Tipe: Koran
Tanggal: 1996-02-04
Halaman: 11
Konten
4cm Wage, 4 Februari 1996 Minggu Wage, 4 Februari 1996 Lennon talasi yang harus ditapaki jalannya untuk menggapai kemajuan peradaban dunia yang diimpikan seperti sudah dicapai negara-negara maju, namun kita juga harus bersaing dengan bangsa di Asia sendiri, Afrika mau- pun Amerika. Di luar semua isu dan persoalan kemasyarakatan itu, ada dua karya seni instalasi yang agak "nyeleneh" yaitu karya Dana E. Rachmat ("Ek- splorasi Imajiner Seorang Dana") yang penuh nuansa abstrak dan ima- jiner tanpa bentuk baku yang jelas. Begitu pula "Pembakaran"" karya Eddy Suherli yang sungguh- sungguh menghadirkan peristiwa kebakaran dengan kayu dan tumpu- kan kaleng yang terbakar mengepul- kan asap. Ada lagi karya yang agaknya memiliki nilai simbolik dari Igoen Gunamo, pematung yang juga pe- lukis yang sering mendapat pesan- an lukisan tokoh atau pejabat. Senyum Keranda Igoen lewat "Senda Gurau" bu- kan menampilkan tawa dan senyum, melainkan mengedepankan keran- da pengusung mayat berbalut kain beralaskan tikar, lengkap dengan payung penahan panas yang siap berangkat membawa sang mayat ke kubumya. "Senda Gurau" di keranda karya Igoen hendak mempertentangkan kenyataan kehidupan yang penuh kepalsuan, senyum di antara kepedi- han yang sehari-hari mendera menu- ■sianya. Semua karya seni instalasi mul- timedia yang berbaur dengan pulu- nhan lukisan koleksi Roma Siregar - d TBL itu, terasa sekali mengejut- kan dunia seni rupa di Lampung Selama ini, perupa Lampung memang dinilai mulai melangkah Omaju menyejajarkan diri dengan penyair maupun seniman tari yang msudah melanglang ke kancah nasion- S al maupun mancanegara. Kini mereka berusaha makin imaju dengan membuktikan dirinya bisa menampilkan karya hasil eks- perimentasi seni rupa. Menurut Eddy Suherli yang juga -ikut berpameran, pada tahun 1989- a an, sedikitnya sudah ada keberani- san dari tiga seniman di sana untuk di mencoba menampilkan eksperi- mentasi seni itu, namun mandek s, kemudian. Kini sekitar tujuh tahun selepas- 1- nya, seni kontemporer multimedia an di Lampung bangkit kembali meraih impiannya untuk tak kalah unjuk ta gigi dengan seniman instalasi na- sional yang sudah dikenal kondang a di negeri sendiri maupun di man- g canegara. J- Kepala TBL, H. Mentosir, BBA, an berpendapat pameran yang menja- adi kesempatan berdialog antara sen- ja iman dan masyarakat itu disadari n masih memiliki banyak kekurangan. "Namun semuanya diharapkan bisa an dimanfaatkan sebagai kegiatan ng banding dan inovasi perjalanan mau- i-pun kegiatan seni rupa di Lam- pung," katanya. an Persoalannya adalah, apakah an eksperimentasi yang cukup berani ni dari puluhan seniman Lampung itu k-bisa diimbangi dengan apresiasi masyarakat, mengingat banyak yang ng bertanya-tanya wujud apakah ya dilihat mereka. yang SAJAK SAJAK MINGGU INI ●I Ketut Suwidja TERMINAL UBUNG Agus Saudaraku Agus Agus Vrisaba Di sini terminal pemberhentian Terminal awal tancap gas dengan kaki kaki kukuh atau gemetar Perseneling disintuh dengan tangan tangan semutan Saudaraku Agus merenungkan perjalanan ini semoga tanpa akhir kata penyanyi pop kini Sementara aku merenung apa saudaraku sowan ke Gunung Ardilaya mendengarkan sebuah lagu gaib tersembunyi bagaikan kegaiban hatimu kini Karet Tanah Kusir Menyapa mereka yang terlentang dibelenggu keadaan dunia nyata dan akhirat Aku menuntunmu dan mengikuti jejakmu kemanapun Saudaraku pergi Memandangi celanamu yang longgar dan topi peneduh dengan bekal ala kadarnya ketika memasuki hutan cemara Kunang-kunang kemerlip dan sinar sinar warna warni menyusuri pandangku