Tipe: Koran
Tanggal: 1997-01-05
Halaman: 10
Konten
Color Rendition Chart HALAMAN 10 Bali Post APRESIASI Minggu Kliwon,5 Januari 1997 Lagu Iringan Dalam Permainan Tradisional Kelir SAMPAI saat ini belum pernah dilakukan pene- litian yang mendalam mengenai lagu-lagu yang di- gunakan mengiringi permainan tradisional. Beber- apa tulisan memuat tentang lagu-lagu Bali pada umumnya, dan beberapa lagi yang mengkhusus membicarakan lagu anak-anak dari segi pendidi- kan, fungsi dan nilai budaya. Penelitian mengenai tipologi, latar belakang sosiologis, nilai keindahan serta hubungannya dengan permainan tradisional belum terjamah secara saksama. Para penulis sastra sepakat menempatkan lagu- lagu yang dinyanyikan anak-anak berbeda sama sekali dengan lagu-lagu yang dinyanyikan orang dewasa. Istilah-istilah yang digunakan untuk lagu anak-anak itu adalah Sekar Rare atau Gegendingan yang dibedakan dengan bentuk lain seperti Sekar Alit, Sekar Madya, Sekar Ageng, Tembang, Pupuh, Kidung dan Wirama (Lihat Simpan AB, I GB Sug- riwa, Ketua Sukrata, IGK Ranuh, Nengah Tinggen). Dari pembagian tersebut, I GK Ranuh membagi lagi Gegendingan itu menjadi Gending Rare, Gending Jejangeran dan Gending Sanghyang. Gending Rare adalah lagu yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak, Gending Jejangeran adalah nyanyian muda-mudi yang digunakan dalam pertunjukan Janger, sedang kan Gending Sanghyang adalah lagu-lagu ritual yang dinyanyikan untuk mengiringi tari Sanghyang. Dalam tulisan ini hanya dibicarakan hubungan lagu iringan dengan permainan tradisional yang dalam pembagian 1 GK Ranuh itu dimasukkan ke dalam Gending Rare. Gending Rare Gending Rare ialah lagu-lagu yang biasa dinya- nyikan anak-anak. Secara umum dapat dikatakan bahwa lagu itu memiliki bentuk yang sederhana, nada-nadanya dapat terjangkau sesuai dengan ke- mampuan ambitus suara anak-anak dan dengan lir- ik yang melukiskan kehidupan lingkungan anak- anak. Dari pembatasan tersebut, maka Gending Jan- ger dan Sanghyang tidak dapat dikelompokkan ke dalam Gending Rare meskipun dari segi tipologi memiliki persamaan. Namun tidak tertutup kemu- ngkinan beberapa Gending Janger dan Gending San- ghyang dimasukkan ke dalam Gending Rare, kare- na lagu tersebut memenuhi persyaratan kemampuan ambitus suara anak-anak dan isinya tidak jauh dari kehidupan lingkungan anak-anak. Contoh yang pop- uler adalah Gending Janger "Siap Sangkur" dan Gending Sanghyang "Made Cenik". Bahkan lagu- lagu Mijil yang tergolong Sekar Alit karena cocok dengan kemampuan ambitus suara anak-anak, dan mengenai kehidupan anak-anak, maka lagu itu menjadi lebih populer di kalanga anak-anak dari- pada di kalangan orang dewasa. Ambitus suara anak-anak umur 9 12 tahun umumnya mencapai satu oktaf atau lebih yakni antara c'-d". Lagu-lagu yang bernada pentatonis seperti lagu-lagu slendro dan pelog di Bali sangat cocok untuk repertoir anak-anak. Lebih-lebih lir- iknya yang dekat dengan lingkungan anak-anak tentu sangat digemari dan mudah dicerna. Dunia anak-anak itu misalnya, lingkungan pergaul- an yang akrab, sifat keakuan, kelucuan, fantastik, bermain- main serta perbendaha- raan bahasa yang me- keadaan lukiskan lingkungan alam dan sosial-budaya dengan menekankan kepada daya tangkap anak-anak. Menurut teori, pengenalan kosa kata yang kongkret pada awalnya lebih mudah dipahami daripada kosa kata yang bersifat abstrak. Gending Plalian dan Permainan Tempo dulu banyak Gending Rare yang terse- bar di kalangan anak-anak. Namun sedikit sekali gending-gending yang digunakan untuk mengir- ingi plalian atau permainan. Lagu "Jenggot Uban", "Semua Api", "Putri