Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1994-05-29
Halaman: 07

Konten


Minggu Pon, 29 Mei 1994 ma Gong utama atau tokoh yang diunggul- kan sebagai tokoh utama oleh grup Drama Gong Remaja Kabu- paten Buleleng, pentas 18 Mei yang lalu. Secara sederhana da- pat digariskan sebagai berikut: 1) Tokoh protagonis Mahardika mencari keris pusaka yang hi- lang atas perintah kakaknya. (2) Setiba di negeri yang dimaksud, Hia linglung lalu jatuh ke pelu- kan Liku, karena diguna-gunai. 3) Berkat peringatan kedua pu- makawannya, Mahardika sadar, alu mengambil keris pusakanya wang hilang itu dari gedong kera- aan Girilaya. Keris itu dibawa kembali oleh punakawan. Ma- mardika berkelahi di sana, tetapi Konyol, diringkus oleh dua abdi 4) Dalam keadaan buta, tokoh tu menangis di jalan-jalan. (5) Ditemui oleh istrinya, lalu di- sembuhkan dengan sarana keris busaka. (6) Perang dengan raja Girilaya. Raja Girilaya dikalah- Kan, tanpa mencabut keris pu- maka itu. Apabila diperhatikan plot ka- "akter di atas, maka dapat disim- Dulkan bahwa tokoh yang diung ulkan sebagai protagonis itu dalah tokoh yang bercirikan: ti- ak punya inisiatif, secab dia itu liberi tugas oleh kakaknya; dia okoh konyol, sebab diringkus bdi saja sudah menyerah. Dia okoh cengeng yang menangis di alan-jalan. Dia tokoh yang tidak unya kekuatan apa-apa, sebab anpa mencabut keris pun, mu- uh sudah kalah. Secara teori, tokoh Mahardika tu bukan tokoh utama. Dia tidak menggerakkan cerita. Dia tokoh elengkap. Bahkan pelengkap enderita. Dia konyol, bodoh, le- nah dan pengecut. Dengan de- mikian, tokoh yang diunggulkan ebagai tokoh protagonis, tidak mungkin menjadi idola. Cerita tersebut di atas, yang di alamnya tidak ada kandungan okoh protagonis yang dapat di- adikan idola, ibarat tebu yang elah kehilangan zat gulanya. Walaupun cerita itu dimainkan ecara baik, secara keseluruhan etap merupakan cacat. Cerita Kontekstual Salah satu lagi daya tarik ce- ita adalah kontekstualnya. Kontekstual dapat diartikan se- agai "sesuatu" yang berada di aur teks. Cerita kontekstual dalah cerita yang memiliki "ke- nungkinan" hubungan antara eks cerita dengan hal-hal yang erada di luar teks cerita itu sen- iri. Dengaan demikian akan di- peroleh sebuah "relevansi"; akni semacam kemanfaatan agi kepentingan (kehidupan) ita. Menghadapi cerita-cerita ama sebagaimana disuguhkan leh grup-grup drama gong, naka kepekaan terhadap cerita- erita kontekstual adalah enting. Epos Mahabharata dan juga Ramayana, disebut-sebut seba- ai sebuah cerita lama yang me- niliki kadar kontekstual sangat inggi dengan masa kini. Hampir setiap kisahnya dirasakan sa- ngat relevan dengan masa kini, Karena mengandung nilai-nilai universal; yakni nilai-nilai yang hakiki bagi semua orang dan se- mua bangsa. Salah satu contoh cerita lama yang secara kontekstual memi- liki relevansi pas bagi masa kini adalah cerita Ekalawya. Ekala- wya adalah tokoh protagonis yang hebat, berkat ketekunan- nya belajar kepada sebuah "pa- tung" Drona. Dari segi "tekstual" cerita tersebut mungkin diang- gap sebagai sebuah cerita imaji- tatif yang "nonsen". Artinya, ba- gaimana mungkin seseorang berhasil hebat hanya berguru pada sebuah patung? Namun apabila dikaji dan di- (Bersambung ke Hal.11 Kol.4) Buktinya. "Ah kau, katakan saja dengan jujur, 80, 90 atau 100." Maka