Tipe: Koran
Tanggal: 1998-08-16
Halaman: 09
Konten
998 ? osi di per- eman a du- a ber mhal a me- gan- t me- mak- il ter- ktu ia anah yang- ngga ecara dapat asan- eman sam- Peroleh men- h diri asaan ga ia rbuat lain. Juga hami arena eh te- mau man. nper- -anak ngan- dan entuk yang ognitif enuhi Hal in eputu- utkan mjuga i pun, mere- a ber- mata mata makin suami, tidak, ng ini, henak a pun sama telah a sua- arena na bisa a men- rkerak ingkan ni? - Hari- kepa- ? Pert- waktu ai tiba n men- -lorong unia ini tan itu ng bisa! api ke- Teror anti. It- masilan i. Oleh ui dari dalah. Sekali dibiar- u pula myang disele- mpuk, mana n pem- jangan santai hatian masih mem- Masalah n kecil, am me- can. Ke untuk n keun- ai dile- apa ada usaha dicoba. gan or- as den- makin at tem- ng bisa kesa- tekad siakan. renca- a mem- belum a diper- gan di- rogram i, hasil- an sem- Asma- g tidur. Minggu Pon, 16 Agustus 1998 Menepuk Air di Dulang... Adalah Kesempatan untuk Cuci Muka Nationalisme adalah penyakit kekanak-kanakan. Semacam cacar airnya umat manusia HARI Kemerdekaan di mana-mana selalu dirayakan dengan megah, meriah, dan, terutama serius. Persiapannya musti matang. Pengerek ben- dera dilatih berkali-kali sampai mampu bergerak bak robot den- gan akurasi komputer. Pidato direvisi berulang-ulang sehing- ga saat dibacakan akan mam- pu menangkap spirit para pejuang, keharuan rakyat, ke- besaran negara, dan, moga- moga membuat histeris pen- dengarnya. Jalan-jalan disapu bersih dari sampah maupun ge- landangan. Toko, rumah, sekolah, pokoknya segala macam bangunan musti dihias warna warni. Bahkan, langit- pun dilukis dengan pijakan kembang api. Kalau perlu kisah perjuan- gan difilmkan ulang. Kalau bisa dibuat dengan skala lebih besar, diberi setting baru, diberi mak- na baru, sehingga membuat negara kita jadi pusat dunia dalam hal heroisme dan kecin- taan pada kemerdekaan. Con- tohnya sudah ada, itu film In- dependence Day-nya Amerika. Saat mana dunia terancam se- rangan mahluk asing berpiring terbang yang kejam dan sakti luar biasa. Bisa ditebak, pahla- wan-pahlawan Amerikalah yang berdiri di garis depan. Dan, ketika piring terbang-pir- ing terbang dengan super-so- phisticated-highly-advanced- awesome - unimaginable in- vicible-future technology (pokoknya top bin huuuuebat) itu KO oleh virus komputer (what?) bikinan ilmuwan Amerika, hari kemerdekaan Amerika pun ditahbiskan se- bagai hari kemerdekaan bumi. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih mendalam kita pada para pejuang dan founding fathers, tidak ada salahnya kalau saat merayakan kemerdekaan kita tak serius terus-terusan. Kadang-kadang perlu agak rile- ks sedikit, ketawa-ketawa, sem- bari melakukan refleksi per- jalanan bangsa, tentunya dalam perspektif humor sehingga tak akan ada yang merasa meny- inggung apalagi tersinggung. Karenanya, dalam suasana kemerdekaan ke-53 RI, ini ada baiknya kita bicara tentang In- donesia, Cina, dan Amerika, tiga negara yang nasibnya saling kait mengait saat ini. Indonesia bu- tuh bantuan dari Cina dan Amerika, Cina dan Amerika se- dang baik-baiknya, Cina dan Amerika sama-sama khawatir dengan penegakan HAM Indo- nesia, dan Indonesia khawatir kalau karena itu bantuannya tak cair-cair, meski tetap tak se- rius juga menangani HAM. Demikian kurang lebih kaitan singkatnya.. Namun, terlebih dahulu marilah bicara tentang Bo Yang, Mochtar Lubis, serta Kurt Vonnegut Jr, tiga penulis yang seharusnyalah membuat Cina, Indonesia, dan Amerika bangga. Ketiganya penulis- penulis serius yang tak pernah lupa bahwa kegetiran hidup ad- alah bahan humor yang me- narik. Seberapa pun pedasnya tulisan mereka, kalau kita ikhlas, kita akan tertawa dibuatnya. Bo Yang, pernah dipenjara pemerintahnya, menulis The Ugly Chinaman. Mochtar Lubis, pernah dipenjara pemer- intahnya, menulis Manusia In- donesia, sedangkan Kurt Von- negut Jr, meski tak pernah dipenjara tak berarti pemerin- tahnya menyukainya, menulis Mother Night, Breakfast of Champions, dan God Bless You, Mr. Rosewater. Bo Yang menulis bahwa or- ang Cina itu jorok, ribut, suka bertengkar dengan sesamanya, enggan mengaku salah, tak suka berterus terang, berpikiran sem- pit, tidak toleran, dst..dst. Mochtar Lubis menulis bah- wa orang Indonesia itu hipokrit munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya tahyul, berwatak lemah, boros, dst...dst. Kurt Vonnegut Jr dengan sa- dar memproklamasikan dirinya sebagai penulis yang berusaha untuk selalu tidak sopan pada apapun yang dianggap sakral oleh negara dan rakyat