Cening Ayu" ad- alah lagu yang populer dinyanyikan di sekolah maupun di luar sekolah. Lagu itu tidak pernah di- hubungkan dengan permainan sebagaimana haln- ya dengan "Meong-meong" yang selalu digunakan mengiringi permainan "Meong Ngalih Bikul". Jika diperbandingkan jumlah Gending Plalian dengan plalian itu sendiri, maka tercatat bahwa Gending Plalian itu jumlahnya amat terbatas. Akhir-akhir ini timbul kecenderungan di ka- langan masyarakat untuk mengaitkan beberapa Gending Rare dengan permainan yang telah ada, seperti yang dilakukan dalam penayangan di TVRI dan pementasan di Pesta Kesenian Bali. Oleh Made Taro Kecenderungan itu disebabkan adanya upaya un- tuk mengangkat permainan itu menjadi sajian yang lebih menarik. Upaya itu timbul, mengingat permainan tradisional telah menggejala untuk dit- inggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Sehubungan dengan kaitan Gending Rare khususnya Gending Plalian dengan permainan itu sendiri, maka dapat dibedakan sebagai berikut. (1) Hubungan terpadu, yaitu hubungan saling terkait antara Gending Plalian dan permainan se- hingga menjadi satu paket. Hal itu berarti per- mainan itu tidak dapat dimainkan tanpa lagu. Con- tohnya "Teng Teng Nyer", "Teng Teng Nyet", "Pohpohan", "Pris Pris Mong", dan "Sijang- sijang", (2) Hubungan pelengkap, maksudnya Gend- ing Plalian itu hanya sebagai pelengkap mengir- ingi permainan tradisional. Hal itu berarti per- mainan itu dapat juga dilakukan walaupun tanpa lagu. Contohnya: "Juru Pencar", "Siap-siapan" "Jangkrik-jangkrikan", "Macepet-cepetan", Kring Jongkok", "Penyu Mataluh". dan khiri permain- an. Seperti dikatakan bah- wa jumlah permainan jauh lebih banyak daripada jum- lah Gending Plalian. Jadi banyak sekali permainan tradisional yang tidak per- nah diiringi lagu seperti "Jak- sa-jaksaan", Malaib Maselengkad", "Main Ki", "Tajog", "Taktik", "Matembing", "Macan-macanan" dan masih banyak deretan lain- nya. Pada umumnya jenis permainan yang tidak sebagai diiringi lagu itu adalah permainan-permainan olah penuntun raga dan bertanding (game) yang menuntut banyak untuk gerak dan konsestrasi bertanding. Dirasakan bah- memulai, wa permainan-permainan seperti itu kurang ek- mengatur spresif serta adanya kecenderungan untuk menga- giliran ngkat bentuk permainan itu menjadi sajian yang dan menga- menarik, indah dan komunikatif, maka timbul usa- ha-usaha sebagai berikut. Pertama, menempelkan Gending Rare yang telah ada yang dirasakan mem- punyai hubungan makna seperti permainan "Ke- lik-kelikan" yang diiringan lagu "Sesapi Kilang kilung" atau permainan "Jaran-jaranan" yang di- iringi lagu "Gikgikang". Pada umumnya lagu yang ditempelkan itu kurang pas. Oleh karena itu dimu- ngkinkan usaha yang kedua, yaitu membuatkan lagu baru. Usaha kedua itu tampaknya lebih pas, karena lagu kreasi baru itu disesuaikan dengan suasana dan jalannya permainan. Contoh-contoh permainan den- gan lagu baru itu antara lain "Kelik-kelikan", "Ja- ran-jaranan", "Ngalih Capung", "Kering-kerin- gan", "Goak-goakan", dan "Jangkrik-jangkrikan". Walaupun lagu-lagu seperti disebutkan tera- khir itu hanya sebagai pelengkap, namun fungsin- ya dalam permainan tradisional tidak kurang dari lagu-lagu yang mempunyai hubungan terpadu. Fungsi lagu iringan itu pada umumnya adalah memperkuat, memperindah dan menghidupkan suasana bermain. Di samping itu juga berfungsi Pameran Tunggal Kedol Subrata Usaha menciptakan lagu baru untuk lebih meng- hidupkan suasana permainan itu merupakan salah satu aktualisasi pele- starian permainan tradisional. Di samp- ing memperkaya khasanah dan variasi, juga dapat mendorong