Tipe: Koran
Tanggal: 1995-10-08
Halaman: 11
Konten
4cm Kliwon, 8 Oktober 1995 Minggu Kliwon, 8 Oktober 1995 Kebajikan bpm/nos ngsung mendengarkan we- Sri Kresna yang terkenal vadgita. pikiran Rsi Bhisma dalam Ya, memang demikianlah Prabhu, sehingga dalam lupan ini umat manusia tak Hari pergolakan, pertentan- angan hidup, seperti yang m epos Ramayana pada era Seperti yang kita alami pada ga ini," kata Arjuna mem- abangnya. pesan buka rawosne Beli asih rawosne I Adi Arjuna, e tusing suwud-suwud ada ada manusa ane ngaba so- tekening sifat-sifat kede- ifat-sifat keraksaan. Lakare esa Pakraman, di Padyan, di Panitia, di kantor-kan- uyut, karena adanya kedua g selalu bertentangan ini, garuhi manusia-manusia anata sosial masing-mas- Bhimasena nyeplos. an Ratu Dewagung Made. madruwe sifat-sifat kede- ta mapakayunan becik nan pamargine sida ayu tur g, wenten soroh jadma sane t-sifat keraksasaan sane asar, makarya wug, sawireh wantah yoninnyane sane weci mang byuta punika, un bikasne satata ngapak- ayapa kadi aku," demikian in membenarkan opini Bhi- engakhiri dharmatula pada Ngurah Oka Supartha FASHION STORE LINSON PANS RINDI CARDINAL FORMAL FALLEY Lea pocket design fashion wears JJ FLEETETELD PURNAMA KAPAT PEMEKARAN BUNGA KREATIVITAS DAN SPIRITUALITAS Sejak kanak-kanak nenek saya yang buta huruf di kam- pung senantiasa mengingatkan, agar setiap mabhakti, di mana pun, selalu menggunakan bunga (sekar). Bila tidak dapat atau- pun tidak sempat menghaturkan banten, kata nenek saya, usaha- kanlah dapat mabhakti dengan ,bunga. Nenek merasa tidak sreg bila kami sampai tidak dapat mempersembahkan bunga keti- ka maturan ataupun mabhakti. Usia kanak-kanak saya meneri- ma dengan patuh petuah nenek. Tapi, kenapa mesti bunga- dalam Bahasa Bali halus juga di- kenal dengan sebutan sekar, puspa? Bunga ngaranayang bungah. Bungah ngawinang bingar, begi- tu penjelasan yang saya terima. Bukan dari nenek, tapi justru dari kakek saya yang pendiam dan juga buta huruf. Katanya, karena bunga kita akan menjadi bungah(maaf, sementara saya tidak terjemahkan ke dalam ba- hasa Indonesia, karena belum ditemukan istilah yang pas), dan rasa bungah menjadikan kita bi- ngar (juga maaf, belum bisa di- carikan padanannya yang pas dalam bahasa Indonesia). Bu- nga, bungah dan bingar? Kata-kata itu hingga kini me- nancap tajam dalam benak saya. Semesta makna apakah yang terkonsepsikan dalam bunga se- hingga senantiasa dihadirkan di- jadikan inti persembahan? Ne- nek maupun kakek saya dalam percakapan kami sehari-hari se- ring benar menggunakan kata- kata itu untuk konteks aktivitas keagamaan, mabhakti, maupun konteks sosial keseharian. Arti- nya, bunga (sekar, puspa) yang bungah dan kemudian meman- carkan bingar tidak hanya men- cakup makna dalam dimensi personal dan sakral, tapi juga sosial. Saya tahu persis baik nenek maupun kakek tidak pernah ba- ca Gita-yang menyebutkan bu- nga (puspam) sebagai salah satu unsur persembahan kepada Sang Pencipta. Saya juga tahu benar mereka tak mengerti ba- hasa Inggris, tidak juga pernah berjumpa dengan wong Welan- da (sebutan mereka untuk orang-orang luar negeri). Kerna itu, ada jaminan pasti mereka tak terpengaruh oleh ucapan o- rang sono yang bilang say with flower, katakan dengan bunga, ketika senantiasa mengingatkan kami tentang bunga. Oleh I Ketut Sumarta Penedenging Sari Pendidikan religiositas dalam bahasa dan perilaku keseharian khas masyarakat desa di Bali itu kembali meledak dalam ingatan saya menjelang purnama kapat ini. Tidak hanya sebagai nostal- gia, tapi sebagai kesadaran ter- hadap kearifan pendidikan pe- nyadaran semangat religius dan spiritual masyarakat desa di Ba- li; kearifan bersahaja yang mengandung konsep makna Kata demi kata yang memba- (kawitan kidung wargasari) se- mendalam dan utuh. ngun bait awal kidung wargasari kan dari kasmala menjadi