Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1996-03-31
Halaman: 10

Konten


4cm HALAMAN 10 Kelir BPM/NOS Kutukan W Bhagawan Srung- gi berlaku, Maha- raja Parikesit dipagut Naga Taksaka sehingga mangkat. Parikesit Mangkat Dipagut Naga Taksaka SETELAH berpisah dengan Bhagawan Kasyapa, yang telah disogok emas, perak, rat- na mutu manikam maupun kekayaan lainnya, di hari ketujuh kutukan Bhagawan Srunggi itu, Naga Taksaka segera menuju Hastinapura. Dalam perjalanan itulah, Naga Taksaka men- dengar berita bahwa Maharaja Parikesit kini berada di sebuah menara yang amat tinggi ser- ta dijaga ketat para Mahasenopati, Tumeng- gung, Malodnya maupun para prajurit. Juga ikut menjaga para Brahmana, terutama Brahmana yang memiliki kehebatan mantra serpawisa. Mendengar berita itu, takjub hati Naga Tak- saka, apalagi saat memikirkan kehebatan strategi dan ketertiban penjagaan Maharaja Parikesit. Karenanya, untuk dapat memagut Maharaja Parikesit, Naga Takasaka harus ber- pikir keras. Upaya apa yang patut ditempuh guna keberhasilan tugasnya, yakni melaksan- akan kutukan Bhagawan Srunggi. Bukankah bila Naga Taksasa salah strategi, dirinya sendiri yang terbunuh oleh para prajurit Maharaja Parikesit. Akhirnya, setelah berpikir keras, Naga Tak- saka mendapatkan sebuah akal. Dia harus dibantu salah satu saudaranya dan harus berubah wujud menjadi seorang Brahmana, sehingga dibebaskan oleh para pengawal naik ke atas menara. Di samping merapal mantra jaya-jaya dan santi, Brahmana perubahan wu- jud seekor naga saudara Naga Taksaka itu, juga akan mempersembahkan jambu yang masak serta menarik rupanya kepada Maha- raja Parikesit. Sedang Naga Taksaka akan mengubah wujud menjadi ulat hitam yang kecil, berada di jambu itu. Nah, tatkala Maharaja Parikesit hendak menyantap jambu itu, yang menjadi tempat persembunyian Naga Takasa- ka dalam wujud seekor ulat jambu berwarna hitam, maka waktu itulah ulat hitam itu berubah kembali ke asal mulanya sebagai Naga Tak- saka. Tanpa ampun akan segara memagut Ma- haraja Parikesit sehingga mangkat, hangus ter- bakar. Setelah berpikir demikian, Naga Taksaka segera memanggil salah satu naga ke Sapta- patala. Dalam sekejap saudaranya pun datang. Lalu diberi petunjuk tugas dan perannya nanti. Setelah mantap, mereka berdua segera melan- jutkan perjalanan ke Hastinapura. Diceritakan kini setelah mereka tiba di Hastina. Sebelum memasuki areal menara tinggi dengan penja- gaan ketat itu, saudara Naga Taksaka itu seg- era nyutirupa menjadi seorang Brahmana, yang membawa sebokor buah jambu. Begitu pun Naga Taksaka segera nyutirupa, menjadi seekor ulat jambu kecil berwarna hitam, dan berdiam di nyamuk salah sebuah jambu yang akan dipersembahkan kepada Maharaja Parikesit. Setelah yakin, Brahmana tiruan itu segera masuk ke areal menara tinggi tempat Mahara- ja Parikesit berdiam dengan penjagaan yang amat ketat. Lalu Brahmana itu melapor kepa- da komandan pasukan pengawal, bahwa dia ingin menghadap Maharaja Parikesit, guna merapalkan puja pajaya-jayan dan mantra san- ti, memohon keselamatan dan kerahayuan Maharaja Parikesit di hadapan Hyang Widhi serta agar terbebas kutukan Bhagawan Srung- gi dan tak jadi digigit Naga Taksaka. Setelah diperiksa para prajurit pengawal, Brahmana tiruan itu pun diizinkan menghadap Maharaja Parikesit, naik ke atas menara dian- tar dua orang prajurit pengawal. Begitu tiba di atas menara, Brahmana tatiron itu segera men- gutarakan maksud kedatangannya. Maharaja Parikesit pun menjadi amat gembira serta men- yambut kedatangan Brahmana tatiron itu den- gan hormat. Karena memang