ketika aku menelusuri jejakmu dalam desah bagai air atau semak dan ranting bagai himbauan angin di hutan hutan beton Tawangmangu dan Tirtonadi Agus Saudaraku Agus Agus Vrisaba Malam gerah dan malam dingin di terminal ini sama saja dibentuk oleh keadaan Sindu Putra PINTU ILALANG matahari, menari sebagai sungai membelah bumi terapung di kamarku. tergantung tanpa puisi menyalakan malam. menunggu keranda dan sepasang cahaya dari matamu: mengalir sungai lewat kedua matamu melayarkan keresahan ke dermaga tua di pelabuhan hati dengan kuda tua, ku tinggalkan rumah kertas tenggelam dalam nyanyian cahaya yang dikoyak anak-anakku siul menjamah kota. menumpahkan kabut di pedati aku makin tenggelam dililit harapan getas dan cahaya matahari semakin jauh berkhabar pada pohon-pohon di dasar belantara berkendara cuaca biru. pekat suara. Kepak dingin menebar kembang kerinduan berkhabar pada burung-burung. tentang mimpi layu dan hutan sintetis di bawah tanah bercerita pada pohon-pohon. bercerita pada burung-burung sebuah cakrawala mengalunkan duka semesta: warna-warna telanjang, di depanku. menjadi kabut sementara tangan-tangan musim, habis menjamahku ketika telah larut. langit gemuruh dari seberang, matamu gemetar melukiskan kerinduan. yang tak kentara dan selalu ingin kau sembunyikan di hadapanku aku rindu juga, tapi penghabisan yang lengkap belum memberi lambaian Bulan lantas bergeser. laut menjerat perahuku, terasa semenanjung semakin tertinggal Menurut sekehendak-hendak hati mereka pantai yang memanggil-manggil, bakul jamu atau wts atau perempuan gedongan sama saja sebagai mahluk tempaan terinfeksi oleh zaman Senantiasa tak puas seperti berkah disarati kutukan Kini hatimu perih mendengarkan lantunan lagu lirih dari Warung Nasi Rogojampi Sementara sopir sopir dan kenek kenek Audibang terkencing kencing Habring " di ban ban mobil sama saja Mengantar gelisahmu menggerakkan kakimu ke mana saja ingin pergi IDK Raka Kusuma PESTA PURNAMA menari dalam cahaya kami menyanyi bahagia di tangan kanan bulan penuh tuak di tangan kiri bumbung bintang mengitar purnama pesta! kami pesta! pesta ini wahai! pesta pemuja dewa mabuk ketika purnama siapa mengusik kami kutuk jadi bulan mabuk diguyur tuak dari mana-mana pesta! kami pesta! menari dalam cahaya kami menyanyi bahagia sampai purnama menjelma kami sampai kami purnama menjelma pesta! kami pesta! RANTANG makanan yang baru saja diantar itu dibiarkannya di balik ter- mengeras tumpah di pedalaman. laut yang berdarah mengeramku. dan tulang-tulangku yang pecah dengan tajam menghujam cakrawala tapi terasa aku takkan sampai pintu-pintu air mengajakku masuk: di depan kubur-kubur tipis, menjulang pintu-pintu ilalang, sebagai batu-batu bulan mengalirkan tuhan, memelihara hujan yang menganga di atas hutan terbakar kemudian mengeras, bagai luka di dinding kabut meluluhkan wajah bulan yang terbaring bersama malam di atas kubur tipis, ku ketuk-ketuk kemudian kaukah, akan menjawab isyaratku gerimis deras mengalir getar berjubah putih, menggapai cinta. mengintai sejak lama dari perut burung-burung mengeram musim-musim, suara lembah matahari getar sukma berlayar ke tepi rahasia. mengelus istirah tertinggal di atas pangkuan. ada getar-gemuruh: bergantian pecah di depan pintu tanganku yang menggenggam cakrala, terkulai. tanganku, mengisap napas bulan. pulang ke keterasingan ku jemput rahasia, yang bakit dari tanah, lalu berdenyut ke pangkuan mimpi. jauh. jauh. ke kubur yang setia menunggu tanganku membelah langit yang menyimpan gerhana: ada cahaya panjang mengubur gelisah, merayap dari bayang-bayang ketakutan, dari kubur. di