nir- mala, dari kegelapan (awidya) ke pencerahan (widya), dari ke- terikatan ke pembebasan yang kekal langgeng. Memang, Kapat dengan pa- nedenging sari-nya memang mendapatkan perhatian istime- wa oleh para kawi, sang pen- damba Keindahan (lango), yang sekaligus seorang yogi, sang pendamba Kelanggengan, da- lam karya-karya ciptaannya bahannya kepada Sang Pencipta yang sekaligus menjadi persem- (Sang Hyang Paramakawi) mau- pun masyarakat. Yogiswara cara padat dan tepat memfor- Mpu Tanakung, misalnya, seca- mulasikan konsepsi sasih Kapat ra spesifik menyebut sasih kapat (Kartika masa) dan bunga dalam ini dengan istilah amreta masa, konteks kreativitas dan spiritua- litas. Kidung dimaksud seleng- kapnya berbunyi: Purwakaning angripta rum/ ning wana ukir ka- hadang labuh kartika panede- nging saril angayon tangguli keturlangringring jangga murell. masa yang memberi daya hidup Kehidupan, lewat Bhasa Amreta Masa ciptaannya. Sementara Danghyang Nirartha memakna kannya sebagai puncak keindah- an (rarasing karesikan) yang memancar-binar cemerlang di sekujur sekar. Bali Post/Ist tus. Adapun air amertha suci persembahannya adalah siwam- badhyatmika, pasrah tulus-suci batin mahajernih. Bali Post A PRESIASI JEGOG BAMBU, MAKEPUNG DAN YOGA LANGIT Suatu malam, pekan terakhir bulan April 1995 lalu, di Mu- seum Nasional, Jakarta. Dalam pembukaan pameran bertajuk Seni Rupa Bali Masa Kini: Pe- lestarian dalam Perobahan, ka- mi sempat menikmati suguhan jegog. Inilah seni musik bambu handalan khas daerah perbatas- an Barat Bali, Jembrana. Ini kali kedua bagi saya menikmati seni alam murni itu di kota megaurb- an, hiruk-pikuk, lengkap de- ngan budaya serba impornya-- bernama Jakarta, di mana ke- senian (juga penduduk asli) lo- kal Betawi dipinggirkan. Kali pertama saya sempat nonton di anjungan Bali, di Taman Mini Indonesia Indah. Tentu ada atmosfer-atmosfer vital yang hilang dari keutuhan jagat jegog aslinya di tanah la- pang di bawah kitaran pagar po- hon kelapa, daripada nonton je- gog di panggung kemasan kota- besar konsumtif seperti Jakarta. Di Jembrana, atmosfer kalang- an yang akrab dengan lingkung- an agraris komplit sebagai set- ting pentas yang utuh, menjadi kan musik jegog tidak hanya in- dah dan natural tapi juga ekso- tik. Sapi-sapi yang berpacu di te- ngah kalangan adu makepung dengan jegog mabarung-nya itu, akan memberikan suguhan tea- ter lebih lengkap, variatif, dan kaya nuansa. Tempik sorak para penonton hingga ke desing pe- cut sais yang mamacu sapi-sapi atau kerbau aduan mereka bisa menjadi musik mars semangat perjalanan pencarian yang ber- gemuruh kencang. Atmosfer- atmosfer nuansa demikian tak saya dapatkan ketika menikmati jegog di Jakarta--dan saya mak- lum untuk tidak menuntutnya kepada pimpinan sekaa, karena saya memang tidak sedang me- nikmati jagat jegog, tapi hanya sebuah miniatur jegog.. Tapi, toh saya mesti terdiam sejenak ketika seorang seniman lukis Jepang yang berada di se- belah kanan tempat duduk saya kemudian berkomentar tentang jegog. Aneh, katanya dalam ba- hasa Indonesia yang fasih, saya merasakan getaran lain dari bu- luh bambu jegog. Ini lain, tapi saya tidak memahaminya, entah apa. Saya tak segera memberikan tanggapan. Soalnya, tujuh ta- hun silam saya juga merasakan getaran rasa yang sama ketika pertama kali menyaksikan jegog dalam jagatnya yang utuh di sua tu tempat, di Jembrana. Karena kerutinan kerja sehari-hari a- khirnya saya tak pernah tuntas menyusuri jagat jegog, hingga a- khirnya saya menikmati (minia- tur) musik jegog lagi di Museum Nasional, Jakarta. ***** Menyusuri suara jegog, imaji- nasi saya kini jadi berkelebat ke sebuah lontar tua yang mema- parjelaskan filsafat Siwaisme Hindu. Dalam suatu bab ten- tang Yoga Langit (dewambara yoga), Jnanasiddhanta, nama lontar tersebut, menjelaskan ba- gaimana gelisah dan semangat udara yang ada