Amerika. - Albert Enstein Entah benderanya, entah lagu kebangsaannya, atau sistem demokrasinya. Pokoknya, menu- rut dia, Amerika itu penuh non- sense dan bullshit. Tentu saja, tulisan-tulisan mereka memicu polemik. Rata- rata berupa bantahan. Ada yang adem ayem, ada yang panas. Maklum, siapa sih yang senang dikatakan jorok, hipokrit, dan segala macam si- fat buruk lainnya. Kebanggaan mereka terasa dihempaskan, jiwa nasionalismenya terasa disinggung. Terlebih lagi ketiga negara tersebut (termasuk rakyatnya) selama ini telah terbiasa men- ganggap dirinya sebagai nega- ra/rakyat yang unik, yang spe- sial, yang tiada duanya di dun- ia ini. Pokoknya pusat dunia lah. Orang Cina menyebut negaranya Tiongkok, orang In- donesia menyebut negerinya Nusantara, orang Amerika bangga negaranya disebut se- bagai Adi Daya Tunggal. Orang Cina bangga akan sejarahnya yang panjang, budayanya yang adiluhung, demikian pula den- gan orang Indonesia. Tetapi, justru dalam perspe- ktif rasa bangga, yang kalau berlebihan bisa jadi arogansi yang membutakan, itulah karya ketiga penulis tersebut memiliki makna dan peran penting bagi bangsanya. Otokritik semacam itu, pal- ing tidak, akan mengingatkan bangsanya bahwa mereka tak sempurna. Bahwa ada kesala- han-kesalahan, kelemahan- kelemahan, yang mesti diperha- tikan dan diperbaiki, bukannya disembunyikan. Mungkin tak semua kritik mereka benar tetapi, jelas tak mungkin pula semuanya salah. Dan, tak ada saat yang lebih tepat dari peringatan kemerde- kaan untuk melakukan reflek- si semacam itu. Hari saat mana sebuah bangsa, sekian puluh atau sekian ratus tahun lalu, mengikat komitmen untuk be- bas dari penjajahan bangsa lain serta, dalam kebebasan, itu berupaya mencapai tujuan ber- samanya. Tahun 1998 Catatan Ulang Tahun buat: Yuliarsa Pada perkisaran musim tua/hari mulai susut/dan daun-daun kering/ sudah bersedia gugur dari rantingnya (Leiden 4/10/78 (Malam), Subagio Sastrowardoyo) I Wayan Jarrah, kawan kecil saya, belakangan ini terus me- nerus dihantui mimpi buruk. Mimpi yang membekaskan rasa takut bahkan sesudah ia terja- ga. "Mimpi yang paling menakutkan adalah saat aku tiba di sebuah tempat, yang aku kira surga tetapi ternyata nera- ka. Pokoknya, seperti surga yang dicat ulang. Lalu muncul mahl- uk-mahluk buas yang menerka- mku. Aku berusaha mengusir mereka ke neraka tetapi malah aku yang terjerumus ke sana dan tak bisa keluar lagi, "keluh- nya. Demikianlah, pada suatu malam, sembari menyeruput teh dan dua porsi spaghetti carbon- ara, saya dan ayahnya berusa- ha menjelaskan perbedaan ant- ara mimpi dengan realita kepa- da anak kecil kelas satu SD itu. "Kamu tidak usah takut karena mimpi itu tidak nyata. Yang nyata itu adalah kehidu- panmu saat ini, di mana kamu memiliki ayah, ibu, dan kawan- kawan, yang menyayangimu. Di mana tak ada mahluk-mahluk buas yang berusaha menerkam- mu senantiasa," hibur saya. Wayań terdiam sejenak. Kerutan di wajahnya membay- angkan keraguan yang masih menggelitik. "Tetapi, bagaima- na caranya membuktikan bah- wakehidupan yang saat ini pun bukannya mimpi. Bahwa saya bukannya sedang bermimpi me- miliki ayah, ibu, atau kawan kawan yang mencintai saya," tanyanya polos. Kami terhenyak, saling me- mandang dan tak mampu beru- cap apa-apa. Tetapi seorang anak telah bertanya dan kewa- jiban orang tualah untuk men- jawabnya dengan jujur. Kalau alam tak terang- kum dalam dada/ bagaima- na kata seakan terbit dari tiada/ tangan akan hampa meraih ke udara. (Di Dalam Dada, Subagio Sastrowardoyo). Suatu ketika saya pernah membaca cerita kuno, mungkin Cina atau India, tentang seorang lelaki yang bermimpi menjadi kupu-kupu. Bangun di pagi harinya ia bertanya-tanya pada semesta, "Apakah aku ini seorang manusia yang baru saja bermim- pi menjadi kupu-kupu ataukah seekor kupu-kupu yang sedang bermimpi menjadi manusia?" Saat itu umur saya belasan dan pertanyaan itu terlantar tak terjawab. Saat seorang anak kecil mempertanyakan hal serupa, se- luruh impian dan realita hidup saya seakan ditumpahkan di atas meja. Keraguan menyembul karena tak pasti lagi mana yang nyata mana yang maya. "Saya tidak tahu jawaban- nya Yan, saya ingin bilang bah- wa saya tahu tetapi saya sung- guh-sungguh tidak tahu. Mu- ngkin kamu yang akan mene- mukan jawabannya. Kamu menyadari pertanyaan itu pada usia yang jauh lebih muda dari saya, kemungkinan besar kamu juga akan menemukan jawa- Meluruskan Hati Membebaskan Jiwa...... SESUDAH Rama dan Pan- dawa, pahlawan-pahlawan Cina lah yang menemani masa rema- ja saya. Lewat buah karya Khoo