Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Analisa
Tipe: Koran
Tanggal: 1997-03-09
Halaman: 10

Konten


ANALISA - MINGGU, 9 MARET 1997 Realita Generasi Muda dan Tantangan Budaya Modern Oleh: Yulhasní kan diri kepada sistem modern untuk mengejar bermacam keter tinggalan, akan tetapi di sisi lain penerapan konsep modern yang "sakit nurani". Kemudian agama sebagai pelomba kebajikan belum lah mendapatkan tempatnya yang layak. Hal ini diyakini karena gama masih digeluti sebagai ritus-ritus yang simbolis dan tidak memberikan dimensi yang menga kar. BERBAGAI perubahan tata dunia telah mendekati titik kulminasi paling atas, yakni di tandai dengan semakin terpolanya pembangunan pada sektor ekono mi melalui kronologis jabaran konsep-konsep modern sebagai tatanan kehidupan berbangsa dan bertanah air. Memasuki babak baru proses liberalisasi ekonomi dengan titik tekan kepada pening katan Sumber Daya Manusia (SDM), bangsa Indonesia juga mengalami bermacam problema tika dari jalannya pembangunan tersebut. Salah satu akibat dari progressifnya pembangunan ada lah semakin tercerabutnya dimensi humanistik para pelaku pem- bangunan itu sendiri. Semakin hilangnya aspek keilahian yang dibangun oleh pilar-pilar dan nuansa-nuansa budaya seni. Ini ditandai pula timbulnya distorsi dari sistem kebudayaan Indo nesia. Laju informasi dari era globalisasi yang memasuki In- donesia telah memaksa bangsa ini untuk memakai konsep moderni tas sebagai basis dalam mengejar ketertinggalan dari negara maju. Unsur rasionalitas-empiris pada kenyataannya mengikis akar tradisi bangsa Indonesia yang se ring dibangun oleh irrasionalitas transendental. Di tengah makin sulitnya men defenisikan proses kehidupan yang sedang berjalan di per- mukaan bumi ini, kita sering di hadapkan kepada berbagai dilema tisnya pola pikir yang mesti kita jalani. Di satu sisi bangsa Indo nesia memang harus mendekat Situasi yang kurang menggem birakan tersebut memang tetap menjadi agenda pembicaraan dika langan elit menengah ke atas In donesia, yang salah satunya adalah generasi muda Islam. Mereka ini dimungkinkan akan menjadikan situasi ini sebagai bahan kajian tersendiri pula dalam menata gerak langkah pem bangunan di tanah air dalam rang ka menembus tingkah keilahian dengan seni budaya Islami. Posisi generasi muda sebagai ujung tom- bak pembangunan di tanah air dalam banyak sisi sangat dituntut peran sertanya yang tidak kecil. Apalagi situasi masa depan bangsa Indonesia ditentukan oleh kerja-kerja kreatif-generasi muda nya. Banyak kalangan intelektual mengatakan bahwa generasi muda merupakan cermin keberadaan suatu bangsa. Dengan kata lain, kualitas bangsa sangat ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Menyadari hal ini maka takaran sebuah kualitas selalu diukur oleh kerja-kerja kreatif yang telah di wujudkan, terutama dalam proses Pameran Lukisan "Rona Tiga Gaya" untuk Dana PMI TIGA pelukis yaitu Sri Hadhy, Trip D.Sasomo, dan Dandung D.Kahono, kembali tampil mengawali perjalanan karier mereka tahun ini di dunia lukisan dengan pameran bersama yang hasilnya bagi kegiatan sosial, Palang Merah Indonesia (PMI). Pameran bertajuk "Rona Tiga Gaya" yang diselenggarakan di Hilton Executive Club, Jakarta itu dibuka oleh Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Ekonomi, Dr.R. Haridadi Su- djono SE, MIBA pada 3 Maret 1997. Sebanyak 54 lukisan dalam ukuran variasi antara 30 x 20 Cm sampai 80 x 120 Cm yang berharga antara Rp500.000 sampai Rp18 juta itu dipamerkan hingga Minggu (9/3) hari ini. Sri Hadhy, pelukis kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah 18 Desember 1943 yang sampai saat ini telah berpameran lukisan tunggal dan bersama di berbagai