Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1996-10-08
Halaman: 07

Konten


4cm er 1996 Selasa Umanis, 8 Oktober 1996 and Tar- ya dalam kili Par- menjabat 5 pimpi- awalnya ia yakin gai seor- na, Fidel Bangsa- mukuman an pihak ia meny- ang akan mitia Ter- mbelanja ang anak elah me- am Ten- kabar itu tak dike- luar dan inya li ke meja m pember- Han pelang- mistan. menegaskan akan mem- ter kepada tum, yang agian besar agian utara. kan bahwa an adalah anda konf- bertahun- khawatiran iliter yang ib. CIS, berop- sisi, yang h Afghani- uk pemerin- an dan Af- ch pasukan besar dari nuh Diri aga paling ribuan tent- Derkuat per- ta Kilinoch- - yang dice- -jalan utama nel angkatan tempat-tem- un lebih ban- i kota itu hari pemeriksaan an memerik- luarkan leb- Dar pria dan gai setelah edakan bom olombo Jan- stiwa itu, 91 n ekstra ket- icu oleh ke- arat Sri Lan- h terjadi ben- menewaskan ak 700 pem- bat.(ant/afp) ΤΑ Harian untuk Umum Bali Post Pengemban Pengamal Pancasila Terbit Sejak 16 Agustus 1948 Tajuk Rencana Mencegah Ketidakpuasan Menjadi Kebencian Yang sering menjadi pemicu rasa kurang puas dalam masyarakat adalah belum terwu- judnya pemerataan dan keadilan. Namun menurut Presiden, ketidakpuasan semacam itu adalah hal yang wajar. Rasa tidak puas dapat menjadi positif apabila digunakan se- bagai pendorong timbulnya semangat kerja keras dan memperbaiki yang kurang. Ketidakpuasan akan menjadi negatif apabila dijadikan sumber menghembuskan kecem- buruan dan kebencian. Bali Post Bumerang di Balik Pertumbuhan Produksi MENJELANG akhir abad ke-20, masyarakat perekonomian global tengah "mabuk" liberalisasi, yakni penerapan sistem ekonomi pasar bebas. Forum- forum kerja sama ekonomi regional dan global dibentuk, entah itu bernama APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), EC (European Community), NAFTA (North America Free Trade Area), AFTA (ASEAN Free Trade Area) hingga yang paling besar, yakni WTO (World Trade Organization). Di samping kecenderungan gionalisasi dan globalisasi perda- gangan yang diidealkan ber- hubungan sinergis antara keduan- abad ini diberi roh oleh revolusi teknologi informasi (lihat John Naisbitt, "Global Paradox dan Megatrends Asia, 1996"). Karena sumber daya potensialnya yang dahsyat, kawasan Asia Timur (ter- istimewa Cina) diyakini Naisbitt sebagai wilayah yang akan tumbuh secara cepat dan menjadi kekuatan ekonomi global yang menyamai kapasitas ekonomi Jepang dan AS. PRESIDEN Soeharto menegaskan bahwa lan. Ketidakpuasan karena alasan ini masih tidak ada tempat bagi rasa tidak puas yang belum bersifat patologis mengingat masih dituangkan menjadi kecemburuan, kebencian terdapat harapan akan pencapaian yang lebih serta hasutan yang dapat membahayakan baik dan perbaikan pada masa depan. Kalau masyarakat, bangsa dan negara. Pendirian saat ini kita belum mampu membangun dan dasar semacam itu, demikian Presiden dalam menciptakan pemerataan dan keadilan, pada peringatan HUT ke-51 ABRI, dianut semua masa mendatang kita masih mempunyai negara di dunia. harapan untuk mewujudkannya. Namun kita sadar, harapan semacam itu menuntut adan- ya pertanda-pertanda perbaikan. Kebelum- berhasilan berkepanjangan dan tidak adan-ya-revolusi ekonomi terbesar ya pertanda perbaikan, akhirnya akan men- gubah ketidakpuasan itu menjadi patologis. Ketidakpuasan akan tetap bersifat nonpa- tologis sejauh masyarakat menyadari bahwa kegagalan yang mereka hadapi timbul aki- bat adanya hambatan-hambatan real dan rasional. Kegagalan itu muncul akibat kondi- si, bukan akibat kesalahan kebijakan. Keg- agalan akibat kesalahan kebijakan, apalagi apabila dijalankan tanpa transparansi, oleh masyarakat akan dirasakan sebagai sumber ketidakpuasan yang jauh lebih intens daripa- da kegagalan biasa. Kegagalan semacam ini memiliki peluang untuk memunculkan ketidakpuasan patologis dalam masyarakat. Ketidakpuasan paling intens muncul dari kegagalan yang dibarengi kesan-kesan ke- sengajaan. Kesenjangan sosial-politik yang selama ini dirasakan masyarakat akan men- jadi jauh lebih kental lagi apabila muncul ke- san bahwa kesenjangan semacam itu meru- pakan akibat logis dan praktis dari kebijakan yang berlaku. Dengan munculnya kesan semacam itu, pupuslah sudah harapan akan adanya keberhasilan, perbaikan dan penca- paian tujuan di belakang hari. Dalam kondisi semacam inilah ketidakpuasan menjadi amat berbahaya. Proses pembangunan kita masih berjalan dan akan berjalan terus sambil membawa harapan-harapan masa depan yang lebih baik dalam benak masyarakat. Di sisi lain, pem- bangunan kita masih belum berhasil mewu- judkan pemerataan dan keadilan sepenuh- nya. Masih terdapat jurang pemisah sosial ekonomi dalam masyarakat di samping prak- tik-praktik ketidakadilan