Ping Hoo, Chin Yung, Khu Lung, Ong Kian Tiong, dan Tjan ID, saya berkelana ke sebuah dunia, yang rimbanya selalu hijau, sun- gainya selalu mengalir, dan pahl- awan tak henti-hentinya lahir. Beberapa pahlawan Cina itu nyata secara historis, macam Chu Kok Liang dalam Sam Kok. Ada pula yang hasil imajinasi pengarangnya, macam Suma Han dalam seri- al Pulau Es. Tetapi, bagi saya, perbedaan antara fakta historis dengan realitas imajinatif tak berarti apa-apa. Para pahlawan inilah yang kemudian menjadi teladan, menjadi tempat belajar saya. Dari Kwik Tay Lok, Pendekar Riang, saya belajar tentang bagaimana caranya menter- tawakan setiap kesedihan dan kemalangan hidup. Entah itu kesedihan orang lain atau, uta- manya, kesedihan diri sendiri. Yang pertama sungguh gam- pang dipelajari, yang kedua belum sempurna saya kuasai. Dari Li Pai, Pedang Air, saya mencecap apa artinya menjadi seorang manusia yang bun bu, paham ilmu silat dan paham ilmu surat (sastra). Per- nah pula saya mencita-citakan memiliki kisah cinta seindah dan semelankolis Kam Bu Song, Suling Emas. Dan, teri- ma kasih Tuhan, cita-cita itu sudah kesampaian. Toh, dari sekian banyak jilid cerita silat, dari sekian ratus stok pahlawan, setelah sekian tahun, ada dua pahlawan yang hingga kini masih jelas tergambar dalam hati saya. Kedua-duanya pahlawan yang mesti mengh- adapi hidup yang teramat pedih, Pho Ang Swat dan Li Sun Hoan. Salju Merah Ang Swat, anak haram yang dilatih keras ibun- ya dalam ruangan suram bercat hitam. Kakinya pincang, tubuh nya didera ayan. Ayahnya mati tak jelas, ibunya mati nelangsa, pacarnya pelacur dan penipu murahan. Meski golok hitamn- ya tanpa tanding, dunia persila- tan memandangnya dengan hina. Napasnya adalah dendam. Pisau Terbang Sun Hoan, sastrawan tampan putra bang- sawan. Hatinya patah ketika sahabatnya jatuh cinta pada kekasihnya. Diserahkannya satu-satunya wanita yang mengisi hatinya itu. Dibiayain- ya pernikahan mereka dan di- hibahkannya seluruh harta warisan orang tuanya. Pergi ke utara, Sun Hoan menjadi pem- abok yang terbatuk-batuk karena TBC. Tiap hari, dipa- hatnya patung-patung wanita tanpa wajah (kekasihnya?) un- tuk kemudian dikuburnya dalam salju. Tangannya terus menerus gemetar sehingga du- nia persilatan pun meragukan pepatah "Pisau Terbang Siau Li sekali terlempar tak pernah meleset." Saya terkagum-kagum bu- kan cuma karena menawannya cerita atau kuatnya plot (terima kasih Khu Lung) tetapi lebih karena teguhnya karakter ked- ua tokoh itu. Keduanya adalah pengejawantahan sikap hiap gie, setia kawan, dan cinta ke- benaran yang paling dalam. Segalanya mereka korbankan demi kawan dan rasa keadilan. Karenanya, kawan-kawan mereka pun sedia mengorban- kan apa saja bagi mereka. Tetapi di atas semuanya, saya selalu terkenang Ang Swat dan Sun Hoan karena mereka mampu menjadi repre- sentasi keagungan jiwa manu- sia. Jiwa yang tak pernah menyerah, tak mau kalah, ter- hadap segala bantingan dan hajaran kehidupan. Jiwa yang selalu lapang dan hangat dan penuh rasa percaya terhadap niat baik sesama. Jiwa yang memandang manusia-manusia lain sebagai saudara. Adalah keagungan jiwa ini, yang pada akhirnya membe- baskan Ang Swat dan Sun Hoan. Bukan golok hitam yang menyelesaikan dendam pun bukan pisau terbang yang menghabisi masalah. Tetapi kemampuan untuk mencintai dan dicintai. Kemampuan un- tuk membuka hati dan mata atas sifat-sifat baik yang ada pada orang lain. Ang Swat mengembalikan golok hitamnya, hidup bertani dengan pelacur dan penipu, yang ternyata tulus-tulus men- cintainya, bahkan saat ia ayan. Sun Hoan mengistirahatkan pisaunya, mengasingkan diri bersama gadis muda yang mengingatkannya bahwa salju bisa begitu dingin dan kejam di mata orang sedih, tetapi bisa begitu lembut dan indah di mata orang yang jatuh cinta. Demikianlah, saya selalu ter- ingat pada Ang Swat dan Sun Hoan karena saya merasa ada sedemikian banyak orang seperti mereka di dunia ini. Orang-or- ang, yang meskipun bergulat dengan ketidakadilan hidup dan kejahatan manusia, tetap meme lihara keagungan jiwanya. Adalah Ang Swat dan Sun Hoan yang menjadi idealisasi karakter orang Cina dalam pikiran saya. Dalam kehidupan nyata, jalan hidup saya bersing- gungan dengan beberapa orang Cina. Sebagian besar mening galkan rasa manis, beberapa Bali Post Agenda Kantong Apresiasi '98 28 Tahun Amlapura 53 Tahun RI ya Pesta PUISI '98 28 Tahun AMLAPURA, 53 Tahun RI ya Lomba SENI Baca Pisi YASAKERTI Amlapura Minggu PAGI 16 Agustus '98 di Yayasan YASAKERTI jln Ngurah Rai 56 Amlapura Denpasar