dalam sebatang buluh bambu ingin meretas me- nembus batas buluhnya, lalu menyatu dengan udara yang ada di angkasa. Pada titik penung- galan demikian, semua menjadi Ning dan Nir; udara dalam po- kok bambu melenyap ke dalam udara di luar yang memenuhi se- gala tempat, segala saat. Haryati Soebadio mendapat kan gelar doktornya setelah me- neliti naskah lontar Jnanasid- dhanta milik Ida Pedanda Made Sidemen sebagai disertasinya. Desertasi ini kemudian diterje- mahkan ke dalam bahasa Indo- nesia oleh Romo Dick Hartoko. Kemudian, dalam suatu tulisan- nya yang dipersembahkan kepa- da Romo Zoetmoelder (Alm), Romo Dick juga menyatakan terpikat pada simbolik sebatang bambu dalam Jnanasiddhanta ini, ketika suatu kali Romo Dick tergoda oleh gerak sebatang po- hon bambu yang terbentang di hadapan padepokannya di Ka- liurang, Yogyakarta. HALAMAN 11 Ketika seorang penabuh je- gog saya lihat sampai menari- nari di atas jegog-nya sembari memainkan panggul, memukul- kannya ke potongan-potongan bambu jegog itu dengan tanpa salah, boleh jadi ketika itu telah terjadi penyatuan di situ: suara musik jegog mengeras, sang pe- nabuh pun kian melonjak ber- gairah, demikian sebaliknya. Dan, di kalangan (arena) pacu- an itu, tidakkah sais-sais itu se- dang memacu dirinya sendiri un- tuk segera sampai di garis batas akhir? Tempik sorak penonton dan desing pecut sang sais boleh jadi adalah musik penyadaran untuk tidak surut, lesu, apalagi ke luar dari pacuan untuk pe- nyatuan dengan Sang Akhir itu. Balik mengingat lagi jagat je- gog yang utuh di Jembrana itu, lalu mengenang 11 tahun wafat- nya pengarang besar Bali yang juga penghayat dan pelakon a- jaran Siwa tekun dan berdisiplin teguh, Ida Pedanda Made Side- men (10 Oktober 1984--10 Ok- tober 1995), sehari setelah bulan bulat penuh di langit sasih Kapat ini, pikiran dan hati saya bertanya-tanya: tidakkah jegog dengan bambu dan makepung- nya itu juga simbolik bagi pelak- sanaan dewambara yoga itu? Suara jegog yang murni ber- asal dari potongan-potongan bu- luh bambu itu, menggema, ber- kejaran (dinamis) dalam nada- Jegog, jadinya, sebagai karya nada semangat kegelisahan yang kreatif seniman-seniman petani membahana, ringan, empuk, la- Jembrana, tidak hanya memberi lu melayang lenyap. Dengan po- keindahan suara, wawasan har- tensi udara yang ada dalam bu- moni kesemestaan, dan kesa- luhnya, potongan-potongan daran populis. Tapi, juga bisa bambu jegog itu bergerak, ber- memberi pelajaran atau sema- getar, lalu mampu mengeluar- ngat pendakian kerohanian kan suara beragam tapi sekali- yang bersemangat pembebasan. gus indah. Tidakkah ia adalah Jegog Jembrana dengan bahan simbolik suara jiwa yang meng- baku bambu (musik joged bum- huni buluh raga manusia yang bung juga dengan bahan baku kini cenderung terabaikan di te- bambu, dan konon awalnya mu- ngah hiruk-pikuk lalu lintas si- lai muncul dari daerah Bali Ba- kap hidup pragmatis dan mater- rat ini-pen) dengan demikian ialistik? Adakah tangguran sua- menyajikan simbolik inti visi ja- ra jegog itu adalah jerit sang ji- gat Bali secara utuh dan menda- wa yang ingin dimerdekakan, di- lam lewat simbolik potongan- bebaskan segera ke Sang Asal, potongan bambu. Sang Mahajiwa yang memenuhi alam semesta ini? Sasih Kapat: Salam Kreatif dari Bali Barat Bali Post Minggu edisi 4 Juni 1995, 6 Agustus 1995 dan 24 September 1995 memuat sajak- Oleh IDK Raka Kusuma sajak Kompetisi khusus Bali Ba- kesadaran yang menohok pe- rat. Momentum ini menunjuk- nyair untuk terus berdiang di kan, sajak, di Bali Barat tak per- tungku kreativitas sambil terus nah mati. Sajak, di Bali Barat berdialog, bertengkar dan ber- dicintai, digeluti, disetubuhi dan kelahi dengan diri sendiri. Se- dilahirkan secara berkesinam- sungguhnya pula, kesadaran bungan. Di Bali Barat, bagi yang menuntun penyair untuk penyair-penyair yang berjumlah