Lestari di tengah keadaan yang menjepit dirinya itu bergurau. "100. Saya duga usia Bapak sudah 100 tahun." "Buktinya? perinciannya?" Atau "Buktinya, atau perinciannya: Rambut Bapak sudah putih se- mua. Kulit bapak sudah kisut. Mata kabur - sekalipun gigi ma- sih utuh dan...." "Dan nafsu gairah seksku?" tanya Dr. Permadi. Dassst! Sebuah hook kiri tepat mengenai dagu Lestari. Dans uper cut Dr. Permadi lagi-lagi menemui sasarannya ketika ia berkata: Yang tua itu kan, umurku usiaku. Tetapi tena- gaku, kejantananku?! Namun, saat Lestari sem- poyongan nyender di tambang, sedang Dr. Permadi terus meng- icar pelipisnya yang mulai ber- darah, sebuah pukulan lucky blow dari Lestari lepas, meng hantam tipis dagu Dekan. Sebe- narnya pukulan itu tidak begitu keras. Cuma disebabkan karena menghantam tepat di daerah yang peka, yang langsung-berhu bungan dengan otak kecil di bela- kang kepala, Dekan itu jatuh. Dr. Permadi tergeletak di pasir. "Kenapa pak?" tanya Lestari gugup. "Ada apa?" "Saku..." "Saku?" "Dalam saku...." suara Per- madi tersengal. "Apanya?" tanya Lestari gugup "Dalam saku..." Tidak mengerti apa yang dia maksud, Lestari merogoh saku celana Dr. Permadi. Sebuah bo- tol kecil ia dapati, "Ya-- itu," kata Dr. Permadi tersengal. Dan sebuah tablet kecil ia ma- sukkan ke dalam mulut Dr. Per- madi. Lalu aqua. Lalu tersengal- nya mulai reda. "Jantung jantung sa... " Terlintas, adakah ini bagian dari perhitungan Aryantha yang pernah berkata kepadanya Turuti apa kehendaknya!" atau- Lestari tak tahu. kah hanya suatu "miracle," Tengadah ke langit, langit bo- long-saat ombak mulai menca apai lututnya. Lama, lamaaaaaaaa sekali ia י memandang langit, mencari se suatu di atas sana. Minggu Pon, 29 Mei 1994 Bali Post/dok. SLAMET DJABARUDI, SELAMAT JALAN: Saat-saat memulai karier sebagai wartawan PELO POR YOGYA menjelang tahun tujuhpuluh Slamet Djabarudi yang kuliah di IKIP Bahasa Inggris sering diam-diam hadir dalam lesehan sastra yang sekali seminggu digelar di Malioboro di markas tempat Met (panggilan akrabnya) mengabdi. Met dikenal sangat ulet, tekun, rajin, cerdas, pintar ber gaul dan santun budibahasanya. Seperti almarhum Ahmad Wahib, kalau para seniman muda meledek kehadirannya "yang diam-diam itu" selalu mereka jawab "apa salah menjadi pendengar yang baik..." RABU malam yll seorang koresponden Tempo di Bali menelepon Bali Post mengabarkan bahwa Slamet Djabarudi (48) meninggal dunia di Jakarta. Walau kita semua sama-sama tahu kalau Met sakit jantung bahkan pernah berobat ke luar negeri, berita berpulangnya Met tetap mengejutkan dan menyedihkan semua teman-temannya. Karena kepakaran Met (Redaktur Bahasa Tempo) koran Anda ini pernah mengundangnya untuk berbagi pengalaman bahasa jurnalistik, Cara dan feeling Met meniti karier dari Pelopor Yogya yang melambungkan namanya karena membongkar kasus pemerkosaan Sum Kuning (1970) lalu melompat ke Indonesia Raya (yang diberangus lagi karena kasus Malari) lalu Met bergabung dengan Tempo merupakan sasmita bahwa Met tahu persis arah talentanya. FOTO di atas menunjuk Slamet Djabarudi (duduk) saat dijadikan "fokus pendengar" dalam acara lesehan sastra Persada Studi Klub (PSK) 1969 di Malioboro. "SELAMAT jalan Met, semoga segala amal cinta baktimu diterima oleh Yang Maha Pe- nyayang dan seluruh keluargamu, teman-teman seperjuanganmu