Tipe: Koran
Tanggal: 1998-01-04
Halaman: 10
Konten
ANALISA - MINGGU, 4 JANUARI 1998 1998 TAHUN SENI DAN BUDAYA Antara SENI DAN BUDAYA: Presiden Soeharto didampingi Meparpostel Joop Ave dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro mencanangkan tahun 1998 sebagai tahun Seni dan Budaya melalui stasiun TVRI Jakarta, Rabu malam (31/12) lalu. KITA barangkali boleh sekedar bertanya, mengapa kon- disi sastra di Sumatera Utara seperti mengalami staganasi di tengah pergulatan Sastra Nasional (Pengertian Sastra Nasional Saya Terjemahkan Dalam Batas-batas Geografis). Staganasi dalam hal ini tidak diartikan sebagai keman dekan aktifitas, namun lebih didasarkan pada kiprah kesastra an Sumut dalam kancah pergu latan Sastra Nasional. Memang kita tidak bisa memungkiri, bahwa komunitas penggiat sastra di daerah ini masih tetap ada dan terus bermunculan, hanya saja kenapa mereka tidak bisa "bersa- ing" dengan daerah-daerah lain semisal Padang Jambi, Riau, Lampung dan Bengkulu. Ketika mengikuti Temu Sastrawan Nusan tara IX dan Temu Sastrawan In- donesia di Padang baru-baru ini, sederet daftar pertanyaan terus menghantui saya. Agaknya, masa- masa emas Sumatera Utara sudah berlalu dalam kancah kesastraan di Indonesia. Kita tidak memiliki lagi nama-nama besar semacam Amir Hamzah, Sanusi Pane, Ar- myn Pane, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, misalnya. Periodesa si masa keemasan tersebut telah berhenti di era peradaban mate rialistis ini. Boleh jadi di era 90-an ini, Sastra Sumatera Utara telah "mati". Terkesan mungkin kesimpulan ini terlalu berlebihan, karena beberapa nama sebenarnya masih bisa muncul, akan tetapi kemun- culan itu tidak bisa lagi sekuat masa-masa lalu. Bahkan amat ja rang di antara mereka itu bisa menembus media-media ternama ibukota (walaupun ukurannya sa ngat tidak realistis, mungkin terlalu menyederhanakan proble matika). Akan tetapi, walau kita mencoba untuk "keluar" dari sekat-sekat semacam ini, lambat laun proses hengkang semacam itu nampaknya tidak efektif un- tuk kondisi sastra di daerah ini. Karena jika merujuk langkah-lang kah yang dibuat di beberapa daerah seperti Solo, Magelang, Cianjur, Cirebon dan beberapa kantong-kantong budaya lainnya di Jawa seperti yang dibuat oleh Gerakan Revitalisasi Sastra Peda laman, maka langkah-langkah ter sebut menjadi mandul dan boleh jadi hanyalah sekedar latah- latahan. Karena, sebelum para sastrawan yang melakukan ge rakan perlawan terhadap center (pusat) itu, sebelumnya mereka telah melakukan langkah-langkah konkrit untuk sejajar dengan pen- cipta dan penggerak sastra yang ada di pusat itu sendiri. Semen- tara di daerah ini, saya berpen- dapat belum mencapai pada taraf seperti itu. PERUM Percetakan Negara RI (PNRI) akan terus men- dukung upaya pemerintah me- ningkatkan mina baca masya- rakat, dengan cara mencetak dan menerbitkan buku-buku umum. "PNRI tidak hanya menekuni bisnis mencetak dan menerbit- kan dokumen resmi pemerintah, seperti ladang bisnis yang selama ini ditekuni," kata Dirut PNRI Drs. Subrata dalam silaturahmi dengan wartawan di Jakarta, Selasa. Mantan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Depar- temen Penerangan itu menya- takan, untuk ikut terlibat dalam bisnis buku umum, BUMN di bawah lingkungan Deppen itu siap bersaing dengan percetakan swasta. Sesuai dengan ketentuan yang ada; katanya pula, tidak ada larangan bagi PNRI