bergerak dalam diam dan diam 17 ini, agaknya, tiada hari tanpa dalam gerak kreatif yang berke- sajak. Bukti kongkret menun- sinambungan. jukkan, sajak-sajak mereka, sajak-sajak yang telah matang. melalui prosesi yang intens, se- Yang, dengan sendirinya, sudah sah. Yang, dengan sendirinya, terus-menerus diguling dan disa- ring. Begitu, lewat pengendalian prana/energi/api/panas dalam diri (siwanalarcana) hingga tenang-tegak (degdeg) seperti nyala api pedupaan di dalam ka- mar gelap (sudipa ring kulem), penunggalan puncak pemekar- an sekar alam semesta disatukan dengan puncak pemekaran puspa-batin. Itu dilakukan, me- nurut visi Mpu Kanwa lewat adi- karya Arjuna-wiwaha, dalam kondisi puncak keheningan hati- nurani (ning ana-hata) dengan pemusatan di titik antara kedua kening agak ke atas (tinghalana) yang juga menjadi titik indera keenam (sad-kahyangan). Se- mua ini masih ditunjang lagi o- leh kepala, badan, dan sikap du- duk tegak (de tri loka sarana). Dengan jalan penunggalan dan pengendalian mahakuat kukuh-teguh (mahabrata) demi- kianlah kemudian akan tercapai reka, sekaligus fakta, kepe- Kematangan sajak-sajak me- transformasi personal secara total-menyeluruh. Teralamilah nyairan mereka pertaruhkan le- wat sajak. Kepenyairan mereka ketakjuban apa yang tidak per- pertaruhkan lewat bukti karya nah teralami sebelumnya, dite- yang memang berhak disebut se- mui sesuatu yang tidak pernah bagai karya kreatif. Mereka, a- ditemukan sebelumnya, terca- gaknya, lebih mementingkan pai puncak pencapaian yang tak mutu karya lewat diam-diam pernah tercapai sebelumnya: terus mengasah dendam kreati- katemunta mareka si tan katemu, vitas ketimbang ramai-ramai tulis Mpu Kanwa, selanjutnya. beretorika dalam kancah oral. Perenungan mahadalam Ada kesadaran pada mereka, (nung) Dia yang berupa segala kancah oral bukan kancah yang yang utama (swarna siwa lingga) bisa menyodorkan sublimitas ni- memang hanya dapat ditangkap lai untuk dicerap, direnungkan lewat keheningan (ning) setelah serta diperkelahikan dengan diri proses penjernihan, penenang- an (neng): Sang Hyang Embang hanya dapat tertembus oleh ketiadaan beban (sunya numpak ring taya, taya numpak ring acin- tya). Pengosongan gelas yang sudah penuh mesti dilakukan Sarasa- terlebih dahulu agar dapat diisi hingga penuh kembali. Dengan demikian, akak muncul apa yang dalam kakawin Dharma Sunya dirumuskan sebagai tum- rang rasmenikang prabhaswara mijil ri hati mamenuhing sabhu- wanasinar, memancar cahya mahacemerlang dari kesucihe- ningan batin yang memenuhi se- Inilah momentum yang dinilai tepat untuk matirthayatra seca- ra personal, melakukan pening- katan pencapaian spiritualitas, lewat nyegara-gunung (pasir- wukir, segara-giri): merenangi lautan (segara) hati nurani yang tak terbatas, mendaki menun- dukkan puncak ketinggian gu- nung alam pikir, sehingga men- capai Pemerdekaan dan Pembe- basan final. Dalam kenyataan sosiologis, kebersamaan di ting- kat keluarga dan pakraman, ka- pat juga diberikan makna khu- sus oleh masyarakat Hindu di Bali dengan momentum Bait kidung wargasari yang sangat populer dan disucikan di masyarakat ini secara jelas menggambarkan suasana alam semesta pada saat sasih kapat (sekitar Oktober - November), yakni saat sang kawi mulai menggubah karya keindahan dalam bentuk nyanyian tentang ajaran-ajaran mahautama (war- gasari, kumpulan sari-sari ajar- an mahautama). Dilukiskan ke- tika itu hujan turun rintik-rintik dan pada saat sasih Kapat (Kar- tika) bunga-bunga sedang ber- ada pada kondisi puncak peme- karap (panedenging sari) de- ngan pohon-pohonan yang piodalan-piodalan dan karya- menari-nari, dan kumbang yang meriung bernyanyi. Sebait ki- dung wargasari ini sering dinya nyikan oleh masyarakat Bali (di Bali maupun di luar Bali) pada awal upacara dewa yadnya. Mo- mentum penyatuan jagat besar (wana-ukir) ke dalam