anak-anak untuk mengembang- kan suasana baru yang segar dan aktual. Pada saat ini usaha ke arah itu sangat diperlukan mengingat permainan tradisional sudah hampir di ambang pintu kematian. Khusus dalam hal menciptakan lagu-lagu baru, akan lebih pas lagi kalau tiap pen- cipta memperhatikan segi kemampuan ambitus suara dan kehidupan lingkungan anak-anak. Men- ciptakan lagu baru dengan efek samping "mema- tikan" lagu lama, bukanlah usaha aktualisasi, bah- kan mengingkari apa yang telah dirintis pendahu- lu-pendahulu kita. Lebih-lebih lagu dan permain- an tradisional itu sudah diklaim masyarakat se- bagai miliknya sendiri. Mencari Rasa Seni melalui "Benang Kusut" PELUKIS Drs. Nyoman Gunarsa di Sika Art Gallery pernah mengatakan, aktivitas seni men- ingkat seiring dengan meningkatnya suhu politik menjelang Pemilu 1997. Berbagai pemeran lukis digelar di Jakarta dan Bali. Begitu juga pada awal tahun 1997. Pelukis Made Kedol Subrata kelahi- ran Desa Teges, Gianyar mengawali kiprahnya den- gan berpameran tunggal Kamis (2/12) di Bali Cliff Resort, Ungasan bekerja sama dengan Yayasan Bali Citra Sanjiwani (BCS). Biasanya pemeran dibuka Prof. Dr. Made Bandem, kali ini pameran dibuka Nyonya Asiawati Oka Perjalanannya keliling Indonesia selama 14 tahun ternyata tidak sia-sia. Setelah perjalanan ter- akhimya di Kalimantan saat berkeliling Indonesia, ia baru menemukan jati dirinya sebagai perupa andal dan cukup diperhitungkan di tingkat dunia. Dia ad- alah Made Kedol Subrata. Perjalanan itu temyata membawa hikmah bagi dirinya dan keluarganya. Teman-temannya dulu menyebut dia pemuda luntang-lantung. Sekolah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 60-an juga tak diikuti sam- pai terakhir. Dia menimba ilmu hanya sampai sar- jana muda. Dengan bekal ilmu dan teori yang diper- olehnya di bangku perguruan tinggi itu, dia mulai merambah kantong-kantong budaya nusantara. Kedol memang sosok manusia yang tidak per- nah menyerah. Berbagai konflik batin pernah dial- ami. Dia tak henti-hentinya mencari dan mencari kebenaran dari suatu rasa seni. Pertapaan selama 14 tahun memang membuat dia menjadi matang. Bukannya keteteran bak ayam jago yang sudah tak bertaji dalam menghadapi ganasnya alam dan per Klien Pertama Cerpen Adi Samekto stras Wirata saingan hidup di daerah lain. Ia ternyata tangguh. Ha- sil yang didapati, merupakan pengalaman yang tidak bisa diukur dengan materi. Di pulau "Angin Mamini" ini Kedol membina para perajin kerang. Ia memberi kesempatan bagi anak-anak drop out, dilatih di bidang grafik, sablon, pertamanan, perhiasan kayu, tempurung, kerang-kerangan dan melukis. Ia juga menemukan proses pencelupan kerang. Pada akhimya, dia pun mampu mengangkat kehidupan generasi muda, dengan mentransfer ilmu ke dalam berbagai asesori lukisan di atas kerang kepa- da anak-anak putus sekolah itu. Pengamat seni Prof. Dr. Made Bandem mengibarat kan Kedol seperti dalam cerita Mahabratha. Masa pem- buangan Panca Pandawa ke hutan selama 14 tahun, ternyata memberikan nuansa baru dalam perjalanan kesenilukisannya. Berbagai potensi budaya tradision- al daerah dari seluruh nusantara dipelajarinya dengan tekun dan tanpa menyerah. Ia mengisi dirinya dengan pengalaman itu. Namun, akhimya Kedol tak tahan terlalu lama di negeri orang. Dia menyerah, dan akhimya lagi ke Bali. Bali baginya sangat istmewa. Dia yakin bahwa bakat seninya bisa berkembang di kampung para seniman ini. Mengapa dia memilih Bali? Dia tidak mampu memberikan jawaban. Yang jelas Bali menjanjikan harapan hidup baru bagi Kedol dan keluarganya. Mengapa Kedol kembali ke Bali? Selain kampung halamannya di