belahan dunia lebih dari 150 kali itu mengemukakan, dalam pameran ia antara lain menghadirkan obyek kapal, gereja St.Pieter-Roma, bunga, dan gedung-gedung yang dibuat bulan lalu ketika mengunjungi Егора. "Bahkan ada pula beberapa sket saya yang lama dan ke- mudian saya perbaiki serta diperbaharui lagi karena saya senang obyeknya," kata Sri Hadhy, yang selama 19 tahun bersama keluarganya tinggal di luar negeri, 16 tahun di antaranya di Negeri Belanda dan sangat aktif pameran di banyak museum dunia. Sementara pelukis Trip D.Sasomo, mengatakan bahwa ia akan tetap menampilkan obyek bunga seperti yang ia tekuni selama ini dan menjadi kekuatannya. "Sampai kini saya masih tetap senang dengan obyek bunga, karena saya memperoleh kebebasan dalam berekspresi. Meski akan dibentuk bagaimanapun, bunga tetap terlihat sebagai bunga dan yang ter-penting adalah karakteristik-nya," kata pelukis kelahiran Surakarta, 12 Juli 1943 itu. Trip yang juga dikenal sebagai perancang disain grafis sejak tahun 1977 itu mengemukakan bahwa kini sudah lebih merasa mantap dalam melukis bunga, termasuk dalam penguasaan teknik dan pewarnaan. Sampai saat ini ia telah 26 kali pameran bersama yang umumnya untuk tujuan sosial. Secara berkala ikut pameran bersama kelompoknya "Indonesia Lima". Ia juga pernah pameran di Perth, Australia Barat. Begitu pula pelukis Dandung D.Kahono, mengatakan bahwa dalam pameran kelak akan menghadirkan obyek pemandangan dan candi yang selama ini menjadi ciri khasnya. Dandung, kelahiran Magelang, 29 Juli 1949 yang juga putera mantan Menpen Boediardjo itu berpendidikan ST-SRI-ASRI Yogyakarta, dan juga lulusan Seni Rupa ITB Bandung. la menyebutkan senang melukis pemandangan, dan aterkesan oleh keindahan warna sesajen Bali yang akhirnya merupakan titik tolak/konsep karya lukisnya. Ia juga telah berkali-kali pameran bersama di Jakarta. Secara keseluruhan karya tiga pelukis tersebut menyiratkan kekuatan masing-masing dalam ciri khas mereka, sehingga bagi pemirsa agaknya akan dapat memperluas wawasan dan apresiasi di bidang seni lukis khususnya. (ant) penciptaan kebudayaan Indonesia yang sesungguhnya. Karena beta papun segalanya sedang berlang sung proses pengikisan akan budaya kita yang sesungguhnya. REALITA Situasi generasi kita sekarang tak lebih dari kondisi pembe leng- guan jiwa akibat imbasan modern yang sangat mengkuatirkan. Kerja-kerja sangat pragmatis dan cenderung konsumtif. Padahal de wasa ini kita sedang dihadapkan kepada situasi sosial-budaya yang makin carut-marut. Kebudayaan yang bersifat universal yang berasal dan dilandasi oleh nilai- nilai luhur, yang menghargai per samaan derajat manusia, mema hami keberagaman manusia baik ide dan perilaku serta mengarah kepada kebaikan kehidupan ke manusiaan selanjutnya. Perkem bangan dalam konteks mondial akhir-akhir ini menggejala ter jadinya western cultural domina- tion. Sayangnya justru yang banyak terserap adalah negatif kultur daripada positif kultur. Ec- tasy dan pesta tripping adalah bagian dari dunia "hantu" ter sebut. Konsumerisme, hedonisme, materialisme dan pragmatisme kini mulai menjadi tata nilai baru yang menjadi acuan "masyarakat modern" Indonesia. Melihat kecenderungan seperti demikian, maka generasi muda ke mungkinan besar akan menga lami situasi yang cukup kompleks. Dengan pengertian bahwa, arus transpormasi budaya sebagai imbasan konsep modernitas me mungkinkan tercerabutnya dimen- si humanistik manusia Indonesia yang masih meyakini klutur etno sentris sebagai bagian aktivitas kehidupan. Situasi yang kerap mengalami intensitas kemunculan yang sangat progressif ini mem- buat posisi generasi muda Islam akan berhadapan dengan pluralis me pemahaman kebudayaan