sejak leluhurn- ya, raja-raja Kurukulo, selalu menghormati kaum Brahmana. Setelah usai merapalkan puja pejaya-jayan, mantra Santi dan mempersem- bahkan sebokor buah jambu, Maharaja Parikesit membalas dengan mempersembah- kan punia kemudian mempersilakan Brahma- na tatiron itu kembali ke pasraman. Matahari sudah tunggang gunung saat Brah- mana tatiron itu pergi meninggalkan menara tinggi, saat itu Maharaja Parikesit bertanya kepada salah seorang Mahasenopati yang ikut menjaga di atas menara. "Paman Mahaseno- pati, apakah sandhyakala sudah lewat?" "Daulat tuanku, Maharaja. Belum, matahari baru sampai tunggang gunung, beberapa saat lagi baru akan sandhyakala," sembah Mahase- nopati, yang ditanya Maharaja Parikesit. "Ah, kalau begitu, daku akan segera bebas dari kutukan Bhagawan Srunggi, begitu sandhy- akala terlewati, kutukan Bhagawan Srunggi terhadap diriku tidak berlaku lagi," ujar Maha- raja Parikesit, sambil mengambil sebuah jam- bu, persembahan Brahmana tatiron itu. Diceritakan, sebelum menyantap buah jam- bu itu, tiba-tiba terlihat oleh Maharaja Parikes- it, seekor ulat kecil hitam dengan mata berwar- na merah, tengah memandang garang kepada Maharaja Parikesit. Menyaksikan sorot mata ulat kecil hitam itu, Maharaja Parikesit tertawa terkekeh-kekeh dan bersabda kepada salah seorang Wrda mantrinya, "Lihatlah ulat kecil hitam ini paman Wrda! Kutukan Bhagawan Srunggi rupanya akan berlaku. Ulat kecil hi- tam inilah si Naga Taksaka. Lihat matanya yang merah! Betapa garang memandang kepadaku. Rupanya, ulat kecil hitam di buah jambu yang hendak kumakan adalah Naga Taksaka, yang hendak menggigit dan membunuh daku, demikian Maharaja Parikesit berkata penuh ejekan tertuju kepada ulat jambu kecil hitam itu. Mendengar ucapan itu, seolah-olah perin- tah dari Maharaja Parikesit kepada ulat hitam itu untuk segera mengubah wujud kembali ke asalnya sebagai Naga Taksaka. Segera pula leher Maharaja Parikesit dipagut, seketika mangkat, bhasmibhuta, menjadi abu. Setelah memagut, Naga Taksaka segera melayang ke udara, menuju Saptapatala, ker- ajaan para naga. Demikian kutukan Bhagawan Srunggi, akhirnya terjadi juga. Berlatar dari pantheon yang dikisahkan dalam Upaweda ini, orang tua-tua sering me- nasihati anak-anak, "Anak-anak sebelum ma- kan jambu, buanglah lebih dahulu nyamuk-nya! Sebab pada nyamuk jambu itulah dahulu Naga Taksaka bersembunyi. Kalau nyamuk jambu itu tidak dibuang, bisa-bisa nanti digigit Naga Tak- saka, seperti yang dialami Maharaja Parikes- it". Yang sebetulnya bertujuan membiasakan anak-anak menjaga kebersihan, sehingga tidak memakan semut hitam saat memakan jambu. (Ngurah Oka Supartha) Bali Post A PRESIASI Minggu Kliwon, 31 Maret 1996 Patung Kelamin, Eufemisme yang Mengamankan K KATA cabul memungkinkan menimbulkan banyak pertan- yaan. Jika dijawab batasannya, sering menimbulkan pendapat yang kontroversial, karena batas tipis ada di sana. Misalnya, tatkala dikaitkan dengan estetis dan etis. arena kata cabul bukan monopoli kaum pendidik, agamawan, para or- ang tua, untuk kemudian memberi- kan batasannya, maka timbul disku- si nantinya. Apalagi jika intervensi kesenian dan kreativitas berpengaruh di sana. Ia pun mengabur, samar bahkan kemu- ngkinan jadi bunglon, sebab bisa menyelinap. Pada sikap yang begitu keras terhadap cabul itu, mendakwa serta mengadili; amankan! Begitulah nasib beberapa patung hasil keraji- nan tangan, yang bisa dilihat di beberapa tempat. Beberapa waktu lalu Ibu Gubernur Oka menga- mankan sejumlah barang kerajinan di toko kese- nian di wilayah Kuta. Adakah soal cabul ini