untuk terjun ke bisnis penerbitan buku dan diizinkan melakukan kerja- sama dengan pihak swasta untuk mencetak atau menerbitkan buku-buku umum. Krisis Pergulatan Sastra Nasional Terhadap Perkembangan Sastra di Sumatera Utara Makanya, di awal tahun 1998 ini, kondisi itu perlu dipikirkan, untuk mencoba mencari sebuah langkah-langkah strategis. Di bawah ini ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian para pencipta, pekerja, penggiat dan penikmat sastra di daerah ini. Pertama, masalah peranan lembaga-lembaga kesastraan dan pusat-pusat kebudayaan. Diya kini, posisi Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) dan Dewan Kesenian Medan (DKM) serta Dewan Kesenian lainnya di beberapa daerah perlu diper- tanyakan. Ini menyangkut hubung an struktural dan proses kreatifi tas para sastrawan. Saya tidak ingin menggiring ke arah peng kambinghitaman lembaga-lemba ga itu sendiri. Hanya saja, posisi lembaga tersebut menjadi amat penting untuk memicu dan mema cu berbagai kreatifitas kesastraan di daerah ini. Bukan saja menyang kut masalah dukungan finansial, tetapi dukungan moral juga men- jadi sebuah ukuran. Dan lagi pula, dukungan moral tersebut akan selalu berkaitan dengan masalah finansial. Untuk memperluas bisnis yang ditangani, Perum PNRI sedang dijajaki untuk diubah menjadi PT (Persero) PNRI. Saat ini ada 12 cabang PNRI di 12 propinsi dan satu Kantor Pusat di Jakarta dengan seluruh karyawan 900 orang. Ia mengakui bahwa untuk menekuni dan memperluas bisnisny PNRI menghadapi "citra" kurang cerah di ma- syarakat, karena kurang dikenal dan bahkan disepelekan serta dianggap tidak punya kemam- puan. (Sebuah Catatan Di Awal Tahun) Oleh: Yulhasni macam lomba penciptaan karya sastra (lomba cipta cerpen, cipta puisi, cipta naskah drama, dan lain sebagainya). Hal semacam ini akan dapat menyeleksi kualitas penciptaan sastra di daerah ini. Anehnya, justru hal ini diambil alih oleh lembaga-lembaga yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah kesastraan. Mungkin persoalan alokasi dana untuk kemajuan sastra itu masih tidak efektif dan malah terkesan "hilang entah kemana?" Jika merujuk lembaga-lembaga seperti ini di Padang, misalnya, maka Sumut sangat jauh ketinggalan. Intensitas pemacuan kreatifitas lewat "pancingan" seperti itu masih sangat minim, kalau boleh dibilang tidak ada sama sekali. Saya menjadi heran, kenapa jus tru Dwi Kridanto dengan LKAB- nya yang menggagas pemberian anugrah sastra 1997 di daerah ini, bukannya DKSU. Apalagi jika ki ta bisa memaklumi, lembaga se perti yang dimiliki Dwi Kridanto tersebut sangat terbatas dalam hal finansial, yang sudah pasti juga akan mempengaruhi kesinambung an pemberian penghargaan ter sebut. • Buku-buku Umum besar maupun kecil. Jumlah itu jauh lebih banyak ketimbang pada Pelita I yang hanya 1,621 buah. Banyak instansi pemerintah yang mencetak dokumen dan buku-buku laporannya ke pe- rusahaan swasta, bukan ke PNRI. Padahal, menurut Subrata, PNRI bisa bersaing dengan swasta. Sebagai contoh, buku- buku dan kartu-kartu Pemilu bisa diproduksi dengan baik secara cepat dan berkualitas. Peranan DKSU nampaknya be lumlah maksimal dalam upaya memajukan kesastraan dan kese- nian di Sumut. Malah, jika dibuat garis sederhana, rata-rata para seniman dan sastrawan di daerah ini merasakan hal ini. Jadi tidak mengherankan jika ada di antara mereka terpaksa "hengkang" dari lembaga seperti