di banyak bidang kehidupan. Kita dihadapkan pada sebuah masalah real yang mau tak mau harus kita hadapi dan kita temukan solusinya. Mence- gah ketidakpuasan agar tidak berkembang menjadi kebencian tampaknya merupakan salah satu kiat yang harus kita terapkan, sep- erti yang dikemukakan Presiden. Kita sepenuhnya mendukung pokok piki- ran tersebut bahwa ketidakpuasan merupa- kan hal yang wajar dalam tiap masyarakat. Kita pun setuju bahwa sikap tidak memberi- kan tempat atau kesempatan kepada upaya mengembangkan ketidakpuasan menjadi kecemburuan dan kebencian merupakan pendirian dasar yang dianut negara mana pun. Siapa pun sependapat bahwa kecem- buruan dan kebencian hanya akan mem- bahayakan dan menghancurkan masyarakat, bangsa dan negara. Dari kesadaran yang sama itulah kita menerima penegasan Pres- iden Soeharto sepenuhnya. Mencegah ketidakpuasan agar tidak men- jadi kecemburuan dan kebencian, memerlu- kan lebih dari sekadar menekan perasaan itu dan tidak memberi kesempatan terhadap upaya untuk memicunya. Dari sejak awal bangsa kita sudah harus menyadari intensi- tas ketidakpuasan itu sambil menemukan penyebab yang mendasarinya. Hanya den- gan menemukan penyebab tersebut, baru- lah kita bisa mencari solusi yang rasional dan operasional lebih dari sekadar represif dan opresif. Untuk itu, kita memerlukan sikap moral yang kuat, perencanaan kebija yang lebih transparan, pelaksanaan yang leb- ih terbuka, dan kerendahan hati untuk ber- sedia menerima kritik. Kegagalan yang dilan- dasi sifat semacam itu amat kecil kemungki- nannya bisa memicu kecemburuan dan ke- Rasa ketidakpuasan yang timbul dalam masyarakat bisa muncul dari beberapa penyebab. Kegagalan atau kekurangberhasi- lan pembangunan mencapai tujuan secara penuh dapat menumbuhkembangkan rasa ketidakpuasan. Hal ini juga ditegaskan Pres- iden melalui penjelasannya bahwa sumber rasa tidak puas dalam masyarakat adalah belum terwujudnya pemerataan dan keadi- bencian masyarakat. Terapi Sosial: Sebuah Keharusan BAGI masyarakat umumnya, terapi seni boleh jadi masih barang langka. Namun di negara-negara maju, Amerika Serikat misal- nya, model ini sudah lama dan banyak diter- apkan orang. Menurut Nancy Clingan, kura- tor Galeri Seniwati Ubud, cara pengobatan ini tidak hanya diterapkan pada orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan, tetapi juga kelompok manusia yang cenderung menghadapi persoalan hidup cukup intens seperti kalangan manula, tuna wisma, orang tahanan, pasien biasa dan penderita cacat. Dalam kaitan itulah kita ingin memberi catatan terhadap pameran lukisan karya sejumlah pasien Rumah Sakit Jiwa Bangli yang sekarang ini berlangsung di Galeri Seni- wati Ubud. Penggunaan kegiatan seni, sebagai tera- pi beranjak dari pemikiran bahwa ekspresi kreatif jauh lebih bermakna daripada penjela- san dalam bentuk verbal. Ekspresi kreatif bukan saja lebih efektif, tetapi juga lebih mam- pu menyentuh permasalahan dasarnya. Dalam praktiknya terhadap pasien RSJ Ban- gli, terapis darí AS, Nancy Clingan, meng- gunakan dua langkah awal, yaitu meditasi dan yoga. Melalui meditasi, pasien diajak membayangkan sesuatu yang indah, tenang, membahagiakan, sejuk. Imajinasi atau bay- angan yang muncul kemudian diingat den- gan baik untuk dijadikan objek lukisan. Sete- lah meditasi dan yoga, pasien diminta me- lukiskan bayangan yang muncul dalam benak mereka dan yang berhasil mereka ingat den- gan baik. Kalau meditasi dimaksudkan untuk menumbuhkan perasaan bahagia, tenang, sejuk, dan itu bisa berfungsi sebagai penghi- lang stres, ketakutan, kesepian atau kege- lisahan, yoga dimaksudkan untuk memban- tu memperkuat konsentrasi dan meningkat- kan kebugaran jasmani. Melalui kegiatan kreatif dalam bidang ke- senian itu, pasien dapat memperoleh kembali apa yang sebelumnya hilang, semacam ke- banggaan, harga diri, kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri. Setelah melihat ha- sil karyanya, perasaan-perasaan mereka semacam itu bisa muncul kembali. Mereka bangga karena telah berhasil menciptakan sesuatu, selanjutnya kebanggaan itu akan memulihkan rasa kepercayaan diri yang se- belumnya telah hilang. an Ada pengalaman unik yang ditemui Nan- cy Clingan selama menjalankan tugasnya itu. Pernah seorang pasien membuat lukisan mobil mogok di jalan di lingkungan terbuka. Ketika ditanya mengapa dia membuat lukisan demikian, sí pasien menjelaskan mobil mog- ok itulah dirinya. Hidupnya saat itu tengah "mogok". Bukan hanya perawat atau guru bisa mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi pada diri pasien, tetapi pasien juga mengetahui dan menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Dia mengetahui tentang dirin- ya dan kemudian bisa atau berani men- gungkapkannya kepada orang