PROKLAMASI SENI Baca Puisi ●Lomba SENI Baca Puisi PROKLAMASI Se-Kodya Denpasar Raya yang Ke-Enam.... Senin SIANG 17 Agustus '98, pukul 12.00 WITA di Banjar SEMILA JATI oleh Sekaa Teruna SATYA YOWANA, jin Gunung Agung Gg II, telp 424658, 435966, Denpasar... Pameran Tunggal SASANA SEBULAN Penuh Pameran Perupa I KETUT SASANA (24) di PST (Padukuhan Senin Tibubunter) Negara Hubungi SEGERA Padukuhan Seni Tibubunter (PST) dan Kalangan Kembang Jepun (KAKEJEN) jln Kutilang 29 dan jin Wijayakusuma, telp 41169 (0365) Negara... Menyimak POSIS di Tahun SENIBUD... ●Kembali ke POSIS (Pos Seni Siswa) ya Menimbang dan Mengukur Tahun SENIBUD '98 Beradu bahu dan pena Siswa siswi Kreatif, buktikan di BPM 23 Agustus '98 Giliran Bali utara PROSES KATA di Bali Timur Karang Awake Tandurin Aksaramla... KATA, hip hip Kukuruyuk Bali Timur '98 Minggu SIANG 23 Agustus '98, pukul 12.30 WITA di Yayasan YASAKÉRTI jln Ngurah Rai 56 (Muka SMUNSA) Amlapura "LAGI LAGI PROSES PENULISAN KREATIF...." oleh I Nyoman Gede Sugiharta (SARS) Bali Utara dengan arahan IA Wahyuni, Siti Isminah, Jenek Ariyanta, Komang Berata, IDK Raka Kusuma, Wayan Arthawa dkk KATA Besakih... Makepung Bali Barat JEMBRANA Khusus '98 ●Edisi KHUSUS KPSJ Bali Barat JEMBRANA, Pemanasan PUKAT (Purnama Kapat...) Kepak Sayap JALAK, Gorengan JEGOG, Leko, Melayu LOLOAN Bumi Makepung Gebyar Spesial GERBANG Bali Barat Purancak Rambut Siwi Gilimanuk BPM 30 Agustus '98 Harijadi Radio Widya BESAKIH, ya KATA '98 Kumandang Apresiasi Tanah Aron.... KATA ya Bintang Bali Timur '98 Edisi KHUSUS Harijadi Radio Widya BESAKIH, jadi KHUSUS Karangasem Bali Timur dengan Ujungtombak KATA, jaga JAGALAH SLONDING BPM 6 September '98 Tangguntiti ya JINENG SMASTA Pelangitaban Subak TANGGUNTITI mata air hayat JINENG SMASTA Kebyar TABANAN kota Pelangi '98 Ni Luh Putu Mahaputri, Eka Ratna Wulandari, Agoes Ananta Noor, Mahaprabu dkk SIAGA mengibarkan panjipanji SMASTA JINENG... (JA GA, tanggal mainnya, Red) Coba HUBUNGI Lumbung JINENG SMASTA, telp 811164 (0361) jantung Tabanan... Di Balik MADING, Pos Seni Siswa, De... ●Siswa siswi Kreatif ya POSIS (Pos Seni Siswa) Mengebrak Tahun SENIBUD '98 Lagi lagi Edisi KHUSUS SENI Siswa ya Serbu Hen...BPM 13 September 1998 Puputan BADUNG Grenceng Batan Moning '98 ●Kembali ke Jantung Bali Selatan ya Puputan Badung dengan Plus Minusnya Ini Badung Yan..., maka Hadanglah Edisi KHUSUS Badung BPM 20 September '98 Jalan Sunyi Two roads diverged in a yellow wood, and sorry I could not travel both.... ENTAH kenapa dunia selalu penuh dengan hal- hal yang saling bertentangan. Manusia, sedari awal zaman, mencurahkan selu- ruh daya pikir dan tenaganya untuk membuat hidupn- ya jadi lebih mudah dan nyaman. Ditemukannya api, oven, hingga microwave, agar makannya lebih nik- mat pun lebih sehat. Ditempatinya gua, dibangunnya rumah, bahkan pencakar-pencakar langit agar tidumya lebih aman dan lelap. Diciptakannya roda, mobil, jet supersonik, bahkan hypersonic agar kakinya tak le- lah dan dunia tak berjarak. Ditelitinya asal usul tiap benda, teleskop-teleskop radio, wahana luar angkasa, komputer hitung jutaan per detik, agar terbuka selu- ruh rahasia alam semesta. Toh, ternyata hidup jadinya tak lebih mudah dan nyaman, makan tak lebih nikmat, dan tidur tak lebih lelap. Terkadang, segala penemuan itu, yang pada awalnya memberi sedikit kelegaan, ternyata meny- impan kutukan. Polusi, radiasi, kolesterol, alienasi, serta kutukan-kutukan lain yang membuat hidup jadi lebih rumit, jadi lebih suram. Bahkan, segala macam penelitian dan pene- muan ilmiah yang bertujuan mencerahkan hidup manusia (dalam beberapa segi memang tercapai) tetap menyisakan satu kemungkinan besar. Kemu- ngkinan yang akan terus menghantui kemanusian kita, termasuk para ilmuwan, bahwa, jangan-jan- gan obsesi untuk mengekplorasi semesta adalah kompensasi atas ketidakmampuan kita memaha- mi diri kita sendiri. Bahwa, umat manusia sedang melarikan diri dari kesejatian dirinya sendiri. Jawabannya bisa ya bisa tidak. Tetap terbuka kemu- ngkinan suatu ketika justru eksplorasi tersebutlah yang akan menjadi pintu gerbang kita ke dalam diri sendiri. Namun, saat ini ambisi kita untuk hidup lebih nyaman dan nikmat, untuk tahu tentang segala hal, telah membuat hidup kita menjadi terfokus pada hal-hal di luar kita. Utamanya, hal-hal yang kasat mata, yang fisik. Kita jadinya kehilangan sebagian kecil atau malah sebagian besar kemampuan kita untuk melihat ke dalam. Kemampuan untuk bere- fleksi untuk merenung. Bukan tentang bagaimana membuat hidup kita lebih nikmat