di tanah air. Kemajemukan tersebut pada banyak sisi haruslah tetap dipertahankan untuk tidak ter- jebak kepada semangat linear yang merupakan "luka" panjang sejarah peradaban manusia di per mukaan bumi ini, tak terkecuali Indonesia. Begitu kompleksnya situasi kebudayaan di Indonesia, maka generasi muda Islam harus pan dai-pandai bermain dalam ling karan setan seperti demikian itu. Hal ini untuk menjaga agar generasi muda Islam tidak ter- jebak kepada kerangka pemikiran modernitas yang selalu "menu hankan" benda-benda dan ber gumul tanpa hentinya dengan liberalisme-kapitalisme melalui rangkaian kerja-kerja pragmatis me dan hedonisme. Berangkat dari generasi muda yang dicita-citakan, dapatlah diyakini bahwa pada tataran globalnya mereka harus memiliki kualitas kerja-kerja yang positif bagi masyarakatnya. Hal ini diperkuat lagi dengan pengertian dasar tentang kemanusiaan yakni nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Maka generasi muda harus sanggup melihat kemungkinan-kemungkin an lain yang lebih dari sekadar yang ada dan bergairah besar un- tuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan berman faat dengan bertolak dari apa yang ada (ciptaan Tuhan), mereka juga harus penuh dengan gagas an-gagasan kemajuan yang selalu mencari perbaikan dan pembaha ruan. Penulis adalah mantan Ketua Umum LSMI HMI Cabang Medan. REBANA Dunia Tampak Muram dalam "World Press Photo 96" terkena senjata kimia, terkena penyakit "Sindrom Perang Teluk". Akibatnya, bocah tak berdosa itu harus menanggung keserakahan dan keangkuhan ke dunia dengan tubuh tidak sempurna, tanpa tangan atau kaki. FOTO sebagai produk peristiwa mampu pemimpin negara mereka, lahir menyampaikan pesan kebenaran. Agaknya lewat fotolah, mata manusia menemukan kebenaran. Pecinta karya foto selama dua minggu akan menemukan "kebenaran" dari karya fotografer jurnalistik seluruh dunia dalam pameran "World Press Photo 96". Oleh: Dian Suita Penderitaan, kesengsaraan, mayat, darah, dan air mata yang mewarnai sebagian besar isi foto koleksi World Press Photo itu agaknya memberikan kesan dunia yang muram, kejam, dan tak aman bagi si lemah. Simaklah hasil karya Jon Jones, pemenang ketiga kategori "Spot News Stories". Empat rangkaian foto karyanya ber- hasil merekam nasib tragis dua penduduk Grozny yang harus karena serangan hilang kak artileri Rusia ke tempat mereka yang sedang antre untuk men- dapatkan sepotong roti. Atau perhatikanlah sorot wajah pria Chenchen yang sedang mencari sesuatu yang sebenarnya khawatir ia akan temukan, yaitu jenazah dua putranya. Foto karya Anthony Suau itu menceritakan suasana setelah pertempuran hebat antara pasu- kan Rusia dan pejuang Chechya Januari 1996. Agaknya ber- kasak-kusuk di kuburan massal seperti yang terekam dalam foto berjudul "Suasana Kuburan Massal" merupakan rutinitas sehari-hari bagi rakyat Chechya yang kehilangan keluarga dan teman. Foto dalam pameran hingga 6 Maret itu tampaknya mem- perkuat fakta bahwa perempuan dan anak lah yang paling menderita akibat perang. Foto pemenang satu kategori "General News Single", misal- Cerpen Laut Oleh Lazuardi Anwar LAMA juga mereka berda- yung. Enam orang muatan jong- kong yang bertolak dari pantai se- belum binatang pagi muncul. Em- pat orang di antara mereka itu masih muda-muda, hanya bertu- gas mendayung mengantarkan pu kat payang ke obyek sasaran yang belum diketahui. Sedang dua orang lainnya bernama Udiang dan Sutan sebagai kapten dan wa- kilnya di dalam pelayaran laut le- pas yang tidak begitu jauh dari pantai. Kalau keadaan baik-baik saja, menjelang matahari terbe- nam jongkong pukat payang itu sudah menepi kedaratan. Malah lebih cepat dari itu, kalau mere- ka cepat menemukan "kawan" untuk istilah atau sebutan terha- dap ikan-ikan berbondong-bon- dong bersama dan kompak. Setelah agak jauh meninggal kan ombak pantai, mata Udiang dan Sutan tidak pernah diam mengu liti jengkal demi jengkal wajah laut yang masih dibungkus samar- samar. Ujung mata keduanya yang berwibawa di atas jongkong pukat payang, terus saja men- jangkau ke jauh dan menukik ke dekat melihat gerinik air keper- mukaan sebagai pertanda ka- wanan ikan-ikan itu akan meng- apung ke permukaan laut. "Ambu-ambu !", teriak Su- tan tiba-tiba yang mengejutkan suasana. Sutan memutar jong- kongnya di haluan dengan me- nunjuk kerumunan ikan berjarak dua puluh meter dari mereka. "Ya, itu dia. Aku juga nam- pak!", jerit Udiang menyam- bung sambil tangannya meme- gang pendayung kemudi di bu- ritan. Empat orang awak jong- kong lainnya terus mendayung, walau ada keinginan di antara mereka hendak melihat gerenyam ambu-ambu itu di permukaan laut. "Dayung cepat. Mesti kita ke- jar", seru Udiang selaku penang- gung jawab pukat payang itu dan berkuasa penuh. Ditangannya ke- selamatan perahu penangkap ikan tradisional kawasan pantai Barat, Sumatera Barat. Sejak bayangan ambu-ambu itu timbul, matanya tidak lepas dari kawan yang su- dah menjadi obyek sasaran mere- ka. Sutan sebagai wakilnya harus sejalan dan sepaham mengambil keputusan, apalagi dalam keada- an kritis saat melihat obyek seper- ti dinihari itu. Setumpuk kecil dari laut te- nang itu, bagai bersisik karena gelembung nafas ikan yang me- riak di sebelah kiri jongkong me- reka, berjarak sekitar dua puluh meter. Udiang benar-benar geram melihat permainan menjelang pa- gi itu sebagai ingin menelan hi- dup-hidup yang sedang bergelut. Dengan perlahan-lahan Udiang membelokkan jongkong itu pada posisi lancip. "Buang kandue, Sutan! Pe- lankan dayungan", seru Udiang lagi. Dengan cekatan sekali Sutan nya, dengan "gemilang" mere- kam raut wajah bocah Grozny yang berada di bus tua. Dalam ceritanya, sang foto- grafer, Lucian Perkins, me- ngatakan perang saudara yang pecah ketika Presiden Yeltsin mengirim pasukan ke Republik Chechya berlangsung sampai berbulan-bulan. Pasukan Rusia melakukan pengejaran ketika pejuang Chenchen berusaha melarikan diri dari ibukota Grozny, yang telah mengalami kerugian besar baik dari segi moral maupun material, cerita Perkis dalam "caption" di bawah fotonya. Para pejuang itu, lanjutnya, mencari tempat yang aman di daerah selatan dan timur. Fotograger "The Washington Post" itu mengunjungi berbagai desa dan rumah sakit di dekat garis front. Dalam perjalanan pulang ke Grozny, ia berpapasan dengan bus. Di jendela belakang bus itu, terlihat raut wajah anak laki- laki menggambarkan segala sesuatu yang telah ia saksikan. Mimpi buruk akibat perang tidak hanya menimpa anak Chechnya. Beberapa teman mereka di Amerika Serikat. mengalami nasib serupa. Lima foto Derek Hudson menggam- barkan penderitaan perang yang tak habis-habisnya. Foto Hudson bercerita, be- berapa anak AS, yang ayah mereka ikut perang Teluk dan melaksanakan tugasnya. Kandue sepanjang empat meter lebih de- ngan lebar dua setengah meter mu lai mengapung di permukaan laut. Mulai membenam yang di- lanjutkan dengan membuang le- ngan pukat itu sebagai upaya menghambat ikan-ikan tidak le- pas dari kepungan. inded Hembusan angin sebagai ti- dak terasa oleh mereka, karena keringat yang membersit pelan- pelan pula. Wajah Udiang berca- haya-cahaya. Matanya semakin tajam ke arah kawanan itu, de- ngan harapan ikan-ikan itu tidak merasa terganggu ketika dike- pung demikian. Empat orang awak lainnya juga ingin melihat keadaan laut yang sedang ber- bunga, tetapi tugas mereka tidak memungkinkan untuk berbuat de mikian. "Dayung