matamu kini kembali bersilang di hadapanku mendayung malam ke mimpiku, yang mengeram semesta dan menjaga suara sukma. seperti angin panas ia menyingkap pandangku dari isyarat warna sarang Bali Post A PRESIASI membakar nyanyian sunyi dan lagu jagatku Aku tak kuasa menjabat tangannya dari genggaman petualanganku OIB Gde Parwita SURAT SUNYI buat: Adhy Ryadi, alm Kesunyian panjang matahari menelan hening bunga bunga getar gerimis mengubur bintang bintang ada yang memanggil kata tak terucap Percakapan kita bahasa daun daun atau pepohon yang terjungkal dalam pelukan sinar bulan muara bumi ataukah kesunyian yang terbelah Gerimis malam hutan dan lautan adalah milik kita catatan catatan berserakan buah pena yang terlupakan telah berlayar menuju pusat semesta hening lautan muara pedusunan tempat kita berbagi I Wayan Suartha PERJAMUAN Sebentar, keras. guncangan dingin gunung gerak angin makin membubung meninggalkan cahya dupa yang menyeberang dari pangkalan dalam bahasa yang berbeda sebentar, perjamuan akan tiba rindu rahasia diri saling mencari dalam bahasa yang masih berbeda perjamuan tengah malam menerima kerelaan sepotong air sepotong kasih yang kedahsyatannya akan bertemu sebentar, dingin gunung tak terasa jam makin berdenyut sepersekian rahasia perjamuan telah memisahkan keterkejutan aku termangu tengah gelora pintu tertutup oleh sepasukan gerbang kembali kerasa gunangan ini namun kata selalu membutuhkan waktu I Wayan Arthawa SKETSA MALAM KETUJUH bagi Mpu Tanakung I Bagimu cinta telah merajut dasar bumi ●Subagio Sastrowardoyo GUMAM DI BULAN PUASA jari tanpa kuku menunjuk ke jalan mulia lempang tanpa kayalan sejarah putih kembali ke gerbang purba jantung berdebar gembira tapi jari hanya menunjuk lain tidak badan ringan sebagai daun melayang terlepas dari beban napsu suara telah menipis dalam bisik sepoi mimpi bening tersepuh oleh air murni dari zam-zam sumur keramat yang tak henti napas kelam terdampar di pinggir malam telah berapa lama tak terdengar deru lautan di pantai selatan batang kayu tergolek diam juga benih jantan sudah sabar tersekam di pangkuan di bukit kapur hawa terik sesak di dada tiba waktunya untuk berjaga bersama batu dan ranting gugur angin hiburlah dengan serbak sedap malam hari tua semakin mencengkam semua noda pada tangan pada perbuatan pada kenangan harus dilebur sampai musnah pesan yang tertinggal di celah jendela tak ada memberi kecuali bahkan nyawa berdosa bakal terbakar lagi di bawah matahari pada inti peristiwa muka air rata kerut gelombang susut kolam licin seperti kaca terpesona dalam hening lidah tinggal kelu penyair terus tersiksa oleh kata kalau tiba-tiba tertidur dan menutup mata apa yatim piatu tak telantar lantas menangis minta disayang biarlah mata tetap nyalang sepanjang siang pada saat suci begini dunia serasa terlahir kembali Anyond Chilinem tanah batu tercecah oleh subuh hari padu di kampung terdengar teriak bayi bahkan tubuh bini di ranjang seperti perawan lagi IV bibir hati-hati menyentuh dahi Menjelajahi muasal keheningan aku menggantungkan mata di puncak Meru Pura-Mu setidaknya bisa menembangkan sebait puisi jadi lentera pengembara V Orang-orang berdesakan di jalan berkabut dengan kemuraman kesetiaan pengembara A cahaya bintang melesat-lesat memetik puisi kelam malam bisikan nurani menggetarkan langit II Bagimu tembang kau bikin persembahan menggetarkan pintu surgawi malam kau ungsikan ke rumah bintang kau bikin tangga dari ruh jiwa biar terang dan berdentang jagat raya jadilah kidung III Di mana batas pengembaraanmu kedalaman cipta rasa buah-buah permenunan mengalun ●Dayu Oka Rusmini PEMBURU