Tipe: Koran
Tanggal: 1997-03-30
Halaman: 10
Konten
ANALISA-MINGGU, 30 MARET 1997 Pembongkaran Fakta Lewat Karya Sastra Oleh Harta Pinem MESKIPUN diisukan, sampai sekarang karya sastra masih sedikit peminatnya, sesungguhnya posisi karya sastra sudah mendapat tempat yang layak pada tubuh media massa kita. Baik koran harian maupun berkala, baik majalah khusus sas tra maupun majalah keluarga dan umum, semua- nya sudah memberikan tempat layak bagi pe- muatan pelbagai karya sastra seperti cerpen, no- vel (cerita bersambung), puisi, serta artikel me- ngenai sastra. Bahkan di media elektronik seperti radio dan televisi, peran karya sastra sudah dira- sakan cukup penting. Sehingga karya sastra be- rupa cerita maupun drama dijadikan salah satu bahan sajian untuk menarik minat pemirsa. Dari fenomena seperti ini, se- cara diam-diam, sebenarnya, sas- tra telah mendapatkan tempat ter- sendiri di hati masyarakat kita. Harus kita akui, kalau apre- siasi masyarakat kita terhadap karya sastra belum mendalam. Paling tidak, mereka sudah mu- lai berminat menikmati segi-segi hiburan yang terkandung dan ter- sampaikan lewat bahasa seni ka- rya sastra. Dari sini kita bisa be- rasumsi secara optimis, kalau sua- tu waktu nanti, daya apresiasi me- reka akan meningkat secara per- lahan-lahan terhadap karya sas- tra. Setelah masyarakat mapan apresiasinya terhadap karya sas- tra berupa dongeng atau berbagai cerita mitos lainnya, pada saat hampir bersamaan, masyarakat pun mulai haus pada cerita-cerita yang lebih aktual berdasarkan fakta-fakta sosial maupun fakta- fakta yang lebih khusus lainnya, yang menyentuh sisi kepribadian manusia. Di sinilah salah satu ke- kuatan karya sastra dibandingkan dengan berita atau informasi non sastra. Apalagi di tengah masya- rakat dan bangsa kita yang ma- sih cenderung menghargai baha- sa simbol dibandingkan dengan ucapan yang blak-blakan, maka peranan karya sastra semakin penting dirasakan kehadirannya. Sebab melalui karya sastra masa- GERAK tari "saman" Aceh yang khas, jika diamati sepintas, agaknya sulit dibawakan oleh orang awam, namun tidak demikian halnya bagi anggota TNI-AL yang melakukan misi muhibah ke Andaman, India, baru-baru ini. Sejumlah anggota TNI-AL yang berkunjung dengan KRI Thaha dan KRI Pati Unus pertengahan Februari 1997 ternyata mampu membawakan tari "saman" yang memukau penonton dari bebe- rapa negara. Meski baru pertama kali sekitar 15 anggota TNI-AL itu menampilkan tari "saman" dalam kunjungan muhibah tersebut, dengan persiapan yang relatif singkat, tapi penampilan tarian itu dinilai publik penonton di Andaman sangat bagus. Bagaimana para anggota TNI-AL itu bisa membawakan tari "saman" dengan baik, Komandan KRI Sultan Thaha Syaifuddin Letkol Laut (P) Among Margono mengatakan di Sabang setibanya dari Anda- man 19 Februari lalu bahwa para awak KRI itu sebelumnya berlatih cukup tekun. "Dalam lawatan ke Andaman ini, saya melatih anggota saya untuk membawakan tari 'saman' Jika bahasa jurnalistik harus menjunjung tinggi kode etik jur- nalistik yang seimbang, maka ba- hasa sastra pun harus menjunjung tinggi kode etik estetik. Hanya sa- ja bahasa jurnalistik punya keter- batasan dalam mengungkapkan fakta. Sebagaimana sering kita dengar atau baca di media cetak. Ada sebagian ucapan kalangan pejabat tidak boleh disiarkan ke- pada khalayak atau off the re- cord. Tidak demikian halnya de- ngan karya sastra. Asalkan sas- trawannya kreatif, fakta-fakta yang terjadi di sekitarnya dapat dibongkar dengan leluasa. Sastra mempunyai logika tersendiri yang tidak sama benar dengan logika karya jurnalistik maupun karya ilmiah. Pada karya sastra, fakta- fakta itu telah diolah kembali dengan ramuan imajinasi. Mau- pun dengan kemampuan intelek- tual si sastrawannya sendiri. Se- muanya dapat menjadi ladang su- bur bagi para sastrawan untuk menghasilkan karya sastra yang bernas dan menggelitik. Fakta- fakta itu salah satu unsur penting dalam penulisan karya yang me- narik dan bermutu. Mulai aktua- Menurut Letkol Among, Tarian "Saman" Aceh Disambut dalam pertunjukan tari pada misi Meriah di Andaman budaya dari enam negara terse- but, penampilan tari "saman" oleh para anggota TNI-AL dinilai yang paling bagus, meski Sri Lanka membawa tim tari profesional. APA yang terjadi bila musik, cahaya warna warni, bau cat, re- mang-remang di dalam