Tipe: Koran
Tanggal: 1997-01-05
Halaman: 02
Konten
4cm Color Rendition Chart HALAMAN 2 Pelanggaran HAM Dalam Kasus Adat karena Intervensi Eksternal PERSOALAN HAM (hak asasi manusia) akhir-akhir ini makin marak dibicarakan. Setidaknya dalam tahun 1996 yang baru lalu, HAM menjadi topik yang banyak digemari sekaligus di-alergi- kan banyak kalangan. Tidak terkecuali meruyaknya kasus HAM di Bali. Khusus di Bali, persoalan HAM banyak dikaitkan dengan persoalan adat ataupun masalah pertanahan. Benarkah kasus adat sebagai salah satu biang pelangga- ran HAM di Bali? Lantas bagaimana pandangan Hindu sendiri tentang HAM? HAM dalam Hindu merupakan bagian dari kebenaran atau dhar ma. HAM dalam Hindu adalah hak yang didapat manusia setelah lahir. Hak itu berupa suka, duka, lara dan pati. "Artinya, manusia berhak mendapat kegembiraan, kesedihan, kedukaan, juga berhak mendapat suatu pelepasan antara jiwa dan sarira," tutur IB Eka Dharma Laksana, dalang dari Ba- jera lulusan STSI Denpasar. Soal kaitannya dengan pandangan Hin- du, menurut Drs. 1 Ketut Wiana, salah satu ketua PHDI Pusat, hu- kum Hindu mengutamakan pen- yadaran. Jika ada yang bersalah diberi kesempatan memperbaiki. Di Bali konsep ini dikenal den- gan istilah jele melah raga nge- lah nyama. Inilah yang menurut Wiana kurang dipahami mas- yarakat. Lebih lanjut menurut Eka Dhar- ma, HAM itu sebagai simbol yang muncul dan bangkit karena sudah ada ketidakadilan, sudah tidak ada penegakan moralitas, adanya degradasi moralitas. "Karena itu- lah, memunculkan simbolisasi HAM sebagai sesuatu yang baru bagi penegakan moralitas," tegas dalang muda ini. Antara HAM dan hukum adat sendiri sebenarnya pada tataran filosofinya sama, yaitu kebenaran. Persoalan munculnya pelanggaran HAM akibat meruyaknya kasus adat, menurut Eka Dharma dis- ebabkan adanya penyimpangan dari kebenaran itu sendiri. Peny- impangan itu terjadi pada tataran operasionalnya. Penyimpangan itu meliputi adanya intervensi kepent- ingan di luar adat, penyimpangan yang dilaksanakan oleh pelaku pengurus adat itu, dan proses pem- buatan aturan adat yang tidak lagi sesuai dengan kaidah sima mawa cara, misalnya pembuatan awig- awig saat ini cenderung mengejar target. Sehingga bukan menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat adat itu, melainkan mengambil dari awig-awig yang sudah ada dari adat lain. Padahal adat antara kedua daerah itu belum tentu sama. Karena itu menimbul- kan kekisruhan adat yang kemu- dian disinyalemen sebagai pelang- garan HAM. "Jadi, munculnya pe- langgaran HAM dalam kasus-ka- sus adat sebenarnya bukan dis- ebabkan aturan adat itu," tandas Eka Dharma. Solusi mengurangi sinyale- men pelanggaran HAM dalam kasus-kasus adat adalah dengan memurnikan kembali aturan adat melalui pencegahan intervensi dari luar, pemahaman filosofi pengurus adat perlu dilakukan dan pembuatan awig-awig adat secara berproses. Awalnya sima itu dipertahankan dulu, kemudi- an biarkan adat itu mencoba dulu, baru dilakukan pemantapan dari orang-orang adat, kemudian dibuat peraturan adat. "Dengan demikian, aturan adat akan lebih diterima masyarakat adat itu sendiri," papar alumnus jurusan pedalangan STSI Denpasar ini. Menurut praktisi hukum, I Wayan Sudirta S.H., aturan-atu- ran adat di Bali, walau rentan ter- hadap intervensi politik, ekonomi dan lain-lain, kehadirannya san- gat diperlukan. Adat misalnya bisa menunjang program-pro- gram pemerintah. Orang Bali khususnya, dengan ajaran guru wisesa-nya, tentu akan berupaya mematuhi pemerintah. Bahkan, kata Sudirta, kebulatan tekad pun orang Bali mengiyakan. Begitu patuhnya orang-orang Bali, sam- pai-sampai terefleksi dalam hubungan tokoh adat dan pemer- intah. "Ketika tokoh-tokoh adat bergerak, birokrasi malu-malu, begitu sebaliknya ketika birokra- si bergerak tokoh adat malu-malu. Ini kan lucu," ujarnya. Hal inilah yang kerap diman- faatkan oknum tertentu untuk memuluskan langkah politik maupun ekonomi. Dengan