Tipe: Koran
Tanggal: 1989-02-19
Halaman: 04
Konten
4cm HALAMAN IV Sa jak-sa jak GDE PUDHANARYA(11) : PENEBAR BENIH bajaklah seluas ladang musim mengisi hari penuh mimpi tabur benih benih kasih dari tanganmu terlahir desah angin mengombak jelang senja awan mengabur perbincangan jadi sarat beban benih yang kau tebar cinta yang kau tanam merayap kesumsum nurani kisah tak punah rebah kala kau rangkul rembulan hingga di liang bungkah tanah "BELENGGU" PUTERA MANUADA: 7 ang Perenung itu masih kusuk dengan dirinya pengaruh alam seki- tarnya. Panas, hujan, angin, petir hanyalah den- tingan kecil di telinganya. Fokus rasanya tertumpu pada hutan dan belukar pikirannya, yang mahale- bat. Tak terusik, jika dia tak berkehendak bergeliat memandang keresahannya. Rutinitas keseharian- nya untuk berdiam diri dalam kamar yang sempit menjadi kebahagiaan yang sulit dibayangkan. Tapi terkadang sering membosankan. Dalam keterom- bangambingan mencari bentuk pikiran, tak jarang dia menjungkirkan tubuhnya tanpa ada yang meng- etahuinya, kecuali dirinya sendiri. Dari hari ke hari, dia hanya berdiam diri secara lahiriah. Sedangkan secara batiniah bergulatlah dengan dahsyatnya, tentang hari ini, esok, dan yang akan datang, yang segera akan disongsong- nya. Dia selalu mencari dan mencari. Entah apa yang dicari, dia sendiri belum mengetahuinya secara pasti. Dia sering mengadakan "perjalanan", menelusuri tebing, hutan bakau, pesisir pantai, layaknya seperti pencinta keindahan. Di alam terbuka seperti itulah dia seakan merasakan ada- nya "kebebasan" yang sulit dicarinya. Sang Perenung jiwanya terbelenggu. Tembang- tembang keindahan yang setiap kali didengarnya hanyalah akhirnya membantainya demikian ganas- nya. Wajahnya yang sehari-harinya cerah berkeri- ngat kini kuyup tak bersenandungkan lagu yang sering diputarnya jika hari mulai sore. Matahari hanyalah memancarkan sinar kekosongan, dalam keadaan seperti itu. Sering tubuhnya terasa am- bruk karenanya. Jiwa yang terbelenggu adalah jiwa yang "sakit". Karena kebebasan yang dimilikinya tercabik-cabik oleh seekor burung elang. CYLINDER 1000 cc MAMPU LEBIH DARI 200.000 KM TANPA TURUN MESIN. Mesin 4 Cylinder bakal jadi panutan minibus-minibus lain. LELAKI TUA DAN TUAK lepaskah dahagamu lelaki tua gurat keriputmu sungai tuak hari ke harimu melebar luka seluas ilalang membelantara 1 ( genggam bonjor bersila di atas, bale-bale banjar kamarmu tak jendela tak berpintu kuintip kau dari risik angin jadi pencuri tualangmu tanpa tahu mengetuk pintu engkau terkunci dalam gelap YANG KEMBALI keberangkatanmu mengungsi musim kepergian jauh paling lama waktu yang mengalir memagut hari tak terduga daun runduk duka semesta raya yang kembali dalam kenangan Dia adalah orang bebas. Kini, dia sedang ingin mendapatkan di mana bisa mendapatkan kebebas- an. Dia ingin mencari kebebasan sebagai sahabat dekatnya, yang selalu dirindukan jika dia sendiri. Dia ingin dihibur oleh kebebasan yang bakal MAKIN DITELITI MESIN 4 CYLINDER SUZUKI, JELAS LEBIH UNGGUL Di tengah malam, di saat orang-orang terlelap, pelan-pelan dia masuk kembali ke kamarnya. Dia melanjutkan membaca sebuah buku mungil berju- dul renungan Sang Nabi karya Kahlil Gibran. Pada larik empat dia memperhatikan sebuah untai- an kata-kata yang menyenangkan hatinya: Berikan mereka