kau kah itu lelaki, ●Nyoman Wirata DI SEBUAH RESTORAN DEPAN MUSEUM Seporsi bistik disantap di atas meja gaya Jepang Sore hari dan piring porselin satu warna dengan bunga kembang sepatu yang membingkai senyum Kunikmati warna sore yang menggelayut di tiang-tiang bambu di atap-atap jerami Di situ ada lukisan burung, pohon, pura yang dibuat oleh pelukis Pengosekan seperti tiba-tiba memakai jas dan berdasi lalu tak bergoyang-goyang lagi ketika digantung di tembok museum 'Dewa Nyoman Batuan di mana?" Tanya suara seberang, aku ingin menikmati Pancasila lewat lukisannya Di museum ada sejarah hal yang kemarin sederhana seperti lukisan kertas dibuat dengan warna jelaga kini nampak tak sederhana lagi sepertinya pohon-pohon di pinggiran jalanan desa juga menawarkan yang lain dari kemarin sepertinya di tanah ini semuanya bisa tumbuh Seporsi bistik di sore hari di depan sebuah museum terbingkai oleh senyum pelayan serta dengan kembang sepatu berwarna darah semua itu tak ada di pasar Ubud Tapi antara restoran dan pasar tak jauh letaknya Di dalam museum kesenian akan ditahtakan tapi pelukisnya bisa seperti sapi terus membajak buminya serta berlumpur semoga tak habis terperah susunya suara-suara mulai memecahkan otakku cairannya membungkam seluruh lubang angin bahkan doa para pemangku tak mampu menghentikan keliaran ini kurebahkan seluruh potongan kepala di tanah mereka miliki mata paling hitam, mereka miliki bibir tak henti bersuara, berteriak, memaki merontokkan seluruh kuncup kembang sepatuku itu para lelaki, otaknya bicara lambat-lambat HALAMAN 11 AGENDA KANTONG APRESIASI '96 ....kembali ke singaraja, jantung bali utara ....sesepuh dan para pakar STKIP menyastra O PESTA SASTRA DAN TEATER'96 HUT STKIP SINGARAJA.... Kampus STKIP 11-12 Februari'96 Jalan Ahmad Yani 67, Singaraja Rabu MALAM 21 Februari '96, Pukul 19.00 WITA GRADAG GRUDUG FEBRUARI 1996 KELIR RAJER Bali BARAT..... Giliran: Bayu Hening Semesta dkk (setelah Januari: Idayu Praba Gayatri cs...) Jalan Anggerek Dua No: 58, Perumnas Baler Bale Agung Negara-telp: 40823 (0365) Jembrana PESTA PUISI ULANGTAHUN KODYA DENPASAR RAYA'96 Tukad Badung 25-26 Februari 1996 ●PESTA SENI DERMAGA BULELENG GAYA BALIUTARA PUNYA CAGCAG Tepat 392 THN SAR, 30-31 Maret 1996 PESTA SENI SROMBOTAN KLUNGKUNG 88 THN PUPUTAN KLUNGKUNG... Tukad Kaliunda 27-28 April 1996 ●PESTA SENI BANGLI BANGKIT MENIMBANG 792 TAHUN BANGLI Jaga di Taman Bali 11-12 Mei 1996 • Cokorda Istri Savitri LABUH GENI didamar kurung bulan berayun memanggil kematian tangan siapa dicakupkan ketika ilalang sucikan rambut panjang aku membuka selipan halaman beradab kerut menggores dilembar kesetiaan keris siapa kehilangan warangkanya? sebait mantra diucapkan begitu agung sama tajamnya dengan lidah ilalang pun tak ada bedanya dengan seorang pawang memanggil hujan dahi siapa dibenturkan ketika sekar sinom membelit badan aku berdiri di atas bale agung lidah api mengoyak keheningan gemuruh kulkul gender roras menabuh rahimku wajah kanak berlari di bawah pohon sawo lanok mencongklak bulan mereka mulai menari di tanah, membaca sajak bahkan pohonku ditawarkan huruf-huruf itu akar pohonku membelit mulut mereka bungaku meniupkan bau busuk, mereka tetap menari berteriak-teriak, memanggil para perempuan yang dipinjamkan bumi parang bahkan jari-jari tangannya ikut melengkapi pentas permainan mulutmu selalu menjanjikan hidup bahkan kelanjutan napas para manusia melukis kehidupan dan kematian VI Bagimu sajak pun jadi kaku, dan berani memecahkan tarian sakralnya semalaman kuruat makna kidungmu kutembangkan di langit menghitam menjadi bola-bola api untuk menerangi