tetapi lebih dari itu Halaman 9 tentang betapa nikmatnya hidup, siapa kita, untuk apa kita di sini, dan ke mana kita sesudah ini. "Apakah kita menjadi lebih bahagia? Saya tidak bicara tentang televisi tiga dimensi atau anggur tan- pa biji. Apakah pada dasarnya kita lebih bahagia?" gugat pendeta Palmer Joss, karakter dalam novel Contact-nya Carl Sagan, pada kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Sebuah gugatan yang tak bisa dijawab bahkan oleh superkomputer yang telah mengalahkan GM catur dunia atau dengan pergi ke ujung semesta. Sebuah pertanyaan yang tak akan bisa dijawab oleh Enstein, Hawking, Sagan, Siddhartha, atau Plato. Yang mungkin bisa menjawabnya adalah sebuah perjalanan ke dalam diri sendiri. Semacam masuk ke telinga Dewa Ruci dalam kisah Bima Suci itu. Namun, untuk itu diperlukan keberanian untuk be- berapa saat menghentikan fisik kita dari niatan un- tuk lebih nyaman, untuk lebih nikmat, untuk lebih tahu. Keikhlasan untuk menutup mata, menulikan telinga, membisukan mulut, berkelana ke semesta diri, men- cari matahari purba kemanusiaan kita. Sebuah perjalanan sunyi. Mungkin karena itu tak banyak lagi yang tertarik untuk melakoninya. Mungkin karena itu pula jum- lah orang yang bahagia dengan dirinya apa adan- ya makin sedikit saja sementara, di pihak lain, dun- ia makin tambah ramai dengan keluhan dan ketidak- puasan atas berbagai hal. Apakah saya sedang menggugat keabsahan us- aha manusia mencapai pengetahuan dan teknologi yang lebih tinggi? Apakah saya menganjurkan kita kembali ke zaman batu dan menganggap segala pencapaian fisik itu sebagai kesia-siaan belaka? Tidak, saya hanya merasa, betapa sangat ironis- nya, saat tubuh fisik kita sudah mampu mencapai ujung dunia, bahkan mungkin sebentar lagi ujung semesta, jiwa dan hati kita masih saja belum be- ranjak dari titik awal kelahiran kita, lara lapa merin- dukan rasa bahagia. Lalu, sesungguhnya, selama sekian ratus tahun ini, selain memanjakan keinginan tubuh-fisik-semen- tara ini, apa saja yang telah kita kerjakan, Manusia? ... Two roads diverged in a wood, and I- I took the one less travelled by And that has made all the difference (The Road Not Taken, Robert Frost) Karenanya, alangkah indah gakuan dosa itu akan menjadi Demokrasi atau Nasi nya kalau peringatan kemerde- kaan RI kali ini tak cuma kita isi dengan mengheningkatn cip- ta, mengerek bendera, berhias- hias, atau gerak jalan ke mana- mana. Tak cuma dengan meng. ingat segala kemenangan, ke- berhasilan, dan keutamaan kita sebagai bangsa. Tetapi juga dengan rendah hati mengakui kesalahan-kesalahan, keg- agalan-kegagalan, serta ketidaksempurnaan kita se- bagai bangsa. Dengan demikian, paling tidak, kita tak akan menjadi bangsa yang pongah, yang merasa dirinya paling unggul dalam segala hal atau paling benar dalam segala perkara. Dan, kalau Tuhan berkenan serta kita tak putus asa, pen- bannya lebih cepat dari saya," hanya itu yang terucap. Ajarilah bagaimana men- jadi tua/terkuak gapura ke- sadaran/ sehingga tampil kerajaan dalam. (Upacara, Subagio Sas- trowardoyo). Saya kemudian terdiam, hanya si ayah yang bicara. Ia sendiri juga mungkin belum tahu jawabannya, tetapi, paling tidak, ia tahu ke arah mana mesti mencari. "Pilihannya ada di tangan- mu Yan. Kamu boleh memilih mimpi burukmu sebagai reali- ta. Konsekuensi negatifnya, kamu harus berhadapan den- gan mahluk-mahluk buas serta tempat yang tak jelas apakah surga atau neraka itu. Kon- sekuensi positifnya, kehidupan mu sekarang ini menjadi mim- pi semata sehingga kamu tak akan tersentuh oleh pender- itaan, rasa sakit, kemarahan, atau segala bencana. Karena itu semua kan hanya dalam mim- pi," jelasnya. Boleh juga Wayan memilih sebaliknya, menganggap ayah- ibunya dan rasa sayang mere- ka sebagai sesuatu yang nyata. Boleh juga menganggap dua- duanya sebagai mimpi atau membuat saya menyesal telah bertemu dengannya. Sebuah kewajaran hidup menurut saya dan tak perlu menyalahkan seluruh orang Cina karenanya. Karena Ang Swat dan Sun Hoan pula saya selalu meman- dang orang Indonesia suku Tionghoa dengan rasa sayang dan kesedihan mendalam. Sep- anjang sejarahnya sebagai bagian bangsa ini, merekalah yang secara terus menerus mendapatkan perlakuan tidak adil. Ketika, Mei lalu, toko-toko mereka dibakar, rumah mere- ka dijarah, anak gadis mereka dianiaya kehormatannya, rasa sayang dan sedih itu berubah menjadi rasa malu dan muak yang menyesak. Malu karena kita tak mam- pu bersikap hiap gie, melindun- gi saudara yang dianiaya. Muak karena melihat kemanusiaan kita