kasih-sayangmu, tapi jangan sodorkan ben- tuk pikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri. Patut kauberikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya, Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, Yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian. Kau boleh berusaha menyerupai mereka, Namun jangan mem buat mereka menyerupaimu. Setelah membaca larik itu dengan saksama, dia mencakupkan bukunya, kemudian segera tidur menikmati sebuah impian yang menentramkan jiwanya.*** (Putera Manuaba, Puseh Kediri, 1988). Salam buat S'brono. DISCBRAKE F.A.C.S. REM CAKRAM SISTEM FIN AIR COOLING. PAKEM DAN AMAN. SATU-SATUNYA DI KELASNYA. Dealer UD. SUZUKI PERMAI JI. Veteran 68 DENPASAR Telp. 23618, 25267. LENGKAP Bali Post Kelingking Prosa Ida Ayu Oka Rusmini Tanya masalah sepele, seperti itu. Aku jadi tidak saya ber- pikir. Seharusnya kamu tahu itu. "Tapi kelingking ini. Kelingking ini sakit." "Biasakan jadi manusia tidak cengeng!" "Lagakmu." "Tidak percaya?, kamu....." Saya diam, melihat tawanya yang begitu sombong. Dan tidak nyaman bermain dalam daun telinga saya yang elite. Saya bilang: "Sakitnya merasuk ke seluruh pori-pori. Lagakmu, seperti manusia paling-ter. Nyatanya, nol besar! nol besar!...... "Kali ini saya yang tidak bisa menahan tawa. Saya biarkan tawa pembalasan itu meluncur deras, seperti: roket terdahsyat milik dunia akan da- tang. Dia mendelik, menatap mata saya yang bulat. Begitu liar. Saya bilang : "Makanya, setiap kalimat. Kalau mungkin perasa- an yang mengalir dalam dada milik kamu harus di- kalkulasikan. Harus!, biar mengerti dan tidak mem- buat mumet. Itu bahaya, selagi kita muda memang banyak hal yang harus kita korek. Maksudku....." Tiba-tiba saja, kata-kata saya lepas. Saya kehilangan kontrol untuk berbicara. Epidemi! saya marah!, Anehnya saya merasakan kemarahan untuk diri sen- diri. Epidemi! "Berbicaralah sepuasmu? Aku tahu bicaramu siang ini tidak ada artinya. Tidak ada artinya. Tidak lebih dari nyanyian kosong yang melompong dan perlu dikorek isinya. Dan itu tidak berarti lagi. Kau tahu?" Saya menggaruk kuping saya yang tidak gatal. Berto- lak pinggang menatap langit-langit siang. Nyatanya dalam tubuh langit-langit siang, tidak saya temukan apa-apa? Semuanya hanya fenomena untuk meng- ukur rasa tabah. "Sekarang kamu harus juga mulai berpikir. Terlalu ekstrim kalau semuanya kamu cari, seperti mengeruk comberan. Kurang etis. Dan tidak menarik. Coba pandang wajah saya?" Kata-katanya tiba-tiba saja Gasak-Gesek-Gosok menjadi sahabat kentalnya. Berkeliling-keliling dia Awalnya hanya sebuah obrolan kecil di sebuah mencarinya: di jalan-jalan, di lorong-lorong, di tengah lapangan, di tengah sibuknya orang di pasar mengurusi dagangannya, di tengah kesibu- kan lalu-lintas pagi menjelang orang mulai kerja, dan sebagainya, dan sebagainya. Pencariannya hanyalah sia-sia. Dia berpikir meratapi kegagalan- nya, ketidakberhasilannya. Kesal. Sembari duduk setelah kegagalannya, ta- ngannya menggapai selembar kertas, kemudian secara perlahan mulai tertarik memperhatikan ak- sara kecil-kecil yang tertera dalam kertas itu. Mulailah dibacanya dengan perasaan, bait demi bait. Dan ternyata yang dia baca adalah bait-bait sajak yang ditinggalkan oleh seorang temannya yang kemarin berkunjung ke rumahnya. Rupanya