men- gatasnamakan adat, upaya-upaya yang ditempuh sudah pasti terca- pai. "Bagaimana pun, adat itu getarannya luas. Jadi, iapa yang berani menolak jika sesuatu itu dikait-kaitkan dengan adat. Kita semua tahu nilai-nilai adat itu lu- hur," komentar Sudirta. Kata Sudirta, penggunaan lembaga adat dengan memasuk- kan unsur-unsur politis melang- gar prinsip wibawa adat dan as- pek asasinya. Kerap terjadi, dalam menyelesaikan kasus ter- tentu, karena tak ada awig-awign- ya, beberapa warga berkumpul mengadakan forum. Di sinilah di Bali Post FENOMENA lakukan dialog untuk memberikan sanksi kepada yang melanggar- nya. "Setelah kesepakatan sank- si diambil, forum itu mengatasna- makan semua warga desa adat. Ini kan sudah melanggar HAM," ko- mentar Sudirta. Menyinggung kasus-kasus sanksi adat yang terkesan melang- gar HAM, Sudirta menyebut han- ya sebagian kecil sanksi adat yang sepertinya menyalahi etika adat itu sendiri. Dari tiap desa, paling banter terdapat 1-2 sanksi yang tak berprikemanusiaan. Akan teta- pi, Sudirta yakin 99,99 persen sanksi adat masih dibutuhkan. Jiwa adat Bali pada dasarnya berg- erak dinamis. Itu terjadi sejak abad VII - XV. Nilai-nilai baru yang masuk, asal sesuai dengan budaya Bali, bisa diterima. "Teta- pi kerap muncul tokoh-tokoh adat yang saklek dan mensakralkan adat," katanya. "Semestinya tokoh adat itu bersikap kritis di- namis mengatasi pergerakan za- man. Jika tak begitu, akan terjadi masalah. Buktinya muncul sank- si-sanksi yang tidak sesuai lagi dengan konteks zaman dan hanya cocok untuk zaman kerajaan. Ia mengatakan, sudah saatnya lembaga adat mengevaluasi diri membersihkan lembaga adat dari intervensi politis oknum tokoh ter- tentu. Sanksi adat yang tidak se- suai dengan Pancasila, misalnya tak memperkenankan warga untuk sembahyang, sudah selayaknya dibuang. Dengan acuan Hindu se- bagai agama dalam memberikan sanksi, kata Sudirta, kasus-kasus adat tak akan mencuat. "Sekarang ini seolah-olah ada nilai-nilai Hin- du yang terlupakan," cetus Sudir- ta. Dengan begitu, seolah terjadi gambaran yang ironis tentang adat Bali. Di satu sisi, Bali terkenal den- gan welas asih, tahan menderita dan mengalah terhadap orang lain, akan tetapi tidak bisa ditolak keti- ka muncul sanksi adat, orang Bali seolah cenderung "mencelakai" warganya sendiri. (rab/pam/nan) Eksistensi Komnas HAM Diuji Komnas MUNCULNYA HAM sejak tiga tahun lalu mela- lui Keppres No.50 tahun 1993, membawa angin segar bagi masyarakat khususnya di Indo- nesia. Beberapa tahun belakan- gan, masyarakat banyak menaruh harapan pada lembaga ini, se- bagai muara akhir pengaduan ketidakberesan yang dialaminya, baik menyangkut masalah per- tanahan, ketidakadilan di bidang hukum, kriminalitas, dan pelecehan" hak-hak asasi se- cara umum. Kasus-kasus itu se- lama ditangani serta ditindaklan- juti lembaga yang kini diketuai Munawir Sjazali itu, walau be- lum menunjukkan hasil optimal. Fenomena ini pastilah akan memunculkan sebuah pertan- yaan. Tidakkah lembaga ini dalam operasionalnya akan tum- pang tindih dengan DPR, yang notabene merupakan wakil rakyat? Secara hierarki, penge- birian hak-hak rakyat seharusn- ya diperjuangkan oleh DPR, karena anggota Dewan kapasitas- nya sebagai wakil rakyat. Ada- kah hubungan ini tersumbat, atau apa sebenarnya yang menjadi penghambat sehingga DPR tidak bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat yang diwakilinya? nis, DPR tidak memiliki caling, dalam arti tidak langsung menan- gani permasalahan tersebut. Di pihak lain walau muara akhirnya tetap pada pemerintah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam operasionalnya dapat langsung menindaklanjuti dan mengumumkan hasil te- muannya kepada masyarakat ban- yak. Dengan demikian, masyarakat memperoleh hasil setelah mengadukan permasala- han mereka ke Komnas HAM. Ketika menjawab pertanyaan kenapa masyarakat kini lebih mempercayai Komnas HAM, mantan Mendagri Rudini menga- takan, masyarakat kalau melapor- kan