suatu ruangan yang berisi berpuluh pa- sang mata seperti dipaksakan un- tuk menikmati pagelaran pemba- caan puisi? Dapatkah mereka-me reka yang hadir malam tanggal 26 Maret 1997 lalu itu menikmati sa- jian yang disampaikan Idris Pasa ribu lewat puisi-puisi yang di- bacakan oleh Imran Pasaribu ? lah yang digarap dan dipersoal- kan tidak bersifat menuding seca- ra langsung, melainkan lebih ber- sifat mengingatkan lewat bahasa simbolis. Ternyata malam itu, seperti- nya malam kebersamaan keluar- ga besar Pasaribu dalam mema- rakkan pagelaran seni baca pui- si. Sekaligus disandingkan dengan menampilkan seni instalasi plus multi medianya Mangatas Pasari- bu dan musik puitis "kembali ke tradisi" Martogi C. Musik tradisi sepertinya ja- waban dalam menghadapi tan- tangan dan sekaligus sebagai ja- waban terhadap globalisasi kebu- dayaan. Ini dapat penulis saksi- Oleh Bustanuddin ini dalam waktu sepuluh hari; setiap hari mereka berlatih antara tiga sampai empat jam," kata Among Margono. Bahkan, dalam perjalanan pun, sejak berangkat dari Ja- karta, mereka terus berlatih. Di Jakarta, mereka diajari oleh Kebudayaan Kantor Walikota Jakarta Utara. Untuk keperluan pelatihan tersebut, menurut Letkol Amo- ng, pihaknya, selain menge- luarkan dana untuk pelatih, juga untuk membeli sejumlah pa- kaian tari yang bermotif Gayo Aceh. Tari "saman" yang lebih populer dengan sebutan "saman Gayo" adalah tarian pria yang dibawakan dalam keadaan duduk berlutut dan berjejer dengan gerakan kepala, meng- angguk ke depan/ke belakang menepuk dada dan paha, dan gerakan badan lain dengan berirama dan serentak. Isi ucapan yang "dinya- nyikan" dalam tari "saman" pada mulanya hanya mengenai masa- lah agama, tetapi kemudian sudah diperluas dengan masalah lain yang mengandung nasihat sesuai dengan keadaan zaman litasnya akan semakin terangkat ke permukaan dan sekaligus me- mancing minat pembaca untuk menyiasati karya bersangkutan. Sementara itu pula, di saat bersamaan dalam keremangan ca- haya, samar-samar tampak Ma- ngatas Pasaribu mondar mandir di tengah ruangan, di antara pengunjung sambil menenteng sli- de proyektor yang cahayanya ia tembakkan ke sana-kemari. Efek cahaya yang dipantulkan ke din- ding dan sekali-sekali mengenai mata pengunjung terasa sangat menyilaukan. Pada zaman dulu, masyarakat kita lebih suka menyampaikan se- suatu misalnya pesan atau nasihat lewat mitos. Sekarang masyara- kat kita, cenderung menggabung- kan mitos dan fakta-fakta. Mit- os dan fakta dewasa ini semakin digandrungi oleh umumnya ma- fakta, dewasa ini terasa timpang syarakat modern. Mitos tanpa dan kurang dipercayai. Sebalik- nya fakta tanpa mitos juga diang gap terlalu kasar dan kurang ber- budaya. Sehingga ada suatu pen- gandaian yang begitu populer di masyarakat yakni, "Jangan kata- kan yang sesungguhnya, tapi ka- takanlah yang sebaiknya". Ini menandakan kalau bangsa kita masih menjunjung tinggi nilai- nilai simbolis itu, yang menurut masyarakat sekuler berkesan ter- tutup, tidak demokratis. Tapi itu- lah keunikan bangsa-bangsa di ti- mur, termasuk di Indonesia. Se- hingga banyak fakta terpendam dan tak bisa dibongkar karena alasan demi etika simbolik itu. Selesai permainan slide ke din- ding dan ke mata penonton, mun- cul Imran Pasaribu membaca kan puisi karya Idris Pasaribu. Terkadang vokal Imran terdengar menggelegar. Kemudian melemah dan tak jelas apa yang sedang ia Bukan sedikit fakta penting yang harus dipendam dan akhir- nya terkubur demi menjaga nama baik dan rahasia seseorang yang dituakan atau yang punya jabatan penting pada suatu organisasi atau instansi. Apa yang dinyata- kan kepada kita belumlah semua- nya merupakan kenyataan yang sesungguhnya. Itu sebabnya me- nantang para seniman untuk mengungkapkan dan membong- karnya lewat bahasa kreatif me- reka. Karya sastra dalam hal ini berusaha menyempurnakan pe- mahaman manusia terhadap rea- litas. Dengan turan bahasa- nya, majasnya, ketajaman visi dan inovasinya, sastrawan dapat leluasa menyoroti berbagai fakta yang telah dibungkus, diisi de- dan tujuannya. Tarian yang tanpa diringi instrumen musik ini sebelumnya juga pernah tampil di Eropa yang dibawakan para penari dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Musik Seni Instlasi dan Sastra, Pilih Mana ? Oleh: D.Rifai Harahap kan dengan tampilnya Ben Pasari sampaikan. Malam itu