lain. Terdapat perubahan perasaan yang amat penting dalam diri pasien jika mereka mera- sa berhasil mengerjakan karya lukisan. Rasa murung hilang digantikan rasa bangga dan bahagia. Rasa rendah diri yang sebelumnya membuat dirinya tertutup berubah menjadi kreatif dan penuh inisiatif. Bahkan, setelah itu, dia dengan giat mendorong teman-teman- nya turut melakukan kegiatan kreatif seni seperti yang telah dia lakukan. Terapi seni tampaknya juga merupakan sebuah peluang bagi kita untuk mengatasi banyak masalah sosial. Masyarakat mengal- ami masalah, dan kemudian bermasalah, karena adanya kesenjangan kehidupan yang menyebabkan hilangnya kebanggaan, keper- cayaan pada diri sendiri, serta nuansa-nuan- sa hidup yang membahagiakan. Kesenjan- gan ekonomi tidak hanya menimbulkan rasa iri, tetapi juga menghapuskan naluri-naluri kebaikan manusia, semacam kepercayaan pada orang lain, keadilan dan keyakinan bah- wa yang baiklah yang akan menang. Praktik ketidakadilan dalam masyarakat membuat rakyat kecil kehilangan keseimbangan kepri- badian, cita-cita kebaikan dan harapan masa depan yang lebih baik. Sampai batas terten- tu mereka menjadi kelompok bermasalah, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap warga masyarakat yang lain. Untuk menghadapi kenyataan itu, terapi seni harus diperluas menjadi sebuah terapi sosial. Tiap anggota masyarakat kita mem- peroleh kesempatan untuk mengekspresikan diri, membayangkan dan kemudian memben- tuk gambaran keindahan hidup yang pada akhirnya diaktualisasikan dalam kehidupan real sehari-hari. Tanpa kesempatan dan jam- Mula-mula para pasien diminta melakukan inan kesempatan semacam itu, masyarakat meditasi dan yoga. Mereka didorong untuk kita akan "mogok" sebagaimana pengalaman menemukan kembali motivasi diri melalui pasien yang melukis mobil mogok tadi. penciptaan perasaan tenang, aman, senang, Masyarakat yang mogok tentu tidak akan kebersamaan. Rasa kebersamaan itu amat menghasilkan sebuah bangsa yang besar, penting mengingat terapi itu bisa diterapkan berpribadi dan berjiwa luhur, karena mereka terhadap pasien secara individual maupun tak putus dirundung persoalan internal dalam berkelompok. Namun, satu hal yang penting hidup mereka. Dalam situasi masyarakat yang makin adalah melalui langkah itu perasaan negatif seperti kebosanan dan kekhawatiran dapat patologis, rasanya sebuah terapi sosial baru amat kita perlukan. tertepis. Surat Pembaca Globalized economy, terhapus- nya hambatan-hambatan tarif dan nontarif, serta perubahan besar-be- saran di bidang teknologi informa- si; merupakan highway menuju peningkatan kapasitas perekono- mian global, akselerasi perdagan- gan internasional, dan distribusi satuan-satuan manfaat (utility) yang lebih besar kepada seluruh peng- huni planet bumi. Meningkatnya kapasitas produksi serta makin tingginya mobilitas barang dan jasa, akan membuka jalan bagi pen- ingkatan konsumsi. Mereka yang optimistik dengan era liberalisasi ekonomi akan menyebut tahapan tersebut sebagai zaman konsumsi masal (mass consumption era)- sesuai kategorisasi Stages of Growth karya W.W. Rostow- yang menandai kematangan masyarakat industri global. Era itu identik dengan zaman kemakmu- ran yang telah diidamkan sejak lama, setidaknya sejak Adab Smith menelorkan karya besarnya, "The Wealth of Nation (1776)". Kesalahan Terminologi Willem Hogendijk ("Revolusi Ekonomi" (terj. 1996) menunjuk- kan kesalahan fatal mengenai ter- minologi "pertumbuhan eko- nomi". Menurut Hogendijk, "per- tumbuhan ekonomi" seperti yang dinomorsatukan oleh kebanyakan rezim adalah pertumbuhan produk- si. Sebab perekonomian sesunggu- hnya tidak sedang berkembang, karena barang-barang sumber daya yang langka di muka bumi ini kian menyusut. Pertumbuhan ekonomi hanya terjadi apabila kita berhasil memenuhi lebih banyak kebutuhan dengan ketersediaan barang lang- ka yang sama dengan sebelumnya. Oleh sebab itu, mungkin saja pr- tumbuhan produksi meningkat, na- mun pertumbuhan ekonomi justru menurun. Di titik inilah konsep per- tumbuhan (produksi) berkelanju- tan terjebak dalam jaring nihilisme. Mengutip Daly, Hogendijk me- negaskan bahwa pertumbuhan ad- alah suatu penyimpangan dan bu- kan suatu norma (ibid: hal. 100). Pembangunan bisa berlangsung tanpa pertumbuhan, dan ken- Oleh Indra yataannya, lebih mungkin di bawah kondisi ekonomi yang man- tap daripada di bawah suatu ekonomi pertumbuhan. hingga sekarang. Hingga kini, perhitungan per- tumbuhan ekonomi statistikal agre- gat tidak memasukkan aktivitas non-pasar sebagai variabel signifi- kan. Termasuk di antara variabel- variabel yang diabaikan tersebut antara lain sektor kerumahtanggaan dan ekonomi informal atau meminjam istilah Hans Dieter Ever "underground economy". Padahal