sebab- nya? Berita terakhir (Bali Post, 19 Maret 1996) se- orang pemerhati mode bernama Drs. Yohanes Djenar KE menilai, Bali identik dengan liburan jika melihat dari mode pakaiannya, yang dibuat dan dipasarkan di Bali. Konon, dalam sebuah 7 shirt ia temukan kata "Fuck You" yang kemudi- an menurut pandangannya sebaiknya diamankan. Penjelasannya, itu tak jauh bedanya dengan pa- tung-patung porno. Cerita lain lagi. Saya menjumpai sebuah pa- tung poselin berukuran patung hiasan meja di se- buah salon di Denpasar. Wujudnya kelamin pria. Pastilah salon itu lebih banyak dikunjungi ibu dan wanita, karena salon itu bukan salon (yang) pas untuk berbagai "kepentingan dan golongan". Apa yang terasa ketika melihat benda poselin telanjang itu? Ketika benda tersebut bergerak oleh mobilitas pemasaran, ia akan melalui pintu demi pintu. Memasuki ruang baca, ruang tidur, bah- kan ruang belajar anak-anak kita. Mungkin mi- grasi ke dalam resepsi psikologis, yang sulit menge- lak ketelanjangan, selalu menimbulkan bias penelanjangan serta memalukan, bahwa mungkin juga kenikmatan. Dengan demikian, kian begitu banyak kehidupan ini dengan kelamin. Kata ini mu- ngkin kurang senonoh dan membuat risi. Di sini kemudian, terasa betapa kata kelamin itu tadi perlu diperhalus dengan cara menggunakan gaya eufemis- me. Paling tidak agar menjadi lebih sopan. Tetapi bukankah eufemisme telah begitu me- mualkan, sebab masalah sosial sampai pada taraf kebejatan dan penyakit sosial diperhalus penguca- pannya? Bukankah eufemisme melanda kehidupan sehingga mengandung isyarat ketidakberanian me- lihat persoalan secara jujur dan telanjang? Akibat eufemisme, persoalan sosial yang sudah gawat menjadi masih dinyatakan ada dalam batas toler- ansi. Ia menjadi mendinginkan suasana hati yang sudah lama menanti pengadilan terhadap penyele- wengan misalnya. Ternyata eufemisme justru men- gamankan. Tetapi ketika berhadapan dengan pa- tung kelamin itu tadi kelatahan mengeufemisme- kan ternyata tak dilakukan. Mengeufemismekan patung kelamin menjadi samar dan sekadar asosiatif mungkin mengaman- kannya ini ditolak oleh pemikiran menempatkan kreativitas harus berani jujur sejujurnya. Dengan begitu seonggok kelamin bisa sah di sana. Pada hal, dalam membahasakan kelamin lewat bahasa komunikasi, kita bisa tak rela tanpa menawarkan eufemisme sebagai orang yang dianggap tahu eti- ka. Patung kelamin itu hanya salah satu persoalan dari kelamin yang lainnya, yang bisa lahir dalam wujud lainnya. Jika mau dikatakan cabul kemu- dian diadili dan diamankan, mungkin timbul pem- belaan. Atau pembelaan itu bisa bercerita panjang tentang barang kerajinan lainnya yang mungkin ada yang luput dari penilaian. Jikapun disahkan, kemungkinan pembelaan itu berdasarkan pende- katan estetis dan kreativitas. Tetapi entah bagaim- ana refleksi kita, mungkin perlu didengar ketika bicara soal kelamin, senantiasa ada sandungan untuk jangan, agar tak senonoh, lalu kita mencari ungkapan lain, yang persis, yang sudah ada. Jika bahasa keseharian menyadarkan hal itu, kemu- ngkinan bahasa kesenian punya refleksi sama. Dengan begitu nilai estetika kadang juga menam- pakkan nilai etikanya. Di sini mungkin patung kelamin itu mengalami sandungan, kemudian didakwa dan diadili, karena dianggap cabul atau porno. Urusan kelamin ternyata urusan orang modern juga walau mode pakaian menyemangati sifat kon- sumtif, toh masih juga menyusahkan yang telan- jang di depan mata kita. Tetapi sebaliknya, wa- laupun pakaian manusia purba serba minim dari kulit kayu, soal kelamin diteguhkan dengan eu- femisme. Konon jika bentuk