jauh dekat mendapat penghiburan yang sejati....". (036). Wayan Redika BENANG MERAH TANAH BALI turun ruh dari gerbang pintu puri jasad penuh pernik manik percik api menghalau tumbal palma berajah gana putih kemilau kafan diiring rejang dayu mendayu tembang perjalanan anak mambang sampai disini biarlah hingga mati tanah kami pendar ombak dipagari tombak saban hari menggelar tumbal serupa ruh menggelar tumbal bentuk darah penjaga puri macan kembar tutul kumbang tridatu, trimurthi trisaksi satu wujud benang merah berlilit empas bagaimana kau lewat? mula tiba disapa pawang gayung pedang tanah ini bukan padang perburuan menyeruak pendar ombak kau datang berkendara macan kembar tutul kembang bali jadi kurban berjuta tangis ruh berguguran bagai gurun tumpah lahar jelma belulang beton tulang besi tulang belulang kemilau kaca urat baja tentu bukan pernik manik percik api bukan titah nenek moyang dari pesisir bilar bilur tanah kami 'bagaimana kupahami, kau tawarkan jiwa kami bertumpuk dolar kenang kenangan agar lebur dalam dirimu bersaksi surya, kau serta mendayu tembang benang merah menjalar selalu bagai pagar batu legam mata angin tridatu setitik mantra para datu makin erat ikatan batin anak mambang patung singa menggembala macan kembar ketengah linus ombak turun ruh dari puri nur, nur, nur bergelung serupa warna pelangi mancar berkali kali dari belahan surga karena durgha rindu tarian sangiang telanjang dilingkar api riuh tambur sampai disini biarlah hingga mati 'sesaat menyadari tanah kami dicabik cabik terjerat bersaksi surya, dalam diri kulepas macan kembar jadi liar bertualang buru mangsa kau cipta segala murka tak peduli dari jauh maka, biarkanlah segala rindu hingga mati Wayan Redika PERJALANAN bagi sang maestro mengenangmu, gusti lempad deru kereta bercemeti bulu muri menjemputmu muat roh tugu menjulang digusung lalu lalang puncak cerita arwah brayut berkejaran kau gambar berulang debur gelombang hingga menjelma laut dirambutmu mengiringmu, walau hari keburu renta selanjutnya memberi titah agar kita menuliskan riap bintang menjulang sendiri bagai brayut ngungsi lalu lalang napak tanah titah kau kembali wujud angin berkendara kembang dan kafan padahal ruhmu gemuruh bayang dibalik mega bagaimana mengawali kening mata bening affandi, dari gurat warna liar kutikam jelaga darah berserakan masmur guntur ciptamu coba kuraba senantiasa serasa air mengalirkan teduh berhari hari bulan hitam pantai kusamba jadi getar fajar mendulang kemilau emas kusapa agar sajak yang kutulis untukmu seperti milik siapa saja bulan tua lampau lama kujabat dalam hati memanggili bidadari menari nabur wangi berkeliling nisan rembrant drb gardan semedi vangogh pada diri bersakside matahari rupa bunga lama kujabat kau menggigil sekitar cahya sebatas dahan bentuk bhuta berukir camar mengingatkan cokot natah gelung api hulu singa kerlip liur tumpah ruah meninggalkan anak wayang mati biru andaikata.... ada yang turun meski hanya bisik suara tentu 'kan kuberi senyum berjuta nyanyi gemulai ibu reneng menari berjejer janger lama kujabat bulan hitam pantai kusamba matahari rupa bunga Dewa Made Tunjung Dia mendengar tepik sorak KERISAUAN AKU bersandar di pinggang bukit, langit merah membara. Anda kota terbakar kejauhan, pohon-pohon terpampang dalam lukisan tua. "Lihatlah ke muka dan pandanglah