Bali, di Desa Teges Gianyar. Yang jelas objek lukisan yang dipemerkan di Bali Cliff sampai 28 Januari 1997 secara kasat mata bernuansa relegius ke-Hindu-an (baca: Bali). Boleh dikata objek lukisan- nya memindahkah aktivitas budaya Bali ke atas kan pengacara di Biro Bantuan Hukum yang mengkhususkan diri buat pembelaan bagi si mis- kin. Dari lima puluh peserta tes, hanya delapan yang diterima. Bangga juga perasaannya. Kini ia sudah kembali ke ruang kerjanya. Tadi pagi sewaktu ia masuk kantor, ia melihat sudah banyak calon klien menunggu. Sepintas ia lihat ada seorang perem- puan cukup manis yang duduk dalam deretan bangku tunggu. Cara duduknya seenaknya. Mer okok dan pahanya tersingkap. Dandanan norak. Saat itu Efendi tersenyum. Soalnya ia ingat pesan direk tur beberapa hari sebelumnya "Awas! Jangan ada affair dengan klien. Godaan tidak selamanya da- tang dari kita, tetapi kadang-kadang juga dari klien yang iseng." Waktu melihat perempuan itulah Efen- di membatin, "Jangan-jangan tipe beginilah yang berbahaya. vas, dan ternyata pula, karyanya punya daya tarik tersendiri. Orang menyebutnya dengan ciri khas ""benang kusut" Kedol. Kedol juga tak henti-henti membuat percobaan. Tidak hanya seni lukis yang digeluti. Membatik, men- yablon, seni taman pun dirambahnya. Karya lukisan- nya pun, kini banyak menghias rumah-rumah pecinta seni, baik di dalam maupun di luar negeri. Lalu bagaimana pandangannya dengan modern art? Menurutnya, Bali sudah waktunya memperluas batas keseniannya. Untuk itu diperlukan suatu pematangan dalam bersikap, sehingga melahirkan karya-karya yang mampu mensejajarkan diri dengan pelukis Barat yang sudah lebih dahulu berkiprah di jalur ini. Di samping itu, semangat untuk belajar, mencoba dan diskusi-dis- kusi antar-seniman merupakan wahana yang penting untuk saling menukar pengalaman dan informasi. Lalu bagaimana masyarakat Bali memandang seni modern ini? "Yah, kita harus akui bahwa masyarakat Bali sudah terbiasa dengan gaya etnis naturalis. Akan tetapi, bukan berarti masyarakat Bali tidak bisa meni- kmati modern art ini," kata pelukis yang berpenampilan sederhana ini. Semuanya perlu waktu. Untungnya seni modern yang kini berkembang di Bali bersumber pada kekayaan budaya serta warna etnis yang dimiliki. "Jadi, menurut pendapat saya, proses sosialisasi tidak akan berlangsung terlalu lama," katanya se- raya menambahkan, Bali dan masyarakatnya san- gat mudah beradaptasi. Sedikitnya 30 buah karya dipamerkan di Bali Cliff Resort. Gaya lukisannya yang dipamerkan di Bali Cliff memang memiliki warna dan ciri khas tentang duduknya perkara. "Ini klienmu pertama. Tangani baik-baik. Dari data-data singkat kita be- lum tahu banyak." Dalam formulir, klien-klien menyebut kasusnya sebagai "perkosaan". Ketika Efendi bergerak menuju pintu, Abang berteriak "In- gat jangan cepat jatuh simpati. Sering bukan per- kosaan, tetapi cinta yang dikecewakan. You ngerti kan? Perempuan gampang sakit hati, dan kalau sudah begitu bisa runyam." Abang tertawa keras. Efendi tersenyum; "Luas juga pengalaman Abang kita ini," pikir Efendi dalam hati. Kembali ke ruang kerjanya, Efendi menunggu Sekretaris mengantarkan klien pertama itu. Tern- yata klien itu perempuan tadi pagi yang sempat di- liriknya. Dari dekat tampak lebih merangsang, ada sedikit tahi lalat seperti almarhumah Titin Sumar ni. Pantatnya berguncang ke sana ke mari ketika Pintu kamar kerjanya diketok. Masuk Sekretar memasuki ruangan itu. Segera setelah duduk ia is Direktur. "Bapak diminta menemui Abang Ka memperkenalkan diri "Lies". Efendi baru akan mal di kamarnya." Yang disebut Bang Kamal ad mengulurkan