sang teman itu mencintai sajak. Setelah membaca dia lega. Dia terheran. Segera dimasukkannya lembaran kertas itu ke sakunya. Lalu dia keluar entah ke mana. teras rumah pada sudut kota. - penat hari-hari yang terlangkahi telah mempertemu- kan mereka. Untuk saling berbagi cerita (saling asah asih asuh), ini memang sudah menjadi sebuah idea- lisme dari gerombolan anak-anak muda yang meng- ibarkan panji-panji berkeseniannya. Masih tak jelas keberangkatan mereka. Tetapi layar telah dibuka - panggungpun segera terang benderang. Sebagai lakon sebuah drama merekapun mulai memainkan jurus-jurus yang memang harus diakui masihlah sa- ngat terbatas itu. Kata belajar dan mau bertanya kepada yang lebih tahu memang telah lama terta- nam. Langkah awalpun telah dimulai dari sebuah kamar kaca. Melebar dari gang ke gang, surau ke surau, sekolah-sekolah, hingga terminal cinta ma- lam hari mereka sapa bersama-sama. Sebuah iklim saling, "Gasak - Gesek - Gosok" telah tercipta dari gerombolan anak muda ini. Dan kata-kata Kahlil Gibran pun menjadi sebuah "moto" yang setiap saat diucapkan. Walau kadang sum- bang-kadang terdengar merdu. Namun itulah se- buah awal dari langkah berikutnya : "Aku tidak meratapi nasibku Karena aku mencintai diriku seperti apa adanya Dan aku menerima nasib buruk ini, Karena aku telah memilih "Kesusastraan" dalam hi- dupku Sementara akupun menyadari segala rintangan Dan Penderitaan yang menyertainya." (Sayap-sayap Patah Kahlil Gibran) Mungkin itu terdengar terlalu sumbang kalau diu- capkan oleh anak-anak muda itu. Namun kesunggu- han dan totalitas yang mereka tunjukkan di dalam melakukan swadharmanya cukup mengundang se- nyum. Meski dikulum. Aku, Mahali, Harbali, Adipta, Gung Dek, dan A- rianto duduk menikmati malam yang purnama. Di INDAH MOTOR Jl. Dr. Sutomo 94 DENPASAR Telp. 25687. membuat segaris awan. Dan itu, itu adalah mendung. Saya diam. Tidak menatapnya, tetapi masih me- nyimpan mata pada kelipnya gugusan langit. "Takut?" Suaranya begitu dekat. Sampai-sampai bulu kudukku berdiri. Dan, saya rasa terlalu cepat. Nafasnya terdengar jelas. Saya bilang "Kali ini saya tidak mau mengaku kalah. Walaupun sepersekian dalam wujud yang terkecil. Saya tidak mau. Tidak." DOUBLE ACTION SUSPENSI BELAKANG TIPE DOUBLE ACTION. STABIL DI TIKUNGAN. "Siapa yang menyuruhmu, untuk kalah? Siapa? Saya?" Saya diam. Membiarkan suaranya yang besar mendesis, karena saya tahu saya tidak bisa berkutik di hadapannya. Bukankah itu suatu kekalahan? "Gadis. Dari arah mana saya harus bicara? dari kiri?, dari kanan? Atau arah baru ciptaanmu sendiri. Atau... Aku tidak tahu dari mana harus memulai- nya. Dan saya, saya. Saya butuh ketegasan. Bukan kebimbangan yang membuat kepala menjadi dungu, terus terang saya tidak mau menjadi seekor kerbau. Sudah terlalu banyak. Kamu dengar suaraku?, terse- rah masuk nominasi unggulan atau sudah dibantai pecah, sebelum tumbuh." Saya masih diam, memper- mainkan ujung rambut yang keriting. Saya bilang : "Bicara apa, kamu siang ini?" "Bicara soal kamu, aku, dan kamu aku." Suaranya begitu dingin. Tidak keras, tidak marah, tidak emosi, tidak lembut. Tetapi mengandung duri-duri tajam yang siap membantai, kapan saja. Selintas ekor mata milik saya melirik manik matanya. Matanya begitu tajam, menyorot habis. Bahkan matahari yang bersi- nar