itu, karena yang didudukkan justru birokrat yang "lemah" dalam pemahaman ke sastraannya. REBANA Budaya Kritik Kian Tumbuh Namun Belum Terakomodasi BERHENTI ANAK TIRI Kedua, hubungan emosional kaum muda dan kaum tua. Ada Selama ini, DKSU, DKM, dan sebuah keunggulan Padang dari lembaga-lembaga lainnya, masih segi ini. Saya melihat bahwa terkesan menjadikan sastra seba hubungan emosional di antara gai anak tiri peradaban. Belum mereka terjalin manis dan har- menampakkan tanda-tanda untuk monis. Ada semacam proses alih menggiring para sastrawan ke generasi dalam hal ini. Jadi tidak arah yang lebih nyata dalam heran, di daerah tersebut muncul melahirkan sebuah karya yang sastrawan-sastrawan muda seperti berkualitas. Misalnya, sebagai Gustaf Sakai, Iyut Fitra, Yusrizal contoh yang amat sederhana, lem KW (nama-nama ini selalu meng baga-lembaga itu belum memaksi hiasi berbagai media ternama malkan penyelenggaraan ber- ibukota). "Dukungan" moral para Yang lebih membuat saya sangat "takut" adalah jika mereka berhenti, maka jalinan komuni kasi sastra akan terputus. Mung kin perlu diadakan "reuni" kaum tua untuk arah ini, sehingga semangat Harta Pinem, Ben Pasa ribu, Buoy Hardjo, Raswin Hasi- buan, YS Rat, Thompson, Teja Purnama, Idris Siregar, Porman Wilson, Suyadi San (juga menye but beberapa di antara mereka yang getol terhadap sastra), tidak berhenti. Juga perlu agaknya PNRI akan Cetak dan Terbitkan Untuk itu, pihaknya secara bertahap melakukan pemasya- rakatan agar PNRI diketahui masyarakat dan juga instansi- instasi pemerintah yang sampai saat ini belum seluruhnya mengetahui kemampuan PNRI. Menurut Subrata, meskipun ada krisis ekonomi, bisnis percetakan dan penerbitan masih cukup prospektif karena barang-barang cetakan tetap dibutuhkan baik oleh swasta maupun instansi pemerintah. "Bukan rahasia lagi doku- men-dokumen departemen atau instansi pemerintah, BUMN atau lembaga-lembaga peme- rintah non-departemen dicetak dan diterbitkan oleh pihak swasta. Untuk itu, kami ajak untuk mencetak di PNRI karena keamanan, kecepatan dan kua- litasnya terjamin," katanya. PERLUAS BISNIS Ia menambahkan, pihaknya siap melakukan kerjasama kemitraan dengan pihak pe- nerbit dan percetakan peme- rintah lainnya dan swasta di In- donesia untuk memperluas bisnis grafika. Saat ini di Indonesia terdapat 6.308 percetakan baik skala 1970 hingga 1980-an, namun Keberhasilan pembangunan di bawah menjelang berakhirnya abad pemerintah Orde Baru diakui telah membawa XX, kritik tajam seperti itu tumbuhnya budaya kritik, namun sejauh ini merupakan sesuatu yang wajar, tidak lagi dianggap subversif. pemerintah belum banyak mengakomodasi "Meski demikian, harus kritik-kritik tersebut dalam penyusunan belum banyak mengakomodasi semula," sambung Mahfud. diakui kebijakan pemerintah kebijakan pembangunan. kritik-kritik masyarakat," kata- nya. Di tempat yang sama, Edy Suandi Hamid mengatakan, budaya kritik memang tumbuh, namun sikap birokrasi terhadap kritik itu hingga kini belum sampai tahapan kepedulian, sehingga kritik tidak banyak mengubah kebijakan pemba- ngunan. Eko Prasetyo menambahkan, bila kritik yang muncul dari masyarakat tidak ditanggapi, dikhawatirkan akan menambah kesumpekan, apalagi lembaga yang seharusnya menyalurkan aspirasi masyarakat selama ini justru belum melakukan fung- sinya secara optimal. OPTIMIS Ia memberi contoh kasus Mobnas Timor yang mendapat kritik