementara itu penulis juga konsepnya telah dari dulu sudah wan itu. Anaknda mengucapkan ksatrya yang berkehendak Bali Post/ist mengakui peranan mitologi se- terima kasih untuk nasihat Bha- mengembalikan kehormatan bagai metode yang sangat efektif sedannya. Yaaa...., memang benar se- perti apa yang anaknda Ibu Suri katakan. Dunia ini bukan pasar malam. Artinya, seperti pasar malam, orang akan masuk seke- tika dan beramai-ramai untuk menyaksikan pasar malam itu, unjung akan serentak keluar beramai-ramai meninggalkan pasar malam itu untuk kembali ke rumah masing-masing. Sama halnya dalam kehidupan umat manusia. Manusia tidak lahir se- gera mengetahui kekuatan gaib yang bersinar dari mata Gan- dhari Dewi, segera bersembunyi dan berlindung belakang Sri Kresna. Ngurah Oka Supartha- Lukisan karya Chang Fee Ming but. 64). ada. (I Wayan Westa) Minggu Kliwon, 16 Januari 1994 Nyoman Wirata TANAH LOT siapakah petani yang bermukim di sini dan padi tumbuh dari perut krang ombak yang mati sua ditikam sepi memindahkan geloranya: "kuberikan padamu gairah pribumi maka kata kehilangan makna dan kerja mengubah diri jadi bertapa aku melihat keteguhan pada krang kerendahan hati pada ombak yang merecah diri jadi riak seperti menguraikan dendam jadi bagian bagian yang perlu diragukan sebagai dendam aku membaca perut krang di dasar laut meluncur air muncrat ke permukaan, aku bertanya sesungguhnya darimanakah asal kita aku bertanya kepadamu ular blang itu masihkan hidup menjaga warna kehidupan mengikat rohani jasmani aku melihat langitmu kasih aku melihat tanahmu kasih aku menari dalam genangan airmata dan anginmu mengiang deru kurusetra o tarian angin yang sakral ubahlah aku jadi capung yang melunc sampanku kian memberat dan lambungnya telah tertikam tiba tiba kau bertanya: siapa yang menyeberangkan kita pada suju dan kembali pulang pada belukar itu kita perlukan sebuah jembatan atau semestinya meluncur bagai cap bagai kupu kupu, bagai binatang air dan terlentang pada ombak lalu berdiri pada batas tak jelas antara air, langit dan tanah. Tan Lioe le SIM SIM SALA BIM Gemerincing mata uang asing Menelan suara genta para pendeta Pesonanya melebihi tarian bidadari Penggoda para pertapa Kilaunya membutakan mata hati Hati yang gelap merapal mantra: "Sim sim sala bim!" Maka cangkul menjelma stick golf Laut kehilangan pantai Tempat pemujaan kehilangan dewa; Siapa sesaji kini dipersembahkan? "Ada," jawab sesuara "Tapi berikan persembahan lain Mereka tak suka sesaji dewa." "Sim sim sala bim!" Semua bisa diatur "Sim sim sala bim!" Semua bisa berubah. Udara berduri Dan tercemar pembusukan nurani Awan tebal Bi Mempertegas kemurungan wajah lar negooded unta cand esti di Di sela rerumputan Cengkerik-cengkerik raksasa menab Menantang cengkerik-cengkerik keci untuk pertarungan tak imbang. Kalau dengan sim sim sala bim Semua bisa berubah Beri kami udara segar Yang melapangkan dada Beri kami ruang Untuk berseru merdeka. Sim sim sala bim Sim sim sala bim Sim simalakama Sim simalakama. ●Sarasehan "Karya-karya Iwan Sima Hari/Tanggal :Sabtu, 22 Januari 1994 Waktu : Pkl. 19.30 Wita Tempat Pembicara Pemandu Sanggar Posti Denpasar Jl. P. Serangan 11 B Den : 1. Drs. Jiwa Atmaja, SU 2. Dr. Ibrahim Couteau 3. Charmiyaka 4. Dwikora Putra : Drs. Putu Fajar Arcana Final Lomba Baca Cerpen dan Pementasan Drama "Petang di Tama Hari/Tanggal : Sabtu, 29 Januari 1994 Tempat Gedung PWI Denpasar Jl. Gatot Subroto (Lumint Apresiasi Purnama Sukawati Hari/Tanggal : Kamis, 27 Januari 94 Waktu Tempat Koordinator Pkl. 16.00 Wita : SMA Negeri Ladang Jungut Sukawati : Drs. Nyoman Manda dkk Ikutilah Garuda I Hari/Tanggal: Minggu, 23 Jan Start/Finish: Depan Kantor Gu Start: Pukul 06.00 Wita 12 Pendaftaran : Mulai tanggal 5 Januari s.d. tangg Di seluruh Kantor Penjualan Garuda Denpasar Kantor Garuda Indon Koperasi Garuda Indo Tuban :Air Port di Gedung In Nusa Dua :Galeria Nusa Dua Biaya Pendaftaran Rp 7.500,-terma Daftarkan seg Color Rendition Chart 4cm