Tipe: Koran
Tanggal: 1996-12-22
Halaman: 10
Konten
2cm 4cm HALAMAN 10 ВЯТИТЬ M GOR isme A Bali Post PRESIASI Totemisme Dalam Periklanan TOTEM adalah unsur budaya yang ada dalam masyarakat primitif, biasanya berbentuk patung tanaman atau hewan yang terbuat dari kayu yang diukir. Fungsi totem adalah sebagai lambang bagi suatu keluarga atau suku itu. Jadi, totem adalah lambang kerena merujuk pada suatu makna se- cara konvensional. Totemisme adalah sistem kon- vensional yang hidup dan berkembang berdasar- kan kepercayaan pada totem sebagai rujukan suatu ikatan kelompok atau suku. Kita akan memandang barang atau jasa yang diiklankan juga sebagai lambang, yaitu yang maknanya didasari konvensi. Namun, konvensi dalam iklan biasanya merupakan hasil sesuatu yang disugestikan, yaitu dalam hal positioning atau penempatan suatu produk dalam citra kha- layak sasaran iklan. Hasil akhir suatu upaya pengiklanan diharapkan oleh pembuatnya men- jadi konvensi di kalangan khalayak sasaran. Iklan memang mempunyai fungsi memperke- nalkan barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat, baik untuk dibeli atau untuk dipakai tanpa dibeli. Pada tahun lima puluhan, iklan han- ya menggunakan media cetak dan media sorot sta- tis di bioskop. Jenis barang dan jasa yang diiklan- Grafis/Wahyu M kan pun masih terbatas pada mentega, sabun man- Bajra Sandhi, Elaborasi Estetika Pembebasan MASA Kartika (Oktober), adalah bulan yang penuh mekaran kembang. Bulan ketika gerimis senja menyapa para kawi dengan tunas keindah- an. Tarian alam ketika pucuk-pucuk angsoka putih begitu rindu ciuman taruna. Di mana bunga pudak Juruh ke tanah tak kuasa menahan birahi. Semen- tara sepoi angin yang lembut seperti mengusap pipi sang taruna yang basah air mata. Ia begitu lama menanti datangnya "Sang Kekasih" yang akan ia semayamkan di "padma" hatinya, keti- ka kelak menggubah tunas keindahan. Tarian semesta alam bulan Kartika ini bisa jadi merupakan tonggak paling sublim bagi pengembaraan seorang Ida Wayan Oka Grano- ka. Betapa tidak, hampir enam warsa sudah, se- buah pertunjukan monumental memberi arti bagi pengembaraan estetikanya. Sebuah kreasi di mana kosmologi semesta ditaburi rasa indah, Panedeng Masa Kartika, adalah awal dari pengembaraan itu. Sabtu Umanis Watugunung (5-10-1991) bertepatan dengan hari suci Saraswati, lahirlah dari "kandungan aksara" sebuah pedepokan yang nantinya bernama Bajra Sandhi, Nama Bajra sendi- ri, menurut Oka Granoka adalah anugerah seorang guru besar ahli kebudayaan Fakultas Sastra Univer- sitas Udayana Prof. Dr. Gst. Ngurah Bagus. Mendalang (angringgit walulang tinatah), menari (saha tumandang masolah), mengidung (angidung mabanda gina), menabuh semuanya menyatu dari keseharian padepokan ini. Ia ad- alah sebuah ritus purba, dari pulau purba berna- ma Bali Pulina. Di mana semuanya dipersem- bahkan pada dewata. Semua rasa dibangkitkan demi penyucian sang diri". Kita tak sanggup memaha- mi lebih mendalam, apa yang menjadi dasar dari pertunjukan Imen-Imen Pulina Bali ini kecuali sebuah renungan estetik ke tataran lebih pun- cak. Memang sebagaimana pengakuan Oka Gra- noka, ia berusaha menampilkan "jati diri" ke- senian Bali dalam kondisi puncaknya secara penuh dan terintegritas dalam konsepsi yadnya. Elaborasi lebih dalam, sebagaimana penutur- an Oka Granoka, adalah sublimasi dari pengem- bangan Pranawa Jnana. Tansformasi magis dari pengetahuan suci, di mana aksara menjadi mua- tan yang cukup kental, karena kerja seni ini dibangkitkan untuk pendalaman intelektualitas dan spiritulalitas. Inilah latar belakang proses kerja kesenian mereka. Sedang etos estetiknya adalah agar seni, seniman, serta masyarakat peni- kmat selalu dekat dengan Sang Maha Asal. Ber- dasarkan prinsip-prinsip