semesta jagat kecil sebagai tujuan final spiritualitas dalam dimensi per- sonal tampak mendapatkan ru- musannya yang indah dalam li- ma baris kidung ini. Apabila di sini catatan ten- tang Kapat ini lebih ditekankan pada sastra, hal ini tentu sangat terkait dengan konsep sastra yang mencakup makna luas. Sastra terkait dengan aksara- yang tidak termusnahkan (Me- narik, dalam prakteknya sehari- hari para penulis huruf Bali me- mang tidak menghapus aksara bila salah tulis, melainkan justru menambahi aksara bersangkut- an dengan dua pangangge aksa- Tapi, saya tahu persis kakek ra sekaligus sehingga tidak lagi dan nenek senantiasa melakon- dapat disuarakan, disebut kan rasa bhakti mereka ke ha- sastralaksara mati). Lewat karya dapan Embang dengan bunga. sastranya yang beraksara, para Mereka rajin menanam aneka kawi yang umumnya juga pene- pohon bunga, di sanggah juga di kun yoga, mengundang Istade- sawah. Membuat banten selalu watanya, Dewa Pujaan dan Pe- lengkap dengan bunga-- biasanya tak cukup satu jenis. lindungnya, untuk distanakan di Hingga kini nenek saya yang te- tap buta huruf dan berjalan su- dah menggunakan jasa tongkat, tidak pernah lupa minta dicari- kan bunga bila hendak mabhak- ti, lalu menyumpangkannya di bagian awal ciptaannya. Mencipta karya sastra (nyas- tra), jadinya, adalah pemujaan oleh sang kawi kepada Sang Pa- ramakawi (Tuhan Sang Maha karya ayu. Pada saat demikian dalam relasi sosial masing- masing orang berkesempatan kosong/ketidakterikatan/ mempersembahkan (maturan) sesuatu yang terbaik baik dalam dimensi vertikal maupun hori- sontal (lingkungan masyarakat, kemanusiaan: Kitab muscaya menjelasterangkan tirthayatra paling utama yang mengalahkan jenis yadnya yang lain adalah tirthayatra kepada mereka para daridra, orang- orang miskin hina-papa). Kesadaran spiritual, dengan demikian, senantiasa menda- patkan pemaknaannya yang ulang-alik antara dimensi peng- hayatan dan pencapaian perso- nal dengan aplikasi sosiologis. Puspa tan Alum Ketika alam semesta berada keasri pada puncak an, dan keindahannya, pada saat bersamaan para pencari kearifan maharahasia, pencari Kelanggengan (yogiswara) da- lam perspektif personal juga menangkap pemekaran alam se- mesta itu dalam semesta dirinya (personal). Pada saat itulah para yogiswara memekarkan potensi batin, yang tiada ubahnya segara tan patepi, dengan yoga samadhi mahateguh. Ketika itu, pemujaan (sem- bah, bhakti) untuk penyatuan dengan Sang Pencipta (Parama- Pencipta) dari aksara, dengan kawi) dilakukan secara total- luruh dunia. Dalam rumusan sederhana orang-orang tua di Bali, seperti generasi kakek-nenek saya di desa, inilah yang kiranya mere- ka maknakan sebagai bunga yang melahirkan bungah dan bi- ngar. Dari dia yang berpribadi- pribadi demikianlah kemudian tercipta hasil-hasil kreativitas berupa adikarya-adikarya seu- tuhnya (benar, bijak, dan indah; atau dalam Bahasa Bali patut tur pantes) yang mampu menembus batas zaman, batas geografis, serta batas kotak-kotak sempit ego suku, agama, ras, disiplin, dan sejenisnya. Baik dalam wu- jud karya sastra-agama, karya arsitektur, sistem relasi sosial, maupun dalam karya-karya ke- senian lainnya. Di samping juga sikap menerima perbedaan atau aksara, agar menjadi Aksara penuh lahir batin (wahya- kebhinekaan yang melampaui kedua telinga. Dari generasi ini- (yang Tidak Termusnahkan- dhyatmika). Persembahan sikap toleransi. lah saya pertama mendengar is- ).Sehingga, dapat dipahami bila bunganya berupa puspa tan a- Genta, Kidung tilah muspa sebagai aktivitas pe- dalam karya-karya sastra besar, lum, puncak kemekaran bunga nyerahan diri total tanpa pame- seperti Kakawin Ramayana, Niti jantung (hredaya, komala ma- Tapi, perjalanan penyatuan rih (bhakti) ke Sang Pencipta, Sastra, sastra diberikan makna dya, sebagai sumbu-poros de- ke Sang Asal (Wit sebagai akar Sang