batu di dep- anmu, maka tahulah kau," kata hatiku tiba-tiba. Aku terkejut sembari membuka mata, bulan tengah malam dili puti kabut. orang-orang berbaur dengan mu- sik doa terdengar gaduh. Dan ke- tika dia seorang diri menyingkap tirai jendela maka tampaklah, "perang belum selesai". Kembali sepasang matanya mengintip sesuatu, sementara di hatinya bercerita tentang masa Tirtagangga 1994 Cok Sawitri KUCING HILANG membersihkan pembaringan. Dan menatapi bonekaku. Kemu- dian aku ingat kucingku. Sebenarnya, dia bukan ku- cingku. Entah dari mana kucing itu. Yang pasti kucing itu ada di tempat kost lalu aku klaim seba- gai "Kucingku". Dan sejak kecil, di rumahku, aku memang memi- liki puluhan kucing! Hampir se- tiap tahun, jumlah kucingku ber- tambah. Dan mungkin hanya aku yang bisa bicara dengan kucing. Tetapi setelah merantau, demi sopan santun kepada tuan ru- mah, maksudku induk se- mangku, aku tidak membawa kucing seekor pun. Kecuali sejak dua bulan yang lalu. Tiba-tiba muncul kucing kecil, belang tiga dengan ekor panjang. Mem- buatku bahagia benar. Kuberi dia nama: Sinta. Mengapa Sinta? Karena aku suka dengan nama yang bisa membuat lidah mesra saat memanggilnya. "Sintaaa!!" Kutunggu ngeong manjanya. "Sintaaa!" aku ke luar kamar. Aneh. Ini jam makan malam. Mana dia? Aku ke garase, biasa- nya dia di situ. Suka duduk di atas sadel motorku. Lalu dengan manja, ekornya dijentik jentikkan, pura-pura tidak men- dengar. panggilanku, tak acuh. Dia dengan anggun akan menye- rahkan lehernya ke jemariku. Tiba-tiba aku rindu bapak- Wartel, ingin menelepon. PTD! ibuku. Seperti biasa aku pergi ke Sialnya, sampai di Wartel, petu- gasnya bilang "Masih rusak ja- lurnya!" dengan senyum sedikit dia mengusirku agar segera pergi dari hadapannya. "Sintaaa!" aku mulai curiga. Kucari ke serambi depan. Berpu- tar ke ruang tamu. Lalu kembali Di halaman Wartel, aku ke- lalu: perahu dengan layar ter- temu teman. Lalu ngobrol kembang angkat sauh, bukit dan macam-macam. Langit men- gelombang bercerita harapan, Dan, sebenarnya aku ingin cepat dung. Tetapi tidak terlalu tebal. berlayar menyusuri pantai kota yang hilang. Di dalamnya anak pulang ke tempat kostku. Hanya piatu berlagu malang. Suaranya saja, aku teringat saran seorang temanku yang lain. "Kamu harus nyaring dan panjang, menyanyi- belajar betah ngobrol!" Setidak- kan puncak-puncak bukit yang nya, saran itu tidak sebuah kri- tik. Atau semestinya temanku itu bilang, "Kamu susah bergaul! Susah! dan syusah!!" Oh ada tangis bayi menyusupi keheningan. Dari pelataran bangunan tua ku- jalang. pandang kelembutan sinar rem-* bulan, saat angin malam me- nyapu kekosongan. Mataku tertumbuk ke sekitar pohon-pohon meranggas di sana. Kurasa malam itu kesunyian bermain dengan ragamnya, me- mutar embusan napas malam bersama detik-detik yang me- nyertai perjalanan usia. Kulihat ada selaput biru tua dalam lingkaran cakrawala. Selaput itu sangat halus, tampak samar di tengah-tengah kera. maian kelip gemilang. Aku juga mendengar suara mengalun, dan aku hampir me- lupakan cerita lama, sehingga makna puisi pun jadi tidak ku- mengerti walau aku rajin membaca. Aku mencuci muka di pan- Malam belum menginjakkan kaki di ujung rumput, tatkala dia termangu di depan pohon-pohon. Apa iya aku susah?! Tapi, merah senja telah tertulis Iya memang. Saat berada