masalahnya, kan ingin cepat mendapat perhatian dan ada reak- si. Menurutnya, masyarakat se-karang kalau ke DPR hasilnya tidak muncul, se- dangkan ke Komnas HAM, min- imal lembaga ini langsung be- reaksi mencari fakta di tempat kejadian. "Itu kan boleh dilaku- kan Komnas," katanya. mungkin ini. Bahkan sebagian masyarakat menganggap Komnas HAM satu- satunya alternatif yang terbaik. Kendati begitu perlu diingat, keberhasilan Komnas HAM tak lepas dari kapasitas orang-orang yang terlibat di dalam komite itu sendiri," ujarnya. Pendapat serupa dikemuka kan Ketua Pemuda Katolik Bali Chris Wisnu Sridana. Menurut- nya, selama ini kiprah Komnas HAM cukup mendorong demokrasi dan mampu melihat bobot persoalan dengan jernih. Karena itu, sebagai pemuda Ka- tolik, dia optmis, dengan kepi- mimpinan Munawir Sjazali, Ko- mnas HAM akan tetap terjaga kemandiriannya. Apalagi Mu- nawir yang mantan menteri aga- ma itu mempunyai pengalaman kekuasaan yang cukup lama. "Dengan pengalaman kekuasaan itu dia bisa merefleksikan kembali realita perkembangan masya-rakat," katanya. Lebih-lebih, lanjut dia, beber- apa rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM terdahulu belum seluruhnya terlaksana secara real. Tugas Komnas HAM itu tidak rin- gan, bahkan cenderung makin be- rat, terutama bagaimana komite ini selalu berupaya menegakkan HAM sepenuhnya. Demikian juga upaya agar semua temuan dan re- komendasinya dihormati semua pihak, sehingga kehadiran komnas HAM di Indonesa benar-benar di- akui dunia luar. Untuk itu, kata Chris, keterbukaan sangat penting dikedepankan. aragama dan etnis, juga mencak- up soal ras. Di sana (Situbondo dan Tasikmalaya-red) hadir ke- senjangan yang terjadi pada ras pribumi dan nonpribumi," pa- parnya. Menyikapi kasus SARA, Ko- mnas HAM agaknya ditantang lebih berperan objektif. Kalau miru permasalahan itu memang terda- pat muatan SARA harus dikata- kan SARA. Sebaliknya Jika per- masalahan itu kesalahan oknum atau berakar dari kesenjangan juga harus dikatakan yang sebe- narnya. Demikian juga kalau suatu kasus mencakup per- masalahan yang kompleks. "Jan- gan sampai Komnas HAM yang sudah berhasil membuktikan ke- mandirian dibatasi kepentingan tertentu," ungkapnya. Jika hal itu sampai terjadi, lan- jut dia, Komnas HAM berarti merupakan aktivitas politis bukan pencarian fakta dan jelas kebe- narannya tidak lagi independen. Di Indonesia, untuk kasus yang sifatnya SARA memang sangat rentan dan tidak perlu dibesar-be- sarkan. Akan tetapi, kebenaran fakta tetap menjadi tanggung jawab Komnas HAM, walaupun tidak untuk dipublikasikan secara terbuka atau transparan. Setidakn- ya, kebenaran fakta tersebut men- jadi pressor (penekan) di dalam pertimbangan politik pemeritah terhadap masalah SARA. Bahkan dengan adanya kasus SARA, sikap Komnas HAM yang harus lebih pressor tersebut akan mem- buktikan kemandirian HAM itu sendiri. Meragukan Semula memang banyak ka- langan sempat meragukan eksis- tensinya. Masyarakat mensin- yalemen dan khawatir komite yang dibentuk eksekutif itu tidak Langsung Bereaksi independen. Namun, lambat laun Anggota Dewan sesuai kerja keras komite tersebut mam- dengan fungsinya selama ini pu membuktikan perannya. Ten- sebatas menerima dalam arti me- gok saja beberapa kasus tanah nampung pengaduan/keluhan rakyat, peristiwa Ujungpandang. mas-yarakat terhadap suatu per- Tanpa diduga, Komnas HAM be- masalahan. Selanjutnya anggota rani beda pendapat dengan pe- Dewan meneruskan permasalah- merintah tentang insiden 27 Juli an ini kepada mitra kerjanya lalu. (dalam hal ini pemerintah) untuk Syawal menambahkan, Kom- Semua catatan tersebut, menu- nas HAM di tangan Munawir mengecek dan menindaklanjuti rut Sekretris Badan Koordinasi Sjazali sekarang ini diuji ek- menangani kasus SARA, Komnas Chris berpendapat di dalam kasus tersebut. Misalnya kasus sitensinya dengan mencuatnya HAM dapat melakukan pendeka- pertanahan, akan dilemparkan beberapa kasus yang berbau tan