Hyang Paramakawi, Em- bang. Juga istilah-istilah mabu- sebagai busana mahautama (su- nyut hidup) yang tak pernah kata kawitan; atau Mula sebagai nga kuping, ataupun nyekar sastra maka bhusana) sekaligus menguncup layu. Apinya adalah bentuk dasar Kamulan yang di- (nyekah) dan puspa--populer ju- sebagai takaran bagi tokoh- agni anglayang, semangat pe- kenal luas dalam bahasa kese- ga dalam aktivitas ngaben dan tokoh Merdeka (Sang Mahar- nyatuan yang tidak pernah pa- harian masyarakat Bali) tidak dhika). Dengan demikian, sas- dam. Nyanyian kidung mantra- semua orang mampu menem- tra (aksara) sekaligus menjadi nya adalah pranawa suci OM, puhnya. Karena, berat, penuh 'air' pe-suci-an, panglukatan swaraning genta pinara pitu, sua- tantangan dan rintangan, seperti yang mampu mentransformasi- ra sukma yang tak kunjung pu- melintas di tengah hutan- runtutannya. Pukat'95 Rajer Babat di Wisma Daerah Jembrana MASIH dalam suasana Pesta In- donesia Emas, Pokja RAJER BABAT (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Minggu dan Senin 8-9 Oktober 1995 ini menggelar Purnama Kapat (PU- KAT) untuk kelima kalianya. Semua kelompok seni, sanggar se-Kabupaten Jembrana yang berpusat di Negara terlibat da- lam acara tahunan dengan pem- bicara utama al. I Ketut Sunar- ta, Sthiraprana Duarsa, IB Mar- tinaya, Hardiman, Putu Fajar Arcana. Acara seluruhnya akan berlangsung di WISMA DAE- RAH Jembrana di Negara Jalan Dr. Sutomo (atau telepon PON- DOK SENI Negara 40031-(0365) Negara (***) Stop Press! BPM 22 Oktober 1995 Edisi PSK Klungkung (Prasasti Sekar Kedatuan) BPM 29 Oktober 1995 Edisi KAMPUS KUNING Faksas Unud Minggu 29 Oktober 1995 Gradag-grudug RAJER BABAT Radio Dirgantara Negara Pukul 16.00 WITA belukar nan lebat (angatgat pan- taraning rimang) atau berlayar di tengah lautan maha dalam pe- nuh karang runcing terjal (sang- karang kerang kukus gunung)-- begitu biasanya para seniman Bali melukiskan dalam bentuk sesendon panasar. Karena itu, dalam strata kebersamaan sosio- logis (pakraman) diciptalah cara-cara yang lebih sederhana dengan nuansa keindahan yang tetap kental. Demikian, ada persemba- hyangan bersama di pura atau CERPEN ABSEN.... KARENA kesulitan teknis, cerpen edisi ini berhalangan mengunjungi para pembaca budiman. Sampai jumpa dalam edisi yad... (Redaksi BPM) Namun demikian, bukan lalu kreatif lewat kancah pergaulan berarti, tidak terjadi dialog di antara mereka. Seluruh sajak mereka menunjukkan, pergaul- an kreatif sesama dan di antara tapi, pergaulan kreatif itu, tidak mereka terjadi begitu keras. Te- lantas menjadikan satu sama lain saling pengaruh mempeng- aruhi. Tentu, saling pengaruh mempengaruhi dalam karya me- reka. Ini satu fenomena sehat dari dampak sebuah pergaulan. Dan ini satu tolakan keras terha- dap pendapat yang mengatakan pergaulan akan bisa membuah kan pengaruh di antara mereka yang bergaul. Bila boleh memu- ji, masing-masing penyair di Ba- li Barat, tampak dengan mapan mempertahankan pribadi dan kepribadian yang mereka miliki sendiri-sendiri. Ini, tentu, bu- kan gambar keangkuhan manu- sia yang menolak hadirnya pengaruh manusia lain. Lebih- sendiri dalam satu prosesi pan- jang. Kesadaran kreatif, sesung- guhnya memang demikian. Ke- sadaran kreatif, sesungguhnya, tempat suci dengan menghadir- dinyala-kobarkan setiap waktu kan seorang sulinggih selaku dalam titik-titik sandhya. Dan, pengantar upacara termasuk purnama kapat adalah salah satu persembahyangan. Sang suling- momentum titik sandhya yang gih bersaranakan genta yang tepat itu--di samping titik mo- mengkondisikan suasana ning mentum lain seperti Nyepi, Si- (genta berbunyi ning ning ning), waratri (jam 00.00 tengah ma- ada mantra puja, ada dipa (tem- lam atau tengah mingi), Galung- pat api dengan apinya), ada tir- an (geh luungan), Kuningan (ke- tha suci, bunga, dan seterusnya. heningan), dll. Di