Lingga-Yoni sebagai benda purbakala menyoal kelamin juga, kenapa Langka, Sineas Bervisi Luas ARTIKEL I Wayan Juniarta "Film Anak-anak belum tentu Sadis" (Bali Post 10/3) memberikan andil besar bagi kiprah kita untuk menyelami" dunia anak dalam kemasan tayangan (animasi dan film). Ada nuansa baru yang dialami oleh anak-anak Indonesia untuk menjauhkan kesan "keju- tan budaya" sehubungan dengan makin hiruk-pikuknya para pemanja mancanegara menyapa anak-anak. Optimisme yang menjauhkan anak-anak dari kontaminasi dipertegas oleh dua latar kontras. Pertama, analogi barat yang lebih mengedepan lewat teknologi tinggi. Di pi- hak lain, budaya ketimuran kita yang me- makai, di antaranya format wayang sebagai katup pengaman. Pada konteks demikian sah-sah saja. Karena di alam demokrasi tiap orang boleh berpendapat. Itulah dinamika yang selalu mencari bentuk. Ada nuansa lain, yang belum kita garap agar anak-anak dapat lebih meningkatkan imajinasi kreatifnya. Yaitu medium tempat mengasah proses kreatifnya harus jelas. Sebab, di mana pun di belahan bumi ini, anak-anak sebagai 'buah perut' selalu men- empati porsi utama dalam keluarga. Akhirn- ya pemanjaan terhadap anak - karena ter- lalu sayang sering menjadi bumerang. Perkembangan teknologi animasi dan film mampu menembus ruang serta waktu. Pada gilirannya akan memberi beragam pi- lihan bagi anak-anak. Tidak perlu disebut lagi luberan berbagai tayangan film dan an- imasi dari mancanegara ikut "menghibur" anak Indonesia. Hanya yang mengganjal di tengah upaya peningkatan daya khayal posi- tif anak belum kita temukan (?) sineas negeri awak berbakat yang mampu menyelami watak anak kita. Siapa yang salah? Maka di tengah semaraknya kita mem- berikan hiburan rohani yang mendidik per- lu adanya kesinambungan, khususnya un- tuk konteks penyajian hiburan melalui me- dia elektronik. Khasanah budaya kita tidak akan pernah habis untuk digali. Memang, memerlukan waktu dan proses yang layak untuk dapat tumbuh sebagaimana mestin- ya. Bila kita mampu memberikan sumbang- sih itu, merupakan sebuah lompatan besar bagi perkembangan "pemanjaan" hiburan anak. Bingkai Pemahaman Mungkin satu hal yang dapat dikemuka- kan dalam memberikan perhatian kepada anak yaitu bingkai pemahaman bahasa gam- bar. Sebab, selama ini anak-anak belum mampu menguraikan pesan dan kesan ter- pampang. Penyampaian pesan memang tidak seluruhnya dapat ditangkap anak-anak. Sebab, penyampaian pesan kepada anak: ibarat bejana tuang yang kalau diisi air, maka ada setetes dua tetes yang tersisa saat dituang ke tempat yang lain. Kemampuan anak-anak untuk mengar- tikulasikan dan terkesan apa adanya. Tidak lebih dari sekadar peniruan-peniruan yang monoton dan tidak produktif. Dalam corak dan warna yang lain: anak-anak akan melakukan "pembelotan dan peberonta- kan" karena monotoni yang terjadi belum mampu mengubah pandangannya terhadap anasir-anasir yang diciptakan. Bukti nyata dari sikap demikian adalah "tragedi" yang menimpa film boneka "Si mitos kepurbaan yang suka naif, telanjang dan penampilannya dianggap risi di mata orang mod- ern justru memperhalus menjadi demikian samar kelamin itu. Idealnya ini mesti didukung referen- si untuk menyatakan Lingga-Yoni ini lebih halus ketimbang sebuah guratan berbentuk vagina pada sebuah sarkopagus yang ada. Tapi toh juga gura- tan vagina itu masih mengandung asosiatif dan bias interpretasi. Misalnya mirip matahari. Kemudian jika diam-diam ada hubungan batin antara Lingga-Yoni dan Tugu Monas sebagai lam- bang Ibu Kota Jakarta, maka kembali alat vital yang menyentuh kesadaran pada