terhadap tokoh-tokoh agama. lagi kepada Meneg Pertanahan, SARA seperti yang terjadi di Bagaimana pun, urusan intern masalah hukum kepada Menteri Situbondo dan Tasikmalaya baru- suatu agama, tokoh agama itu Kehakiman, dan sebagainya. baru ini. "Saya melihat dua ka- sendiri yang lebih banyak tahu Dengan fungsi ini, DPR seolah sus tersebut bukan hanya faktor persoalannya. "Saya yakin tokoh olah hanya sebagai penampung kesenjangan, tetapi bagaimana agama di Indonesia masih sangat dan perantara terhadap pengadu- nampung seluruh aspirasi pun, porsi SARA ada di dalamn- berperan di dalam menentukan an permasalahan yang diteriman- masyarakat. Karena itu, wajar ya. Terlebih lagi persoalan SARA kehidupan umatnya," katanya. ya dari masyarakat. Dari segi tek- jika masyarakat lari ke komite itu bukan hanya mencakup ant- Himpunan Mahasiswa Islam Nusa Tenggara (Badko HMI Nus- ra), Syawal Prasetiyana, mem- buktikan Komnas HAM makin diperlukan kehadirannya. Lebih lebih pada saat sekarang ini, DPR dianggap tidak mampu lagi me- Lintas Wisata (wah/sar) Benarkah Kasus Adat Melanggar HAM? KASUS adat meruyak Bali dekade terakhir ini. Di sisi lain pada dekade yang sama program penyeragaman awig-awig desa adat berlangsung gencar. Satu kontradiksi, mengapa justru ketika aturan tertulis (awig-awig desa adat) ada, kasus adat juga marak. Apalagi dengan masuknya kepentingan-kepentingan di luar adat dalam masalah adat, masalah menjadi ruwet. Tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mana penyebab mana akibatnya. Ujung-ujungnya berbuntut pada pelanggaran HAM. Maka, kloplah menjadi benang benar- benar kusut. Kalau sudah begini dapatkah kasus-kasus di bawah ini disebut kasus pelanggaran HAM? Kasus Culik yang Berkepanjangan Terlepas dari kasus adat Culik, Drs. I Ketut Wiana, secara pribadi selaku tokoh masyarakat berkomentar tentang sanksi-sanksi dalam ka- sus adat. Menurutnya, sanksi yang diberikan pada warga adat yang melanggar adat sebaikn- ya dilandasi kebenaran (dharma) dan bukan didasari maksud balas dendam, melainkan tu- kini kasus Culik belum juga tuntas. Sehingga juan mendidik. Meskipun demikian, hingga Berawal dari rencana pembangunan Taman Kanak-kanak (TK) oleh Yayasan Tunas Kartini di dekat Pura Kerandan, yang kemudian benar- benar diwujudkan beberapa tahun lalu. Mulail- ah tarik-menarik kepentingan, antara pro dan kontra atas pembangunan TK tersebut. Buntut- nya, warga Pura Dasar Kerandan dikucilkan. Teror dalam bentuk pelemparan rumah juga ber- langsung. Berbagai upaya penyelesaian dilaku-isu pun makin melebar dengan disangkut-pau- kan, lewat jalur hukum maupun paruman tingkat tuk pelaksanaan sanksi. Secara perlahan isu tkannya pelanggaran HAM, sehubungan ben- desa adat. Bahkan pemda pun ikut campur tan- bergeser dari persoalan adat menjadi pelang- gan. Tetapi masalah-masalah tidak kunjung se- lesai. Finalnya, warga Pura Dasar Kerandan garan HAM. Benarkah kasus ini bisa dikate- yang tetap bertahan pada sikap semula, tidak masih pro dan kontra. Mungkinkah ini potret orikan pelanggaran HAM? Lagi-lagi itupun setuju pembangunan TK di dekat pura dikena- tarik-menarik antara dharma dan adharma, se- kan sanksi nyepekang (memberhentikan) dari bagaimana konsepsi rwa bhinedda? anggota Desa Adat Culik. Keputusan ini tertu- ang dalam Keputusan No. 07/KEP/DAC/1996 tertanggal 24 Oktober 1996. Atas keputusan ini 30 warga Pura Dasar Kerandan menolak dan mengadukan permasalahannya pada DPRD Tk. I Bali. Alasan pengaduan untuk yang berulang kali ini karena pemecatan itu dianggap tidak manusiawi. "Selain tidak manusiawi, keputu- san itu juga tidak mempunyai landasan hukum," protes I Nengah Satra Astika, selaku pimpinan Fombongan yang disampaikan pada media mas- sa. Menanggapi hal itu pihak Desa Adat Culik melalui salah seorang pemuka Desa Adat Cu- lik, menyampaikan, "Desa adat sudah berulang kali melakukan pendekatan, namun hingga kini (31/10/96) mereka yang dari kelompok I Way- an Sengka