tajam dari berbagai pihak, namun kebijakan tersebut akhir- nya tetap berjalan. DEMIKIAN salah satu po- kok pemikiran yang menge- muka dalam peluncuran buku "Kritik-kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan" yang dibahas editor bersama war- tawan di Universitas Islam In- donesia (UII) Yogyakarta, Senin. Percetakan tersebut umum- nya masih menghadapi kendala SDM. Khusus di PNRI, dari 900 karyawan termasuk di kantor cabang sebanyak 156 atau 12,5 persen karyawannya telah dididik dan dilatih di dalam negeri agar makin memiliki keahlian. Buku setebal 431 halaman itu merupakan kumpulan artikel terpilih jurnal ilmiah UII, disunting oleh Dr Moh Mahfud MD,SH, Edy Suandi Hamid, Suparman Marzuki dan Eko Prasetyo dengan kata pengantar Dr Mohtar Mas'ud. TUMBUH Menurut Moh. Mahfud, tumbuhnya budaya kritik di masyarakat tidak terlepas dari senior mereka yang masih tetap eksis di pentas sastra Indonesia, seperti AA Navis, Wisran Hadi, Haris Efendi Thahar, dan Dar- man Moenir terjalin dengan ma nis. "Kaum tua" tersebut masih tetap eksis dalam melahirkan karya-karya dan tetap percaya bahwa sastra ad dunia mere ka. Saya tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa para junior mendapat sebuah "pembelajaran sastra" dari senior-senior mereka itu. Hanya saja, kita bisa meng ambil hikmah dari proses kema- juan itu sendiri. (untuk beberapa di an- taranya) mestilah terus berkarya dan jangan berhenti dalam proses penciptaan karya itu sendiri. Kecenderungan beberapa sastra wan yang masih produktif terse but dalam berkarya justru ke Malaysia, misalnya. Saya tidak tahu motivasi apa yang membuat mereka lebih memilih berkarya di sana tinimbang di Indonesia. Saya menyambut baik ini, namun seca ra psikologis hal ini mempe ngaruhi semangat kreatifitas kaum mudanya, karena kita tahu informasi kreatifitas tersebut sangatlah sulit didapat jika diban- dingkan bila mereka muncul di media-media ternama ibukota. keberhasilan pembangunan, termasuk di bidang pendidikan, sehingga mau tidak mau pe- merintah harus menerima ke- majuan cara berpikir masya- rakat, termasuk dalam mengo- reksi kebijakan pembangunan. Sedangkan pelatihan dan pendidikan di luar negeri diikuti 56 karyawan antara lain di Belanda, Jerman, Jepang dan Australia. "Namun faktor eksternal seperti hubungan antarnegara yang kian terbuka, dibarengi keterbukan informasi, ikut mendorong pula tumbuhnya daya pikir masyarakat, termasuk dalam melakukan kontrol ter- hadap kebijakan pemerintah," kata Pembantu Rektor I UII itu. Di Sumut, agaknya ini perlu diadakan. Artinya, para senior mestilah mencoba menggiring junior mereka ke arah ini. Bukan sebaliknya, justru membuat jarak dengan jalan memandekkan sema ngat berkesenian tersebut. Lebih jelasnya, orang-orang semacam Bokor Hutasuhut, Aldian Arifin, Z Pangaduan Lubis, Damiri Machmud, BY Tand, Herman KS, A NA menyebuahim Qahhar Kridanto HS, Studio Seni In- Salah satu buku yang baru diterbitkan Perum PNRI ber- judul "Wanita Masa Kini (Pri- badi Mempersona Penunjang Kesuksesan)" karangan DR. AB Susanto. Buku itu diluncurkan Meneg UPW Mien Sugandhi pada 19 Desember 1997 ber- KEVOKALAN Mahfud memberi contoh, kevokalan dan kritik tajam Amien Rais mungkin tidak bisa diterima atau tabu pada masa kaum muda ini terus melakukan pendobrakan ke pusat-pusat kese- nian yang ada di ibukota (baik lewat media massa maupun media lainnya). Perlu dicari