tingkat pakraman, ma- syarakat bersama-sama maki- Maka, purnama Kapat (karti- dung (dengan makidung sebe- ka Masa) memang adalah mo- Tuhan nan tulus tiada putus, an bunga sepiritual (panede- tulnya mereka mengagungkan mentum penyadaran pemekar- layaknya melakukan bajan, ja- nging sari) untuk semakin men- pa). Ada juga suara gambelan cerahkan kecerdasan dan budhi- (dari gambel = pegang erat) a- - yang menjadi sumber energi tau gong (geng = besar, tinggi) kreativitas, produktivitas, dan yang menciptakan suasana ke- semangat kemanusian. Ini heningan itu. Ada lagi dupa, bu- mang tak hanya benar dan bijak, nga, tirtha, dan seterusnya. tapi sekaligus juga indah. Maka, Kemekaran sekar atau adalah tidak kebetulan bila Mpu jantung-hati (hredaya), dengan Tanakung menyebut Kapat se- demikian, memang tak diber- bagai Amreta Masa, masa yang ikan kesempatan untuk layu. penuh daya hidup bagi Kehidup- Api semangat pencarian untuk an, terlebih lagi Kehidupan penyatuan itu tak henti-henti kreatif dan spiritual. Nanoq da Kansas WILAYAH YANG TERTINGGAL di tepi ranjang sebuah mimpi dapat terencana dan tumbuh seperti sebidang kebun bunga tapi di manakah engkau ketika kepompong itu menetas? seekor laba-laba betina dengan penuh cinta mengunyah langit-langit kamar hatiku sepanjang gang di depan rumah menggeliat menggeser rambu-rambu dan akar pohonan anak-anak berlarian di bawah cuaca gamang di ruang kerja mesin ketik itu bergerak menetaskan berjuta-juta lembar poster ajaib, ada saja yang butuh demonstrasi tentang apa? adakah yang teringat prihal cara menangis yang sederhana? di meja makan sebagian demi sebagian peta itu tercabik dan yang sesungguhnya menakutkan ada cabikah yang terbakar sepanjang musim debunya membentuk gurun yang aneh wilayah yang ditinggalkan cahaya 1995 Q Nirta KS Menemukan wilayah penca- Bali Barat ini. Lewat upaya me- reka ini, semakin nyata kini: ke- penyairan bukanlah dunia tran- relatif masih memungkinkan sparan yang bisa diraih tanpa terus berkembang? Inilah faktor melalui perjuangan. Perjuangan X dari dunia kreativitas yang dimaksud, perjuangan kreatif lebih, manusia itu, kawan seper- bernama kepenyairan. Inilah ra- melalui upaya dinamis dan posi- gaulan dalam menerjuni bara hasia sajak sebagai dunia kreati- tif untuk terus meningkatkan kreativitas yang bernama kepe- vitas. Inilah fakta, sajak tak ke- hasil karya yang bernama sajak. nyairan. Ini, jelas, merupakan nal usia dalam menuntun siapa upaya untuk tetap bertahan da- pun untuk menemukan wilayah harian, berarti, tanda-tanda ce- lam kesaling-silangan sikap. Ini, pencaharian. Sajak, bukanlah rah untuk tiba pada terminal ke- dunia bersyarat yang mengha- dewasaan menyair dan bersa- jelas pula, merupakan bukti, be- tapapun larut manusia dalam ruskan manusia dewasa dulu ba- jak. Dalam bahasa Arif Budi- pergaulan, ia tidak boleh kehi- ru matang dan memenuhi syarat man, tanda-tanda cerah tiba pa- langan sikap. Sebab, sikap, me- untuk dituntun ke wilayah pen- da stasiun memuisi. Sekaligus rupakan pantulan khas dari pri- caharian. Sajak, tidak berarti, jalan panjang yang me- badi atau pun kepribadian ma- membeda-bedakan penyair. letihkan yang ditempuh sejak nyair, bertahan dalam sikap jus- muda atau penyair tua. Tak ke- bagaimana mempermatang si- nusia itu sendiri. Dan bagi pe- Dan sajak, tak kenal penyair semula tak akan sia-sia. Tinggal tru merupakan tindakan yang nal pula penyair yunior atau pe- kap, persepsi dan visi kepenyair- semakin mempermatang diri da- nyair senior. Sajak tahu, kapan an. Tinggal, bagaimana mem- lam bersajak. Tanpa sikap, mus- penyair dituntun untuk mene- perdalam kesetiaan berdepan- tahil penyair bersangkutan akan mui wilayah kepenyairannya. depan dengan sajak. Tinggal, menemukan jati diri dan origi- bagaimana lebih memperma- nalitas dalam pengucapan. Ten- tang ucapan, bahasa dan suara