di banyak negara sedang berkembang, sektor informal ter- bukti mengkontribusi lowongan pekerjaan bagi 70 persen angkatan kerja (lihat misalnya Abdul Hamid dan Didik J. Rachbini, "Ekonomi Informal Perkotaan, 1994"). Menjelang era globalisasi, per- hitungan-perhitungan statistika agregat seperti GNP dan GDP menjadi parameter penting yang dipandang mampu menjelaskan banyak hal. Pertumbuhan GNP dan GDP negara-negara Asia Pas- Ismawan ifik menjadi dasar alasan optimis- me banyak pihak mengenai per- tumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Padahal GNP dan GDP bukan satuan-satuan hitungan yang sempurna dalam arti mencer- minkan tingkat pertumbuhan ekonomi real. Perhitungan GNP dan GDP mengesampingkan biaya eksternalitas, biaya sosial dan biaya masa depan. Faktor kerusakan lingkungan dan degradasi kualitas kesehatan diabaikan. Padahal penyusutan kualitas lingkungan sangat berpengaruh terhadap ke- langsungan produksi itu sendiri, dalam jangka yang lebih panjang. Seorang ekonom kawakan asal Pakistan, Mahbub Ul-Haq, juga menyesali dukungannya terhadap hegemoni pembangunan ekonomi yang berparadigma pertumbuhan (the Poverty Curtain, Columbia University Press, 1976). Di samp- ing tidak menawarkan solusi bagi problema pemerataan, growth ori- ented strategy menimbulkan masalah dalam hal kualitas lingkungan hidup, penguatan sta- tus quo dan pemeliharaan politik massa mengambang. Sekalipun penyesalan Ul-Haq dilakukan jauh "Sistem Uang sebelum Uruguay Round menca- harus Tumbuh" pai kata sepakat, namun apa yang Willem Hogendijk mengibarat- diperingatkannya tetap relevan kan bumi saat ini sebuah kereta yang tengah Kencang melaju menu- ju jurang. Ketersediaan sumber daya yang kian menipis sepertinya tak bisa dikompensasikan atau diperbarui (unrenewable). Aktivi- tas produksi masal telah membuat biaya eksternalitas demikian mem- bengkak. Pertumbuhan produksi yang seakan tanpa batas, berawal dari sebuah rasionalitas yang ditanam- kan erat-erat sejak manusia menge- nal ilmu ekonomi. Dalil "optimal- isasi hasil dengan biaya minimal" dipraktikkan oleh bermilyar-milyar manusia, sehingga membentuk persepsi dan tindakan secara masal. Kenyataannya, mereka tidak mem- inimalisasi biaya, melainkan mem- bebankan rekening tagihan biaya eksternalitas kepada generasi manusia berikutnya. Hogendijk juga mengkritik fungsi uang yang telah berkem- bang jauh dari era klasik, neoklasik dan keyenesian. Uang tak lagi se- bagai alat tukar, medium penim- bunan kekayaan, ataupun alat spe- kulasi. Uang, bukan kesejahteraan real, telah menjadi motivator produksi yang paling utama. Sistem moneter yang ditandai den- gan adanya interest rate alias biaya modal, telah mengejar-ngejar begi- tu banyak pihak untuk menyalakan cerobong asap pabrik. Hegendijk menyebut sistem moneter kita sebagai sistem "uang harus tumbuh". Tingkat bunga bank tidak memberi kesempatan bagi manusia untuk mempedulikan hal lain di samping optimalisasi output. Manusia berproduksi den- gan uang pinjaman yang memiliki "biaya sewa" (baca: suku bunga), yang dapat dihitung tiap satuan detik. Akumulasi interest rate itu- lah yang jadi imajinasi begitu mengerikan, sehingga para pen- gusaha selalu mengoptimalisasi produksi kendatipun dengan biaya eksternalitas yang tinggi. Tak cuma pemodal yang menuntut faktor produksi untuk bekerja maksimal. Pihak pekerja pun mengharapkan proyek investa- si yang makin banyak, sehingga mereka mendapatkan variasi pili - (Bersambung ke Hal 15 Kol 3) Beberapa Catatan Seputar RUU Pangan RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Pangan yang akan disahkan tanggal 14 Oktober 1996 mendatang, pada dasarnya lebih menekankan kepada aspek pengamanan konsumen dari dampak negatif karena mengkonsumsi produk makanan. Sebanyak 40 dari 62 pasal yang digodok dalam RUU tersebut membicarakan masalah keamanan pangan. Mengomentari RUU pangan tersebut, ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi. Pertama, RUU Pangan lebih menekankan kepada aspek keamanan konsumen sehingga tidak memberi eksepsi (pengecualian) kepada produsen pangan skala kecil yang notabene banyak bertebaran di Tanah Air. Oleh sebab itu upaya me- masyarakatkan perundangan ten- tang pangan tersebut perlu dilaku- kan secara tuntas dan menyeluruh, sehingga menyentuh semua lapisan masyarakat. Khususnya terhadap industri kecil yang memproduksi makanan rakyat. Kedua, ancaman sanksi men- jadi kekuatan di balik perundangan ini. Hal ini makin menguatkan le- gitimasi pendekatan reward and punnishment untuk dalam proses penyelesaian problema yang ber- sangkutan dengan kepentingan publik. Penting untuk ditekankan bahwa dalam perspektif peren- canaan jangka panjang, diperlukan agenda penyadaran bagi segenap masyarakat khususnya