ini, seni, bagi Oka Gra- noka, adalah dunia pembebasan. Dunia di mana 'ruang diri" bisa tersucikan. Oleh karenanya, menonton sejumlah pagelaran Bajra Sandhi, kita tak hanya dihadapkan pada nu- ansa-nuansa transformatif dari keberaksaraan itu, namun jauh ke lubuk semesta, menampakan dari sebuah ritus proses penciptaan. Tendensi ini kiran- ya tak berlebihan karenan garapan-garapannya tak bisa dilepaskan dari sebuah yantra yang bernama aksara (Aksara adalah simbol-simbol semesta pada dunia penciptaan kosmologis). Aksara adalah sim- bol-simbol vitalitas, sekaligus sebagai nada semes- ta. Siapa yang mampu mendengar nada semesta, selain seseorang yang telah menguasai ruang mag- Oleh I Wayan Westa is aksara itu sendiri. Pada karya-karya Granoka, seperti Siwa Rudra Murti, tak akan kita temukan sesuatu yang vulgar. Intensitasnya pada kultus en- ergi magis begitu kuat dan teramat keramat. Gra- noka menggelar sebuah drama purba, yang naras- inya adalah petualangan mistik cinta. Uma sebagai Durga Berawal dari kemurkaan Uma Dewi atas seor- ang anak ingusan bernama Kumara, yang telah melalaikan kewajiban bakti, membuat Uma benar- benar marah, untuk kemudian meninggalkan tapan- ya, mengobarkan dendam murka dengan mengam- bil wujud "Sakti" Durga sebagai penjaga kuburan yang sangat mengerikan. Kepergian Sang Dewi diikuti Siwa. Dalam keadaan lemah Siwa tak kua- sa menahan birahi. Lalu ia meninggalkan alam Siwa menelusuri jejak sang Dewi, mengubah wujud se- bagai Kala Raja, Rudra yang menyeramkan. Dalam sebuah perburuan yang magis, Rudra menemui Durga di tengah kuburan. Pasangan dua sejoli ini pun melakukan pengembaraan keramat, menyusu- ri jalan sepi, dari kuburan ke kuburan. Dari daya- nya yang melimpah, ia menarikan tarian penciptaan. Dengan energi purbanya ia tarikan tari penghancu- ran dunia. Dunia pun mengalami keadaan dishar- moni, sehingga mengundang kecemasan para dewa. Hyang Tri Samaya segera diutus, sebagai kekuatan purusa. Akhimya dunia kembali menemui somya. Menonton Rudra Siwa Murti, Sutasoma dan sejum- lah adaptasi lainnya, kita akan mendapatkan nuansa- nuasa estetika tantris, Mahayana. Kadang kita juga menemukan koalisi yang kuat antara Siwaisme dan Bhuda. Tendensi ini tak terlalu antagonis memang, sebab Siwatwa, Budhatwa adalah satu hakikat ilahi. Kepekaan Granoka dalam menarasikan garapan- nya ada pada kemampuannya mengabstraksikan Tantri Cerpen I Wayan Artika sebuah mitos purba menjadi drama penyucian. Kita tidak tahu, apakah semua aktornya bisa dibuat katarsis? Ini tentu sebuah pertanyaan sub- jektif. Namun dari totalitas pertunjukan itu, au- diens seperti diyakinkan bahwa telah terjadi sub- limasi estetik. Ruang jiwa seperti dibasuh atmos- fir estetika itu. Granoka bisa dikatakan menang, sebab dia mampu menelanjangi libido purba manusia, un- tuk memasuki kanal penyucian. Dengan demiki- an, penonton mengalami katarsis. Namun ham- batan yang paling mendasar dalam memasuki ruang-ruang katarsis garapannya adalah, mu- ngkin disebabkan oleh abstraksinya terlalu pun- cak. Bagi kebanyakan audiens yang tak berbekal apreasi yang cukup, ia akan kehilangan tontotan mahal (penonton macam ini sebaiknnya kita se- but sebagai penonton kelas dua). Bagi penonton seperti ini, indria apresiasinya terfokus semata pada pada bentuk-bentuk fisikal. Tetapi bagi au- diens yang telah akrab dengan narasi-narasi klasik, termasuk simbol-simbol mistis dari ak- sara suci, ia akan menemukan sebuah "drama penyucian" yang membasuh "ruang jagat diri", Granoka juga dapat dikatakan menang dalam kaitan untuk melahirkan "struktur raga" per- tunjukkannya. Kita bisa membayangkan, betapa kejeniusan Granoka dalam melahirkan aktor ci- lik yang sekaligus dibebani peran multidimen- sional. Semua