diriku VII Angin tak henti-henti menjalin sungai keriuhan (memompa jagat raya Kau gelombangkan kekhusukan jiwa) pohon-pohon mantram CHO orang-orang berkerumun sambil mengetuk siapa tahu, para penyair membuka pintu menyodorkan sajak-sajak penyelamat dalam senandung Hyang Kawi berjembatan daun-daun padma bagi keruntuhan sebuah dinasti membasuh gulita malam bersuara membacakan sajak-sajak miliknya, napasnya tak lagi mampu meredam pikiranku mereka berlari mengitari bumi mereka berlari mengitari bulan mereka berlari mengitari langit aku diam. menyaksikan pementasan tak bersuara dari sajak-sajak beku pilihan mereka tak satu huruf menyentuh wujud perempuanku sajakku tak memerlukan tangan-tangan itu semua lubang telah diisi suara para lelaki perempuan-perempuan itu hanya duduk mata mereka terkatup, melengkapi tarian asing sajak-sajakku membakar tubuh, otakku meletus cairannya membasahi tanah tak ada kematian harus disiapkan sebelum pertarungan dimulai Tuhan mulai memilih bentuk memuja dewi Ratih serak ginada mengalun aku punya rumah dipetak langit dengan taman kembang bintang aku suka menari memetik awan dikumpulkan dalam satu keranjang didamar kurung bulan terayun memanggil kematian nyawa siapa diundi bagi caru kejantanan dan perempuan mencebur ke api membawa sebilah keris juga warangkanya tinggal gemuruh ini tanah lelaki walau tanpa yoni aku membuka mata unggun telah padam dan lelaki telanjangi diri menindih abu sambil mengerang kepuasan: anakku, lahirlah! tutupan rantang. Nasi yang disirami kuah sayur nis yang ia tinggalkan. Wajah-wajah mendung kan seperti yang diberikan universitas kepada era hamba. Biarkan hamba yang sengsara. Biar bicara. Setiap pukulan bersuara seperti an- lodeh yang dibumbui ikan teri itu tidak meng- yang memandang iba melepas kepergiannya seseorang yang telah menyelesaikan pendidi- hamba mati esok atau lusa. Tetapi kalau boleh gklung. Remaja itu berteriak-teriak minta ali. Walau seharian tidak makan pe- goda nafsunya. Selera makannya sudah lama menyayat-nyayat hati dan memeras air matan- kannya, melainkan sesuatu yang memang tak hamba memohon, izinkanlah hamba bertemu rutnya belum merasa lapar. Apa yang tak datang menggigit. Dan saat ia akan dimakan dan diminum belum menjadi berdiri tutupan ran- barang yang ia prioritaskan. Bersandar di po- tang jok kamar (tangan kirinya memegang ji- dat sedangkan yang sebelah - lagi tergele- tak Alemas 4 di atas lutut) ia asyik mengu- nyah alur pikiran- nya dan menelan apa saja yang dang se- ia Kamar 13 Penghuni Kamar 13 • Cerpen N. Marewo rasakan. ya. Dan pada isapan yang ketiga ia melihat tu- buh istrinya dari ranjang ke ranjang, dan dari waktu ke waktu dengan laki-laki yang berbeda. "Sialan!" la memaki. "Anting! Babi!" la berteriak teriak. "Ronda! Apa lagi? Jangan ribut dong!" Pen- ghuni sebelah merasa terusik. Ronda tidak menanggapi. Bayangan kemon- tokan tubuh istrinya yang semula menggodan- ya untuk beronani itu tiba-tiba berubah menja- *** ampun. tetapi raja hutan tak peduli. Ia terus enak untuk didengar oleh seseorang yang te- dengan putera hamba. Biar sekejap. Sekejap bersantap dan tak seorang pun berani mele- rai. Hukum rimba. Adat bui. Yang tega yang lah dimasyarakatkan oleh sebuah lembaga; saja, Tuhan... Yaa, sekejap saja..." berkuasa. Setiap amarah harus dilepas agar Eks-napi, Eks-pembunuh, Eks-penjahat, bromo- corah, dan entah berapa Eks lagi yang menga- beban hidup terasa ringan. Lebih-lebih tadi pagi Wotu tidak menikmati sarapannya. Dan ndung kecurigaan dan tuduhan. Dan itulah se- TIGA setengah tahun sudah Ronda melam- ia makin kesetanan. Sebuah tendangan