Imrant tam bu bersama "bini tercintanya" buatan Jepang itu. Ben malam itu tampil khusuk. Di antara kere- mangan cahaya yang bergerak ke segala arah, Ben memasuki dunia nya, musik. pak tampil habis-habisan. Keli- hatannya Imran Pasaribu ber- usaha semaksimal mungkin untuk dapat menghidupkan suasana puitik puisi-puisi Idris Pasaribu seperti di dalam asalnya, yaitu Si- bolga dan Barus. INDONESIA TERBAIK Keberangkatan kedua KRI itu ke Andaman untuk meme- nuhi undangan negara tersebut dayaan Milan 1997", sekaligus menjemput sepuluh nelayan asal Aceh Barat yang sudah selesai menjalani hukuman akibat terdampar di perairan Nikobar. Yang juga diundang ke acara itu adalah Angkatan Laut Sri Lanka, Bangladesh, Singapura, Malaysia (anggota Persemak- muran), dan Thailand, di sam- ping Indonesia, yang masing- masing membawa kapal perang. Acara temu budaya dwi- tahunan di Port Blair, Andaman, itu bertujuan lebih mempererat persahabatan antar-AL negara yang berada di kawasan Lautan Hindia. Temu budaya itu, yang sudah berlangsung beberapa kali, merupakan program yang dike- lola oleh Fortan (Fortress Com- mander Andaman and Nicobar) dan dipimpin komandan berbin- tang tiga, Laksamana Madya Harinder Singh. Dengan munculnya Imran me makai "selawar" gantung warna hitam dan tanpa baju, di antara cahaya yang remang, penulis ha- nya dapat melihat Imran seperti- nya kesulitan membaca teks puisi- puisi Idris Pasaribu. Hanya sedi- lam puisinya Idris berbicara ten- kit yang dapat penulis simak. Da- tang alam pantai Barus yang kian terkikis oleh abrasi. Ada mesjid tua. Tirani. Lalu kesemuanya itu sirna ditelan oleh musik-musik Ben Pasaribu dan refleksi cahaya dari proyektor slide Mangatas Pa saribu. Kemudian di pengunjung aca- ra, Mangatas Pasaribu di dalam keremangan cahaya, mulai me- ngan ide-ide lainnya, Bagi sastrawan, fakta tak bo- leh berhenti sebagai fakta, la- poran, atau cerita melodrama. Karya yang baik akan berusaha menembus kenyataan telanjang seperti itu sehingga membentuk logika baru, yakni logika imaji- natif. Itu sebabnya karya sastra sulit diadili. Contoh kesulitan ini menjadi peristiwa menarik dan klasik dalam sejarah sastra. Si- mak saja ketika cerpen "Langit Makin Mendung" karya Ki Pan- ji Kusmin, diadili dengan menge- tengahkan H.B. Jassin sebagai terdakwa karena meloloskan pe- muatan karya itu pada majalah asuhannya. Jassin tak bersedia membongkar nama asli penga- rangnya. Ia tetap bertahan bah- wa dialah yang bertanggung ja- wab atas dimuatnya cerpen itu. Peristiwa sastra jadi heboh kala itu. Tapi pengadilan karya itu toh kemudian dimenangkan oleh Jas- sin karena ia tetap bertahan dan membuktikan kalau karya terse- but adalah fiksi bukan fakta. Dan logika yang digunakan bukanlah logika matematika, tapi logika estetis atau meminjam istilah Bu- di Darma berupa logika jungkir balik. DISKUSI: Usai pementasan, Puisi Musikal-Musik Puitis Karya Idris Pasaribu, dilanjutkan dengan diskusi. Idris Pasaribu menjelaskan konsep Kolaborasi atas tanggapan para peserta diskusi (kanan). Se- belah kiri peserta diskusi, salah seorang diantaranya, Dokor Hutasuhut, yang dikenal dengan penulis no- vel Penakluk Ujung Dunia. Memang karena keberanian sastrawan membongkar fakta- fakta lewat karyanya, sering ke- jadian karya tersebut dicekal, bahkan pembacaan karya itu di- larang, seperti pernah dialami Rendra. Alasan pencekalan itu se- ring tidak pada tempatnya. Bah- kan tak jarang mengada-ada atau di luar logika estetika. Hal ma- cam ini, jelas merupakan tragedi dalam dunia kesenian kita. Dan pencekalan tak proporsional ini pun, bisa terjadi karena masih rendahnya daya apresiasi "petu- gas" terhadap karya sastra. Se- hingga timbul pandangan yang keliru terhadap karya sastra dan sastrawannya sendiri, dengan ang gapan bahwa karya sastra itu da- pat menimbulkan gejolak sosial "Penampilan tim tari Sri Lanka memang bagus juga, tetapi yang mereka tampilkan adalah penari profesional, jadi bukan dari anggota Angkatan Laut," katanya. Selain membawakan tari "saman", pada acara "Milan '97", para awak KRI tersebut juga mengikuti lomba masak (food festival) dengan menya- jikan nasi soto dan nasi goreng. Kegiatan mengikuti lomba masak itu ternyata juga menda- tangkan pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi Komandan KRI Sultan Thaha Syaifuddin, karena Wakil Ketua