cepat !. Jangan ikan-ikan itu lolos dari kung- kungan", ujar Udiang lagi. Dua orang yang membantu Sutan membuang pukat ke laut, kembali mendayung. Ciut suara pinggang pendayung yang melandas ke bi- bir lambung jongkong itu sema- kin keras. Semua merasa diburu seolah bukan mereka lagi yang memburu di pagi menjelang fajar timbul. Lengan pukat sebelah ki- ri dan sebelah kanan sudah men- jarak dan menganga pada posisi bagus. Udiang menduga bahwa posisi yang demikian merupakan strategi kepungan yang cermat. "Sutan, selamkan! Halaukan ke kandue !", suara Udiang lan- tang. Tanpa ragu-ragu Sutan me- lompat mencebur ke sebelah kanan jongkong, dengan per- hana 17 hitungan kawanan itu tidak me- rasa terusik keamanannya. Dalam menyelam Sutan melintasi bawah lambung jongkong sampai ke se- belah kiri, Sutan pun timbul se- bentar mengambil nafas dan me- nyelam kembali dengan gaya ko-` dok menghalau ikan-ikan itu ma- suk mulut kandue yang menga- nga. Begitu upaya mereka membo doh-bodohi kawanan ikan secara turun temurun yang diperaktek- kan selama ini. Kalau benar- kat payang, dalam proses tidak benar ikan-ikan itu terkepung pu- lama lengan salah satu pukat itu mulai ditarik secara pelan-pelan Nasib serupa dialami pe- ngungsi wanita dari Bosnia. Jepretan Nadia Benchalal de- ngan baik merekam penderitaan kaum ibu di lokasi pengungsian. Nadia menyatakan dalam "caption" fotonya, "wajah lelah, takut, dan air mata dari wanita Bosnia memperlihatkan betapa beratnya beban kaum ibu dalam perang. Derita kaum wanita seakan menjadi tak habis-habisnya setelah menyaksikan foto karya Stephanie Welsh. Kepada dunia, Stephanie memperlihatkan kebiasaan adat dan tradisi begitu kuat menyelimuti kehidupan wanita Tanzania. Lima foto berwarna itu dengan lugas merekam rang- kaian upacara sunat yang harus dilalui gadis Tanzania. Pada foto kelima, sang gadis yang habis disunat menangis menahan sakit. Akan tetapi, betapapun ke- jam dan kerasnya foto-foto tersebut, foto tetaplah potret kejadian. Agaknya jika perang yang dominan maka foto perang yang muncul, begitu pula kalau bencana alam. Tidak semua foto yang dipamerkan meninggalkan ke- san kegetiran. Beberapa di antaranya membuat tersenyum. Misalnya karya pemenang satu kategori "People In The News". Barbara Kinney berhasil memotret Perdana Menteri Is- rael Yitzhak Rabin, Presiden Mesir Husni Mubarak, dan Raja Yordania Hussein sedang me- rapikan dasi mereka secara serentak setelah mendapat aba- aba dari Presiden Clinton, sementara pemimpin Palestina Yasser Arafat yang tidak pernah pakai dasi terlihat menyaksikan pada awalnya. Tetapi kalau tidak, apalagi ikan-ikan yang cepat ref- leksnya, bukan tidak cepat menye lam jauh ke dalam laut dengan mengelakkan mulut kandue seba- gai jaring halus. Sutan belum juga muncul dari pengepungannya mereguk udara tadi. Udiang semakin gemas dan berusaha supaya jongkong yang dikemudikannya tidak bergerak dari posisi yang dianggapnya menguntungkan. "Sutan, jangan main-main. Sudah hampir terinsang", suara Udiang bernada kesal, karena menganggap Sutan bermain-main dalam situasi yang cukup tegang demikian. Biasanya segala ma- cam ucapan keluar spontan dari mulut penanggung jawab yang di- sebut pawang pukat payang itu. Udiang menduga Sutan bergayut di bawah lambung jongkong de- ngan menumpukkan serangannya dalam laut terhadap kawanan am, bu-ambu itu. Lebih sepuluh me- nit Sutan tidak muncul-muncul. Hal demikian pernah juga dilaku- kan Sutan, tetapi tidak dalam ke- adaan yang sangat kritis. Menu- rut perkiraan Udiang ikan-ikan itu sudah mendekat ke rahang kandue yang menganga dengan sempurna hanya menghalaukan saja ke dalam kepungan jaring halus itu. Sutan belum juga timbul. Udiang