aktor yang terlibat adalah pemain sekaligus sutradara. Semua aktor bisa menari, menabuh, mengidung, angringgit, dan ia siap me- merankan apa saja dari semua karakter yang dike- hendaki. Bukankah ini betul-betul mengagum- kan sekaligus spektakuler. Tak banyak seniman Bali yang memiliki kemampuan seperti ini. At- mosfir estetik dari semua garapa Oka Granoka sesungguhnya tak kelihatan dalam alur, namun atmosfir ini dibungkus oleh nuansa mistis alu- nan gender, kidung, suling, suara rebab, dan lengk- ingan palawakia. Sementara struktur tari yang di- garap sedikit apik, tak saja mencitrakan sekadar "olah wiraga", namun lebih pada pendalaman "olah jiwa". Pakem Legong Kraton yang menggilakan itu tak pernah ditinggalkan. Struktur pegambuhan juga menjadi acuan-acuan penting untuk narasi es- tetiknya. Namun tak bisa dipungkiri, garapan semacam ini sangat kentara "memilih penonton". Ada pertanyaan besar buat Ida Wayan Granoka, masihkah kesenian kita memiliki penonton? Artin- ya penonton yang memilki daya apresiasi. Semen- tara kita hidup pada zaman penuh "pilihan pasar". Kita lebih bernafsu pada sesuatu yang vulgar. ngerasakan bahwa itu perjalanan yang cukup melelahkan." "Oke," Tantri tersenyum. Tidak terasa Tantri sudah ham- pir dua minggu di Bali. Selama itu kami belum lagi melakukan per- jalanan wisata ke tempat-tempat terkenal di pulau ini. Anehnya, tiap kali saya tawari dan saya sodorkan rencana perjalanan, dia selalu me- nolak. "Tak usah Wayan. Bukankah desamu cukup indah? Saya betah di sini. Tentang perjalanan itu, kali lain saja." Saya makin tak ngerti dengan maksud penolakannya. Tetapi toh Tantri dapat meyakinkan saya dan akhirnya saya menuruti apa yang dikatakannya. Misalnya ketika ia bertanya tentang suara tabuh suatu malam yang kebetulan didengamya. "Saya dengar suara musik. Wayan, tabuh apa itu? Bisakah kita pergi untuk menontonnya?" Saya segera bersiap dan be- rangkat ke pusat tabuh itu dimain- kan. Sebuah pertunjukan joged, kesenian rakyat yang mirip dengan ronggeng di Jawa. "Joged? Apakah ini tari suci untuk para dewa?" "Bukan. Ini tari pergaulan un- tuk menghibur saja. Tari sakral tidak dipentaskan kapan saja," demikian saya jelaskan. Oleh Helmi Y. Haska di, sabun cuci, bedak dan sebagainya. Merek tiap jenis barang dan jasa itu pun masih terbatas seh- ingga persaingan belum seketat pada zaman kita sekarang. Sifatnya masih "menjajakan" seperti halnya penjaja kue. Namun kita sudah mulai me- lihat upaya untuk mengajak calon pembeli mema- suki kelompok tertentu sehingga "berbeda" den- gan kelompok yang lain dalam masyarakat. Iklan tahun lima puluhan ini sudah merupakan permu- laan gejala membangun totemisme. Antara totemisme yang dimaksud dalam kaitan dengan iklan serupa dan dalam masyarakat prim- itif, yaitu dalam hal sifatnya yang "mengikat" kelompok masyarakat dengan suatu lambang. Sugesti yang ditimbulkan pengiklan diharapkan menimbulkan kesepakatan (konvensi) untuk me- nerima suatu merek menjadi semacam "totem". *** DALAM banyak iklan, ada upaya untuk me- manfaatkan sikap modernitas yang ada pada masyarakat. Iklan cenderung memanfaatkan mo- dernitas ini karena harus menyajikan sesuatu yang baru yang tidak biasa terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian iklan bahkan dapat mengubah sistem nilai yang sudah berlaku, yakni pendapat tentang baik-buruk, pantas-tak pantas, dan kota- kampung. Dapat pula iklan menyajikan sesuatu yang mengacu kepada hal yang sudah menjadi kebiasaan, misalnya tradisi kraton, tetapi kemu- dian diberi tambahan "warna" baru sesuai den- gan zamannya. Upaya seperti itu tentu saja tidak apriori buruk. Yang dipersoalkan di sini adalah upaya di bidang periklanan yang mengarah pada pembentukan to- tem-totem gaya baru