solusi mengapa mereka sulit menembus media-media ibukota, padahal kualitas mereka tidak jauh beda dengan para senior mereka yang sudah terlebih dahulu mendapat tempat di media tersebut, walau pun ada beberapa di antaranya sudah mulai akrab bagi sebagian kalangan sastrawan Indonesia. Mungkin proses kreatifitas perlu diperkaya dengan wawasan, se hingga hasil cipta sastra tidak ketinggalan dengan yang lain. Ketiga, memperbanyak kan tong-kantong budaya dan komuni tas penggiat sastra. Dalam waktu belakangan ini, saya begitu op- timis dengan kemunculan kan tong-kantong budaya dan komuni tas seperti itu. Sebut saja misalnya Lembaga Kebudayaan Antar Bang sa (LKAB) dengan motornya Dwi donesia (SSI) yang digerakkan oleh Washa Nasution dan Ezra Dalimunthe, Forum Keprihatinan Sastra Sumut (FKS) tempat berkumpulnya orang-orang sper- ti Syaiful Hidayat, Harta Pinem, Teja Purnama, Suyadi San, serta Sanggar Kedai Sastra Kecil di Deli Serdang yang sedang dirintis oleh Idris Siregar dan S.Ratman Suras. Belum lagi keberadaan Simpassri, Pusat Pengkajian Sastra Sumatera Utara (FS USU), serta kantong- kantong budaya lainnya, yang akan terus melakukan upaya- upaya ke arah "perbaikan" dan "pensejajaran diri" tersebut. Komunitas seperti ini perlu men- dapat dukungan dan perlu terus diperbanyak. Hanya saja, komuni tas ini tidak hanya sekedar men- cipta, namun juga perlu melaku kan upaya-upaya ke arah diskusi seputar isu-isu sastra kontemporer yang berkembang di Indonesia. Ini untuk lebih memperkaya wa wasan kesastraan para anggota nya. Keempat, memperkuat basis- basis teoritis kalangan akademis di berbagai perguruan tinggi. Catatan pribadi saya berkesim- pulan bahwa kalangan akademis di berbagai perguruan tinggi yang ada di Sumut (terutama yang kaitan dengan Hari Ibu 22 Desember 1997. Buku setebal 137 halaman itu diterbitkan bersama "The Jakarta Consulting Group". Menurut AB Susanto, pe- nerbitan buku bersampul merah- putih dan dihiasi bibir merah itu dimaksudkan untuk lebih me- nempatkan posisi wanita saat ini serta upaya yang perlu dilakukan dalam menghadapi era global. "Kami ingin melihat bagai- mana peran dan posisi wanita Indonesia saat ini, lalu upaya yang perlu menjadi pedoman agar sukses dalam era global," katanya: (ant) 68 Lukisan berjudul "Di antara Birunya Langit "karya R. Untung Subagyo. BELAKANGAN "Media massa juga sudah mencium adanya ketidak- be- resan di BI (Bank Indonesia), namun baru belakangan oknum BI yang diduga melakukan tindak kolusi dan korupsi, "Ciumlah aku, Mas..cium lah..ini yang terakhir" "Kamu jangan main-main. "Sungguh...jika aku mati, Mas tak dapat hidup sendiri". "Seandainya kamu mati, aku tak akan kawin lagi!" "Mas janji?" "Ya, aku berjanji!" "Jika Mas bohong, aku akan kembali dari surga.' "" Dialog itu terekam jelas dalam sebuah filem Jepang berjudul Iza- kaya Yurei (Hantu Di Kedai Mi- num) yang ditonton Parmin pa- da sebuah sore di suatu hari men- jelang malam minggu, bersama pacarnya, Mia. Ceritanya boleh juga. Mengisahkan tentang kehi- dupan percintaan seorang suami bernama Sotaro dengan istrinya Shizuko yang kemudian memun- culkan kejutan-kejutan hidup ba- ru bagi sang suami begitu istrinya itu meninggal dunia. Diceritakan, saat itu Shizuko tengah sakit. Dalam musim di- ngin dan hujan deras memukul- mukul sekujur daratan dan laut an Jepang, Sotaro tak mampu me nahan kantungnya. Ia tertidur di- sebelah tubuh