yang belum mau bergabung dan me- matuhi awig-awig, dresta Desa Adat Culik." Menanggapi kasus yang berlarut-larut, Bu- pati Karangasem I Ketut Mertha, Sm.IK., le- wat media massa sempat mengimbau warga yang mengadu ke DPRD Tk. I Bali untuk pu- lang dan bermusyawarah "Jika mereka mau, semestinya jalan musyawarah masih bisa ditempuh. Buktinya hingga kini 90 persen war- ga Kerandan yang masuk Desa Adat Culik di- terima tanpa beban apa pun," ujarnya. Mayat Ni Made Pasek, yang Malang Berawal dari meninggalnya Ni Made Pasek (55) warga Dusun Tiba Kauh Desa Melinggih Klod (Payangan) tanggal 14/11/96, kasus adat kembali mencuat. Karena kemudian mayat Ni Made Pasek tidak diperkenan dikuburkan di setra desa adat sebelum membayar penanjung batu Rp 5 juta. Alasannya, selama ini yang ber- sangkutan semasa hidupnya tidak pernah ter- libat dalam kegiatan adat di Pura Dadia Santi. Tetapi keluarga duka menolak tuduhan itu karena Pura Dadia Santi dianggap bukan pura desa. Masalah Pura Dadia Santi sebagai pura desa atau pura dadia juga masih menimbul- kan pro dan kontra. Akhirnya mayat Ni Made Pasek terkatung-katung hingga akhirnya dikuburkan di Desa Adat Begawan (27/12) atas simpati warga adat Begawan. Jadi, kurang leb- ih satu setengah bulan mayat itu terkatung- katung seolah "menikmati" dosanya. Masalah ini pun kemudian merembet menjadi isu pel- anggaran HAM jika dikaitkan dengan sila-sila Pancasila. Benarkah kasus ini merupakan pe- langgaran HAM? Lagi-lagi pro dan kontra me- warnainya. (nan). I Wayan Sudirta, S.H.: Penjernihan Hakikat "Guru Wisesa" I Wayan Sudirta, S.H. aparat keamanan menangani kasus-kasus adat ADA satu pemandangan menarik saat pihak yang bersinggungan dengan konsepsi HAM. Jika kasus tersebut melibatkan power ekster- nal, mentahlah proses penanganan. Jika seba- liknya, ketika power itu tak nampak, penanga- nan pun berjalan optimal. Demikian aktivis HAM Bali I Wayan Sudirta, S.H., menangga- pai pola penanganan aparat terhadap puspa-rag- am kasus adat. Sudirtha yang baru lalu menerima penganuger- Masih tentang keterlibatan power eksternal, ahan Skema-B Awar juga menyebut intervensi pihak birokrat. Katanya, tidak jarang 'oknum birokrat duduk di kursi kepemimpinan pun menguasai aset-aset teknis yang dimiliki masyarakat adat. Sebagai pemimpin, mereka masyarakat adat. Salah satunya adalah hukum adat. yang bersinggungan dengan kepentin- gan birokrat, penyelesaiannya sering terulur-ulur," tandas Sudirta. Kepentingan tersebut menyangkut banyak faktor. Di antara faktor terpent- ing, adalah faktor politik dan ekonomi. Contoh kongkret faktor ekonomi, yakni kasus adat yang berorientasi pada per- masalahan laba (tanah). Sedang fak- tor politik menyangkut unsur-unsur kekuasaan. Meski mengaku berkomentar secara kasuistis, Sudirta menyatakan, dua ke- pentingan itu selalu bermuara pada kandasnya kepentingan masyarakat adat. Sebagai misal, ia menunjuk ka- sus Pecatu dan Culik. Menurutnya, dua kasus tersebut secara bersamaan me- wakili kepentingan politik dan ekonomi pihak birokrat. Bagaimana kalau terdapat pandan- gan kritis menanggapi hal tersebut? Sudirtha menandaskan, dengan seg- enap kemampuan, power birokrat akan memperalat masyarakat adat melalui kekuasaan tokoh adat. Birokrat, kata Sudirtha, akan mencipta atmosfer ke- bencian di kalangan masyarakat adat guna menahan suara-suara kritis lu sulit menelanjangi perilaku tokoh adat serta menyelinap. Dengan demikian, kekritisan sela- kepentingan birokrat yang terkadang tak disa- dari masyarakat adat. Terlebih, pihak birokrat telah memegang kun- ci 'kemanutan' masyarakat adat. Salah satunya adalah pemaknaan tentang prinsip Guru Wisesa.. Kecenderungan yang terjadi, masyarakat adat teramat patuh melaksanakan terus menerus kon- sep Guru Wisesa, yakni konsep menghormati serta tunduk kepada pemerintah. kan dengan menuruti apa-apa yang diinginkan Perwujudan ketundukan itu sering disejajar- pemerintah. Padahal, hakikat Guru Wisesa bu- kan