dengan memanfaatkan moder- nitas yang ada dalam kelompok-kelompok sasaran dalam masyarakat. Konsep dasarnya adalah mengaitkan lambang yang mengungkapkan komoditas X dengan makna "jadilah anggota kelompok pemakai komoditi X". Jadi, X adalah merek atau sifat-sifat khas komoditi tertentu, yang akan dijadikan pusat perhatian dan dijadikan "lambang ikatan" calon konsumen dalam suatu keluarga" penggemar komoditas X itu. Jika upaya ini berhasil, maka X akan berfungsi sebagai totem bagi para penggemarnya. Iklan rumah, apartemen, dan kondominium misalnya, banyak yang modernitas sebagai titik awalnya. Kata-kata seperti ekslusif, eksekutif, bergengsi, tenang, bersih, ideal dan betterliving digunakan untuk mengajak khalayak sasaran, tidak hanya untuk menjadi orang yang suka tinggal di kawasan dan rumah yang mempunyai sifat-sifat yang disebutkan oleh kata-kata itu, tetapi juga menjadi anggota kelompok terpilih. Nama ka- wasan itu diarahkan untuk menjadi totemnya. Masih banyak contoh yang dapat dikemukakan di sini. Namun, bukan tujuan kita untuk membuat analisis yang lengkap tentang iklan. Yang hendak diketengahkan dalam uraian di atas adalah ken- yataan bahwa dengan kadar yang tinggi atau rendah, banyak iklan yang mencoba membentuk- totem dengan komoditas yang ditawarkan. Di samping itu, iklan bertopang pada modernitas yang memang terdapat pada masyarakat perko- taan yang sering menjadi panutan masyarakat pedesaan sehingga mendorong adanya transfor- masi budaya. *** IKLAN menawarkan komoditas tertentu agar merek atau namanya menjadi semacam lambang bagi khalayak sasarannya. Apa yang hendak dike- mukakan di sini adalah bahwa lambang itu cen- derung menjadi semacam totem, yakni lambang menjadi "pengikat" sekelompok orang. Kelom- pok itu adalah pemakai atau penggemar komod- itas yang ditawarkan tersebut. Gejala totemisme ini pasti menguntungkan bagi penjual. Akan teta- pi, jelas dapat menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat. Apalagi kalau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran adalah anak- anak dan remaja. Salah satu dampak yang dapat timbul dari totemisme ini adalah konsumerisme, karena biasanya konsumen barang yang sejenis menduga jika pertanyaan itu mun- cul tiba-tiba. "Kamu sendiri bagaimana, ada yang aneh?" Saya balik bert- anya. "Oh, tidak apa-apa. Saya rasa biasa-biasa saja," jawabnya rin- gan. menunggu kabar. Akhirnya kabar itu datang. Dalam satu suratnya yang cukup panjang ditulisnya. Wayan, saya minta maaf atas kebohongan saya. Kehadiran saya di sana bukan untuk berlibur, teta- pi untuk sebuah penelitian. Tan- Saya mulai sadar, tak terasa pa jalan rasia pasti saya tidak sudah satu setengah bulan kami memperoleh data. Kamu sangat bersama. Memang saya tangkap besar artinya buat saya. Kini saya kesan-kesan yang lain dari per- sudah menyelesaikan studi S2 ilakunya. Tetapi saya tidak pernah saya di UI. Tentang apa yang saya sanggup mengatakannya. Saya teliti di Batungsel, silakan nanti hanya berpikir sendiri. Mengapa kamu baca. Tesis akan secepatnya Tantri sangat menaruh minat den- saya kirimkan. Salam buat kelu- gan desa saya. Apakah yang in- argamu dan sampaikan rasa hor- gin dia dapat di desa ini? Teman- mat saya untuk seluruh teman saya selalu betanya curiga masyarakat yang dapat menerima tentang kehadirannya. "Wayan, saya sebagai wanita yang baik dan kamu mesti waspada. Hati-hati." terima kasih atas persahabatan itu. Demikianlah orang-orang sering Pelan-pelan saya lipat kemba- memperingatkan saya. Untuk hal li. Harapan saya hanyalah ingin ini saya hanya dapat berkata, secepatnya membaca tesis itu. "Tidak. Kami kawan baik. Dia Apakah yang dia tulis tentang wanita berpendidikan dan seorang desa ini? Saya tiba-tiba takut, dosen