tangannya ketika tangan ia menyeng alah direktur biro yang sudah memimpin biro itu gol gelas teh dan tumpah. Klien itu tertawa terpingkal bertahun-tahun. Terhadap klien jangan mudah pingkal dan meloncat. "Maaf," kata Effendi sambil percaya. Kita harus jeli dan mengorek sebanyak merapihkan kertas-kertas yang terkena teh. Ia merasa mungkin data-data mengenai kasus yang dicerita kurang enak mendengar ketawa yang keras dari pe kannya," Abang Kamal membuka pembicaraan, rempuan itu. Lebih-lebih ketika Lies tanpa sebab apa begitu Efendi duduk di depannya. "Jangan lupa, pun mengerdipkan matanya. Efendi mengambil kes- klien selalu mempunyai kecenderungan berbicara impulan bahwa ada yang tidak beres dari kliennya itu, panjang lebar mengenai tetek-bengek yang tidak paling tidak orang ini genit, pikimya. "Pantas diti penting. Mereka selalu menganggap kasusnyalah duri," katanya dalam hati yang paling luar biasa. Arahkan supaya ceritanya to the point. Jelas?" tersendiri dibandingkan dengan sesama pelukis lain. Namun objek-objek lukisan tidak jauh me- nyimpang dari latar budaya dan aktivitas agama Hindu di Bali. Ternyata, objek lukisannya tidak kering dari daya magis dan taksu. Sebut saja beberapa contoh lukisan yang men- gambil objek aktivitas agama, seni dan budaya Bali yaitu Kresna Murti, Jauk Dance, Lembu Cre- mation, Ongkara, Lontar dll. Warna-warna bu- daya Balinya sangat kentara. Yang membedakan- nya dari yang lain (ciri khas), yaitu cara Kedol menuangkan cat minyaknya di atas kanvas. Pengalamannya di luar negeri ternyata menam- bah wawasannya berkesenian. Selama kurang leb- ih tiga bulan, dari Juli s.d. September 1993, Made Kedol Subrata tinggal di Swis. Mereka yang diun- dang ke Swis oleh promotor Cristoph Merian Stif- tung yakni Made Djima dan Made Budhiana yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia (SDI). Selama berpameran di Swis, dipenuhi pen- gunjung. Pada umumnya mereka sangat terkejut, karena tidak menyangka bahwa Bali, di samp- ing memiliki potensi seni tradisional, ternyata juga memiliki seni modern. Lelaki bernama Kedol ini memang memiliki jam terbang yang tinggi. Beberapa tahun yang lalu sering berpameran di Bali, Jakarta, dan di luar negeri (di Bazel Swis). Karya-karyanya me- miliki ciri khas seperti "benang kusut". Ciri khas ini ternyata berhasil memindahkan rasa seni Ked- ol ke dalam kanvas. Mampukah kedol bersaing di tengah para pelukis asing. Kita tunggu kiprah Kedol pada masa-masa mendatang. (sut/rab) istrinya." "Itulah," sindir Efendi sambil menarik napas. "Apanya yang itulah?" sergah perempuan itu. "Apa sebenarnya yang Mbak kerjakan di rumah Tuan Darwis?" "Baby sitter". Efendi menulis di catatan perkara dan menyambung, "Kasus Mbak lemah. Mbak tidak diperkosa." "Jadi saya tidak dapat perlindungan hukum? Saya kan dikeroyok". "Itu persoalan lain. Pengeroyokan adalah tindak pidana. Tetapi yang Mbak lakukan adalah juga tindak pidana. Namun kalau Mbak minta dikawini, itu sudah keterlaluan." at perlindungan hukum? Bagaimana bisa orang yang "Buat apa saya datang ke mari, kalau saya tak dap meniduri saya dapat lolos begitu saja?! Dia kan enak Dengan judes ia melotot ke arah Efendi. Efendi hilang kesabarannya dan berteriak, "Apa Mbak tidak enak? Sudah sepuluh kali baru ribut. Pasti istri Tuan Darwis akan bilang bahwa Mbaklah yang meniduri suaminya, dan bahwa Mbak orang yang tidak tahu terima kasih. Sudah dikasih pekerjaan, mengkhianati nyonya rumah." Klien itu diam terpaku. Nafasnya turun-naik menahan marah. Matanya merah. www Maharaja Nahusya dan Maharaja Yayati MENGAWALI Tahun Baru 1997 ini, mulai ming- gu pertama Januari 