sekadar tunduk, patuh, dan memberi hor- jarkan 'dialog - kritis' kepada pemerintah. Seh- mat. Lebih dari itu, Guru Wisesa juga menga- ingga, kata dia, diperlukan penjernihan tentang makna guru wisesa. Dalam dialog misalnya, jika birokrat, oknum itu berdiri pada posisi silang. mensinyalemen keberadaannya telah ditindih Sebagai pemimpin adat yang didukung dialog tersebut tak berjalan optimal, Sudirtha Satu sisi, harus mengedepankan kepentingan terlalu lama oleh pemaknaan versi pemerintah. adat, sementara di sisi lain ia pun sulit lepas dari kepentingan birokrat. Kendati demikian, aspirasi masyarakat adat pun perlahan hilang. "Saat optimalísási dialog - kritis tak jalan, dalam amatan Sudirta, kepentingan birokratlah Bukan mustahil aturan dalam hukum adat akan yang cenderung didahulukan. ditinggalkan," kata Sudirtha dengan nada da- "Maka jangan heran, jika muncul kasus adat tar. (pam/rab) Minggu Kliwon, 5 Januari 1997 Minggu Kliwon, 5 SOROT Hak Asasi Manusia HAK asasi manusia sebenarnya mempunyai makna yang sudah jelas. Dari kalimatnya saja telah menceraminkan bahwa hak asasi manusia itu adalah persoalan yang menyentuh manusia itu sendiri, sebagai sebuah makhluk mulia yang dilahirkan di bumi. Hak yang mem- berikan manusia itu menikmati kehidupannya, sesuai kodratnya be- bas dari paksaan pihak lain. Karena manusia berada di dalam dunia yang dipenuhi manusia, maka ia pun harus memperhatikan kewajiban. Hukum dan norma, serta etika yang mengatur itu demi keseimban- gan. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian. Hak asasi manusia bukanlah persoalan satu negara. la merupa- kan persoalan universal, mulai dari negara berkembang sampai negara maju. Juga bukan merupakan persoalan kontemporer, tetapi sudah berusia berabad-abad. Filsuf termasyur Yunani, Aritoteles yang hidup tahun 384-322 sebelum masehi telah menyebutkan bahwa negara yang baik adalah negara yang memperhatikan kepentingan dan kesejahter- aan masyarakat banyak. Pada zaman masyarakat Jawa Kawi (kuno) telah dikenal yang namanya "hak Pepe", yaitu hak warga desa untuk mengemukakan pendapat kendati pendapat tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa. Hak ini sangat dihormati oleh penguasa pada zaman itu. Revolusi Prancis yang menyerbu penjara Bastille tahun 1789 adalah jelas persoalan hak asasi manusia. Rakyat Prancis ma- rah kepada penguasa karena memperlakukan secara tidak adil kepa- da para pejuang masyarakat. Karena itu, mereka tidak takut berontak Keberhasilan Lech Wallesa di Polandia membangkitkan kaum buruh di Gdanks tahun 1980, adalah gambaran sebuah perotes terhadap perlakuakn tidak adil penguasa terhadap hak asasi manusia. Persoalannya kemudian, adalah bahwa negara-negara Baratlah yang paling dahulu berhasil menjabarkan persoalan hak asasi itu men- jadi sebuah aturan hukum konstitusional secara universal. Deklarasi hak asasi manusia Prancis (Declaration des Droits de l'Home et Du Citoyen) yang menggarisbawahi tentang persamaan, persaudaraan, dan kebebasan itu, telah dicetuskan tahun 1789, terus dikenang dan disebutkan di mana-mana di seluruh dunia sampai sekarang. Bahkan Inggris telah mempunyai Magna Charta di tahun 1215. Demikian hal- nya dengan Bill of Right yang dimiliki Amerika Serikat. Tetapi yang paling terkenal adalah apa yang diungkapkan Presiden Amerika Serikat di awal abad ke-20, Franklin D. Roosevelt. Presiden inilah yang mem- formulasikan apa yang disebut sebagai The Four Freedoms yang men- gumandangkan tentang kebebasan berbicara, bebas dari rasa takut, bebas untuk menentukan keinginan, dan bebas untuk memeluk aga- ma. Empat hal itu dipandang sebagai kebebasan yang paling hakiki yang menjadi hak tiap insan yang lahir di dunia, siapa pun mereka. Prinsip empat kebebasan inilah yang kemudian menggema ke selu- ruh dunia. Perserikatan Bangsa Bangsa ketika mengumandangkan Deklarasi Hak Asasi manusia pada 10 Desember 1948, mendasar- kan pada empat kebebasan ini untuk pengembangan 