terik, siang ini! Tidak bisa berkutik. Mata laki- laki milik saya? Saya tidak tahu? "Mengertikah, kamu? Betapa inginnya aku melin- tasi mata milik kamu. Bukan mata milik orang lain. Bukan, dan kelingking tanganmu yang nakal itu biar. kan luka. Mungkin dari sana dia akan bisa mem- bantumu menjawab. Apa arti sebuah rasa." Saya di- am, berusaha menelan huruf-huruf yang dikeluarkan dengan bebas. Sesungguhnya saya harus mengerti tidak ada hukum, baik itu perdata, pidana. Yang melarang orang atau manusia berkata: "Saya Suka Kamu" atau istilah lain yang lebih melankolis. Saya tidak tahu. Dan siang ini hanya, hanya bisa meraba C..8 antara ranting-ranting peponohan aan ujung-ujung rerumputan, terlihat berkilau embun yang mulai me- nyapa. Dinginpun semakin dekat menyapa. Namun malam ini kami merasakan kenikmatan bersama sahabat, saudara, kekasih tercinta. Gelas pekat - kopi pahit dan rokok kretek terhidang. Obrolan se- makin terasa gairah dan membara. Sesekali tangan menggaruk dawai-dawai gitar. Atau vokal lantang membacakan sajak-sajak penyejuk diri. Sebuah suara terdengar: Inilah sebuah therapi bathin bagi manusia. Di sudut lain ada terdengar kata-kata sum- bang caci maki dan cemooh. Tetapi itupun syah adanya. Oleh DS. Putra 5 BISMA SAKTI MOTOR Jl. Cokroaminoto 78 DENPASAR Telp. 25942, 23910. rok saya, yang lepas sumsumannya. Lain, lainnya? "Sekarang saya sudah duduk di sini, gadis? Dan saya, seorang laki-laki seperti saya? Tidak akan per- nah peduli. Yang pasti saya bukan ingin mendengar kelingking yang bicara. Tapi, tapi....." Dia menarik nafas berat. Lalu mengusap rambutnya yang lurus ke belakang. Kaca mata minus, yang bertengger dekat pipi tirusnya, hampir jatuh. Dengan sigap tangannya membenarkan, lalu melipat kaca itu. "Seharusnya saya tidak tahu dari mana memulai. Yang saya dengar? Hanya erangan kelingking milikmu." Saya sedikit tersinggung. Tapi saya takut membuatnya marah. Saya bilang: "Kelingking. Ya, kelingking saya sangat sakit. Bah- kan amat sangat." Pelan sekali erangan saya, sudah saya tahan sekian persen rasa sakit yang mencabik. "Kamu bicara soal kelingking, kelingking, keling- king. Coba tatap bola mata saya, gadis? Apa yang kamu temukan, selain rasa yang dalam, dan teka-teki panjang. Teka-teki yang akan terus menguntit dan menjebloskan siapa saja. Cinta? Begitu melankolis dan amat abstrak. Kau tahu?" Saya diam, beranjak sedikit pun tidak berani. Takut, takut sekali. Bahkan semut rang-rang yang menggigit ujung kaki milik saya, saya biarkan. Kali ini sakitnya benar-benar membuat saya meringis. "Belum juga kamu jawab? Sebuah pertanyaan yang kehilangan energi. Saya bilang "Tidak adakah, suatu cerita yang lebih menarik, lebih berbobot, lebih......" Interior lebih lega dan megah. "Masuk akal? Begitu maumu? Iya? Aku tidak mengerti tahukah kamu harkat dan martabat seorang laki-laki. Ya?, seorang laki-laki seperti saya." Dia menepuk dadanya yang bidang. Tubuhnya yang ku- rus, matanya yang begitu tajam, seolah ingin mem- berikan sesuatu yang berharga. Laki-laki yang duduk di samping saya, yang menatap saya dengan ribuan kaca-kaca kehidupan, ingin menembak saya. "Apakah masih perlu waktu? Untuk ditimbang ke- sana kemari. Ini hati, gadis? Bukan barang mati!" matanya sedikit sembab. Angin siang berkibar lem- but. Anak-anak rambut