tu, dalam pengucapan sajaknya. yang telah didapat saat me- Jika demikian halnya, para nemukan wilayah pencaharian. penyair Bali Barat yang jumlah- Tanda-tanda cerah ini pun, ter- nya mengundang decak kagum, pancar jelas lewat sajak-sajak 17, tak salah bila dikatakan Nur Wahida, AG Pramono, Me- masing-masing berupaya mem- tarrini, Ibnu Arifien, Dharma Sangkala, Teguh Imaning AR, Yogie Natayasa, Agus Beniq An- war dan Ahmad Saichu. Juga terpancar jelas lewat sajak-sajak A Fir Krisna, Putu Budi Santika, Kendatipun, penyair bersang- kutan belum tahu persis apakah sudah waktunya ia dituntun ke wilayah pencahariannya. Selain jawaban tadi, ada ja- waban lain yang bisa dikemuka kan. Yakni, penyair-penyair Ba- li Barat ini, telah menemukan bingkai pribadi dan kepribadian wilayah pencaharian, disebab- sendiri dalam sajak-sajaknya. kan juga oleh kesetiaan mereka Benar. Dan tanpa disadari, bersikukuh berdepan-depan de- masing-masing penyair telah ngan sajak. Kesetiaan, yang di- bersikukuh berdiri di wilayah sertai sikap tanpa pamrih dan pencaharian masing-masing. pretensi untuk kelak lahir atau Benar pula. Jangankan me- menjadi penyair terkemuka. nemukan wilayah pencaharian, Ini, tidak lantas berarti, para pe- mencari wilayah pencaharian nyair Bali Barat ini tak punya dalam dunia kepenyairan me- keinginan untuk kelak jadi pe- merlukan tempo dan jalan pan- nyair terkemuka. Sajak-sajak jang. Tersaruk-saruk, tertatih- mereka yang bertahap matang jatuh, lelah, payah, bosan, je- Bali Post ini menunjukkan de- tatih, jatuh-bangun, bangun- yang termuat dalam tiga edisi mu, jenuh, sakit, adalah sekian mikian. Dan ini, dilalui dengan dari sekian banyak kendala da- upaya positif, yakni, meningkat- lam mencari wilayah menyair a- kan kualitas karya. Ada pun gre- lias wilayah pencaharian. Jadi, get peningkatan ini tampaknya menemukan wilayah pencahari- terus-menerus mereka lakukan. an, sungguh meletihkan. Ini sebuah fakta lagi, kepenyair- Lalu, kenapa para penyair an tak kenal jalan pintas. Kepe- Bali Barat ini sudah menemu- nyairan yang tidak mengarah kan wilayah pencaharian kepe- demikian, dengan gamblang di nyairan dalam usia mereka yang tunjukkan oleh ke-17 penyair GSM CASH&CREDIT W.S. Nada, Agung Putra Khan, Issayudhie AR, Boyke S Negara, Anom Suastika, I Made Budi Darma. Bila kelak, dari Bali Barat muncul penyair terkemuka, ini satu hal wajar. Ini suatu konse- kuensi logis. Sebab, di Bali Ba- rat, sajak tak pernah mati. Sajak terus bertumbuhkembang de- ngan subur. Sajak terus bermun- culan dan dimunculkan oleh pa- ra penyair yang tetap berkarya. Yang tetap bertahan dan bersi- kukuh pada prinsip: berkarya dengan didorong oleh semangat cipta yang sehat. Semangat cipta yang diorientasikan pada pe- ningkatan mutu sajak. EasyCall GSM HADIAH BERUNTUN !!! beli GSM mulai Rp. 1.750.000 SUDAH KRIIING!! GRATIS TOUR ke SINGAPORE Pembelian 1(satu) Telepon Seluler GSM berhadiah 1(satu) Voucher Wisata ke Singapore 5 (lima) VOUCHER bisa ditukar langsung untuk BERLIBUR GRATIS ke SINGAPORE (2 hari 1 malam) Ticket pesawat GRATIS Menginap di HOTEL BERBINTANG GRATIS Makan Pagi, Makan Siang pada saat wisata GRATIS Mengunjungi Obyek Wisata Terkenal HAW PAR VILLA Local Guide berbahasa Indonesia dan GRATIS PAGER EASY CALL BERHADIAH LAGI RATUSAN JUTA RUPIAH DARI Berlaku Hingga 31 Ħ TELKOMSEL TANPA DIUNDI EasyCall. NADIAN 1 1 (satu) Hadiah Peugeot 406 ST1 Manual (tanpa BBN) Desember 1995 SEGERA HUBUNGI: WARGA WIJAYA Jl. Seruni 10 Denpasar, Telp (0361) 227414 (Hunting) Fax (0361) 237724 Jl. Teuku Umar 28 Denpasar Bali Sunset Motor Lantai 2 Telp. (0361) 229397 JI. Imam Bonjol 232 Denpasar (Easy Call) Telp. 232126 SINGARAJA: Wijaya Hotel Telp. (0362) 21915 LOMBOK Handika Hotel Telp. (0364) 33321, 35578 Fax. 35049 SERVICE ANTARAN PEMBAYARAN D COUNTER BSA DENGAN CREDIT CARD C. 2563 Color Rendition Chart 2cm 9440