jatuh begitu rendahnya. Nurdin Purnomo, Ketua Partai Bhinneka Tunggal Ika, ketika ditanya kenapa selalu suku Tionghoa yang jadi korban dalam setiap kerusuhan, beru- cap, "Karena orang Tionghoa tak pernah mau melawan, tak per- nah mau membalas. Kan enak memang mukulih orang yang tak mau melawan. Kalau muku- lih orang yang melawan kan bisa babak belur yang mukul. Ada nada getir dalam uca- pannya, nada ketidakber- dayaan. Tapi nyatanyalah be- gitu. Suku Tionghoa tak pernah berontak dan membalas den- dam. Berkali-kali mereka dian iaya, berkali-kali mereka diu- sir, mereka tetap kembali. "Karena ini negeri kami, tanah air kami. Kami lahir di sini dan ingin mati di sini," ucap Nurdin. Beberapa orang mungkin menyebut itu sebagai sikap lemah. Tetapi, saya meman- dangnya sebagai pengejawan tahan keagungan jiwa manu- energi baru yang mendorong kita ke arah kesempurnaan. Karenanya, Cina, Indonesia, dan Amerika, sesungguhnya berutang budi pada Bo Yang, Mochtar Lubis, Kurt Vonnegut Jr, serta sekian banyak orang lain nya, yang setiap saat memper- taruhkan dirinya demi terpeliha- ranya kejernihan sebuah bangsa dalam memandang dirinya. Menepuk air di dulang, ter- percik muka sendiri. Demikian kata pepatah. Namun, bagi Bo Yang, Mochtar Lubis, dan Kurt Vonnegut Jr, menepuk air di dulang adalah kesempatan un- tuk mencuci muka. Kesempa- tan untuk membersihkan wa- jah, menyegarkan hati, mem- perbaharui diri. Merdeka! ●I Wayan Juniartha dua-duanya sebagai realita. Syaratnya, Wayan harus sadar dan siap akan segala konsekuen- sinya. Waktu terbangun dari kesima terlepas dari mulut ku tembang asmara (Malam Penganten, Subagio Sastro- wardoyo) Demikianlah, ketuaan usia tak selalu mendatangkan pe- mahaman akan arti hidup. Tetapi, alangkah indah, alang- kah cukup, kalau bertambah- nya usia diiringi melapangnya dada untuk selalu berusaha, meski perlahan, mencari pema- haman itu. Kelapangan dada untuk selalu belajar dan men- dengar bahkan dari seorang anak kecil sekalipun. "Selamat tidur Wayan, se- moga mimpi indah," ucap saya. Sembari melangkah perlah- an anak itu menoleh meman- dang saya. "Mungkin juga malam ini aku akan bermimpi dalam mimpi," senyumnya jernih. O, tetaplah bermata kela- na/melihat dunia pada hari pertama... (Leiden 27/10/78 (Pagi pk. 7), Subagio Sastrowardoyo). Denpasar, 13 Juni 1998 I Wayan Juniartha INI masa-masa kritis bagi gerakan pro-reformasi. Bagi mahasiswa dan aktivis pro-re- formasi, turunnya Soeharto mengakibatkan hilangnya tu- juan bersama dan momentum perjuangan. Belum lagi masalah direbutnya kata 'refor- masi oleh beberapa pihak, yang dulunya jelas-jelas anti refor- masi. Akibatnya, kini semua orang fasih bicara reformasi sementara tingkahnya jelas jelas masih totaliter. Contoh terbaru dalah ajakan agar masa reformasi ini semua pi- hak harus berusaha menyama- kan persepsi. Wong, reformasi mencita-citakan kebebasan berpikir kok diajak menyerag- amkan persepsi? Bagi masyarakat pasif, yang sesungguhnya tak perduli ban- yak tentang reformasi, birokra- si, apalagi demokrasi, perjuan- gan reformasi juga mulai tera- sa membosankan. Masalah, mereka ini orang-orang simpel, ingin perubahan nyata dalam waktu singkat. demokrasi dengan nasi. Pilihan- pilihan dibuat sedemikian rupa sehingga memilih yang satu be- rarti meniadakan yang lain. Memilih reformasi politik berar ti, katanya, ekonomi kita akan carut marut entah hingga ka- pan. Memilih demokrasi artin- ya, katanya lagi (dan entah bagaimana logikanya), bisa membuat rakyat makan tiwul terus-terusan (bukan cuma karena klangenan semata lho). Lantas disusun wacana sede ian rupa sehingga refor masi ekonomi harus didahulu- kan dan kepentingan pangan di- utamakan. Cara berpikir ini berbahaya bung, pak, ibu, saudara, dik, atau siapapun juga yang mem- baca tulisan ini. Tak cuma berbahaya bagi perjuangan reformasi tetapi juga bagi masa depan bangsa secara keseluruhan. Artinya, akibatnya bisa menimpa kese- luruhan warga masyarakat, baik yang pro, anti, maupun monetral reformasi. Katanya reformasi, kok tetap saja ada tilang damai, minyak goreng langka, pungu- tan-pungutan bersalin rupa? Katanya kalau Pak Harto tu- run dolar ikut turun, buktinya kok malah naik? Kondisi lebih diperparah lagi dengan kemarau panjang yang menipiskan stok pangan. Kela- paran mulai bergerak, penjara- han di mana-mana, tingkat ke- jahatan melambung. Akibat nya, rakyat kecil terjerat lehern- ya, terhantam perutnya. Bi- asanya, orang yang dijerat leh- ernya dan dipukul ulu hatinya akan merasa muak dan mau muntah. Celakanya, mereka