dalam konteks keamanan pangan-agar kepatuhan kepada hukum tak se- mata-mata dideterminasi oleh ket- akutan menghadapi sanksi, akan tetapi lebih didorong oleh iktikad baik demi tegaknya hukum dan ke- pentingan kolektif. ga membutuhkan advokasi lebih lanjut dari para wakil rakyat di DPR dalam bentuk produk perun- dangan. Latar Belakang Lahimya RUU Pangan tampa- knya dilatarbelakangi berbagai ka- sus dalam konsumsi pangan yang membahayakan jiwa konsumen. Beberapa waktu lalu, kita sempat terkejut karena munculnya kasus biskuit beracun, mie instant bera- cun, serta ditemukannya kandun- maka si pelanggar dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 10 tahun ditambah denda maksimal Rp 500 juta. Sanksi pidana tak han- ya menyangkut individu yang menjadi penyebab, melainkan juga pengusaha besar, pihak manaje- men, atau distributor yang terbukti melakukan kelalaian sehingga membahayakan jiwa konsumen. Hukuman pidana juga diberikan kepada perusahaan yang tidak mencantumkan bahan berbahaya pada label kemasan dan tanggal Oleh Yunanto gan boraks dan formalin dalam kedaluwarsa. bakso. Tiga kasus tersebut merupa- Sebenarnya RUU Pangan kita kan peristiwa yang paling populer ini belum memadai untuk mewada- dan menjangkau banyak kalangan hi kepentingan konsumen yang masyarakat dan membentuk pub- lain di samping aspek keamanan lic opinion tersendiri. (safety) dalam hal konsumsi bahan pangan. Satu aspek yang barangka- li cenderung dilupakan adalah ke- mungkinan penentuan harga produk pangan yang tidak fair (un- fair pricing). Dalam berbagai ko- moditi pangan- -khususnya yang dijual di pasar modern cen- derung menerapkan model penen- tuan harga yang mengeliminisasi proses tawar-menawar. Kasus produk makanan yang beracun memiliki efek yang pan- jang, berupa pshychological shock, yang mempengaruhi penjualan komoditi yang bersangkutan secara drastis. Setelah kasus biskuit bera- cun terungkap ke permukaan, produk-produk biskuit atau produk lain yang berkaitan yang peng- gunaan bahan terigu; cenderung dihindari konsumen. Pada banyak lapisan masyarakat terjadi kebin- gungan karena informasi yang sim- pang-siur. Demikian pula ketika kasus mie instant beracun dan "bakso bermasalah" mencuat se- bagai buah bibir. Ketika kasus-kasus di atas men- Ketiga, tampaknya penggodo- kan RUU Pangan kita yang terdiri atas 62 pasal tersebut merupakan starting point bagi produk-produk perundangan yang lain yang lebih memberikan unsur safety kepada cuat ke permukaan, produk hukum konsumen. Tak hanya dalam yang ada belum memadai untuk produk makanan, melainkan juga menyeret pihak-pihak yang paling dalam produk-produk lainnya sep- bertanggung jawab. Lembaga per- erti perumahan, pakaian, dan oto- adilan kesulitan membuktikan ke- motif. Di samping itu, sesungguh- salahan tertuduh (misalnya produs- nya juga diperlukan UU perlind- en yang diseret ke meja hijau) kare- ungan konsumen yang kompre- na ketiadaan landasan hukum yang hensif yang di dalamnya tercakup jelas dan kuat. Inilah yang menja- masalah pricing (penentuan harga) di faktor pendorong utama di ba oleh produsen yang acap kali tidak lik penggodokan RUU Pangan fair. Komoditi tertentu yang distri- tahun 1996 ini. businya tidak mengenal bargain- ing process (pembeli tidak bisa menawar harga), acap kali over- priced. Tentu saja posisi konsumen sangat lemah dalam hal ini, sehing- Menurut RUU Pangan, para pelanggar akan dikenakan sanksi berupa denda administratif maksi- mal Rp 300 juta. Tetapi apabila ter- dapat korban meninggal dunia, ya kesepakatan yang dibuat di pasar. hadapan para saksi, oleh para Jika hal ini benar, sangat dis- direktur Balido Group, dihiasi ayangkan. Secara logika, bila kata-kata manis yang menggiur- yang berkepentingan dalam hal kan, namun sampai saat ini tidak ini pihak Balido Group mau me- Memang tidak ada paksaan bagi konsumen untuk membeli suatu produk dengan "harga pas". Akan tetapi tiadanya kesempatan menawar bagi konsumen dapat di- manfaatkan produsen untuk men- gambil keuntungan terlampau be- sar. Mungkin kaum produsen terse- but mengatasnamakan penggan- tian risiko atas barang yang tak ter- jual. Akan tetapi seringkali unfair pricing atau overpricing dilakukan untuk memperbesar margin keun- tungan produsen. munikasi yang terputus antara kon- sumen dan produsen. Komisi ini seyogianya diberi independensi untuk mengklasifikasi perusahaan- perusahaan di Indonesia yang lay- ak mendapat penghargaan khusus, karena daya akomodatif perusa- haan-perusahaan tersebut terhadap kepentingan konsumen. Komisi itu juga layak diberi wewenang untuk mengumumkan perusahaan yang perlakuannya sangat buruk kepa- da konsumen. Harapan Walaupun RUU Pangan telah dalam proses penggodokan dan hampir memasuki tahap