30 pasal dari piagam tersebut. Tetapi kenapa kemudian soal hak asasi manusia itu tetap terjadi silang pendapat dan didebatkan hingga sekarang, yang notabene ham- pir 24 abad jika diukur dari apa yang pernah diungkapkan Aristoteles? Dalam konteks hubungan internasional, tiap negara mempunyai kedaulatan dan kebudayaan. Keduanya berdikari, lepas dari pengaruh luar. Kedaulatan dan kebudayaan itu yang membedakan satu negara dengan yang lain. Dengan kedaulatan, tiap negara berhak mengata- kan negara lain tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri. Sedan- gkan kebudayaan adalah sebuah derifat dari lingkungan, geografis dan sebagainya yang mengkristal menjadi satu kebudayaan yang men- jadi ciri dari negara itu. Di dalam kebudayaan termuat nilai-nilai, nor- ma, bahkan ideologi dari negara tersebut. Dengan kebudayaan nega- ra juga bisa membela diri, karena akar legitimasinya adalah masyarakat negara yang bersangkutan. Dari sinilah munculnya kontroversi pelaksanaan hak asasi manu- sia itu. Sebagai kelompok negara yang merasa paling dulu memfor- mulasikan hak asasi manusia, kelompok negara Barat kerap memak- sakan pola-pola mereka diterapkan di seluruh dunia. Padahal keban- yakan negara-negara Timur dan Asia Tengah mempunyai kebudayaan dan nilai-nilai tersendiri dalam berperilaku. Sehingga kalau diukur dari kacamata Barat, perilaku itu bisa dikatakan menyimbang dari kaca- mata hak -asasi manusia. Sehingga jika Irak atau Iran umpamanya dituduh oleh Amerika Serikat sebagai pelanggar hak asasi manusia, dengan gampang negeri-negeri itu menyangkal tuduhan tersebut. Amerika Serikat tidak usah mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Lalu bagaimana konsekuensinya jika Iran sebagai anggota PBB apakah tidak ikut tunduk dengan ketentuan yang ada dalam deklarasi hak asasi manusia. Sekali lagi, rezim yang mengaku memerintah nega- ra yang berdaulat, dan mempunyai kebudayaan tersendiri, dengan gampang mengatakan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa terlalu berpihak ke Barat. Cina, Nicaragua, Kuba sering menggunakan alasan ini untuk menangkis serangan ke arah mereka. Ketika arus ekonomi internasional gencar-gencarnya ditayangkan, Barat berusaha memasukkan klausul hak asasi manusia ke dalam perdagangan tersebut, termasuk dalam pemberian bantuan. Sekali lagi ini kontroversial. Adalah tidak adil memasukkan klausul demikian dalam perdagangan. Padahal negara-negara berkembang member- lukan bantuan, juga demi pembangunan negara yang pada akhirnya ditujukan kepada masyarakatnya. Dalam konteks nasional di negara-negara berkembang, persen- gketaan tentang hak asasi manusia muncul karena tidak adanya per- hatian keadilan yang datang dari arah vertikal. Juga karena ketangga- pan rezim kurang tajam sebagai akibat terjangkitnya penyakit para- noia, berupa ketakutan berlebih jika kehilangan kekuasaan. Rezim yang demikian, bisanya selalu memberikan servis kepada orang-or- ang dekatnya sehingga kurang memperhatikan masyarakat yang pal- ing marginal. Pemerintah Myanmar selalu dikecam negara-negara luar karena menahan pemenang hadiah nobel perdamaian Aung San Suu Kyi. Rezim militer itu takut kehilangan kekuasaan sehingga norma- norma keadilan masyarakat digilas. Di Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 sudah mencantumkan secara jelas bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerin- tahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1). Dengan begi- tu, jika kita betul-betul paham dengan apa yang ada dalam konstitusi, mereka yang tergusur itu harus mendapat pembelaan yang wajar, bu- kan sekadar mampu berteriak. GPB Suka Arjawa Anggota Redaksi Denpasar: Agustinus Dei, Pasma, Riyanto Rabbah, Srianti, Sri Hartini, Suana, Suarsana, Sudarsana, Sueca, Sug- endra, Suja Adnyana, Sutiawan, Emanuel Dewata Oja, Artha, Alit Sua- mba, Subagiadnya, Sugiarta, Sutarya, Wahyuni, Wilasa, Kasubma- hardi, Martinaya, Mas Ruscitadewi, Rusmini, Umbu