Fortan di Andaman tersebut sangat tertarik pada rasa nasi soto dan minta Letkol Among membuatkan resepnya. "Untuk ini terpaksa saya harus buka kamus guna mener- jemahkan resep nasi soto ke dalam bahasa Inggris," kata perwira menengah TNI-AL itu, yang sudah sekitar satu tahun bertugas di KRI tersebut. Baiknya penampilan tari khas Aceh oleh para awak KRI tersebut, menurut pemimpin group tari "saman" itu, Sertu Armansyah, karena adanya kesungguhan para anggota TNI- AL itu melaksanakan pelatihan. nyemprotkan cat ke layar yang tergantung di sisi timur ruangan. Tak lama kemudian, Idris Pasa- ribu muncul dengan pakaian yang serba putih. Pakaian putih-putih yang dipakai Idris ini juga tak lu- put dari sasaran semprotan Ma ngatas. Dalam gerak perlahan, Idris Pasaribu, yang puisinya dibaca- kan Imran Pasaribu, tampil bisu. Tapi sarat dengan isyarat. Isyarat kakek-kakek tua renta kepada ge- nerasi penerus, isyarat penyair yang tak lagi dapat berbicara ba- nyak karena hari-harinya yang se- dang sekarat. Akhir pertunjukan yang diisi oleh bunyi yang riuh, cahaya yang berpendar-pendar ke segala arah, kota ini memang terasa mati. Ko- ta kita ini memang terasa sepi. Se- pi di tengah-tengah kehingar bi- ngaran kemajuan manusia dalam menciptakan peralatan canggih yang satu hari nanti akan mem- bunuh dirinya sendiri. Perlukah kita kembali ke tra- disi? Betapa hingar bingarnya dentuman keyboard itu. Dan beta pa syahdunya petikan hasapi dan ketukan-ketukan kayu "geran- tung" bersusun yang dimainkan Martogi dan kawan-kawannya. Terasa pantai Barus yang mende- barkan debur ombak dari lautan Hindia sana seperti bergetar ke ubun-ubun kepala. Percikan-per- cikan buih menjilat bibir pantai, kenangan manis Idris Pasaribu terhadap kota di mana ia pernah dibesarkan, Sibolga, malam itu oleh Imran Pasaribu maksimal coba ia ujutkan. REBANA Penulis memang sengaja tidak hadir dalam acara diskusi. Kena- pa ? Karena apa yang telah disa- jikan Idris Pasaribu, Mangatas, Ben dan Imran bagi penulis sudah cukup untuk dibawa pulang seba- gai bahan resapan batin. Walau- pun santapan batin yang disaji- kan penyelenggara malam itu te- rasa lamban, tapi kelambanan itu tidak mengurangi rasa hormat pe- telah bersusah payah untuk meng- nulis kepada penyelenggara yang hidupkan kota kita yang mati dari kreatifitas berkesenian. Malam itu sesuatu yang baru atau mengganggu stabilitas. Justru itu, para sastrawan ha- rus semakin jenial membungkus fakta-fakta yang dibongkarnya agar jangan sampai dinilai seca- ra keliru oleh masyarakat pemba- ca. Jadi tidak harus menghilang kan niatnya untuk membongkar fakta-fakta baru yang terjadi di tengah masyarakat lewat karya- karya berikutnya. Sebagi penulis itulah tugasnya, yakni memberi- kan dan memperkaya pemaham- an masyarakat terhadap suatu pe- ristiwa sosial dan kemanusiaan. Berikut ini, dapat kita lihat bagaimana kejelian para sastra- wan membongkar dan menyam- paikan fakta-fakta yang berhasil diangkatnya kepada sidang pem- baca, Cerpen "TPP" (tidak pu- nya perasaan) karya James Aries (dimuat Analisa, 12 Januari 1997) dengan sangat menggelitik coba mengungkap dan membongkar fakta baru yang sebelumnya ja- rang diangkat ke dunia cerita pen- dek, yakni adanya oknum petu- gas keamanan dan wartawan yang pergi makan ke restoran tan- pa membayar atau menonton sua- tu pertunjukan secara gratis. Pa- dahal menurut penulis, pemilik restoran dalam menjalan usaha- nya bukan bertujuan mencari rugi tetapi mencari untung. Begitu pu- la para pemilik restoran juga ba- nyak yang mau untung sendiri tanpa memperhatikan kesejahte- raan karyawannya. Mereka juga menurut penulis termasuk TPP. Justru itu, ketidakadilan macam itu menurut penulis tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, harus se- gera diluruskan. Dalam upaya pe- lurusan ketidakadilan yang di bongkar penulis, ia menghadir- kan tokoh seorang lelaki berku- mis tebal dan berambut cepak menyamar jadi preman untuk me- nangkap oknum-oknum yang ti- dak punya perasaan itu. Ia kemu- dian menemukan incerannya. Berkat penjelasan seorang kar- yawan restoran (berinisial Jono), telah hadir di kota kita ini. Kreator-kreator muda telah ber- bicara. Jangan takut dengan glo- balisasi kebudayaan. Garantung, taganing dan hasapi tak akan ma- ti walau key board telah mengua- sai negeri. Jangan biarkan ombak samudra lautan