saya terbang pelan. Saya menikmati kesejukan itu sejenak, lalu..... LANGKAH telah dimulai sejak dahulu. Namun kenapa baru terjaga malam ini. Teringat sahabat yang sempat melecut punggung untuk lebih laju berlari. Kuingat laki-laki itu. Sebuah karang yang diam. Sebuah misteri yang takkan pernah terjawab. Malam inipun aku merindukannya. Seorang Ustad A bagi perjalanan hidupku. Seorang sahabat bagi kami. Seorang kekasih bagi langkah berikutnya. Kantuk telah mulai menyapa; Kokok ayam baru kedengaran satu kali. Pedagang sayur telah me- langkah menyusun batu-batu perjalanan hidupnya kelak. Untuk mulut-mulut mungil darah dagingnya. Aku, Mahali, Harbali, Adipta, Gung Dek, dan Aryan- to semakin mabok oleh obrolan sendiri. Malah telah berganti pagi. Jam pasir telah menunjukkan angka ke duaratus satu. Ini berarti kami harus mengakhiri obrolan yang saling Gasak - Gesek - Gosok. Malam itu memang belum ada yang terjawab. Namun kelak kita akan bertemu kembali di sebuah pelabuhan yang sama. Entah sebuah musuh atau sekutu. (KPS. Jembrana 1988). "Bisakah kamu mengerti, gadis?" tanyanya pelan. Saya beringsut. Memijit kelingking saya yang beng- kak. Gara-gara cerita melankolis membuat saya ham- pir gila. Saya bilang: "Adakah kata-kata baru yang akan saya rangkai- kan? Saya rasa saya masih, masih memerlukan waktu." Kelingking dijari kanan saya membuat saya jengkel! Sakitnya seolah mempengaruhi seluruh tu- buh. Dan saya tidak suka. Membuat semuanya mu- met, dan membuat kepala saya sedikit miring. "Kalau perlu, keluarkan semua kosa-kata milikmu." Dia menantang. Sedikitpun tidak merasa- kan rasa sakit yang saya derita. Mata kelam itu berhi- Lomba MKE KAN WOR} ECONO DRIVE SUZUKI SUPER CARRY EXTRA MINGGU, 19 FEBRUARI 1989 SUZUKI nar, kemudian mendung lagi. "Mulailah dari huruf, "A". Jangan langsung meng- ambil huruf "Z". Lebih baik memulai dari nol, dari pada memulai dari seratus." Dia menendang kerikil kecil, kerikil itu melesat jauh, kemudian tenggelam masuk ke dasar kolam. Sampai-sampai satu tangkai teratai lepas olehnya. Saya mendelik. Saya bilang: "Saya tidak bisa." Bohong." Sungguh?" "Tidak, saya tidak mau mendengarnya. Jawab hari ini?,, kalau bisa berkatalah yang terburuk. Carilah alternatif yang bisa saya pegang bahwa, kamu. Ya?, kamu seorang gadis yang tegas. Dan tidak kejam, untuk ukuran teknologi modern." "Saya tidak ingin bicara?" "h'arus, bicaralah?" "Tidak!" "Kamu harus bicara!, yang duduk di sampingmu adalah saya, seorang laki-laki yang membutuhkan alternatif. Katakanlah?, walaupun itu hanya sebaris kecil. Atau hanya menggunakan bahasa isyarat. Bi- cara? Ayo! tatapan matanya terlihat luka, begitu dalan 1. Seolah dia tahu bahwa siang ini awal kekala- hannya. Dan, saya? Saya ingin berteriak, kalau bisa berjingkrak-jingkrak sepuas hati. Dan, yang ter akhir, saya ingin bernyanyi melagukan mars keme- nangan. Bukankah itu indah? Saya tersenyum kaku. Tiba-tiba mata saya jadi ragu. Laki-laki di depan saya sudah terlalu banyak berkorban, terlalu banyak!, bahkan saya terlalu bodoh untuk mengaku menjadi seorang pemenang. Sementara kedua belah matanya kelihatan pucat. Seharusnya saya tahu, harus! Bahwa harga diri, perasaan, dan pikirannya telah terkuras dengan ulah saya. Saya bilang: "Tidak ada lagi yang harus saya katakan. Siang ini matahari terlalu