1997, Dunia Pewayangan dan Rubrik Pekeliran akan melansir Kisah Kaca dan Dewayani Dewi, awal para Sura (Dewa) berguru kepada Bhagawan Vharaspati (Brihaspati) dan para Asura (Raksasa) berguru kepada Bhagawan Sukra, yang memiliki anugerah amrtha sanjiwani dari Hyang Widhi. Saat sang Kaca (Putra Bhagawan Vharaspati) diselundupkan para Dewa untuk mempelajari dan mendapatkan pengetahuan amrtha sanjiwani pada Bhagawan Sukra, putrin- ya yang bemama Dewayani Dewi diam-diam men- cintai sang Kaca, mahasiswa ayahnya. Tetapi karena aturan sasana aguron-guron, sang Kaca tidak membalas cinta Dewayani Dewi, sehingga cinta sang Dewi bertepuk sebelah tangan. Dalam episode-episode dan lika-liku cinta sang Dewi yang bertepuk sebelah tangan itu, alih-alih Dewayani Dewi akhimya diperistri oleh Maharaja Yayati dan akhirnya dimadu oleh budak atau dayangnya sendiri, yang bernama Sarmistha Dewi, putri raja raksasa, murid Bhagawan Sukra yang bernama Maharaja Wrsaparwa Sebelum sampai pada episode dan lika-liku kisah cinta Dewayani Dewi yang bertepuk sebelah tangan itu, dan keberhasilan sang Kaca mendap- atkan pengetahuan mantram-mantram amitha sanjiwani berkat ketekunan dan bantuan Deway- ani Dewi, ada baiknya dikemukakan asal-usul Ma- haraja Yayati dan Maharaja Nahusya, yaitu Raja satu generasi sebelumnya, sehingga pengetahuan Upaweda dan Dunia Pewayangan menjadi kro- nologis, menurut sumber Adiparwa (Parwa I) dan Udyogaparwa (Parwa V). Pada bagian Sainyodyo- gaparwa, ada episode episode yang mengemuka- kan, karena kekuatan tapa dan yoga semadinya, Maharaja Nahusya sempat menjadi raja di Indral- oka, menggantikan Dewa Indra. Namun karena nafsu pancawisayanya yang tak sesuai dengan perilaku Dewa-Dewa di Keindraan, akhirnya Ma- haraja Nahusya jatuh kembali ke bumi. Episode diawali oleh Dewa Dharma yang menurunkan raja-raja Suryawangsa dan So- mawangsa yang juga merupakan leluhur raja-raja Kaurawa dan Pandhawa. Dewa Dharma berputra Dewa Soma yang memperistri Rohini Dewi. Dari perkawinan antara Dewa Soma dan Rohini Dewi ini lahir sang Budha, (bukan sang Budha, Awatara Dewa Wisnu yang ke IX, seperti yang dikemuka- kan dalam kitab Satapatha Brahmana maupun dalam purana-purana, dalam artian pure puranic), yang memiliki kontekstual dengan keberadaan Awa- tara Dewa Wisnu yang mengejawantah ke dunia. Kemudian sang Budha memperistri Illa Dewi, berputra sang Waiwaswata Manu dan sang Ik- swaku. Abhiseka Ikswaku, karena dua keturunan- nya yakni Suryawangsa dan Somawangsa (Chan- drawangsa). Dari perkawinan sang Budha den- gan Illa Dewi, di samping berputra sang Waiwas- wata Manu dan sang Ikswaku, juga menurunkan sang Purorawa, yang bertakhta di Kerajaan Pra- yasa, di bagian utara Sungai Gangga. Maharaja Purorawa memperistri bidadari Urwasi Dewi, dan berputra Maharaja Aju. Maharaja Aju kemudian memperistri Prabhu Dewi, lalu berputra Maharaja Nahusya yang menurunkan Maharaja Karmada. Sedangkan Maharaja Karmada, menurunkan Ma- haraja Yayati. Maharaja Yayati memperistri Dew- ayani Dewi, putri Bhagawan Sukra, berputra dua RESENS BUKU orang yakni sang Yadu dan sang Turwasu. Dari perkawinan Maharaja Yayati dengan Sarmistha Dewi, budak Dewayani Dewi, berputra tiga orang, yakni sang Druhyu, sang Anuh dan sang Puru, yang pada yuga-yuga berikutnya menurunkan Kau- rawa dan Pandhawa. Maharaja Nahusya, yang karena kekuaan yoga dan semadinya, sempat dinobatkan menjadi raja para Dewa, Maharsi, Gandharwa, Paisaca dan para Asura di Indraloka, menggantikan Dewa In- dra yang lenyap dari Keindraan, karena dosanya melakukan pembunuhan terhadap Brahmana Tri- sirah, putra Hyang Prajapati (Hyang