hindia mengikis habis dada pantai Barus yang ber- sejarah. Bendung terpaan ombak yang mengamuk dengan bait-bait puisi. Biarkan penikmat menaf- sirkan sendiri apa yang ia lihat. Hidup ini tidak lama, kawan. hari ini kita bernafas. Besok lusa kita semua akan mati. Sebelum kita mati, kita harus memberi ar- ti. Dan Idris Pasaribupun terge- letak di atas pentas, di antara pe- musik yang terus riuh menabuh perkusi. dungi seorang perusuh dari amu- kan massa yang ingin menghaki- mi sendiri, malah dengan sangat kasar menyeret keduanya secara beramai-ramai. Di sini nampak orang tak bersalah pun bisa diper- salahkan, karena emosi massa membeludak. Dan kisah ini jelas ironi penulisnya. wat novel "Ladang Perminus" karya Ramadhan KH dengan mengambil fakta dari kasus Per- tamina yang beberapa waktu la- lu sempat ramai diperdebatkan. Dalam karya drama juga fakta- fakta seperti itu bukan hal asing, bahkan sering diangkat oleh pa- ra sutradara kita menjadi tonto- nan yang menarik. Demikian ju- ga dalam, bidang puisi, fakta- fakta itu telah menjadi sumber penulisan, memperkaya inspirasi dan imajinasi penyair. Tak kalah menariknya juga masalah penggusuran pedagang, seperti di Tanah Abang baru-baru ini menimbulkan amukan massa. Dalam cerpen fakta seperti ini ju- ga ada dalam bingkai yang lebih kreatif. Cerpen "Pasar Rakyat" (Surabaya Post, 1 Desember 1996) karya Djajur Pete, me- nyingkapkan sisi-sisi lain dari ke- Sajak-sajak perlawanan Tau- fik Ismail dalam bukunya "Tira- ni dan Benteng" jelas menunjuk- kan betapa pada era Orde Lama dalam pemerintahan RI telah ter- hidupan tragis nasib pedagang jadi krisis sosial politik diikuti kri- sis ekonomi nasional merata ke kehidupan rakyat. Sehingga pe- nyair menyerukan hancurkan ti- rani kekuasaan. Kasus lain yang juga cukup sering terjadi akhir-akhir ini yakni pembunuhan sadis, perampokan disertai pembunuhan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Dalam karya sastra, hal ini pun menjadi sumber tema menarik se- perti dapat kita simak lewat cer- pen "Akuarium" (Matra, Januari 1997) karya Agus Noor. Yakni istri Pitaya kedapatan dibunuh se- cara sadis, lehernya putus, sehing- ga bagian badan dengan kepala- nya terpisah. Yang didapati Pi- taya hanya kepala istrinya, se- selalu di kala rindu, ia mengawet- hingga untuk mengenang istrinya kan kepala istrinya dalam akua- rium. Tentu ini tindakan aneh. Tapi tindakan aneh macam ini ju- ga bukan tak mungkin kita jum- pai di tengah masyarakat. Begitu pula halnya soal ko- rupsi dan kolusi sudah menjadi hal klasik tapi terus aktual di te- oknum petugas yang menyamar ngah masyarakat kita, khususnya sebagai lelaki berkumis tebal dan berambut cepak itu, jadi tahu bahwa memang benar banyak ok- num petugas keamanan atau war- tawan yang karena kekuasaan yang dimilikinya dijadikan alat untuk melakukan tindakan ku- rang baik, menyalahi kode etik kedinasan, yakni merugikan pi- hak lain. Demikian juga para pengusaha tak jarang dan tak ka- lah tidak berperasaannya terha- dap karyawannya dengan mem- berikan tarif gaji yang sangat ren- dah, sementara tenaga dan wak- tu mereka diforsir sedemikian ru- pa. Itu sebabnya oknum peng- usaha restoran tersebut, dalam cerpen TPP diciduk oknum petu- gas yang menyamar itu. Tentu sa- ja untuk menegakkan keadilan. Peristiwa kerusuhan yang be- lakangan ini sering terjadi di ta- nah air kita seperti di Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya, Sang- gau Ledo, Tanah Abang, dan lainnya, juga merupakan sumber penulisan yang menantang dan menarik bagi sastrawan kreatif. Salah satunya dapat kita baca le- wat cerpen "Perusuh" (Kompas, 12 Januari 1997) karya S. Pra- setyo Utomo. Tentu saja penulis cerpen ini mengangkat dimensi lain yang luput dari perhatian ki- ta. Yakni seorang yang dengan niat baik menyelamatkan/melin- Pagelaran baca puisi, musik puisi dan puisi musik pun usai. Penonton memberi aplus. Bebe- rapa orang tampak buru-buru ke- luar ruangan. Ada yang langsung pulang. Tapi lebih banyak yang bertahan di dalam untuk meng- ikuti acara diskusi. Menuju rumah, dalam hati pe nulis berkata-kata sendiri, pertun- jukan itu memang lamban, tapi pertunjukan itu sendiri telah me- rangsang alat berfikir untuk terus memikirkan pertunjukan yang te- lah usai. Pada hal tak ada sesuatu yang baru di sana. Tahun 70-an penulis sudah me nyaksikan