istrinya yang lemah dan dingin. Ketika setetes air menjatuhi pipinya, Sotaro kaget dan terbangun. Seketika, ia me ngerang-ngerang menyebut nama. istrinya. Ia tak siap begitu Shizu- ko-istri-- yang dicintainya itu mesti lebih dulu meninggalkannya dirinya dan dunia fana. ditangkap," katanya. "Di negara demokratis, kritik merupakan kebutuhan, bukan ancaman. Jadi sudah sewajarnya bila pemerintah mau meng- akomodasi kritik, yang artinya mengembalikan pada kriteria Lalu, jadilah Sotaro, sang pe- milik bar di sebuah sudut di kota Yokohama itu menjadi duda. Na- mun, sungguh...menjalani kehi- dupan sebagai duda, bagi Sotaro adalah sebuah perjalanan yang amat berat. Ia telah terlanjur amat mencintai istrinya, Shizuko. Bahkan, ia telah terlanjur berjanji dihadapan istrinya untuk tidak akan menikah dengan wanita ma na pun, sebagaimana yang di- ucapkannya saat detik-detik maut hendak menjemput istrinya, Se- mentara, ia tak pula kuasa mena- han desakan dari abangnya untuk mengawini Satoko yang cantik itu. Apalagi, Satoko telah menya takan pula cintanya dan kesedia- annya untuk menjadi istri Sotaro. Sotaro bingung. Ungkapan cinta dari Satoko dan kebutuhan- nya untuk memiliki teman yang dapat mengelola bar miliknya yang makin berkembang itu, amat mendera-dera batinnya. Meski Eko menyatakan pesimis terhadap, tumbuhnya budaya kritik yang bermuara pada diakomodasikannya ke- bijakan pemerintah, namun Mahfud dan Edy Suandi Hamid merasa optimis bahwa dalam perjalanan waktu mendatang birokrasi akan semakin ako- modatif, sebab masyarakat akan kian kritis terhadap berbagai kebijakan akan selalu jeli melihatnya. (ant) (UISU), Ahmad Samin Siregar, Z. Pangaduan Lubis, Iswadi, (USU), dan Ben Pasaribu (Nommensen) misalnya, perlu dihargai sebagai sebuah upaya ke arah ini. Maka nya, ketika mereka tampil dengan gagasan baru di berbagai komuni tas sastra daerah ini, (tidak hanya dengan proses pengajaran satu arah di ruang perkuliahan), secara langsung akan memberikan "sema ngat" kepada mahasiswanya. Beberapa pemaparan tersebut, masih perlu diadakan penam bahan-penambahan. Mungkin masih banyak problematika kesastraan di daerah ini yang perlu dicari gagasan nyatanya, sehingga berbagai pertanyaan yang bergayut dalam benak kita masing-masing tidak menjadi mimpi berkepanjangan. Meng hadapi tahun-tahun mendatang yang makin sulit dan penuh tikungan, terutama bagi dunia ke sastraan, maka hamparan proble matika di atas perlu didiskusi kan. Itu pun jika kita tidak mau tertinggal dari daerah-daerah lain nya di luar pulau Jawa. Masa keemasan sastra Sumut boleh sa- ja berlalu, akan tetapi masa-masa keemasan baru haruslah dirintis. berkecimpung dengan dunia sastra) masih berkutat dengan teori-teori lama dan masih terkesan "malu-malu" untuk mencoba melakukan upaya-upaya sosialisasi teori-teori baru (ini per- nah saya tulis dalam harian ini dengan judul Selamat Tinggal Strukturalisme). Artinya, dosen dan mahasiswa yang menggeluti sastra harus tampil ke depan sebagai juru bicara perkembangan teoritis kesastraan. Lebih konkrit- nya, mereka harus menuangkan il- mu kesastraan tersebut dalam mengkaji karya-karya sastra, baik yang lahir di daerah ini maupun di daerah-daerah lain. Bila perlu, mereka harus diuji keabsahan in- telektualitasnya lewat proses ini. Saya memang mengkhususkan hal ini terhadap staf pengajar, karena merekalah yang mesti bertang- gungjawab terhadap "keting- galan" mahasiswanya dengan perkembangan sastra kontem- porer di tanah air. Proses penga- jaran tidak hanya dengan mema parkan teori-teori yang disusun berdasarkan silabus pengajaran, akan tetapi juga mestilah memicu mahasiswa untuk menggeluti sastra dengan intensif. Apa yang coba dilakukan Oleh Antilan Pur- ba (IKIP Medan), Mihar Harahap Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia dan saat sekarang sedang merintis pembentukan Kelompok Studi Bohemian di FS USU. Bara Api dan Kayu Bakar Cerpen: Malin Murad Lalu apa yang terjadi? Wacana hubungan antara So- taro dan Satoko ternyata menda- pat gangguan dari arwah Shizu- ko. Shizuko menjelma menjadi hantu wanita yang turun ke Yo- kohama karena arwahnya mera- sa tidak tenang di sorga demi me- lihat suaminya kawin lagi dengan wanita lain. Parmin tertawa lebar saat di layar bioskop tampil adegan- adegan yang dianggapnya lucu. Mia juga tertawa. Sampai-sam pai, kacang cap Dua Kelinci yang baru saja dibukanya dengan ca- ra memijit itu berjatuhan, lalu berserakan di atas rok mininya. "Lucu juga ya, Mas...mosok hantunya bisa meramal hasil per- tandingan bisbol untuk menang judi.."Mia mengguit lengan Par min. "Iya...." tawa Parmin belum reda. "Lagi pula, sudah jadi han- tu kok masih bisa berhubungan seks... "" "Hantu wanitanya mungkin saat di dunia nggak pernah me- rasa puas untuk yang begituan, Mas...' Parmin dan Mia serentak ter tawa. Sejenak, Parmin lalu mene- ngok ke arah bawah di sekitar- nya. Saat filem berada dalam waktu tertentu dan menyemburat- kan sinar yang cukup terang, Par- min melihat rok mini yang dike- nakan Mia, bertaburan rimah-ri mah kacang. Kaki Mia yang be- lalang, saling bersilang. PUISI Kehendak skenario lalu men- jawab dilema yang terjadi pada diri Sotaro itu. Lelaki itu -- dice- ritakan -- lalu mengkhianati jan- ji yang pernah diucapkannya di- hadapan mendiang istrinya, de- "Kamu makan kacang saja ngan menerima kehadiran Sato- nggak becus.." Parmin berko- ko yang mencintainya itu menja- di istrinya. mentar. Wajahnya didekatkan- nya ke Miu. HIDAYAT RAHARJA DI ATAS PERSAJIAN setiap kemenangan adalah tajam yang mengancam kenyamanan, lalu menyiapkan pesta malam dengan seiris daging yang tertelungkup dalam mangkuk kekuasaan di atas persajian ini apalagi yang bisa kumakan setiap teguk kulihat seringai korban menahan perih LAZUARDI ANWAR AKAR LESTARI TERJEJAL DALAM JALA Akar lestari pun terjejal dalam jala nafas hijau dimamah sengketa lunyah dimangsa sengsara matahari menukik pekik tropika. PENYAIR Sangsai kian mendekap dinding musim kering di alur dangkal tidak lebih sejengkal jari sisa-sisa melumut menguap di pinggir-pinggir tak mampu membasuh hari-hariku enggan menghilir Medan, 1996 HALAMAN 10 EF DONY P. BEJANAKU Kurobek bilur-bilur luka di dada itu agar mengalir darah darah merah lewat matamu dan daun-daun di bibir telaga akan melambai berkisah tentang warna biru RHINTO SUSTONO "Abis gelap sih. Jadi susah kacangnya masuk ke mulut... Mia menjawab sekenanya. Nada suaranya manja. Tangan kirinya segera membersihkan rok yang dikenakannya itu. Parmin ikutan membantu. Sejenak, mereka sa ma-sama membersihkan sang rok. Madura, 1997 Mia kemudian mendekapkan kepalanya ke dada Parmin yang bidang. Aroma tubuh Parmin yang khas itu lalu singgah di hi- dung mancungnya. Batman 96 PENCARIAN aku semakin compang-camping mentertawakan diri sendiri mengais kultur antara timur