di pada selembar daun rontal bau darah. Seorang petani lewat dan kamar aku mengangguk untuk mengajaknya mampir sebelum setiap pertanyaan yang me dia menghilang di pengkolan nyangkut soal ngobrol itu. Aku memang rada susah. Tidak su- jalan. Merah ufuk barat tampak sah tetapi kerap menyusahkan! jelas membakar punggungnya Tetapi, ada beberapa teman dan di bahunya seikat kayu lain dari temanku itu yang per- memberat. Oh, semoga hari esok nah mengatakan kepadaku, lebih baik dari pada hari ini, ka- "Kamu enak diajak ngobrol. tanya dalam hati. Dan purnama Cuma saja susah dimengerti! pun hadir membiaskan cahaya Kamu kelewat serius!!" keemasan. Dewa Made Tunjung RIMBA SENJA turun perlahan. Di la curan, tanganku gemetar me- ngit camar-camar terbang men- nyentuh keaslian air pegu- jauh, pulang ke sarang mem- nungan. bawa kenangan. Rimba terlena dalam kesunyian malam. Oh, sa- habat biarlah aku, pemburu seo- rang diri, setia menapaki padang Dari rimba tempatku ini, aku Aku tidak kuasa menjawab melihat sebuah bukit. Di puncak ketika dia merogoh saku, meng- nya ada gua menantang cakra eluarkan sesuatu untukku dan wala. Kupu-kupu hilang ditiup kakek itu pun sirna saat kalung angin dan nyanyian merdu se- permata telah kuterima. Seorang kakek dengan seekor anjing hitam melangkah di be- lahan pagi. Dia diam sejenak, menatap wa- perburuan. jahku tajam-tajam. Dewa Made Tunjung MISTERI rangga mengiringi lenyapnya. O pada sepotong kayu seekor ular mendesis kemudian berlalu di bawah terik matahari. Agaknya dia sayang pada dirinya yang bersisik halus. Kulupakan sega KETIKA musim melangkah lanya apakah dia berbisa atau ti- setapak, mataharipijar di atas dak sehingga akupun akrab de- sepasang matanya yang acap ngan kehidupan. mengerling kejernihan putih om- Di Bumi yang mendesah, ma- taku bertemu goresan separuh bak. Dia menatap tajam saat segum. luka. pal awan pecah dan dari balik Akan ada bencanakah ini? Sete pohon dia tersenyum. Mulutnya lah itu tidak ingat siapa-siapa bicara tanpa kata-kata dan bi- lagi, selain warna rimba yang le- birnya bergetar tanpa suara. gam dan malam didera dingin Tapi sesaat kemudian tangan tua. nya melambai, bersaksi pada ke Keindahan bukit-bukit terasa hi hidupan, cakrawala dan angin lang makna. yang tiba-tiba berpusar! Sinar matahari yang hangat dan desir angin pegunungan yang ga mang dalam keheningan pagi mengingatkannya akan datang. nya musim semi. Sebatang pohon tua tersayat usia, penuh luka-luka dan dari lukanya menyembur getah kecok- latan. Aku diam sejenak, gerimis turun dan angin kencang pun da tang, pohon-pohon tumbang. Celakanya. Tidak ada penda- pat mengenai ngobrol itu yang bisa ku percayai. Aku hanya me- rasa sering capek harus ngomong jelas-jelas hanya untuk menje laskan apa saja. Padahal, aku merasa untuk suatu penjelasan, cukup dengan mengatakan: Ini jelas, ini tidak jelas!! Namun, ada juga yang meng- atakan aku berbakat untuk me- lucu!! Pendapat ini kusukai wa- lau membuatku benar-benar jadi lucu beneran! Dan yang lebih membuatku menjadi lucu, jika muncul juga pendapat yang mengatakan, "Kamu kekanakan! Manja dan tidak tahu aturan!!" Hanya satu pendapat yang be- lum pernah kudengar mengenai kelakuan dalam soal mengobrol, "Kamu kurang ajar!" maksudku, diucapkan dengan sungguh dan serius. Sampai sekarang, aku ingin mendengar