muak atas segala omongan ten- tang sistem pemerintahan, par- tai politik, atau pemilu. Dan, mereka mau muntah setiap kali dengar kata reformasi. Hasilnya jelas, muncul waca- na yang mempertentangkan re- formasi politik dengan ekonomi, tiap perkara." SATU, karena cara berpikir pilih salah satu itu salah total. Memangnya dia (entah siapa itu) kira politik dan ekonomi, demokrasi dan nasi, itu kue yang berbeda-beda. Pilih satu yang kita senangi, makan, ken- yang, yang lain ditinggal. Non- sense! Memangnya bisa refor- masi ekonomi tanpa kemauan politik yang kuat dan berorien- tasi kerakyatan. Sebenarnya sih bisa. Tetapi nanti akan la- hir ekonomi yang lemah dan, celakanya, seringkali tidak ber- orientasi kerakyatan. Kemauan politik yang kuat (dalam arti pemerintah yang berniat baik pada rakyatnya) dan berorientasi kerakyatan hanya bisa dibangun jika rakyat memiliki posisi tawar kuat di hadapan pemerintahnya. Kalau posisi tawarnya lemah, nggak mungkin lah sebuah pemerin- tah takut dan merasa berkewa- jiban membikin senang rakyat- nya. Intinya, pemerintah ker- akyatan baru bisa terbangun kalau mereka tahu bahwa rakyat bisa dan mampu meme- cat mereka setiap saat. Bagaimana mungkin rakyat bisa memecat pemerintahnya dalam negara yang totaliter, ademokratis bin fasis. Satu-satu nya pilihan adalah dengan mengembangkan demokrasi sebesar-besarnya seluas-luasnya. Pemerintahan yang demokratis menjamin hak rakyat untuk me- mecatnya setiap saat. Sialnya, reformasi politik, ekonomi, pembangunan demokrasi, itu nggak bisa jalan kalau rakyatnya sibuk mencari sesuap makan. Bagaimana or ang bisa berpikir tentang Trias Politica atau Perlu Unjuk Rasa I Wayan Juniartha. sementara perutnya keroncon- sia. Jiwa, yang selalu siap me- maafkan dan memberi kesem- Esok pagi, saat bendera patan kedua pada mereka yang kembali dikibarkan menandai selama ini menyia-nyiakannya. kemerdekaan bangsa, marilah Sikap yang sama perwiranya kita semua memerdekakan dengan menghunus pedang jiwa meluruskan hati sebagai melawan kelaliman. Bukankah sebuah bangsa. Cinta, yang Khong Hu Cu dalam kitab pernah membebaskan Ang Tiong Yong (IX:3) pernah ber- Swat dan Sun Hoan, pasti juga kata, "Dengan lemah lembut mampu membebaskan kita. mendidik sesama, tidak mem- Kemampuan untuk mencintai balas perbuatan yang ingkar manusia lain, tak perduli seber- dari jalan Jalan Suci; itulah apa pun sipit matanya. Kela- keperwiraan dari selatan yang pangan hati untuk melihat juga dipegang teguh oleh seor- adanya kebaikan pada manu- ang Kuncu (manusia sejati)." sia lain, tak perduli seberapa Saya berharap agar sau- dara-saudara saya suku Tion- ghoa terus mampu menjaga keagungan jiwa itu. Keagun- gan yang mengingatkan saya pada Ang Swat dan Sun Hoan. Sedangkan, pada saudara- saudara saya yang selama ini membenci orang Cina, baik dengan alasan maupun tanpa alasan. Untuk pemimpin- pemimpin bangsa, yang entah kenapa, alpa melindungi kese- lamatan sebagian warganya. Untuk para pembakar, pen- jarah, pemerkosa, yang kini en- tah di mana. Izinkanlah saya mengutip kitab Thai Hak (Bab Utama:4). "Maka orang zaman dahu- lu yang hendak menggemilang- kan Kebajikan Yang Berca- haya itu pada tiap umat di du- nia, ia lebih dahulu berusaha mengatur negerinya; untuk mengatur negerinya, ia lebih dahulu membereskan rumah tangganya; untuk members- kan rumah tangganya, ia lebih daulu membina dirinya; untuk membina dirinya ia lebih dahu- lu meluruskan hatinya; untuk meluruskan hatinya, ia lebih dahulu mengimankan tekadn- ya; untuk mengimankan tekad- nya, ia lebih dahulu mencuku- pkan pengetahuannya; dan untuk mencukupkan penge- tahuannya, ia meneliti hakikat pun kuning kulitnya. Ke- hendak untuk bersaudara den- gan manusia lain, seberapa pun berbedanya dia. Merdeka dalam cinta. MENARA 105,8 FM RADIO MENARA FM 105,8 PRSSNI: 210-VII/1980 105,8 MENARA FM Dari Pulau Dewata kami hadir dengan musik- musik berkualitas serta informasi-informasi rancak KONSULTASI GRATIS DI RADIO 105,8 MENARA FM BALI IKUTI ACARA: "KELUARGA SEHAT PHAPROS HARI JAM : SETIAP SABTU (DI BINGKAI NOSTALGIA) 11.00-11.30 WITA PEMBICARA dr. SRI BUDAYANTI & PT. PHAPROS (AGEN PT. RAJAWALI NUSINDO) JANGAN LEWATKAN, TOPI,K-TOPIK MENARIKSEPUTAR KESEHATAN DAN JIKA ANDA MEMPUNYAI MASALAH KESEHATAN, PASTIKAN KELUARGA SEHAT PHAPROS MENJADI TEMAN ANDA. ACARA INI DIDUKUNG: -PT. PHAPROS (AGEN TUNGGAL PT. RAJAWALI NUSINDO) -PT. RADIO MENARA FM BALI. JL. GATOT SUBROTO 1/37 TELP. 411139 FAX. 411139 DENPASAR - BALI B. 90 gan dan istrinya ngedumel kare- na harga susu yang