muda di Universitas mengingat perkara tulis-menulis Sumatera Utara. Percayalah. Jika mengenai desa adalah tradisi yang terjadi apa-apa, saya yang akan tabu. Suatu kali saya menjadi per- menanggung semua risikonya." debatan masyarakat karena satu Tampaknya Tantri sudah tulisan saya tentang tata ruang dan makin akrab dengan masyarakat sebuah proyek besar di desa ini desa saya. Dia dapat berjalan saya ungkap dan dipublikasikan sendiri ke mana sukanya. Semen- pada salah satu harian di daerah tara itu, kecurigaan masyarakat ini. Saya tak mau kembali kepa- tentang kehadirannya tak lagi ada. da persoalan itu. Beban pun tak ada, atau setidakn- İsi tesis itu cukup menarik. Ini ya sedikit lebih ringan. Saya harus kajian mendalam pertama untuk jujur, kehadirannya menjadi be- desa saya. Tiba-tiba saya ber- ban buat saya. Demi menjaga syukur. Dalam hal ini Tantri men- perasaannya, maka saya harus inggalkan jasanya. Semua itu ten- bermain sandiwara. Mudah- tu tidak lebih mengejutkan dari mudahan Tantri tidak ngerti den- selembar surat yang terselip apik "Tari keris dan orang-orang ker gan semua ini. di halaman tengah tesisnya. auhan. Mereka menusuk-nusukan Musim kopi akan berakhir. Wayan, saya telah mendapat- kerisnya ke bidang dada yang ter- Udara terasa makin dingin. kan dirimu. Ketika saya diwisu- busungkan dan dalam keadaan tak Masyarakat Pupuan berpesta da di UI saya yakin jika kandun- ANTRI lewat sepu- Dari Bandara Ngurah Rai saya "Benar. Wayan masih ingat den- pakai baju." karena panen kopi yang me- gan saya telah tiga setengah bu- cuk surat mengatakan ngajak Tantri ke Batungsel. Ini gan tempat itu?" "Mereka tak mati setelah itu?" limpah. Ada yang beli sepeda lan. Sementara itu saya berpikir bahwa dia akan ke desa kecil di lereng barat Gunung "Ya, bukankah di New Victory "Tidak. Berdarah pun tidak. motor keluaran terbaru, bahkan tentang penantian Jon Adi Pur- Bali pada liburan ini. Batukaru. "Perjalanan kita mu- Hotel saya cerita banyak tentang Paling ada sisa goresan. Ini pun bagi juga beberapa membeli mobil. ba, seorang lela yang setia dan Surat ini mengingat- lai dari desa saya," kata saya ke Bali? Dan ini desa kecil yang ada di, penari yang baru. Mereka dalam Tajen digelar tiap hari. Malam kelak akan menjadi suami saya. kan saya dengan hari- padanya. ...emm kata orang pulau dewata." kondisi terkendali. Ada roh yang harinya dipertunjukkan joged bum- Dan akhirnya Wayan harus tabah. hari yang sejuk di "Baiklah." Dia mengangguk. Tantri tersenyum. masuk. Itulah dewa-dewa suci bung serta pada hari tertentu diperge- karena dia pun akan mengganti- Batu, Malang. Hotel New Victo- "Ini rumahmu sendiri?" "Kamu minum dulu. Kita ban- kami." larkan drama gong dari grup terke kan posisimu selaku ayah bayi ry yang dibangun di lereng bukit Tantri heran dengan bangunan yak punya waktu ngobrol tentang "O, begitu menariknya." nal di Bali. Masyarakat tersenyum yang kini ada dalam rahim saya. pada kamar 234 adalah saksi megah yang saya tunjukkan. apa saja. Setelah minum, silakan "Mungkin bagi kamu, saya lega menikmati karunia Tuhan. Secara antropologi dan sosiologi perkenalan kami. Awalnya serba mandi dan istirahat. Sebentar akan tidak berpikir, itu hal istimewa." Sudah empat bulan Tantri ba- maka Jon Adi Purba adalah ayah kebetulan. Tetapi cerita saya ten- saya tunjukkan kamarmu." Saya lihat ada senyum di wa- lik. Katanya tidak langsung ke bayi kita, tetapi dari sudut biologi tang Bali tampaknya sedikit tidak "Ah, Wayan seperti petugas jahnya. Malam makin dingin. Medan. Di Jakarta mampir seben- tidak, kamulah ayahnya. Saya harap meyakinkan, betapa pulau kecil hotel saja. Kamu membuat saya Kami meninggalkan tempat per- tar, setelah itu ke Bandung. Say- Wayan gembira mendengarnya. di