vitalitas kehidu- pan pada Monas toh sebuah eufemisme juga. Jika ditegaskan berati ini juga menyoal hal kelamin. Ada rentang jarak demikian panjang antara Lingga-Yoni dan patung poselin kelamin yang saya temukan di sebuah salon tadi. Jarak sejarah dan jarak budaya. Kemudian mengandung ironis- me ketika mitos naif, sederhana, bahkan diang- gap kebodohan serta keterbelakangan budaya dan etika dikenakan terhadap manusia purba. Dalam bentuk Lingga-Yoni jika ukuran keterbelakangan etika jadi pendekatan maka manusia purba terasa lebih beretika ketimbang manusia modern yang menciptakan patung kelamin yang telanjang itu. Kita lantas bertanya; gejala apakah ini? Inikah yang disebut (perputaran rantai) waktu? Ketika kita merasa risi menonton orang Irian memakai koteka, ternyata kehidupan modern yang risi me- lihat manusia berkoteka lebih telanjang lagi. Dengan begitu, kehidupan kita ini penuh kelamin. Dari yang terang-terangan, telanjang hingga yang agak disamarkan. Ia memasuki ru- ang tidur, ruang baca, ruang belajar anak-anak kita. Wujudnya beragam konon dari telenovella hing- ga film yang diputar lewat video, dan digedung bioskop. Belum lagi novel selundupan hasil cetak alakadarnya serta foto-foto bugil yang memasuki stasiun dengan nyelinap di bawah tangan penjaja minuman. Agaknya ironisme menjadi-jadi, keti- ka kita benci eufemisme dalam kasus sosial, kini kita perlukan demi penghasilan cipta karya seni. Mungkin demikian banyak diperlukan alat kon- trol lainnya, jika Badan Sensor Film yang telah duduk dengan mata dipelototi menyensor film saja masih tak bebas dari film yang menyoal kelamin. Kini barang kesenian kena wabah juga. Atau kelamin dibuat mengikuti omongan si boneka Su- zan, "Agar (barangnya) laku". Nyoman Wirata Unyil". Pada awal-awal penayangan di TVRI, mampu menyihir pemirsa anak-anak. Dengan durasi tiga puluh menit, film bone- ka ini menimbulkan optimisme di tengah serbuan bentuk film dan animasi asing. Sa- ban Minggu sekitar pukul 10.00 WIB anak- anak kita tidak mau beranjak sedikit pun dari si layar kaca. Merkea benar-benar larut dalam lakon yang ditokohi Unyil, Usrok, Ucrit dan Pak Raden itu! Namun pelan tapi pasti seperti lampu teplok kekurangan minyak, film boneka yang mendidik ini "tewas" dari kungkun- gan penggemarnya. Idealisme yang telah dibangun dengan susah payah ini akhirnya harus minggir dari percaturan menghibur anak-anak. Maka sekarang mengaca dari "tragedi" ini kita perlu pemahaman dalam membingkai keterlibatan anak-anak sebagai tanggung jawab kita terhadapnya. Diperlukan kesabaran dan ketelatenan dalam menemukan bibit-bibit unggul para sineas dalam negeri yang concern terhadap pemenuhan hiburan yang mendidik bagi anak-anak. Pengayaan jenis hiburan yang stereotip (baca: hitam putih memang sela- ma ini memberikan kontribusi besar dalam menyemangati anak-anak menonton. Animasi Kita Hadirnya beberapa stasiun siar niaga menambah makin beragamnya anak-anak untuk memirsa berbagai tayangan. Pilihan tayangan yang ditawarkan memungkinkan anak-anak mengekspresikan daya khayalin- ya. Para anak makin dibebaskan untuk memirsa acara-acara kesukaannya. Pada kategori tayangan animasi, idola anak-anak terwakili seperti menyebut diri sehebat "Ksatria Baja Hitam". Animasi asing sudah begitu membudaya pada mereka. Jadi tidak- lah salah kalau mereka mengidolakan tokoh- tokoh rekaan sutradara kartun ini. Kemenangan yang dimiliki para sineas mancanegara ini adalah kemampuan mere- ka untuk menjelajahi pikiran pemirsanya. Daya khayali anak-anak dikembangkan sedemikian rupa, sehingga mereka tetap ngeh pada