itu. Atau caci maki yang bisa membuatku benar-benar pucat pasi, merasa bersalah lalu berpikir, "Aku ha- rus tobat!" Langit makin mendung. Te- patnya akan gelap, Dan aku pa- mit kepada temanku. Aku harus kembali ke tempat kost. Dan aku tahu, temanku itu pasti punya pendapat mengenai diriku, pasti pula akan menceritakan penda- patnya mengenai diriku kepada teman-temannya. Lalu, suatu saat akan ada kesimpulan, "Kamu itu begini lho!!" Sampai di tempat kost. Aku langsung ke kamar, mengunci kamar. Menghidupkan tape dan menghidupkan kran air. Lalu Bali Post ke ruang tengah. Sampai di depan kamar. Tak satu "ngeong" pun kudengar. Sinta lenyap. Te- tapi aku berpikir, Sinta main mungkin ke rumah tetangga, ke rumah di sebelah atau ngambek di balik dos. Aku kembali ke da- lam kamar. Nanti malam pasti kembali. Dia tidak tahan dengan udara dingin. Pasti rindu hangat kakiku. Aku mandi. Lalu makan. Lalu dandan. Lalu sembahyang. Ke. mudian menoleh ke pintu. Me nanti "ngeongnya!". Ah, mung kin dia masih asyik bermain. Be berapa hari ini, ada kucing lain malam-malam suka datang ke tempat kostku. Sinta memang ke- ren. Lagi pula, dia sedang mekar. Mungkin tengah puber Aku mengambil buku, mulai baca. Pintu tidak kututup. Dan susu yang kubeli di supermarket kuhangatkan lagi. Nanti jika Sinta pulang dia pasti kecape- kan, haus dan manjanya kambuh. Aku tertidur. Kemudian ter- jaga oleh radio yang selalu tidak kumatikan. Begitu pintu kamar kubuka, deru angin menderu dan wajah hujan begitu kusam. Tak ada matahari. Dan semua masih tidur, kecuali tuan rumahku. Yang heran melihatku pagi-pagi celingukan, "Cari apa kamu!!" "Kucingku!!" "Ah, kucingmu itu. Sukur ka lau dia hilang!" Aku nyengir. Semua agaknya tanpa basa-basi rada risi untuk tidak menutupi ketidaksukaan mereka terhadap kucing. Hujan makin lebat. Entah di mana Sinta. Terjebak hujan atau terje. bak semak?! Aku membuat kopi dan sese- kali mendengarkan siaran radio, tetapi pikiranku melayang. Di mana dia? Ke mana! Kuingat ingat hari kemarin. Waktu mau pergi ke Wartel, dia tidur di atas keset. Terus, aku pergi. Itu saja. Aku tidak pernah kasar kepada nya, sekalipun kerap dia berak di sudut-sudut kamarku. Aku toh bisa membersihkannya. Dan lagi pula dia itu binatang, manalah bisa mengerti kebersihan. Pada adikku, yang pernah berkata, "Buang saja dia. Berak di mana- mana!!" ucapnya penuh kejiji- kan. Aku katakan dengan pelan, "Jangan pernah berkata begitu! Biar aku yang bersihkan berak nya! Dia binatang, bukan aku!" Dan adikku mengerti, ada ba- gian di otakku yang dia mak- lumi, sulit dimengerti. Yang juga ku tak mengerti. Aku benci keke- rasan atau kebencian tanpa alasan. Maksudku, sesuatu di- benci atau hendak dibuang ti- daklah karena sesuatu itu meng- hasilkan kejijikan. Dia kucing, hanya kucing. Dia pasti tidak meminta lahir sebagai kucing yang tidak tahu aturan soal berak. Untuk mengadukan sakit kakinya saja, dia gagap! Ku- cingku - Si Sinta memang lagi sa- kit kaki. Dia hanya menatapku tiap kali kuangkat kakinya, me- meriksa luka telapak kakinya. Gumpalan kepedihannya itu yang membuatku gelisah kini. Sering aku melihat sorot kepe- dihan. Di mana-mana. Tetapi dalam mata Sinta kutemukan so- rot kepedihan yang membuatku tertegun dan tersengat. Sekali- pun tak mengerti. Dia suka menggesekkan leher- nya ke mata kakiku. Dia suka