Sutradara dari Ameri- ka yang bernama Spriger di ge- dung Kesenian Medan menampil- kan sebuah film under ground yang tembakan proyektornya ke seluruh sisi gedung. Kini 26 tahun kemudian, Ma- Ingatas Pasaribu menampilkan hal yang serupa. Bedanya Mangatas tampil dengan proyektor slide. Sedangkan Spriger tampil dengan proyektor film. Apa yang penu- lis saksikan 26 tahun lalu jelas tak pernah disaksikan Mangatas. Ta- pi kerja itu berulang kembali. Mangatas telah menemukan se- suatu yang baru di dalam dirinya. laran malam itu memang benar- Dan ini yang membuat penulis te- rus berfikir dan berfikir, page- benar puitis. Ya. Sangat puitis. Puitis sekali. buah pinggir jalan. Yang dengan gagahnya petugas penertiban me- lucuti barang dagangannya demi kelestarian dan keindahan kota. Bagi penulis, tindakan seperti ini bukan jalan terbaik. Justru itu perlu dibongkar. Dengan tindak pembongkaran pasar rakyat oleh petugas itu, penulis ingin menun- jukkan problema sosial seperti ini bisa mendatangkan problema be rikutnya. dikalangan birokrat dan pengusa- ha. Hal ini dapat kita simak le- Cerpen KARENA itulah, dipelototi secangkir kopi yang sudah lama dingin di atas meja, di pulau mur- sala yang dipuja sebatas leluhur atas nama mimpi yang tercecer di belukar. Sementara memandang ke laut lepas, menatap lekat ke kemiskinan lautku yang konon sangat kaya itu, aku melihat beribu-ribu bocah tengadah ke langit. Dari mata mereka mengu cur darah, masih merah warna- nya. Merah yang mengandung gairah terhadap apa yang dina- makan harapan dan ancaman. Merah yang menghitam di kelo- pak. Sementara di langit, beribu kepala dibungkus uban, menju- lurkan moncongnya menjadi sa ngat panjang, dan memakan ke- pala bocah-bocah bernasib ma- lang itu. Tragisnya, bocah-bocah itu malah kesenangan, tertawa ke- girangan sambil menjulur-julur- kan pantat mereka. "Nasib, pak", kataku "Bukan", orang tua yang menghuni lapo kopi, seharian le- bih sering sepi dari pengunjung itu, menyahut cepat. "Lagipula apakah nasib itu sesungguhnya? Toh nasib adalah apa-apa yang berasal dari sekum- pulan itikat, kemudian berproses dalam diri kita, lalu memberikan hasil seperti yang kita rencana- kan. Nasib tidak didahului de- ngan janji-janji, sebab nasib, ki- ta sendiri yang bikin. Itu berarti kita pula yang bertanggung jawab atas seluruh konsekwensinya. Ja- di, bukan nasib". Suaranya me- melas, sama tua dengan usianya. "Toh banyak putera-putera kita yang jadi", kataku. "Jadi apa?" "Ya... (sambil tertawa) jadi lupalah kepada bona pasogit nya". Orang tua itu tersenyum. Bu- kan, bukan tersenyum. Lebih te- patnya, menyeringai. Ah,.... ku- kira semua orang di kotaku se- dang mabuk menyeringai dengan warna hitam putih. Tiba-tiba .... "Kurang ajar!". Refleks ku- tarik kakiku. Orang tua itu, berkerut dahi- nya, bertanya: "Siapa yang ku- rang ajar?" "Anjing". "Oh.... *** Nampaknya fakta-fakta itu, tak jadi masalah lagi bagi para sa- strawan kita untuk mengangkat dan membongkarnya jadi bahan penulisan karya sastra. Bahkan fakta-fakta itu telah menambah nilai, bobot, dan pesan karya sa- stra. Sastrawan Indonesia baik dari kalangan pendahulu maupun dari kalangan muda, dalam ki- prah penciptaannya, kita nilai su- dah cukup arif dalam mengolah dan memperlakukan fakta-fakta dalam karyanya supaya menjadi karya yang menarik. Hanya saja mereka perlu terus menerus me ningkatkan kualitasnya estetiknya agar fakta-fakta itu tak berhenti sebagai fakta mentah dalam kar yanya. Melainkan menjadi nilai- nilai dan pesan imajinatif yang mengundang kesegaran penaf- pencerahan batin bagi para pem- siran. Seterusnya menimbulkan baca. Sastra yang baik tentunya sastra yang berhasil mengangkat dan memperbincangkan persoa- lan besar masyarakatnya. Pada gilirannya, kita bisa mengharapkan fakta-fakta itu tu- rut mendorong lahirnya karya sas tra besar yang bisa mencapai kanon-kanon sastra dunia. Ini memang perlu perjuangan. *** Simpang Kwala. akuberi dia makan dengan me- ngurangi porsi makanku mencoba menghiburnya, membe- baskannya dari rasa bersalah, wa- laupun sebenarnya itu tak perlu. Cuma basa basi palsu. Karena se- benarnya aku marah sekali pada anjing sialan itu. Sampai-sampai aku sempat berfikir, lain kali ka- lau aku kemari lagi, aku akan ba- wa senapan dan kuledakkan ke- pala si "bedogol" itu. Bah. Padahal aku benci sekali kepada