keras buah perhitungan yang tak mau ia pikirkan. Ya, buat apa dipikirkan? "Mati besok mati lusa paui waktu di balik terali. Selama itu pula ia pas kena dagu. Dua gigi remaja itu rontok. sama saja biar saja". Katanya bernafsu den- menunggu-nunggu, tetapi anak yang diharap- Tetesan darahnya muncrat dari mulut melebi- gan nada yang putus asa. "Kalau sekarang harapkannya itu tak pernah muncul. Namun, hi air kumur. Dan empat tendangan "Sela- dunia mau kiamat, kiamatlah! Silakan! Biar Ronda tak putus-putus tetap berdoa. Wajah- mat Datang" lagi mendarat di dada. Keem- Wotu!" Tiba-tiba suara yang keras di sepotong bangkai yang memuakkan. Untuk saja! Bukan urusan saya! Buat apa diurus? wajah yang pernah berpapasan dengan hidup pat dentuman itu bersuara seperti bunyi sejenak ia merasa menyesal karena selalu me- Ngapain repot-repot? Biar saja! Biar saja!" lampaunya timbul dan tenggelam. Bagai udara beduk. Remaja malang itu terkapar-ia jatuh manjakan istri dan tak sempat melatihnya bek- Di balik ketidak-pedulian dan keacuhan Ron- yang melewati fentilasi, pahala dan dosa ke luar seperti buah kelapa yang dibanting dari atas erja keras. Dan kalimat; "Mengapa harus men- da pada dunia di luar penjara, hal apa yang masuk. Yang bersisa hanyalah keberadaan di- pohon. Ronda memandang dari jauh dan menyak- jual diri?" itu tidak jadi ia ucapkan; tidak sangat mengganggu pikirannya adalah anak rinya sendiri. dalam benak pun tidak dengan pikiran. Ia takut laki-lakinya yang tertua. Tiga orang yang pe- Penghuni kamar sebelah menjulukinya "Ba- sikan kejadian bagai mengalami sebuah mim- alu- sekali untuk merasakan dan mengucapkan kal- rempuan hanya kadang-kadang muncul dalam pak Sinting" karena setiap hari ia hanya ma- pi. Mulutnya menganga, sedangkan dahinya berkerut kusut. Telapak tangan, lutut dan kak- minium itu dig- imat itu, apalagi dihayati. Dan sore itu ia beru- benaknya. Entah kenapa. Yang jelas, setiap kan sesuap dan minum seteguk. oresnya pada setiap batang ter- saha keras mengenang istrinya hanya pada sisi menit yang dilewatinya tak ada lagi yang ia lalui "Saya berbuat begini untuk putera saya, inya gemetar. Di mana-mana keringatnya me- ali yang berjejer hingga menyuarakan bunyi- yang baik-baik. tanpa digerogoti oleh bayangan puteranya. biar rezeki hanya berpihak padanya." la men- netes. Ke manapun yang ia lihat yang disak- bunyian persis seperti bunyi pagar besi rumah- Asap rokok mengepul lagi dan Ronda meng- Adakah karena yang laki-laki itu Si Sulung yang jelaskan. "Tetapi Wotu...." Ronda berhenti se- sikannya hanya darah. Penghuni penjara yang rumah mentereng yang diisengi anak-anak yang hitung tahun. "Delapan setengah lagi..." Kata ia harapkan untuk memimpin keluarga? Atau- jenak dan memandang langit dengan wajah satu ini masih berusia tiga puluh delapan. Sem- lagi miring. itu menghembus bagai desiran angin. Ya, apa kah keistimewaan ini disebabkan sang ayah yang menengadah. Ia beralih memandang wa- menggelar. "Kenapa kamu menyiksa anak saya, bilan tahun ia mesti dikurung karena menikam "He!" Penghuni kamar sebelah menyambut makna delapan setengah tahun bagi seorang memang lebih dekat dengan anak laki-laki? jah kawannya itu dengan kepala yang berat, Wotu? pamannya sendiri akibat perebutan harta dengan suara bas. Ronda? Adakah ia sama dengan seratus dua Ataukah ayah yang satu ini barangkali menga- lalu melanjutkan; "Apakah kamu pikir putera Orang-orang menepi dan saling meman- warisan. Enam bulan waktu telah menjalar, dan Laki-laki itu berhenti dan meletakkan tutu- bulan atau tiga ribu enam puluh hari yang mesti nggap kehidupan perempuan lebih