pengesa- han, namun boleh dikatakan bah- wa produk perundangan kita yang melindungi kepentingan kon- sumen, masih terlampau jauh ket- inggalan. Mengambil contoh kepa- da produk hukum di AS (yang no- tabene menganut asas liberalisme dalam perekonomian), tampaknya "pekerjaan rumah" bagi kita masih terlampau menumpuk. Di AS, produk hukum pembe- laan kepentingan konsumen telah berusia lebih dari satu abad, yakni Sherman Antitrust Act (1890). Yang secara spesifik meregulasi perdagangan makanan adalah Fed- eral Food and Drug Act (1906) yang kemudian diperbarui menja- di Food, Drug and Cosmetic Act (1958) dan Kefauver Harris Am- mandement (1962) yang mengatur pembuatan, penjualan, pengangku- tan makanan, obat-obatan dan produk kosmetik; demi kepentin- gan konsumen. Sedangkan Meat Inspection Act (1906) mengatur pelaksanaan peraturan sanitasi dalam perusahaan pengalengan daging, dan untuk inspeksi federal atas semua perusahaan yang men- jual daging dalam perdagangan antarnegara bagian. Aksi advokasi hak konsumen, tak hanya yang berhubungan den- gan produk pangan, juga cukup kuat di AS. Ralph Nader, yang Mungkin kita memerlukan ke- akhir-akhir ini disebut-sebut media beradaan lembaga semacam komisi massa sebagai kandidat Partai Hi- perdagangan yang dapat berfung- jau untuk pemilu pemilihan pres- si sebagai lembaga advokasi kon- iden AS November 1996, merupa- sumen yang gigih memperjuangkan nama fenomenal dalam sejarah kan hak konsumen, produktif advokasi hak konsumen di AS. memberikan masukan bagi berb- Nader berjuang untuk mendesak agai aspek yang berhubungan den- parlemen mengeluarkan National Traffic and Motor Vehicle (1962) gan konsumerisme (misalnya stan- darisasi produk secara komprehen- sif) serta mampu menjembatani ko- Penjelasan P4B Kuta Menanggapi Surat Pembaca Bali Post, 5 Oktober 1996 ten- tang "Ijazah Mahasiswa P4B Kuta", kepada para orangtua/ untuk melindungi pengendara ken (Bersambung ke Hal 15 Kol 1) Galian C di Bukit Kresek harus Ditolak Adanya ribut-ribut soal ga- dibicarakan, baik di masyarakat Bali yang merupakan kepanjan- ada bukti nyata yang menduku- lunasi kewajibannya, mengapa wali mahasiswa P4B Kuta kami lian C di Bukit Kresek Bunu- gan tangan dari DPD Golkar Bali telah mengupayakan berbagai cara agar rakyat kecil yang di- wakilinya bisa bernapas lega dan mendapatkan kembali uang Persyaratan: Sertakan Fotokopi Identitas BPR Bermasalah maupun di media massa. Berb- ng pernyataan ini. Ada kesan di pihak BI tidak membantunya. Sudah hampir lima tahun, agai upaya telah diusahakan pi- masyarakat, janji ini hanya akan Pada kesempatan yang baik nan sampaikan, supaya tidak terjadi tan, Karangasem yang dimuat kami rakyat kecil yang lemah hak yang dirugikan, namun sam- hengulur waktu, yang pada indah ini, kami mohon dengan kesalahpahaman, mohon maaf Bali Post, saya ingin urun dan buta hukum ini mengalami pai saat ini kunci kemacetan ini akhirnya mungkin sama dengan sangat kepada Bank Indonesia dan maklum, penyelesaian ser- pendapat sekadarnya. Bunutan bohong. Ada pula kesan lain, Cabang Denpasar untuk mem- tifikat/ijazah mahasiswa P4B belakangan ini merupakan ka- penderitaan, dan sakit hati yang belum terbuka. sangat mendalam dan sangat wasan baru yang sangat me- Setelah kami amati dan me- mereka. Ini merupakan hal yang Group akan segera melaksana- agar tidak terjadi salah penger- perubahan teknis pada blangko narik wisatawan, selain karena yaitu seolah-olah pihak Balido berikan penjelasan seperlunya, Kuta agak terlambat karena ada memprihatinkan. Ini disebabkan nyimak dari pemberitaan media wajar sebagai bentuk rasa per kan kewajibannya membayar tian. Sebab ada kesan di ijazah dari instansi yang menan- kekayaan bawah lautnya yang beberapa oknum "pemain sand- massa, banyak pihak bersimpati tanggungjawaban mereka, baik iwara" yang di Bali lebih dike- kepada rakyat kecil yang men- diminta maupun tidak. utang kepada para nasabahnya, masyarakat, sampai saat ini BI datangani yaitu: yang lama, Ke- hebat, Bunutan memiliki keber- namun terbentur pada sejumlah diam seribu bahasa, tidak gesit pala Kantor Departemen Tenaga sihan laut yang tak tertandingi Usaha yang dilaksanakan F- nal dengan sebutan BPR ber- jadi korban dari "panggung aset yang selama ini disimpan di menangani masalah yang men- Kerja Kabupaten Daerah Tingkat di Bali, karena tak ada sungai masalah di bawah naungan Bali- sandiwara" ini. Fraksi Karya KP di DPRD I Bali, telah mem- Bank Indonesia Cabang Den- jadi tanggung jawabnya. II Badung menjadi Atas Nama yang berair mengalir ke sana, do-Group. Masalah ini ramai Pembangunan di DPRD Tk. I. buahkan hasil yaitu dengan adan- Akhirnya di tengah penantian Bupati Kepala Daerah Tingkat II sehingga limbah plastik dan panjang yang