yang gemas sejak tadi ber- tambah palak dengan menggeri- tihkan gigi, karena tingkah Sutan yang tidak menguntungkan. Udiang berusaha menguasai diri- nya agar tidak terpancing emosi yang merugikan. Apalagi di dekat anak-anak muda yang belum me- mahami betul suasana di tengah laut, apalagi dalam keadaan yang sedang dialami mereka bersama. "Kundek, coba selamkan!", perintah Udiang kepada salah se- orang pendayung yang belum ber- pengalaman untuk memburu ikan di dalam laut. Terkejut juga Kun- dek, karena itu dia ragu-ragu memandang wajah Udiang, Kun- dek mengira perintah itu sekedar menakut-nakuti, karena selama ini selain belum pernah, juga ber- usaha mengelak. Atau sekedar me nyaksikan kemahiran Sutan se- dang menggera ikan-ikan di perut peristiwa unik itu. Kabarnya, foto tersebut diambil sesaat menjelang penan- datanganan perjanjian daérah otonomi Palestina di wilayah Jalur Barat. Mengomentari dominannya foto yang "memamerkan" keke- jaman perang, darah, mayat, dan puing bangunan, Deputi Direk- tur Erasmus Huis David C. Korthals Altes, yang menajai pameran tersebut, mengatakan bahwa pada awalnya masih banyak orang yang mengirim- kan foto bertema pemandangan dan panorama yang indah. "Tapi foto yang masuk dalam kriteria lomba bukan yang bertema seni rupa melainkan 'news'," kata Altes. Pada akhir- nya, foto yang bisa "berbicara" dan menyampaikan pesanlah yang dipilih, katanya melan- jutkan. Dalam sambutan tertulis, ketua World Press Photo Harry Groen menyatakan bahwa lom- ba foto 1996 merupakan yang terbesar dibanding sebelumnya. Sebanyak 29.116 lembar foto hasil karya 3.061 fotografer dari 103 negara telah dinilai para juri yang berpusat di Amster- dam, Belanda, termasuk karya dari 25 peserta Indonesia. Penilai adalah Yayasan World Press Photo, lembaga independen untuk fotografi pers internasional yang didirikan 1955. Pada lomba 1996 itu, untuk pertama kali fotografer Indone- sia, yakni Sholihuddin, berhasil merebut juara satu untuk ka- tegori "Spot News Singles". Momentum foto Sholihuddin memang tepat. Ia membidik truk tentara yang sedang oleng di Surabaya. Truk itu mengangkut puluhan suporter Persebaya. Sementara para suporter sibuk menyelamatkan diri, san pengen dara tampak ketakutan. Selain mengadakan lomba foto tahunan, Yayasan World Press Phot menerbitkan buku tahunan dan mengadakan pa- meran keliling di lebi dari 65 kota di 35 negara. laut luas itu. "Apa lagi, cepat !" suara Udiang tinggi. Walau masih dise- limuti sangsi, mau tidak mau Kundek memaksakan diri melom- pat yang berlawan dengan cara Sutan melompat tadi. Sistem lom- patan demikian, sangat menggang gu ketenangan ikan yang sedang bercengkerama. Begitu dia men- cebur cepat pula dia muncul dan berenang di dada laut berikan itu. Udiang merasa sangsi dan kesal dengan gaya Kundek yang tidak sungguh-sungguh menjinakkan kawanan yang diperkirakan se- dang menuju kekandue. Sejak tadi perasaan Udiang sudah tidak enak, tetapi dipen- damnya saja. Dia tidak tahu en- tah kepada siapa akan meledak- nya. Dengan tubuhnya agak ge- metar terasa angin yang belum berembus kuat begitu deras tera- sa, seolah hendak merubuhkan badannya. "Tarik lengan kanan !" sua- ra Udiang lagi. Yang lain hanya menunggu perintah saja, karena tidak tahu apa yang hendak diker jakannya di jongkong yang sem- pit itu. Nafas Udiang kelihatan turun naik yang menekan dada- nya yang tipis, seperti orang ba- ru selesai lomba lari. Seorang dari pendayung itu berdiri mencoba menarik lengan kanan pukat itu dirasanya cukup berat dan panjang. Betapa pula beratnya kalau kandue penuh be- risi ikan sejenis ambu-ambu yang sedang dikepung mereka. "Cepat tarik!", wajah Udiang kusam ketika memerintah