sebelah timur Jawa itu me- malu." tunjukan joged. ang dia tak dapat menikmati pes- Doakan semoga dia selamat. mang tempat yang menarik. Saya "Tidak. Saya tahu kamu lelah. "Wayan, apakah kehadiran ta musim kopi tahun ini. Ada per- sambut gembira kabar tentang Walaupun kamu naik Garuda dari saya di desa ini tidak mencuriga kedatangannya. Medan ke Denpasar, saya dapat kan?" Tantri bertanya. Saya tak LOGI Wissoite 1 ANTRO PoliG 'Benar. Ayo kita masuk. Barang-barang ini tak usah kau an- gkat. Nanti adik saya yang nga- ngkat," Pinta saya. "Wah, udara di desamu dingin sekali. Bukankah ini sedikit lebih din- gin daripada Bukit Tinggi atau..." "Kota Batu?" Ilustrasi/N.Wirata "Kapan kita bisa menyaksikan- nya?" Tampaknya Tantri sangat in- gin melihat salah satu tari sakral. "Sebulan lagi. Nanti ada upac ara besar di pura desa. Bukan cuma tari suci..." "Lantas apa lagi?" tanyaan besar di hati saya. Saya Buat Antropolog Tantri Widiyanarti dibuatnya was-was. Tiap hari saya Universitas Sumatera Utara, Medan Minggu Umanis, 22 Desember 1996 Kelir Nasihat Bhagawan Wasistha kepada Bhagawan Parasara Marah Besar dan Mendendam Itu Menyakitkan Diri Sendiri dan Orang Lain KINI Brahmana Parasara telah besar dan dew- asa, serta telah abhiseka wiku pula, sebagai Bhagawan Parasara. Terkenanglah Bhagawan Parasara kepada Bhagawan Sakri, sang ayah yang meninggal karena dimangsa Maharaja Sodha, kare- na kemasukan roh jahat Raksasa Kingkara, atas suruhan Bhagawan Wiswamitra, dengan rapalan mantra saktinya, anugerah Dewa Brahma. Karena ulah Maharaja Sodha itu, Bhagawan Parasara la- hir sebagai anak yatim, dan sama sekali tidak men- genal wajah ayahnya. Sejak kecil, telah tumbuh dan berkembang kehendak di hati Bhagawan Parasa- ra untuk membalas dendam kepada Maharaja Soda dan Raksasa Kingkara. Sehingga meminta agar diajari Weda dan mantra-mantra yajnaraksasa ke- pada Bhagawan Wasistha, sang kakek. Kini sete- lah dewasa dan abhiseka bhagawan, serta telah menguasai dengan detail mantra-mantra yajnarak- sasa dengan kalpa-nya (tata upacaranya), niat untuk membalas dendam itu tetap ada dalam hat- inya, dan harus dilaksanakan dalam waktu cepat pula. Pada suatu hari Bhagawan Parasara mengh- adap sang kakek, dan berkata: "Kakiang, kini telah tiba saatnya cucunda membalas dendam. Cucun- da bukan akan membalas kepada Maharaja Sodha dan Raksasa Kingkara saja, tetapi kepada seluruh keluarga Suryawangsa dan raksasa. Bahkan dun- ia ini akan cucunda pralina," demikian permintaan berapi-api Bhawan Parasara kepada kakiang-nya. "Uduh cucunda, jangan hal itu cucunda laku- kan. Itu namanya marah besar dan mendendam. Perilaku yang tergolong marah besar itu menyakit kan diri sendiri dan orang lain. Perilaku marah be- sar dan mendendam itu bukanlah sifat-sifat seor- ang brahmana dan umat manusia pada umumnya. Ini sebuah kisah yang perlu cucunda simak, kaji dan hayati serta dipedomani inti ajarannya dalam hidup dan kehidupan," demikian Bhagawan Wasist- ha menasihati Bhagawan Parasara sembari berkisah. "Ada seorang raja dari keluarga Haihayawang- sa. Raja itu abhiseka Krtawirya. Pada suatu keti- ka, sesuai dengan penetapan hari subhadiwasan- ya, Raja Krtawirya melaksanakan persembahan dan pemujaan yajna agung, yang di-puput dan dip- impin wiku dari Bhrguwangsa. Seusai rangkaian persembahan dan pemujaan yajna agung itu, se- mua kekayaan negara habis di-danapunia-kan ke- pada Bhrguwangsa dan keluarganya oleh Raja Krtawirya. Termasuk kekayaan yang sepantasnya hanya menjadi milik raja dan keluarganya. Seh- ingga, tatkala Raja Krtawirya mangkat, sama sekali tidak ada warisan kekayaan istana. Sehingga waktu putranya dinobatkan sebagai raja penggantinya, kas kerajaan kosong sama sekali. keluarga Brahmana Bhrguwangsa yang