sangat menyiksa, Badung-Kepala Dinas Tenaga sampah lainnya tidak mengo- Anggota Redaksi Denpasar: Agustinus Dei, Dwi Yani, Legawa Partha, Nikson, Palgunadi, Pasma, Riyanto Rabbah, ada angin sejuk yang berhembus Kerja Kabupaten Daerah Tingkat tori pantainya. Itu kata para Bali Post Srianti, Sri Hartini, Suana, Suarsana, Sudarsana, Sueca, Sugendra, Suja Adnyana, Sutiawan, Emanuel Dewata Oja, Artha, Alit Suamba, Subagiadnya, Sugiarta, Sutarya, Wahyuni, Wilasa, Kasubmahardi, Martinaya, Mas Ruscitadewi, sebagai dewa penyelamat, keti- wisatawan. Seharusnya, pemda Rusmini, Umbu Landu Paranggi. Bangli: Karya, Buleleng: Tirthayasa, Gianyar: Alit Sumertha, Jembrana: Edy Asri, ka Bapak Gubernur Kdh. Tk.I. dan masyarakat Karangasem Karangasem: Dira Arsana, Klungkung: Daniel Fairy, Tabanan: Alit Purnatha, Jakarta: Wisnu Wardana, Muslimin Hamzah, Bambang Her- merasa bangga dan merawat Bali memberikan sambutan pada acara serah terima jabatan kawasan Bunutan baik-baik mawan, Darmawan, Sahrudi, Dadang Sugandi, Alosius Widiyatmaka, Djamilah, Rudiyanti, Sri Wulandari, Suharto Olii. NTB: Agus Talino, Nur Haedin, Suyadnya, Raka Akriyani, Siti Husnin, Izzul Kairi, Syamsudin Karim, Ruslan Effendi. Surabaya: Endy Poerwanto, Bambang Wiliarto. pemimpin BI Cabang Denpasar dengan usaha maksimal, agar NTT: Hilarius Laba. Yogyakarta: Suharto. Wartawan Foto: Arya Putra, Djoko Moeljono. II Badung. Di samping itu legalisasi ser- tifikat/ijazah mahasiswa P4B Kuta dilakukan oleh: 1. Lemba- ga sendiri, 2. DPC Hillsi (Him (Bersambung ke Hal 15 Kol 1) (Bersambung ke Hal 15 Kol 2) (Bersambung ke Hal 15 Kol 2) Kolom HALAMAN 7 Kekuasaan Iklan dan Bumerang IKLAN bisa dianggap sau- daranya reklame. Dengan demiki- an lebih mudah kemudian si Po- lan menemukan definisinya dibandingkan definisi iklan. Sebab ciri khas pelajar (macam si Polan) yang teks book think- ing sering gagal menjabarkan suatu hal hanya karena tidak ada di buku taksnya. Demikianlah halnya si Polan. Lalu kalau ditanya, "Apa itu reklame, Polan?" Pastilah dia tahu. Sebab di buku pelajaran seni rupanya ada tercantum rek- lame berasal dari re dan clamo. Artinya seruan yang berulang- ulang. Tetapi kalau hanya ditan- ya, apakah seruan sama artinya dengan teriakan, bisa jadi seru- pa tetapi tak sama. Yang kita den- gar, baca, tonton (di TV), seruan itu bisa amat dekat dengan teria- kan. Bagaimana produk iklan (saudaranya reklame) itu begitu gegap-gempita. Misalnya pada iklan politis. Begitu bersemangat dan berlebihan, kadang amat ber- lebihan. sebuah Coba bayangkan, dalam ac- ara Pesta Musik pada Minggu sore, diselingi iklan lebih dari sepuluh produk. Rasanya (tanpa diukur ilmiah dengan alat ukuran waktu) lebih lama iklannya ketim- bang nongol-nya penyanyi. Pen- onton TV sudah dirugikan den- gan cara yang demikian. Pemak- saan cara memasok iklan dalam acara yang banyak disenangi pemirsa menjadi keangkuhan atas kekuasaan. Di situ bukan iklannya yang angkuh dan penuh kekuasaan, tetapi me- dia yang menayangkannya. Se- dangkan iklan yang kekuasaan- nya cukup membuat orang sebal adalah iklan yang berlebihan in- gin diperhatikan. Sehingga reka- yasa para pekerja iklan kelewat kurang mempertimbangkan sasa- rannya. Iklan yang kasar, penuh kesadaran memiliki kekuasaan memainkan kata-kata (dan gam- bar), bisa jadi bumerang. Kare- na produk yang diiklankan tidak digunakan (dibeli). Ini menurut penelitian YLKI (Yayasan Lemba- ga Konsumen Indonesia) yang di- siarkan dalam sebuah media ce- tak baru-baru lalu. Konon jika dipersentasikan, iklan yang disiarkan TV yang ben- tuknya kelewat berlebihan, porno, dibuat-buat, ditolak produknya oleh 82,7 persen dari mereka yang dijadikan sasaran penelitian (re- sponden). Tidak digunakan produknya oleh 86,8 persen pada iklan yang buruk, menurut ukuran di atas tadi, jika iklan itu disiar- kan di radio (audio). Jika benar demikian para peker- ja iklan boleh mengubah pola pikirannya, pola kreativitasnya dalam membuat sebuah iklan agar tidak perlu kelewat batas kesopan an (porno), kelewat batas menun- jukkan kekuasaan terhadap kata- kata serta mengeksploitisasi agar mendapat perhatian. Mungkin den gan kesadaran agar sasaran iklan- nya cepat terbius mengindentifikasi dirinya dengan bintang iklan yang cantik, elite dengan gaya idaman masa kini sedikit eksotik yang dibuat-buat, sudah tidak efektif lagi. Iklan yang membius itu boleh dianggap seperti menempatkan para konsumen mirip balon yang ditiupkan gas lalu melambung terbang kemudian kempos terjer- embab ke realitas dan tercampa- kkan dari buaian iklan. Iklan yang demikian itu memang tidak men- didik kesadaran konsumen. jujur, tetapi membius. Iklan yang terselubung yang dikemas dalam artikel dimuat di media massa cetak, lebih mem- bangun dialog