Twashtri). Peristiwa ini berawal dari pertentangan batin ant- ara Dewa Indra (Surapati) dan Hyang Prajapati. Akibat ulah asli manusia Maharaja Nahusya yang kerasukan pancawisaya, sampai mau memperis- tri Sachi Dewi, sakti (permaisuri) Dewa Indra, dan menyuruh para Maharsi dan Rseng Langit, untuk memikulnya dalam tandu. Akhirnya Maharaja Nahusya dikutuk agar jatuh kembali ke bumi dan menjadi seekor ular. Yang mengutuk adalah Ma- harsi Agastya, yang kepalanya terinjak oleh Ma- haraja Nahusya, saat Maharsi Agastya memikul tandu atau jolinya, saat melayang di langit. Sebe- lum mengungkapkan episode-episode Kisah Kaca dan Dewayani yang agak panjang, terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa episode kisah Ma- haraja Nahusya, saat menjadi raja di Keindraan, yang karena ulah asli manusianya, walaupun me- miliki hasil tapa brata dan yoga semadi yang ting- gi dan sebagai pemegang hegomoni di Keindraan pula, akhirnya jatuh pula ke bumi. Sedangkan ep- isode-episode kisah Maharaja Yayati dan asal-usul- nya memperistri Dewayani Dewi dan menjadi menantu Bhagawan Sukra, Mahaguru para Asu- ra (Raksasa) itu, yang memiliki kontekstual den- gan kisah menuntut ilmu pengetahuan Sang Brah- mana Kaca dan kisah kasih Dewayani Dewi yang ditampik oleh sang Brahmana Kaca, akan dike- mukakan kemudian setelah episode-episode saat Maharaja Nahusya menjadi raja di Keindraan sam- pai jatuh ke bumi, selesai semuanya. Silsilah Maharaja Nahusya dan Maharaja Yayati Dewa Dharma Dewa Soma + +Rohini Dewi Dewa Budha + Illa Dewi Waiwaswata Manu Ikswaku ↓ Urwasa Dewi + Purorawa (Raja Pra- yasa, di utara Sungai Gangga) Dewa Aju+Prabu Dewi ↓ Maharaja Nahusya Maharaja Karmada ↓ Maharaja Yayati + Dewayani Dewi. Ngurah Oka Supartha Untuk Apakah Etnik Bali Menari? Judul Penulis Tebal Penerbit Tahun Etnologi Tari Bali : Prof. Dr. I Made Bandem : 80 halaman :Kanisius Yogyakarta bekerja sama dengan Forum Apre- siasi Kebudayaan Denpasar : 1996 TIAP tarian yang tradi- sional maupun modern pu- nya sejarah dan nasibnya sendiri-sendiri. Sejarah, terutama yang terkait den- gan tempat, waktu pen- ciptaan dan orang yang menciptakan, boleh saja tak bisa diubah. Namun siapa yang bisa menahan nasib sebuah tarian agar tak mengalami perubahan, se- cara fungsional maupun struktural? Apalagi pada zaman yang makin kon- temporer ini, di Bali, se- bagai suatu etnik yang se- dang mengalami perubah- an sosial karena imbas bu- PUSTAKA BUDAYA Etnologi Tari Bali udal yang berkomentar hal sep- erti itu sebagai sesuatu yang wajar. Simpang-siur penda- pat kerap terjadi. Seni bu- daya Bali yang mendapat guncangan dari pengaruh budaya luar, akhirnya juga ditambah oleh guncangan kritik. Namun buku yang ber- judul "Etnologi Tari Bali" ini tidak bermaksusds membicarakan atau menga- jukan tentang kritik kebu- dayaan. Sejak awal dan berkali-kali pada bab pengantar dan pendahulu- an, pembaca diingatkan bahwa di dalam buku ini tak bakal ditemui, misalnya kritik terhadap kreasi-krea- si seni modern pesanan tersebut. Meski diakui, kri- tik terhadap pergeseran kebudayaan masih terlalu penting karena kritik dapat Prof. Dr. I Made Bandem fungsi dan motivasi kreatif daya luar yang dibawa pembangunan dan dunia pariwisata, fenomena pe- rubahan dan pergeseran yang melanda seni buday- anya, khususnya seni tari, oleh beberapa pemerhati seni bahkan dinilai telah bertengger pada tingkat yang mengkhawatirkan. mendorong para kreator untuk melakukan reflek- Hartanto dan Putu Wirata, yang menulis Bab si, mempertanyakan kembali kepada dirinya apa Pendahuluan dalam buku ini, punya contoh-con- yang sudah diciptakannya dan bagaimana