Landu Paranggi. Bangli: Karya, Buleleng: Tirthayasa, Gianyar: Alit Sumertha, Jem- brana: Edy Asri, Karangasem: Dira Arsana, Klungkung: Daniel Fa- jry, Tabanan: Alit Purnatha, Jakarta: Wisnu Wardana, Muslimin Hamzah, Bambang Hermawan, Darmawan, Sahrudi, Dadang Sugan- di, Alosius Widiyatmaka, Djamilah, Rudiyanti, Sri Wulandari, Suharto Olii. NTB: Agus Talino, Nur Haedin, Suyadnya, Raka Akriyani, Siti Husnin, Izzul Kairi, Syamsudin Karim, Ruslan Effendi. Surabaya: Endy Poerwanto, Bambang Wiliarto. NTT: Hilarius Laba. Yogyakarta: Su- harto. Wartawan Foto: Arya Putra, Djoko Moeljono. Bali Post Dwi Yani, Legawa Partha, Nikson, Palgunadi, I Made Pase Kalau bi KEBERADAAN H tempat di hati masya isu kurangnya perha HAM di Indonesia in ara masalah tersebu Diantha, S.H., M.S., kum Unud yang kini versitas Airlangga, S Belakangan ini, Kom makin dirasakan kebera Bagaimana menurut p Anda? Sebelumnya perlu dipah nas HAM dibentuk deng menaikkan citra HAM In mata internasional. Meng dinaikkan, karena pernah k citranya. Karena kita tidak si dua konvensi internasi sangat penting, yakni konve hak sipil dan politik serta tentang hak sosial, ekonon daya. Kalau kita meratifikasi k vensi itu, maka komite H bisa langsung datang dan pelaksanaan HAM di Indon pai sekarang kita belum men ya. Padahal kedua konvensi hukum iternasional me kekuatan mengikat. Hal itu kan anggapan, secara for dinilai tidak serius menanga HAM di Indonesia. Kare dibentuk Komnas HAM unt jukkan meskipun tidak me kedua konvensi tersebut, serius melaksanakan HAM Kenapa kita tidak merati ua konvensi itu, karena jika akan ada ketidakcocokan de dangan bangsa kita. Misa dalam salah satu pasal konv but kaum homo dilindungi ka untuk melakukan satu pe Sedangkan menurut UU Pe kita, perkawinan adalah ika seorang pria dan wanita. bertentangan, sehingga kita t atifikasi konvensi itu. Selain penyebab itu tad dengan peristiwa-peristiwa kait dengan integrasi Timo Laporan dari LSM langsung nas HAM PBB dan mendapa pan positif. Sebab menuru 1503 Piagam PBB, tiap i LSM, boleh melapor langsun di bawah Ecosoc, dewan eko sosial. Laporan secara langs individu ini yang bisa mer Dengan data dari rekaman v lit sekali bagi pemerintah k menghindar, menyangkalnya data yang lengkap dan sulit bagi pemerintah Indonesia in bulkan citra kurang baik terh aksanaan HAM di Indonesia bah secara hukum kita belun fikasi dua couvenant sebag ukur apakah suatu negar menangani masalah HAM. S ya kita sudah memiliki pir perangkat HAM misalnya termaktub dalam pembuka 1945 hanya saja ini skupny nasional. Apakah pembentukan HAM hanya untuk menaikkan Baharud Kese MENJELANG peralihar tahun 1996 menuju tahur 1997 banyak peristiwa kerusuhan yang terjadi Mulai kerusuhan d Situbondo hingga d Tasikmalaya. Bicara masalah timbulnya serta cara mengantisipasi berbagai kerusuhan yang terjadi di Indonesia, berikut wawancara Bali Post dengan Sekjen Komnas HAM, Baharudin Lopa. ВІЛ & HAPPY BIRTHDAY Hotel Patra Jasa Bali mendapat kehormatan dari ARCO Indonesia untuk menjamu para tamu negara dari Kamboja yang sedang melakukan kunjungan informal ke Tembau, Ubud dan beberapa objek wisata di Bali. Hadir pada jamuan itu Menteri Industri, Pertambangan dan Energi, Pou Sothirak (35) dan rombon- gan didampingi Management ARCO Bali, Pertamina Denpasar dan pihak Hotel Patra Jasa Bali. Staf Nusa Dua Beach Hotel meraih 14 medali pada acara "3rd Bali Culinary Challenge" yang diselenggarakan di Bali International Convention Center, tanggal 14 Desember 1996. Salah satu artist Kitchen, Ida Bagus Muliarta, memenangkan emas ganda untuk karyanya "Excellent Gold dan Most Outstanding Artist of The Year Gold" Tampak dalam gambar pemenang dan manager, Mr. Erik Gangsted. Putri Galyani Vadhana dari Kerajaan Thailand baru-baru ini berlibur ke Pulau Dewata. Putri menginap di Hotel Bali Hilton. Tampak dalam gambar Putri Vadhana dianugerahi bunga oleh Mr. Micheal Bamberg, pimpinan umum Bali Hilton. TUSUARIA SASTHAMA