gampang saya pun memikirkan saya?" "Ya, iya dong. Sudah tentu. Nggak mungkin dang. Wotu menyeka keringat dengan lengan selama itu pula pada kepasrahan ia serahkan per- pan rantang pada tempat semula. Ia meludah ditunggu-tunggu? Ronda akan berusia empat puluh enam jika jalanan nasib. Mau berkomentar apa? Nasi sudah ke depan sejauh yang ia bisa, dan pada akhirn- Siang dan malam Ronda terus berdoa. Ia bapak teman-temannya yang dia pikirkan. Mesti baju. Ia menyingkir. Yang lain mengikuti. Se- tergeletak lemah di bawah telanjur menjadi bubur. Dan satu jam sebelum ya ia duduk di pojok kamar menggaruk-garuk lepas dari penjara. Satu dua helai rambutnya berdoa bukan untuk istri dan anak-anak perem- bapaknya sendiri. Tetapi apa yang dia pikir- dangkan tubuh terik mentari itu mulai bergerak. Kelopak mat- akan beruban. Beberapa biji giginya yang puannya. Pun ia tidak berdoa untuk diri sendi- kan tentang saudara, saya tidak tahu." peristiwa naas itu terjadi ia sendiri tak pernah kepala. anya yang terkatup mulai melebar. Samar-sa- tahu bahwa bakal jadi seorang pembunuh, bah- "Bos!" la memanggil seorang opsir muda berkapur dan sering sakit-sakitan akan kero- ri. Ia berdoa semata-mata hanya untuk puter- mar ia melihat seorang laki-laki datang meng- yang kebetulan sedang lewat. "Minta rokok, pos. Ketajaman pandangannya akan tergang anya. Hanya untuk puteranya. wa ia akan hidup di penjara, bahwa..... gu dan ia mesti membutuhkan kacamata. Tena- hampirinya. Ia merasa tubuhnya dirangkul, ji- "Kenapa dia tak pernah datang menjenguk- Bos." Di sanalah waktu berhenti. Segala yang diawa- li harus berakhir karena segala bayang terhalang kabut. Kehidupan di luar tembok penjara harus dari laki-laki? *** Opsir muda itu memberi sebatang dan ke- ganya mencari penghidupan sebagai tukang ku? Ada apa? Halangan apa? Apakah dia mem- RABU pagi yang hening itu enam orang datnya dicium dan tetesan darahnya dibersih- mudian ia berlalu setelah mendengar ucapan kayu tak mungkin segesit dahulu. Secara psikol- Benciku? Jika dia membenciku, maka kikislah jagoan bersiap-siap menyambut penghuni kan. "Kenapa sampai kemari, Nak?" Ronda terima kasih yang hampir tak keluar. ogis urat syarafnya pun pasti berubah setelah kebenciannya dan hukumlah hamba dengan baru. Jari-jari sebesar selang yang sudah Pada isapan pertama laki-laki itu melihat tu- mengalami benturan-benturan. Dunianya bakal hukuman lain walau itu lebih berat. Masih ra- lama tidak menghajar itu serentak dikepal- menggeleng-geleng. "Kenapa?" Remaja itu tak menanggapi. Ia hanya me- Kenyataannya hanyalah apa dan bagaimana di- buh pamannya yang berlumuran darah dan dis- lain dari sebelumnya. Nilainya di hadapan jinkah dia ke sekolah? Apakah anak cerdas kan, kuat-kuat. Dua belas kali tinju melay- ditelan sebagai komik; dunia yang terpisah, ken- yataan yang sama sekali harus dianggap fiktif." rinya di dalam kurungan. Itulah dunianya; dunia Lembaga Pemasyarakatan. Penjara. Bui. Lelaki kurus bermata cekung itu membuka usul oleh bayang-bayang peristiwa di dalam sel masyarakat tidak lagi seperti sediakala. Ia akan yang pernah menggondol juara umum di ang, remaja yang disiksa itu babak belur dan mandang-saling memandang; hanya meman- polisi dan di depan meja hijau. Pada isapan memperoleh predikat-predikat baru, dan gelar- sekolahnya itu masih bercita-cita menjadi dok- roboh. Dan ketika ia bangun lagi sebuah pen- dang. kedua ia melihat empat sosok anak-anak ma- gelar baru itu bukan sesuatu yang menyenang- ter? Lindungilah dia, Tuhan... Lindungilah put- tungan yang terbuat dari kayu asam mulai September '94 2cm Color Rendition Chart