me- lompat ke pangkuan, lalu dengan angkuh menjentik-jentikkan ekornya. Tidak terganggu oleh suara mesin tik-ku. Dengan te- nang dia memejamkan mata seo- lah paham, aku sedang melaku- kan sesuatu. Dia cuek dan begitu lembut. Dia paham aku! Aku rasa, dia paham apa mauku. Hanya saja, dia pun tetap ingin sebagai ku- cing biasa. Kadang suka melompat-lompat dan liar mele- pas isi perutnya. "Sintaku hilang!" "Hilang? Sukurlah!!" Tetapi ada juga yang berusaha mengerti. Atau aku paksa, dia untuk mengerti, aku sedih. Sial- nya, aku memang susah. Nyu- sahkan orang lain untuk meng- erti. Dan aku ingat saran tem- anku, "Belajarlah ngobrol, yang ringan, yang jelas...!!" Bah. Apa kurang jelas? Sinta hilang. Aku sedih. (Untuk: Hanny! Kamu pernah kehilangan kucing?) Wayan Redika MUSIBAH sekuntum kembang seberkas bela sungkawa bosnia HALAMAN 7 menjelang lahir berjubah penuh duri tak sudikah lagi bermain seumur mimpi melihat urban berebut waris liang lahat mereka tak peduli cuaca siang patah patah sepatah jadi pohon bertulis ayat jasad bukan karena titah dari kahyangan tapi senantiasa karena urban harus mati dipapah gulung ombak (anak anak tak mengerti panas dan dingin dan lapar dan dahaga pelabuhan buih darah hanya seumur mimpi keburu pulang memburu tulang belulang yang pernah mengandung atas nama ayah dan ibu) bosnia setelah lahir menjelma jubah bertatah dilebati segala ulat bermain seumur lalat tentu tak jelas dimana mayat yang dikubur tengah hutan luluh lantak bom berserakan semua bentuk puing batu legam, kiamatlah biar semua muncul sepi yang ditunggu dari sunyi maha sunyi dan kembali kau lahir berjubah warna putih (lagi, menggali sepenuh jiwa dalam jiwa atas nama ayah dan ibu mencari gugur diri pelabuhan 'kansurut dipancar sepenuh bulan) Tirtagangga 1994 FASILITAS PLUS BAGI ANDA YANG New SELALU TERDEPAN... INDONESIA'S NEWEST Vankand TRENDSETTER PAMERAN DI TIARA DEWATA 20 Mei-2 Juni'94 VanTrend Tuntutan bagi Anda yang selalu terdepan adalah kenyamanan yang sempurna dan penampilan prima. Vantrend terbaru menyuguhkan kenikmatan berkendaraan dengan power window yang soft touch dan smooth. Performa Vantrend kian meyakinkan dengan ban yang lebih lebar, aman dan sporty. Alloy wheel berdesain baru yang indah semakin menjelaskan aspirasi Anda, penentu trend masa kini. Vantrend menjadi satu-satunya kendaraan di kelasnya dengan fasilitas lengkap central lock, audio cassette, AC, dashboard yang artistik dan bumper yang lebih unik. Melajulah bersama Vantrend dan terus menjadi yang terdepan. Menangkan KE HIROSHIMA DENGAN MAZDA? HAIK! BISA NE! HUBUNGI SEGERA Dashboard yang artistik Central lock sebagai perlengkapan standar Power window yang soft touch dan smooth Ban dan alloy wheel yang sporty Berlaku 15 April 15 Juli 1994 CARANYA MUDAH: Ambil formulir di seluruh Authorized Dealer. Service Station & Parts shop Mazda di Indonesia. Isi dan kembalikan formulir dengan melampirkan fotokopi STNK dan kartu identitas-sebelum 15 Juli 1994. Kuis ini dapat diikuti pemegang STNK merk mobil apapun. INDOMOB P.T. Unicor Prima Motor Berhadiah 6 (enam) tiket ke Hiroshima menyaksikan Asian Games + Akomodasi + Tour a la Mazda PT. CAHAYA SURYA BALI INDAH AUTHORIZED DEALER MAZDA JALAN IMAM BONJOL 203 TELP.237026-228420-226879 FAX.228420 DENPASAR - BALI Mazda C 1202 Color Rendition C Chart 2cm 4cm