dibandingkan iklan yang biasa. Iklan telanjang yang membius ini semacam sikap menimbulkan kebuntuan dialog. Karena nalar tidak diajak beker- ja, selebihnya emosional dan naluri konsumtif dimainkan. Iklan yang menimbulkan ke- buntuan dialog lantas bisa saja menimbulkan praduga memvonis iklan sebagai omong kosong. Pe- nilaian generalisasi terhadap seni periklanan menjadi dinodai. Padahal tidak selalu orang den- gan mudah mengetahui manfaat sebuah barang, dan iklan bisa menolong keingintahuan praktis kita. *** Jangan takut pada iklan. Mu- ngkin perlu kata itu sebelum kekuasaan untuk memvonis se- mua iklan itu punya cara meniup kita bak balon yang diisi gas, ke- mudian melambung terbang dalam mimpi. Sebelum iklan men- imbulkan mitos buruk selalu, per- nah saya diingatkan, juga oleh si Polan, bahwa reklame (sau- daranya iklan) menurut ketiba- tibaannya merangkai definisi se- cuil, konon berarti senyum. Rek- lame itu senyum? Ya, semestin- yalah demikian. Jika mau me- narik simpati, ia mesti seperti ga- dis bisa tersenyum tidak hanya bisa berseru, berteriak menyodok kesadaran. Iklan yang tersenyum mungkin juga benar perlu adanya. YLKI sendiri mengindahkan pendapat para respondennya lalu menjelas- kan iklan (rokok) Lucky Strike ter- masuk iklan yang disenangi pemirsa. Ada sensasi yang indah di sana. Ada unsur romantik di sana. Kita bisa tersenyum menik- matinya. Iklan yang tersenyum bisa mengingatkan tentang eksistensi seorang ibu. Mungkin pada za- man yang makin banyak wanita, jujur menyatakan tak bisa me- masak, sesekali alat dapur bisa mengingatkan bahwa walau apa pun sesekali perlu ibu ke dapur. Sebab dari dapur bisa mengin- gatkan tentang hubungan kemes- raan dalam sebuah keluarga. Iklan yang tersenyum bisa dilihat pada iklan Pepsodent. Hubungan kakek-cucu menjelaskan tidak ra- puhnya masa tua yang seperti merasa disingkirkan ke pantai jompo karena ada generasi men- datang yang mampu melakukan komunikasi dan kebersamaan di sana. Iklan yang tersenyum juga terlihat pada iklan rokok Bentoel Biru ketika sebuah lagu pujaan pada Indonesia berkumandang lirih dengan kabut biru muncul di layar TV, dan banyak lagi. Satu hal nanti dalam iklan politik yang memasarkan demokrasi, keterbukaan, pemban- gunan dari masing-masing kon- testan semoga saja penuh senyum karena kian banyaknya para se- lebritis panggung hiburan, aktor atau bintang film direkrut untuk menjadi juru kampanye. Senyum pada iklan politik ini yang kita harapkan tentu pada keadaan di mana sebuah senyum dan lagu-lagu yang mendayu yang dibawakan dapat memban- gun imajinasi dan daya kreativi- tas kita ketika berhadapan den- gan program pembangunan yang dilontarkan nanti dari atas pang- gung. Maka jelas hal itu kurang me- miliki tanggung jawab membela- jarkan keadaan yang sudah dis- Jika hanya senyum dan mem- inyalemen kena wabah konsum- bius fanatisme terhadap sang tif. Yang dari sudut pandangan penyanyi, niscaya bisa membius ekonomis barangkali juga ada dan lupa meminta penjelasan perangkat etika yang tidak seme- program yang disodorkan dari na-mena menempatkan sasaran kontestan yang diwakilinya. produknya sebagai posisi tak ber- Dalam kesadaran yang disampai- daya dan lemah untuk diperah kan di media massa agar kam- dalam mengambil keuntungan. panye berlangsung sekaligus Iklan yang mungkin lebih pembelajaran yang membangun mendidik guna menjelaskan nilai tanggung jawab sosial masya- sebuah produk yang ditawarkan rakat, maka harapan di sana pas- dengan kelebihan (tentunya) tilah diperlukan iklan politik yang diperlukan kemudian. Artikel tersenyum simpatik dan tidak ekonomi pada media massa cetak sekadar membius lewat propa- seperti dalam rubrik otomotif ganda. Pada batas ini pastilah si maupun bisnis properti mulai Polan bingung, kenapa ada iklan mengemukakan sebuah cara politik? Bingung karena buku pel- mengiklankan hasilnya dengan ajaran seni rupanya memang artikel panjang. Iklan yang terse- tidak menjelaskan ada iklan lubung lebih beradab rasanya demokrasi, iklan keterbukaan. daripada iklan yang telanjang, Nyoman Wirata Catatan Kata Presiden Direktur Jetour, Jepang, Kiyomi Su- gahara, sebagian besar wisatawan Jepang tetap me- nempatkan Bali sebagai daerah utama kunjungannya. - Objek wisata budaya Bali tentunya terus di- tingkatkan tidak tetap itu-itu saja. *** Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan War- diman Djojonegoro, bangsa kita akan runtuh bila mengabaikan kebudayaan. - Jelasnya budaya sesuai GBHN, bukan budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi. *** Belakangan ini banyak pertandingan sepak bola di- warnai suporter atau penonton yang mengamuk melampiaskan emosinya. - Tampaknya budaya "mabuk" dan "ngamuk" ini belum terkendali. Bang Podjok C 11680