plot atau alur cerita yang diben- tuk. Anak-anak tidak akan mau meninggal- kan cerita yang tengah berlangsung apalagi sedang seru-serunya. Ditolong oleh peman- faatan teknologi yang optimal bahasa gam- bar makin menantang dan menarik. Nah! Lalu, di mana para sineas kita dapat ber- main? Atau kita hanya ingin mendompleng kesuksesan dari cerita atau lakon yang ten- gah digandrungi anak-anak tersebut? Semi- sal membuat kaos, stiker atau mengulasnya di media dengan tinta tebal? Untuk dua hal pertama itu pasti akal-akalan pebisnis den- gan motif ekonomi belaka. Sedangkan un- tuk ulasan di media itu memang perlu se- bagai rasa peduli kita dalam bentuk sharing information. Dari kegiatan ini akan muncul sebuah ataukah lebih alternatif dalam menjawbn- ya. Mengembangkan daya kreasinya untuk berkompetisi secara sehat dengan para sin- eas asing. Sementara teknologi animasi yang sudah demikian majunya, kita belum mam- pu juga menelorkan karya yang "menyihir". Kita pernah menjagokan film kartun "Si Huma" sebagai pesaing. Namun entah apa penyebabnya kartun produksi perdana ini tidak nongol lagi. Setidaknya kita tengah menunggu beraksinya "Si Ksatria" di ant- ara sebuah "Mighty Morphin Power Rang- ers" dan kawan-kawannya. Kita tidak perlu berkecil hati untuk melakukan penataan langkah antisipasi. Belum terlambat untuk memulai karya be- sar ini. Peningkatan kemampuan untuk cak- upan yang luas ini belum cukup hanya peng- galian ide-ide. Kerja keras memang mutlak untuk tugas mahaberat ini. Apa yang perlu kita wariskan adalah sebuah sumbangsih bagi kelangsungan generasi ini. Menyajikan hiburan yang bermutu bagi anak memang memerlukan ketelitian dan kesabaran. Sabar untuk tidak cepat puas diri dalam tiap menyelesaikan satu termin. Sikap ini akan menjauhkan kita dari kesan arogan. Untuk menyikapi hal ini yang diperlu- kan adalah tangan-tangan dingin yang mau mencelupkan jiwa artistiknya dalam format: film dan animasi. Para sineas yang diperlu- kan adalah mereka yang mampu mengem- bangkan sikap pengejawantahan budaya ketimuran. Tanpa mengurangi arti yang telah ditanamkan, kebutuhan akan sineas bervisi luas ini mendesak. D N Darma Suarsana Mingg Gd DE menga kujarin ikan k dibuan selalu dengar air ma menye ke pul ke pul ke pul tempa mulai dan la mengg denga h sepasu sepasu masin mung derma menyi di atas menga buih d biar b kesedi memb di atas Lelaki Itu Cerpen Odi Shalahuddin SENJA baru saja turun. Mobil yang kutum- pangi hampir memasuki pintu gerbang sebuah perumahan elite di selatan kota. perumahan yang berada di daerah perbukitan dengan se- buah danau buatan yang indah di tengahnya. Ketiga cucuku masih saja ribut di kursi be- lakang. Anik, anak sulungku sekaligus ibu mereka, tidak berhenti berkicau mencoba me- nenangkan anak-anaknya. Justru menambah ra- mai. Sumpek juga kepala. Aku menyandarkan tubuh dengan kedua tan- gan di belakang menopang kepala. Ah, lelah *sekali aku. Fisikku sudah tidak kuat. Baru re- kreasi ke sebuah lereng gunung dan menaiki bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi, napas sudah terasa sesak. Sudah tua aku. Tidak tera- sa perjalanan waktu. Pandangan mata ke depan. Tiba-tiba aku terkejut. Seorang lelaki berpakaian hitam-hi- tam berdiri di tengah jalan dengan sebuah pedang yang berkilau tergenggam erat. Wajah- nya tampak kukuh. Sorot matanya tajam men- garah padaku seakan menyimpan dendam. Aku menjadi tegang. Sosok itu semakin dekat. ran. "Jaus, menghindar!" teriakku. "Ada apa, Pak?" tanyanya dengan nada he- "Cepat menghindar!" Bentakku, lalu den- gan cepat tanganku memegang setir dan