pembunuhan dalam ben- tuk apapun. Setiap nyawa ada harganya. Baik, baik. Aku ingat pesan almarhum nenekku. Dulu, dia pernah bilang: "Sayangilah binatang seperti kamu menyaya- ngi dirimu sendiri. Kelak kamu akan mengerti, betapa mahal har- ga yang harus dibayar untuk men- jadi binatang. Sebab menjadi bi- natang berarti menjadi Super man". Nenekku memang jempolan, seorang penyayang binatang yang luar biasa. Tragisnya, nenek me- ninggal selang dua hari, setelah pahanya digigit kucing kesaya- ngannya. Kata pak ustad, sudah ajalnya. Kata Om dokter, gigi ku- cing berbisa. Kata para tetangga, sok penyayang sih. Kataku, kalau sudah mati ya sudah, kubur. "Kau melamun ?" Sapaan orang tua itu menge jutkanku. "Ya. Aku teringat almarhum nenekku". "Nenekmu juga memelihara anjing?" "O, tidak. Sebab nenek tidak memiliki ladang yang harus diper- cayakan penjagaannya kepada seekor anjing. Tapi yang jelas, dia seorang penyayang binatang yang wah. "Jawabku bersemangat. "Tentu nenekmu seorang pe- rempuan berhati lembut (apa hu- bungannya) O ya, tadi sudah ku- katakan, anjing itu kutugaskan menjaga tanaman". Aku bertanya sopan : "Apa- kah disini banyak pencuri?". "Ah, kau .... tentu saja dimana-mana. Tidak di sini, di pulau sesepi ini, di sana, di bela- han benua lain, pencuri selalu ba- nyak". Katanya bersemangat. "Apakah karena itu setiap orang memerlukan anjing?". Ta- nyaku mendesak. PUISI Anjing sialan itu menjilat ka- kiku, barangkali juga telah ber- niat memakannya sekalian. Bah. dari tadi aku sebenarnya sudah wanti-wanti. Binatang betul- betul. Sekarang dia lari. Men- jauh, dan sebelum benar-benar menjauh, dia berhenti sebentar dan memandangku dengan sorot matanya yang tajam. Aku bergi- dik juga, garang juga dia, pikir- Sudah lama aku merindukan ku. Bulu kudukku sempat berdi- saat-saat seperti ini, tertawa de- ri. Sialan. Dia kira kakiku yang ngan mulutku sendiri. Dadaku kurus tidak ada bedanya dari se- menjadi penuh bunga. Semakin kedar bangkai atau sepotong tu- mengental kesadaran tentang sa- lang yang tergeletak dalam tong tu soal betapa ruwetnya komuni- sampah. Lagi pula, perlu apa dia kasi antar manusia. memandangku seperti itu, dengan "Ada sesuatu yang kau lupa- kilantan tajam mata anjingnya. kan". Aku terkejut, orang tua itu "Kukira kau tadi menyumpa- buka suara lagi. hi siapa". Orang tua itu kembali "O ya" buka suara. "Mensamak bekas jilatan an- jing tadi". "O ya, anjing itu kupelihara untuk menjaga tanaman, bukan untuk menakut-nakuti setiap orang yang datang kemari. Untuk keperluan itu, setiapkali dia lapar, Kuedarkan pandanganku ke bawah, menelusuri setiap inci be kas jilatan anjing sialan itu. Orang tua itu memperhatikan dan YS. RAT "Tidak selalu. Sebab pencuri ada di setiap kesempatan, sedang anjing memerlukan tidur", ka tanya. DI ATAS AWAN KUCATATKAN SEJARAH INI Di atas awan kucatatkan sejarah ini blar hujan menebarkannya ke segala penjuru lantas tak siapa-pun bisa membacanya lagi karena begitulah memang yang sebenarnya terjadi untuk tak boleh dikenang lagi RHINTO SUSTONO PERMINTAAN mbilur, mbilur aku mbilur raga, lara sukma kau soyang kutawar soyang ngemong aku jejaka lungah pulh malam, malamku pecah cangkangku pecah pecahlah dia pecah, pecah pukul kempul jejaka kumpul kumpulkan langkah kumpulkan sukma mati arah segala Tumbak-Tumbak simbah nuwun aku sinuwun, pulangkan arah padaku saja N.A.HADIAN Oleh Imran Pasaribu CATATAN 97 Kurobek-robek dunia, hanya sebuah jambu kucium wajahnya, hanya lumpur dalam telaga tapi banyak orang rindu kau ! Dunia, dunia. Medan, 1997 nyeletuk: "Yang terbaik yang harus kau maknya. Tidak usah dipikirkan, Kalau anjing menjilat, memang sudah kodratnya". Aku bertanya: "Maksud ba- pak?" "Ah... kau sudah tau....' Kembali kami sama tertawa. Tertawa oleh sesuatu yang pada dasarnya sebenarnya tidak lucu, malah sebaliknya bikin mual. Toh soal jilat menjilat sejak zaman purba adalah kebudayaan anjing. Apanya yang aneh? Justru kare- na itulah barangkali, seiring de- ngan semakin pesatnya kemajuan teknologi, maka soal jilat menji- lat tidak lagi monopoli wewenang anjing saja, dan sah. Orang tua itu tertawa sampai meleleh air liurnya. Padahal ia se- dang mentertawakan kepedihan. Ah, hidup begitu penuh misteri. Lalu aku bertanya lagi: "An- jing itu jantan?" tanyaku. "Ya". HALAMAN 10 "Di pulau sepi ini dia tidak punya