dan barat mencari Tuhan dalam kesangsian yang siang dan yang malam lalu siapa purnama jika tak Tuhan Pasar songo, 1997 "Banyak kok yang kalau ge lap-gelap masih bisa dimasuk- kan..." nada suara Parmin ter- dengar jenaka. Di benak Mia, ka- limat Parmin itu malah terkesan 'nakal'. "Apa misalnya..?" Mia me- malingkan wajahnya ke Parmin. Imajinasi liar kewanitaan Mia menebak-nebak. Senyum di bibir- nya yang dibalut lipstik merah muda itu makin tampak manja. Parmin tak segera menjawab. Nafasnya naik. Dan Mia merasa- kan hembusan udara lembut yang mengucur dari hidung Parmin, menampar-nampar wajahnya. "Ah, kamu macam nggak tau aja..." Lalu, tak ada lagi terdengar percakapan antara Parmin dan Mia. Hanya dialog tiga sudut an- tara Sataro-Shizuko-Satoko yang terdengar. P.Siantar, 1997 Akting Kenichi Hagiwara sang pemeran Sotaro itu masih berlalu-lalang di layar bioskop. Irama perwatakan aktor penda- tang baru di sinema Jepang itu terjaga cukup bagus. Begitu pula dengan Tomoko Yamaguchi yang sensual itu. Sebagai Satoko, ia tampil cukup apik. Bintang yang laris manis di layar televisi itu ter- nyata tidak hanya sekedar me- ngandalkan kemolekan tubuhnya saja namun juga punya kemam- puan akting yang layak untuk di- puji untuk layar lebar. Dan ten- tang si Shizuko sang hantu wani- ta yang diperankan Shigeri Mu- roi sang aktris serba bisa itu, ber- hasil dengan gamblang menghi- dupkan jati diri filem itu menja- di tema energis bagi era filem ko- medi Jepang. Di sudut, dibarisan bangku bioskop paling belakang, Parmin dan Mia masih tidak sedang ber cakap-cakap. Derai kacang dari mulut Mia juga tak ada. Yang ada cuma desau suara-suara mis terius. Menjadi makin miste rius, bagi mereka yang masih "awam". Parmin dan Mia sudah tidak lagi peduli dengan Shizuko yang mengganggu Sotaro dan Satoko. Tak peduli lagi begitu Satoko yang kemudian meninggalkan So- taro karena ia mendapat surat dari bekas pacarnya yang ingin kembali. Sejak di menit-menit perte- ngahan filem, Parmin dan Mia memang sudah tidak care lagi dengan isi filem arahan sutrada- ra Watanabe yang meraih peng-. hargaan tertinggi di Festival Filem Pia di Tokyo itu. Bahkan, Parmin tak lagi ingat bila kini istrinya, Jumi, tengah mengerang kesakitan, berjuang melawan kematian saat melahir- kan anaknya yang ke sembilan di Puskesmas dekat rumah mereka yang berada di kawasan berpeng- huni padat. Parmin terlanjur la- rut dalam erangannya sendiri yang khas dan cenderung miste- rius bagi yang awam. Bersama Mia, di bioskop, di villa, di bathroom rumah Mia yang me- wah, cinta Parmin pada keluar- ganya menguap begitu saja. Ber- sama Mia, statusnya sebagai so- pir senantiasa pula tertanggalkan begitu saja. Bagi Parmin, apa yang dilakukannya bersama Mia itu lebih dari sekedar mencari uang tambahan, namun karena memang ia mencintai Mia. Sung guh-sungguh menyayangi Mia. Dan Mia sudah jauh-jauh hari telah mempersetankan kehadiran Gondo, suaminya. Kehadiran le- laki lugu bernama Parmin itu, ter- nyata berhasil mengisi kekosong an magis di dalam dirinya yang tak pernah didapatkannya dari milioner tua itu. Diri Parmin di- selimuti bara api yang tak pernah padam-padam. Parmin adalah ba ra api yang senantiasa siap mem- bakar Mia kapan saja Mia mem- butuhkan dirinya untuk dibakar. Dan Mia sungguh-sungguh bang- ga menjadi kayu yang mampu ter- bakar dan dibakar. Mia sungguh- sungguh mencintai Parmin. **** k P d