mem- belokkan ke kiri. Namun masih jelas kulihat lelaki itu tidak berusaha menghindar bahkan tersenyum. Mobil membentur tubuhnya. Jaus mengerem mobil. Keringatku deras mengalir. Aku menoleh ke belakang. Lelaki itu masih tegak berdiri. Sorot matanya masih tajam. Ia tersenyum lagi seakan mengejekku. Ah, rasa- rasanya wajahnya pernah kukenal. "Ada apa, Pak," Jaus dan Anik hampir ber- samaan bertanya padaku. "Lelaki itu," jawabku pendek. "Siapa, Pak?" tanya Anik. "Mobil kita menabrak seseorang." Kulihat Anik dan Jaus saling berpandangan. "Lelaki itu, di belakang kita," kataku sam- bil menoleh dan menunjuk arah dengan jari. Tidak ada siapa-siapa. "Bapak letih, istirahatlah," kata Anik. Aku tetap menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Sesekali mobil-mobil lewat. Teruskan Jaus," Anik memberikan perin- tah ke Jaus. Mobil kembali berjalan. Tapi pikiranku masih lekat saja pada orang tadi. Rasa-rasan- ya kenal. Tapi, siapa? Aku melihatnya, men- gapa Jaus dan Anik tidak? Sampai di rumah, aku langsung masuk ka- mar. Duduk di pinggiran tempat tidur, aku mencoba mengobrak-abrik berjuta memori di kepalaku. Samar. Samar. Perlahan kutemukan satu memori. Kufokuskan pikiran. Deg! Jan- tungku terasa mau berhenti. Ya, lelaki itu. Le- laki itu! Lelaki itu? "Tidak mungkin," desisku pelan. "Tapi aku tidak melihat apa-apa. Itu hanya ilusi yang muncul di luar kesadaran. Tidak. Aku tidak melihat apa-apa. Seperti Jaus dan Anik. Lelaki itu telah mati. Telah mati!" Aku mencoba me- nenangkan diri. Tapi masih saja ada pikiran lain. "Kau telah melihatnya! Sungguh ia telah hadir lagi. Ia belum mati. Ia mencarimu! Ia akan selalu mencarimu! Bersiap-siaplah...!!!" "Tidaaaaakkk!!!!!" aku berteriak spontan. Anik masuk ke kamarku dengan tergesa. Wa- jahnya kelihatan khawatir. "Ada apa, Pak?" "Oh, tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa. Bapak hanya letih." "Istirahatlah, Pak," kata Anik sambil mem- baringkanku di tempat tidur. Ia lalu menye- limuti tubuhku. "Saya ambilkan minum, Pak." **** FILM telah diputar, Aku menonton kemba- li kejadian sekitar lima belas tahun yang lalu. Waktu itu, kami asyik berbincang-bincang sambil menyusuri jalan tanah berbatu setelah usai pertemuan dengan warga di balik bukit itu. Berjalan bersamaku, pejabat propinsi, pejabat setempat, aparat keamanan, dan tiga orang kawanku. berhasil menyembunyikan itu semua meski dada terus bergemuruh, dengan menunjukkan wajah yang wajar. Seolah persetujuan rakyat tadi bukan hal yang luar biasa. Inilah profe- sionalisme! "Kawasan ini pasti akan tumbuh dengan pe- sat," komentarku yang disambut anggukan ser- empak. Matahari kian meninggi. Keringat dipaksa untuk keluar dengan cepat. Pada saat itu mata kami terpaku pada sesosok lelaki berpakaian hitam-hitam menghadang jalan. Di tangannya sebuah pedang tergenggam erat tersampir ham- pir mengenai tanah. Ketika tangan digerakkan, cahaya memantul dari pedang tersebut. Kami menghentikan langkah. Gelak tawa sangat lepas tanpa beban. Masalah-masalah yang selama ini menumpuk "Kalian!" teriaknya sambil mengarahkan di kepala, musnah. Hal ini berkaitan dengan pedang ke arah kami. "Adalah orang-orang warga di balik bukit itu yang selama ini ngotot terkutuk! Kalian telah mengelabui rakyat demi tidak mau melepaskan tanah mereka. Perte- atas nama-nama yang menggoyahkan jiwa muan yang baru saja terjadi, menjadikan se- kami." muanya cair. Warga dengan sukarela menyer- Kami saling berpandangan. Aku mencoba ahkan tanahnya. Ini dikuatkan dengan tanda berinisiatif. "Maaf, Pak, Bapak salah paham. tangan yang mereka bubuhkan