terus pa- rade loncat tinggi. Di pihak lain, ketersediaan pangan juga tak terjamin dalam pemerintahan yang politik, ekonomi, dan demokrasinya nggak beres. I Wayan Juniartha hilangan posisi kalau melapor- kan kejadian yang sebenarnya. Yang terbangun kemudian adalah kemakmuran ekonomi semu dan swasembada pangan semu. Hanya sebagian kecil orang yang menikmati begitu banyak fasilitas ekonomi. Pet- ani-petani tetap miskin semen- tara generasi muda emoh mendekati bidang itu karena hasilnya sedikit dan tak ber- gengsi. Lingkaran setan? bukan, pasti bukan lingkaran setan yang tak ada ujung pangkaln- Dalam negara yang sistem ya. Tetapi hanya masalahnya kesalahan persepsi belaka. politiknya sehat dan demokrat- Kue, yang sesungguhnya satu is, hal-hal semu seperti itu akan potong dan unsur-unsurnya segera muncul ke permukaan. saling tergantung satu sama Pejabat-pejabat akan cepat lain, dilihat sebagai beberapa bertindak (kelangsungan posis- potong kue yang terpisah-pisah-inya tergantung pada suara dan tak saling mempengaruhi, rakyat kan). Aspirasi akan Karenanya, pilihan reformasi didengar dan diselesaikan den- politik atau ekonomi, demokra- gan cepat. Tak ada pemerintah si atau nasi, adalah pilihan yang mau dipecat cepat-cepat salah kaprah. Pilihan yang be- kan? nar adalah Reformasi Politik dan Ekonomi dan Demokrasi dan Nasi. Bersama-sama pada saat yang sama. DUA, hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali. Itu pepatah rakyat keban- yakan. Adagium semi-ilmiah nya, mereka yang tak belajar dari kesalahan sejarah akan dikutuk untuk mengulangi ke- salahan yang sama. Bukti dari kegagalan pende- katan sepotong-potong itu ad- alah sebuah negeri bernama Indonesia (surprise!). Selama 30 tahunan lebih kita menem patkan ekonomi dan nasi di atas segala-galanya. Pemban- gunan politik, termasuk pengembangan demokrasi, di- anggap sebagai hal yang mere- potkan sehingga disapu saja di bawah karpet. Hasilnya apa, pertumbuhan ekonomi yang begitu menawan dan baik memukau masyarakat dalam maupun luar negeri. Nasi berlimpah berkat swasembada pangan yang sampai membuat FAO takjub dan memberikan med- ali buat Pak Harto. Buruknya, posisi tawar rakyat menjadi begitu lemah sedangkan pemerintah menja- di begitu kuat. Rakyat menja- di tak punya kekuatan untuk mengontrol jalannya pemerin- tahan. Lord Acton bilang (ini klise sekali sebenarnya), Kekuasaan (pemerintah mak- sudnya) cenderung korup, dan, kekuasaan absolut korup se- cara absolut pula." " Setelah beberapa lama, pe- merintah jadinya merasa pal- ing tahu apa yang dibutuhkan rakyat. Rakyat yang butuh padi disuruh tanam tebu. Cen- gkeh ditataniagakan. Kekua- tan ekonomi dibagi-bagikan pada segelintir orang. Segala macam keburukan dan keg- agalan pembangunan (terma- suk ciri-ciri awal kegagalan pertanian) dimanipulasi oleh pejabat-pejabat yang takut ke- Celakanya, politik dan demokrasi saat itu sedang di bawah karpet. Aspirasi rakyat tak sampai, kalaupun terden- gar langsung dianggap pem- bangkang. Yang sampai di atas adalah kabar baik-baik saja. Pemerintah pun menipu dirin- ya sendiri, seakan-akan seg- alanya berjalan lancar. Rakyat tata tentrem kerta raharja ok? Dan terjadilah kecelakaan besar ini. Intinya, krisis ekonomi, poli- tik, demokrasi, nasi, serta seg- ala macam krisis lainnya yang terjadi saat ini bukanlah dis- ebabkan oleh perjuangan pro- reformasi tetapi lebih disebab- kan pendekatan pembangunan pilih salah satu yang kita ter- apkan selama 30-an tahun. Ternyata pendekatan pilih salah satu, ekonomi atau poli- tik, demokrasi atau ekonomi, itu terbukti gagal total. Kalau sudah terbukti salah dan kita tetap melakukan pendekatan tersebut, tak per- duli apakah kita memilih ekonomi atau pun politik, maka kesimpulannya hanya satu : kita memang keledai. Keledai yang dua atau tiga puluh tahun lagi akan mengh- adapi kesalahan yang sama, krisis yang sama, akibat ke- bodohan yang sama. Karenanya, bung, pak, ibu, saudara, dan dik, yang belum bosan membaca tulisan ini, tolonglah digetuktularkan masalah kesalahkaprahan memahami kue bangsa ini. Dan, mohon, kalau besok-besok ada yang bertanya sebaiknya kita memilih apa, demokrasi atau nasi, tolong dijawab bah- wa kita ingin demokrasi dan nasi. Bahkan selain kenyang kita juga ingin bebas. Selain kaya kita juga ingin berkeadi- lan sosial. Dan, utamanya, bah- wa kita bukan keledai yang dikutuk sejarah. Merdeka! bung, pak, ibu, saudara, dan dik, Merdeka! I Wayan Juniartha 105 45FM RADIO ANEKA RAMA BALI JANGANKAN BERTERIAK, BERBISIKPUN KAMI DIDENGAR B.80 4cm