itu. "Keras, berat, tidak kuat sen- PUISI RHINTO SUSTONO GERHANA istriku, anak-anak jangan boleh keluar rumah di luar udara porak-poranda dan warna pelangi makin samar sulit mereka membedakan YANG TERSEKAT acapkali kita bicara tentang pantai dengan camar yang terbang sementara hati kita mengalir ke muaranya sendiri-sendiri percuma kita siasati perencanaan mengistanakan percakapan tentang daun-daun yang tak pernah kering acapkali pantai kita bicarakan lagi melupakan kesia-siaan yang merangkul pun, selalu saja hati kita tak berjabatan acapkali kita bicara tentang pantai setiap itu, hati kita terbang masing-masing. SOFYAN AMBIA PEMBUNUH ANGIN sudahkah kau terima pesanku yang semula akan kusampaikan lewat angin tapi kala itu angin mati dan segalapun menyepi dan tiba-tiba akupun berada di negeri asing jauh di balik jeruji besi yang membuat aku pusing kata mereka: akulah pembunuh angin itu tembok-tembok di sini dingin sekali tanpa ranjang yang hangat dan kau senantiasa kurindukan juga anak-anak takut aku kalian tak tahu tentang keberadaanku dan menantikan kepulanganku setiap waktu HALAMAN tidak usah kalian cemaskan bukan aku pembunuh angin itu pohon-pohon semua sudah menjadi saksi walaupun kata mereka semua itu saksi bisu yang tak mungkin bisa berlaku kalu angin benar terbunuh mati dan tak berhembus lagi akan jadi apakah dunia ini ? masih di tangan Udiang, semua bergerak serba lamban. Jaring pukat payang itu dira- jut dari benang ramin, dicelup de- ngan getah kulit kayu yang diha- luskan, disebut ubar. Warnanya menjadi coklat tua kehitam-hi- taman, sudah tidak mengisap air lagi hingga tidak terlihat oleh ikan-ikan yang sedang dikepung. Kundek masih berenang dengan menerjang-nerjangkan kakinya sebagai usahanya mengejutkan ikan-ikan itu untuk masuk kandue. Udiang semakin gelisah. Pera- saan tidak enaknya semakin ber- tambah tidak enak. Perhatiannya sebagai terlepas dari kawanan ambu-ambu yang diperkirakan- nya sudah masuk ke dalam kan due, hanya tinggal menyeretnya dengan cekatan ke atas jongkong. Kedua lengan pukat yang sudah ditarik sudah sepinggang tinggi- nya di atas jongkong. Tidak ada kesan bahwa ambu-ambu sudah terkepung. Sisa tenaga yang ada menumpukkan pukat yang sudah ditarik itu kebahagian belakang jongkong dekat buritan tidak jauh dari Udiang memegang ke mudi. Jongkong itu pakai begati de- ngan cadik sebagai sayap menye- imbangkan perahu penangkap ikan tanggung itu. Udiang diam saja, namun perasaannya tidak le- pas dari Sutan. Kundek naik ke atas jongkong yang semakin mem berat, karena benang pukat yang bertumpuk itu masih basah. Kun- dek pun kuyup kedinginan. Matahari muncul, setelah me- rah langit seolah membakar tidak menjadi perhatian karena sibuk dengan kegiatan yang berbunga harap. Sutan belum juga muncul. Ca haya matahari pagi menyentuh- kan hamparannya ke dada laut biru itu. Kilat air tertimpa sinar itu mengorbitkan fatamorgana yang berkobar-kobar. Udiang se- makin tidak tenang, matanya de- ngan perasaannya menyatu meng- amati sekitar jongkong penuh ha- rap kemunculan Sutan di laut yang masih beriak-riak kecil. Jongkong berayun pelan. Belum ada yang mendayung. Seorang dari awak jongkong itu masih berdiri membenahi gulungan pu- kat payang yang belum dirapikan lingkarannya. Bgn.Rejo Desemma. "Ke mana Sutan ?!", jerit ha- ti Udiang yang tidak menggema keluar. Biji matanya terus meliar. Sebentar berdiri, sebentar jong- kok dan menggenggam tangkai dayung kemudi. Daratan tidak kelihatan. Ha- nya kaki langit yang mengelilingi jongkong mereka, Laut masih ko- song. Tidak sebuah pukat payang sejenis mereka yang tampak. Me- reka berada di tengah laut luas, Udiang tidak melihat tanda-tanda bahwa Sutan akan muncul. "Sutaaaaan! Sutaaaaaannn ! Di mana kau, Sutannnnn !", je- rit Udiang dengan suara parau yang memecah suasana di tengah laut lepas itu. Jerit lantangnya itu menggaung-gaung menggerayangi wajah laut yang beralun kecil. Jongkong terangguk-angguk. Ke- mudian berdiri, Udiang menjerit lagi dengan memanggil-manggil nama sahabatnya yang tidak tim- bul-timbul dari dalam laut luas diri", sahut yang melaksanakan perintah Udiang. Namun dihela- nya juga dengan membungkuk se- mampunya. Kundek sedang mengapung-apung di permukaan laut. Dalam keadaan yang kurang stabil itu, mata Udiang sebagai melihat ikan-ikan bermain-main di bawah jongkong. "Lengan kiri tarik!", suara Udiang tidak sekeras tadi. Se- orang awak jongkong itu berdiri langsung menghela sekuat tenaga- nya. Juga tidak mampu cepat. Tinggal seorang lagi yang terus mendayung dan jongkong tidak itu. Udiang bergoyang dan terho- mampu kencang. Walau kemudi yong dengan penglihatan berku- 10 akhir, des'96. nang-kunang. Dayung kemudi ter lepas dari genggamannya. Terus meraung dengan keras menguras tenaganya, sehingga tubuh Udiang terhempas ke atas tum- pukan pukat payang yang masih basah. Dua orang anak muda awak jongkong itu cepat menda- patkan dan menangkap Udiang tidak jatuh ke dalam laut. Sejak kecil kita berkawan. Kau sobatku terbaik. Kau yang terbaik bagiku, Sutaan, ke mana kau Sutan ?!", ratap Udiang de- ngan suara semakin serak. Nafas Udiang kian sesak dadanya ber- gerak kencang. Walau angin belum begitu ken cang tetapi alun laut mulai berge- tar. Mereka yang tinggal saling memandang dengan wajah tidak stabil saling bertanya. Belum ter- bayang jawaban yang pas. Kun- dek menjangkau dayung Udiang yang terjatuh dan terapung-apung dipermainkan alun. Tanpa pikir panjang, Kundek mengambil alih kebijaksanaan, membiarkan Udiang tergolek ditumpukan be- nang pukat dan duduk pegang ke- mudi. Semua masih diam. Semua kebingungan. Kundek yang sudah duduk di buritan ti- dak tahu apa yang dilakukannya, hanya pendayung Udiang digeng- gamnya. Mereka berempat, be- lum berumah tangga. Belum ber- pengalaman di laut, walau pernah beberapa kali mengikuti pukat payang. Hanya sebagai tenaga pendayung. Tidak menduga ke- adaan jadi demikian, Udiang ma- sih belum sadar. Dua orang yang berada di dekat Udiang hanya membasahi kepala Udiang de- ngan air tawar minuman yang di- bawa dari daratan. Jongkong se- makin dipermainkan alun, tanpa disadari mereka berada dibawah matahari garang memasuki ger- bang petang. "Bagaimana kita?", Kundek bertanya dengan matanya mena- tap wajah satu persatu. Tidak ada jawaban. Mereka hanya tahu ber- ada di tengah laut luas, tidak ta- hu lagi ke mana arah jalan pu lang. Pandangan Kundek semakin berkunang-kunang dengan perut- nya yang mual. Namun berusaha menguasai diri. Mungkin saja ke- adaan yang dialaminya itu kare- na merasa terpaksa terjun ke laut atas perintah Udiang, karena Su- tan tidak timbul-timbul. Semua awak jongkong itu pun lemas, ka- rena mereka belum makan. Tidak seorang pun yang teringat bahwa mereka membawa bekal dari ru- mah masing-masing. Cahaya walau masih terang se benarnya sudah menekur. Udiang masih belum sadar, hanya posi- sinya sudah ditelentangkan. Sutan benar-benar tidak timbul. Bagai- mana usaha untuk mencarinya, karena perasaan masing-masing diliputi cemas yang berbunga ngeri. Alun bertambah tinggi jua, jongkong di arahkan ke tepi la- ngit tanpa sasaran yang pasti. Ca- dar merah kekuning-kuningan timbul di sebelah sisi langit, jong- kong pun berusaha meninggalkan warna itu. Dan gelap pun mulai mengaburkan pandangan mereka karena di langit tanpa bintang. Laut terus beriak. Udiang belum juga bangun dan Sutan tidak timbul-timbul. Medan, 1995. LIQUA S PI Pro