kekasih?" Lalu sepi.... Orang tua itu kembali asyik dengan pekerjaannya, memper- baiki lampu "sitarongkeng" yang katanya sering rusak. Satu- satunya alat penerangan yang di- milikinya, dalam usahanya mem- pertahankan hidup dari hasil ke- dai kopinya, di pulau mursala yang semakin sengsara ini. Akupun mensamak kakiku. Dan masuk ke dalam diriku sen- diri. Ke kesendirian yang selalu kupercaya sebagai tempat berla- buhnya setiap jengkal kejujuran insani. Tiba-tiba aku merasakan Kami tertawa. Lepas. Bebas. Tawa putih keperluan/sangat mendesak untuk yang hening. menangis. Alangkah pahitnya. Aku melihat anjing dan diriku sa- ling mengejar, kemudian mencair dalam warna hitam pekat. ✰✰✰ "Dulu pernah. Mereka saling mencintai. Tapi seperti Romeo dan Juliet juga, cinta mereka ha- rus diuji. Celakanya, ujian itu da- tang dalam bentuk maut yang menjemput kekasihnya terlalu pa- gi. Setelah itu beberapa kali aku sodorkan betina, dia tolak semua". "Batinnya tentu tersiksa". Kataku. Orang tua itu menjawab lirih : "Ya, tersiksa. Tersiksanya batin seekor anjing" Lalu dalam hati aku berkata: An- dai anjing itu punya tangan .... tiba-tiba aku kaget sendiri dan berfikir; andai dia punya tangan, lalu berapa kakinya ? kemudian kujawab sendiri; sudah pasti empat juga. Karena hanya de- ngan empat kaki dia kuat berlari. Begitu saja kuhempaskan pantatku, kembali duduk. Di depanku, secangkir kopi sudah lama dingin di atas meja. Pandanganku jauh ke depan, ke kemiskinan lautku yang konon sangat kaya itu, yang mengancam cara berfikir setiap nelayannya. Hampir seharian penuh wak- tuku telah kuhabiskan di sini. Medan, 1996 Sepuluh tahun menyepi di be lantara kota, aku rindu pulang, Pekanbaru, 1997 dan kini berada di sini, lelah, la- hir batin. Memikirkan diriku dan. namun hidup dalam diriku tak terpisahkan! Beden Matahari sudah akan tengge- lam. Warna peraknya tidak ba- nyak menolong untuk menyuara- kan pulau ini. "Aku permisi. "Kataku pada orang tua itu, seperti akan betul- betul menangis. Orang tua itu bertanya: "Maukah kau memaaf- kan keteledoran anjingku?". Aku diam. Tapi betapapun aku ber- sembunyi di balik diam,, mataku tetap saja berbicara banyak. Dan orang tua itu, karena sudah lama hidup dan merasa, segera mam- pu membaca seluruh kalimat yang bermain di mataku. Kemu- dian katanya: "Mengapa berpura-pura tak mengerti, bah- wa manusia lebih najis jilatannya, lebih berbisa air liurnya. Maka maafkanlah anjing itu dengan ji- latannya yang tak seberapa". Aku memandang orang tua itu, ke dalam matanya. Dan ya tuhan, aku lihat orang tua itu betul-betul menangis. Tangis bening dari hati yang berdarah. Dari atas Speed boat yang membawaku mengharungi dua jam perjalanan menuju jantung kotaku, dari jarak yang belum terlalu jauh, kepada pulau mur- sala kuucapkan selamat berpisah sampai berjumpa lagi kapan- kapan. Aku mengerti kesepian- nya, degup kencang jantungnya, duka nestapanya, tapi aku bisa apa? Paling cuma bernyanyi. Itu- pun jika sumbang sedikit saja, aku langsung dimasukkan kekul- kas untuk bergabung dengan to- mat, bawang dan daging Aus tralia. nya. Bah. Speed boat yang membawaku semakin jauh meninggalkan mur- sala yang merana ditikam kenya- taan. Dari kejauhan, batinku le- kat menatap ke "Ai tajun", tem- pat dulu Puti Runduk membasuh setiap lekuk tubuhnya yang sin- set sempurna, kecantikan yang memancar melewati China dan In dia. Ah, ..... seandainya aku le- bih dulu lahir dari kotaku.... Makin jauh, mursala makin kecil. Kemudian hilang dari pan- dangan mataku. Pulau kenangan dimaną asmara berkubur, cinta kalah oleh prinsip. Yang terting- gal, kenangan tentang kedig- jayaan dan slogan untuk menam- bal sulam kenangan yang agung. Padahal Ai tajun tak lagi men- dendangkan lagu cinta. Tubuh- nya tak lagi kicau burung dengan kemesraan yang menjanjikan ha- rapan. Semua telah berganti kini, dengan ganasnya gelegar mesin teknologi yang memekakkan im- pian reboisasi. Aduh, Maria yang perawan melahirkan juru selamat dunia. Teluk Tapian Nauli yang se luruh tetes darahnya adalah sper- ma, melahirkan apa ? Padahal, aku ingin bermimpi bersama Medan, Des 1996- Mart 1997 ki gu da su lu ne ba na ra ra ka ka di da ta S la M lu m ba m b II k n la S t n h ta ta g ini. ora kar terr kat Por tuh S Mu emi den lesa S sebu mer gan Jepa men tara 221 Sa ini tung tasi dala gal hara. baha di si M mene