kaya raya itu, guna meminta sedikit dana punia untuk dana kerajaan. Namun semua Brahmana Bhrguwangsa itu menolak tah-mentah, dan semua pula men- gatakan bahwa harta benda dan kekayaan yang telah di-danapunia-kan tidak wajar lagi diminta. Menanggapi sikap dan perilaku para Brahmana Bhrguwangsa seperti itu, raja pengganti dan para kesatria Haihayawangsa marah besar dan hendak membalas dendam kepada seluruh keluarga be- sar Brahmana Bhrguwangsa itu. Sebelum menggempur keluarga besar Brahmana Bhrgu- wangsa itu, raja pengganti dan para kesatria Haihayawangsa melaksanakan persembahan dan pemujaan dalam bentuk upacara, untuk memohon izin dan petunjuk kepada para leluhurnya hendak menggempur keluarga besar Brahmana Bhrgu- wangsa yang medit itu. Pada hari yang telah disepakati dan ditetapkan, dipimpin raja pengganti sendiri, seluruh kesatria Haihayawangsa dengan para prajuritnya menggem- pur habis-habisan keluarga besar Brahmana Bhr- guwangsa itu di pasraman-nya. Terjadilah pembunu- han dan penjarahan harta benda dan kekayaan yang besar-besaran. Apa daya kaum Brahmana Bhrguwangsa yang tidak tahu bertempur, mengh- adapi para kesatria Haihaya bersama prajuritnya yang terlatih untuk bertempur. Sehingga hanya dalam waktu sekejap mata, sebagian besar kelu- arga Besar Brahmana Bhrguwangsa itu mati ter- bunuh. Sisanya lari menyelamatkan diri dari amu- kan para kesatria Haihaya dengan para prajuritnya yang amat terlatih dalam pertempuran itu. Di antara kaum pelarian keluarga besar Brah- mana Bhrguwangsa itu, ada seorang putri yang ikut lari untuk menyelamatkan diri. Putra Brahmana Bhr- guwangsa yang ikut melarikan diri itu sedang hamil tua. Karena kencang sekali berlari, putri Brahmana Bhrguwangsa melahirkan putranya melalui pupun- ya. Putra brahmana yang lahir dalam pelarian itu diberi nama Brahmana Orwa, karena Urwam Bhit- wojjatah-lahir melalui paha ibunya. Madhyahna iwa bhaskarah, sinarnya terang benderang, lebih terang dari sinar matahari pada waktu siang. Se- mua kesatria Haihaya dan prajurit yang mengejar sisa-sisa keluarga besar Brahmana Bhrguwangsa yang kebetulan lewat dekat putri brahmana yang memangku Brahmana Orwa itu, menjadi buta kare- na sinar Brahmana Orwa yang terang benderang dan panas itu. Melihat kenyataan itu, dari segala penjuru di se- kitar tempat itu banyak berdatangan golongan Brah- mana Bhrguwangsa untuk berlindung. Sehingga banyak yang selamat berkat sinar terang benderang yang panas dari Brahmana Orwa. Akhirnya para kesatria Haihaya dengan para prajuritnya yang te- lah buta itu memohon ampun dan menyembah Brahmana Orwa agar dapat melihat kembali. Ber- kat kebesaran jiwa Brahmana Orwa itu, walaupun masih bayi, seluruh kesatria Haihaya dan para pra- juritnya dapat melihat kembali. Setelah dapat meli- hat kembali, para kesatria Haihayawangsa dengan para prajuritnya menghentikan pengejaran dan pem- itu. Pada suatu ketika, teringatlah raja pengganti itu bahwa yang menjadi pemimpin dan pemuput yaj- na yang dilaksanakan mendiang ayahandanya adalah brahmana dari Bhrguwangsa. Semua kekayaan dan barang-barang kebesaran istana telah di-danapunia-kan mendiang ayahnya, sehing- ga keluarga besar Brahmana Bhrguwangsa se- muanya kaya raya abortom bunuhan keluarga besar Brahmana Bhrguwangsa Kemudian raja pengganti yang baru abhiseka ratu bersama para kesatria lainnya mendatangi tetapi lebih murah, berpindah ke suatu komodi- tas atau merek yang harganya lebih mahal yang menjadi totemnya. Sebenarnya perubahan tidak harus merupa- kan hal yang buruk. Namun, kalau perubahan itu menuju ke arah yang merugikan kehidupan masyarakat, maka inilah yang dikhawatirkan or- ang. Konsumerisme cenderung membawa kita pada hidup yang boros. Sulitnya kita tidak men- gatur soal ini. Oleh