pada surat pern- Ada apa sebenarnya?" yataan yang kini terselip di mapku yang diba- "Bangsat kalian!" Matanya mengarah wa oleh Amir, kawanku. Benar-benar mereka padaku. Merah. Seakan hendak membakar tu- warga yang baik. Warga yang mau memahami buhku. Aku sedikit gemetar. Namun aku beru- arti pembangunan dan arti pengorbanan. Ka- saha untuk bersikap tenang. "Kalian telah lau kau tidak setuju dan mempunyai prasang- menipu kami! Merampas tanah kami! Semua ka-prasangka buruk terhadapku, boleh-boleh itu untuk kepentingan kalian!" saja. Tapi harus dibuktikan. Bukan sekadar "Bapak salah paham," kataku tetap beru- tuduhan membabi-buta. Bukankah kita sudah saha memperlihatkan ketenangan. saling mengerti bahwa masing-masing punya "Bangsat kalian!" pedang telah terangkat rahasia? dan ia berlari ke arahku siap menjagal tubuh- Terus-terang aku teramat gembira. Ingin ku. Keringat dingin mengucur deras tiba-tiba. rasanya aku melonjak-lonjak kegirangan sep- Belum sampai ia menjalankan niatnya, terden- erti anak kecil. Setelah enam bulan tenaga dan gar letusan pistol tiga kali. Ia diam, matanya pikiran terkuras, hasil yang didapatkan cukup memandang ke arah kami. Sorot matanya penuh memuaskan. Terbayang di kepala, sebuah ru- dendam. Lalu ambruk. Kami semua tertegun. mah lengkap dengan isinya dan sebuah mobil "Biar kami urus, tidak akan ada yang yang cukup mewah buatku. Seperti yang dijan- mendapat masalah," kata sesorang. "Bapak- jikan big boss. Lain dari itu, ini prestasi besar bapak silahkan melanjutkan perjalanan. dan awal karier yang baik. Tugas berat yang Aku menyempatkan diri melihat lelaki yang kusandang, berhasil kulaksanakan dengan terkapar itu. Dadaku terasa sesak. gemilang. Wow...Siapa tak gembira? Istriku kuyakin akan teramat bahagia mendengar ka- bar ini. Tetapi aku masih bisa menahan diri. TUBUHKU panas, namun kurasakan din- Aku tidak melonjak-lonjak kegirangan. Aku gin yang menusuk. Pandangan mata tersamar. **** Berbaring tidak lagi menjadi hal yang meny- enangkan. "Aku telah hadir. Aku mencarimu! Lima be- las tahun aku memberi kesempatan. Kini tibal- ah saatnya menuntut balas! Bersiaplah...!!!" Suara lelaki itu seakan dekat dengan telin- gaku. Tubuhku makin menggigil. Gemetaran. Ketakutan. Kupandangi sekeliling kamar ini. Sangat samar. Tak berjumpa sebuah sosok pan- dangan mataku. Terdengar tawa terkekeh-kekeh. "Kau takut? Kau takut?" Sebuah suara di tengah tawa. Aku berteriak-teriak memanggil seluruh penghuni rumah ini. Bajingan! Ke mana mere- ka saat dibutuhkan? "Tidak akan ada yang mendengar suaramu. Ha...ha...ha...ha..," sebuah sosok lantas hadir. Lelaki itu! Dengan pedang terhunus. Sorot matanya tajam memvonis. Perlahan ia melangkah sampai ujung pedang berada di leher. Keringat dingin mengalir de- ras. "Maafkan aku, maafkan aku. Bukan aku yang membunuhmu," aku mencoba berkata. Ia tersenyum. "Pembunuhan yang telah kau lakukan lebih daripada seorang pembunuh ber- darah dingin. Kau membunuh dengan senyum. Tidak dengan pedang terhunus. Tapi kertas-ker- tas kerjamu. Ratusan orang telah mati dalam kehidupan. Mati dengan napas yang masih mengalir. Menyusuri jalan-jalan yang tak ten- tu arah. Aku hanyalah salah satu korbanmu! Bersiaplah kau!" Ujung pedangnya menembus leherku. Aku mencoba berteriak sekuat tenaga, merintih ke- sakitan, darah membasahi sprei, menggelepar, terkapar. **** "ENTAH mengapa? Bapak mengigau terus sejak sore tadi." Kudengar suara Anik. Aku tak mampu menanggapinya. Lelaki itu masih ada di depanku dengan pedangnya memainkan dag- ing dan tulang-tulangku. Imogiri, 5 Juli 1995 M S A M b