panas. Saya ingin pulang." Hanya kalimat itu yang saya sisakan untuk penantiannya. Apakah sa'ya wajib berteriak, bahwa masalah saya telah selesai? Pantas? Remaja Suarta Satrya Penulisan Puisi R Sanggar Minum Kopi emaja itu makhluk yang bernama manusia juga. Sebagai manusia, ia mempunyai pikir- an, punya akal, dan punya siasat jeli. Ia juga punya emosi menggelora, melebihi pikirannya. Kalau orangtua berjalan dengan pikirannya ma- TERBUKA luas untuk umum. berthema ka remaja berjalan dengan emosinya. Yang di- sebut kenakalan remaja, ini pun lebih banyak BEBAS dan belum pernah dipublikasikan dikendalikan oleh emosi daripada oleh pikiran. lewat media massa. Rebutlah hadiah Kata seorang psikolog, kenakalan remaja itu wa- jar saja. Tetapi ada kenakalan yang menjurus ke menarik dengan mengirim PUISI seba- arah yang kurang ajar, kenakalan yang tidak terkendali. Dan ini, tentunya tak dikehendaki, nyak-banyaknya dan lomba berlangsung terutama oleh orang-orang yang merasa punya dari tanggal 1 Februari - 30 April 1989 SEGERA kirimkan naskah puisi-puisi an- da ke tanggung jawab besar membentuk pribadi ma- maja-remaja dicerai nahi soal kenakalan remaja. nusia yang manusia. Maka dipandang perlu re- Sebagai remaja aw al, pada tahun 80-an, saya sempat dan meny empatkan diri mengikuti cera- mah kenakalan remaja. Materi ceramah waktu itu berisikan perihall narkotika dan tertib berlalu dan berlintas. Kejelekan-kejelekan narkotika di- ungkap-ungkap. Resiko-resiko berlalu lintas tan- Sekretariat Sanggar Minum Kopi Biaung Indah E-14 Tohpati pa mengikuti peraturan-peraturan diungkit- Denpasar 80237 ungkit. Sepertinya re maja-remaja saja yang su- ka mengedargunakan narkotika serampangan. (Bersambung ke Hal VIII kol 7) Laki-laki itu berjalan menyusuri bukit karang, se- dikitpun tic lak memalingkan wajahnya untuk saya. Tuhan, siang ini saya telah membuat keputusan yang terlalu emos ionil, emosional, emosi...... Semua gara- gara kelingk ing saya, ya, kelingking saya yang luka seperti kenci parut. Dan sakitnya luar biasa. Sampai sampai seluruh sendi tubuh saya lumpuh. Saya tidak tahu, tiba-tiba saya ingin menangis, masih tergores jelas mimik. Ya, mimik laki-laki yang selama ini selalu menjaga dan mengerti posisi saya. Kelingking saya sembuh dua hari, tapi sakit saya makin menjacti. Sakit baru, saya bingung! Semua gara-gara keputusan saya. Epidemi! Saya benci de- ngan diri say a, epidemi hari ini saya justru merasa kalah!. Epidemi! (Untuk'mu khusus Gek'Yach dan Goes! Pyang) SUZUKI Ketangguhannya diakui dunia SELENGKAP SEDAN C.SS MINGGU, Men ni tertav Asambil dari tadi dip mengobral pelampiasan nilai yang di an cukup ti ini dipergun temannya ap keluar. Setia menghampi tirnya. "Silahkan .." kata An Terimaka Andi. Namun ke di sudut k minuman ta kitpun, Rati wa nilai ular laupun sem dengan tek nya kosong. tentu arah. kejut dan te nannya. Eeeeeee.. apa kabarmı "Ulangann tadi hasilnya nya Nita menghindar an agar tida melamun. I Ketut Al Maret 198 tenar. Ala Melalui ru teman-tem Bapak, Ib semoga as "Besar nant roh adik ma 27 Januari hobi makan Melalui rubr dan seluruh Serial ZA 10 Bahrun Pagi menjela minggu ya duduk-duduk nya adalah dan menung Noel, adik se akan datang Jam di tangan. rang telah me ka 9.53, beran menit lagi. Zen lah melihat jaz Color Rendition Chart