karena itu, diharapkan agar dalam masyarakat di mana persaingan begitu ketat seperti sekarang ini, para penjual barang dan jasa dan pembuat iklan berpegang pada eti- ka. Etika bertopang pada hati nurani dan penge- di Ngurah Oka Supartha tahuan tentang apa yang kita cita-citakan bagi masyarakat agar kehidupan menjadi lebih baik. Iklan harus diimbangi dengan membawa moder- nitas yang ada dalam masyarakat pada peningka- tan etos kerja, persaingan yang sehat, dan peng- hematan. Pendidikan menjadi modal utama ke arah ini. Dengan demikian, prinsip Advertizing The Right to Choose dapat diterapkan secara ber- hasil dalam masyarakat. Penulis adalah ketua Lab. Informasi Seni Tri- media, Ubud. Jl. Raya Ubud, Gg. Soka No. 4 Ubud, 80571, Bali RADIO MENARA Jl. Sulawesi 51 Phone (0361): 226979 - 223959 DENPASAR BALI MENARA F.M. Stereo 105.800 mhz Radio yg punya Citra dan Khas tersendiri New Address PINGUIN FM Your Sweet Station Ji. Gatot Subroto - Barat No. 103 Denpasar 80116 Phone (0361) 429852, 429853 Fax. 228760 89 8.49 Minggu Umanis, 22 1 Um Ep DALAM khazanah S Klasik Bali terdapat istilah Utama. Sosok wanita te berkonotasi mistik yang me si zaman, tanpa dibatasi ole tu, sehingga kapan pu beradaannya. Istilah ini saja hanya merujuk kepada ita di dunia nyata keseh melainkan juga tokoh sp dewi, Go wanita pa Kemuliaan seorang Dewi s pencerminan dari kitab su dipuja dan dipuji di duni dewa dan manusia. Di dun tik dia dipuji sebagai Rang tokoh pelipur lara dan kepa mengharapkan kemuliaan seperti turun da surga, bersama-sama d Smara Sari lambang dari eksotis sebagai pencaria dikehendaki dalam binar tari dan teater masa bahar Satu cabang lagi berke berupa filsafat. Apabila perk gan tatwa darsana ini ditelu awal, mula kepercayaan te Ida Sang Hyang Widhi Wa bertemu dengan Sang Hyan ma-purusa (= Brahman) d sep selanjutnya bertemu de buah konsep pengejawantah pa Sakti. Dua hakikat kons yang berbeda tetapi menya isi mengisi, saling keterga satu sama lain, sebagaima tan positif dan negatif dalam kemampuan mencipta ke Dinamisator, kreator, ene penggerak energi, seolah antara male dan female da buah kesatuan genre, kem mahasakti sebagai pencip Kreator. Kadi angganing (keris) kalawan warangka menjadi sebuah kesatuan y nembus segala menuju pe KH "PEREMPUAN t dipisahkan dari cem demikian komentar sala ang teman laki-laki saya melirik pada saya, berha akan tersinggung. "Sud jadi hukum alam kalau puan itu sangat pencemb rasa persaingan antar-per itu tinggi sekali, sangat e al dan tanpa logika. A yang diajak bersaing ad umnya sendiri. Coba sa dalam sebuah kantor ada puan baru yang lebih m sedikit bisa bergaul, pas rempuan yang lain aka buat gosip-gosip muraha menjatuhkan perempu tersebut. Belum lagi jika puan itu bisa kerja dan b si, maka bisa dibayang tangan yang dihadapiny han sekali nasib perempu ingin maju, bisa porak- karena kecemburuan per lain," tambah teman ta kit bernada keluh. Sa tahu apakah teman l hadapan saya sungguh- iba dengan keadaan pe seperti itu atau malah s cibiran halus. Pura-pura padahal maunya melec Maka lepas dari ma man lelaki tadi, harus s celotehannya membuat pikir, tentu untuk ke membela diri kalau bis "Yang pencemburu i saja perempuan, dan sif bukan didominasi kau Sifat itu bawaan semua yang tak yakin akan puannya, yang tak per dan tak mau mener beradaannya," kata sa bijaksana, mencoba ti pancing. Teman tadi malah t kekeh, makin keras den kannya. "Tapi kenya yang pencemburu itu ka yakan perempuan, yang burui perempuan juga, hukum alam Geg, tak bis Agenda K Timb Melepas Tahu Edisi KHUSUS T JAGA di Bali M Introspeksi Ka Selasa TENGAH Antara Gragat Para Dan Tahun Mek Pemanasa Solo-Run-F 25 Kota se-Nusa Jambo Ajang Dialog 26-28 Desemb Warih Wi diundang mera z E