kreas- sebuah kreasi baru kolosal yang dirancang dan di- kan penulis karena, seperti yang ditulis pada bagi- toh menarik. Mereka menyebut tari Badminton, inya berfungsi di depan publik. Itu tidak dilaku- sebuah turnamen bulu tangkis. Tari Back to Basic bidang etnologi. pentaskan khusus untuk memeriahkan pembukaan an pengantarnya, kritik seni tidak termasuk dalam untuk merayakan Hari ABRI beberapa tahun lalu, juga tari-tari kreasi baru yang diciptakan maha- Apakah Etnologi Tari Itu? siswa STSI sebagai bagian dari skripsi kesarjan Amerika Serikat, mendefinisikan etnologi tari se- Fransisca Boas, seorang ahli antropologi dari aannya, merupakan salah satu keadaan yang bagai suatu studi tentang kebudayaan dan bentuk- an fungsi serta adanya pergeseran motivasi krea lui media tari, atau bagaimana tari berfungsi di menunjukkan adanya perubahan dan penambah bentuk kemasyarakatan yang diungkapkan mela- tif penciptaan sebuah karya tari. Tari-tarian itu dalam pola-pola kebudayaan. Peneliti lain, G.P diciptakan bukan karena adanya kesadaran este Kurath, memberi uraian bahwa etnologi tari ad- tis yang lahir dari alam pikiran mistis, ontologis alah suatu studi ilmiah tentang tari-tarian etnis di atau fungsional, melainkan karena adanya desa dalam pola kebudayaan, apa dan bagaimana kan atau dorongan praktis yang sekuler. Contoh fungsinya dalam agama atau simbolisme, atau itu bisa diperpanjang lagi dengan contoh-contoh kedudukannya dalam masyarakat. Bertolak dari lain yang juga menarik. Misalnya adanya pemen pendapat kedua ilmuwan itu, penulis lantas me- tasan tari sakral atau semi-sakral (semoga istilah nyimpulkan pandangan yang lebih ringkas bahwa ini benar) di hotel-hotel besar, yang dipaket, dike etnologi tari adalah studi tentang tari dari berb mas dan disuguhkan sedemikian rupa, dengan agai suku bangsa yang ditinjau dari segi penambahan dan pengurangan pada beberapa masyarakat dan kebudayaannya. Penulis pun ber bagian sehingga sesuai dengan desa-kala-patra pegang teguh pada pandangan seperti itu. Alasan- nya. Yang tak kalah menarik, jika biasanya rakyat nya, seperti tertulis di Bab 1, dengan pandangan sepuluh kali. Pokoknya tiap hari Senin ketika istrinya dia bertanggung jawab" "Tuan Darwis memperkosa saya, paling sedikit menari untuk menghibur para pejabat pada waktu itu kita menghindar dari penilaian terhadap tarian "Ya" jawab perempaun itu. "Pokoknya saya minta acara-acara tertentu, belakangan ini muncul hal suku bangsa tertentu sebagai tarian kuno, primi- mengajar dan semua anaknya korsus" "Apakah Mbak hamil?" Tidak" "Berapa kali ibu ditiduri?" "Jelas Bang." jawabnya. "Satu hal lagi," kata nada tak senang. Saya tidak ditiduri. Saya diperko Jangan panggil saya ibu," jawab klien dengan si Abang. "Klien pada umumnya suka berbohong sa dan menceritakan hal-hal yang menguntungkannya saja. Karena itu you mesti punya filter yang ba "Berapa kali," sambungnya "Maaf, Mbak," Efendi berusaha menyabarkan diri. gus." PENGACARA muda itu membetulkan letak dasinya yang agak miring dan seperti mencekik le hernys. Ta tampak gelisah la sedang menunggu klien pertamanya. Diambilnyisir dari saku bela- kang, lalu ia menyisir la mengeluarkan permen dari laci meja dan dikunyahnya. Kemudian seperti tidak disengaja ia mengambil buku-buku hukum yang ada di meja. Dibolak-balikkannya Engelbrecht, kitab suci para SH, tetapi perhatiannya tidak ke situ. Buku Terakhir," kata si Abang lagi. Tunjukkan itu dikembalikan ke tempatnya dan dirapikan Te kewibawaanmu. Buat supaya klien yakin akan pe lapak tangannya mengeluarkan keringat dingin. la nampilanmu. Pengetahuan hukum yang top saja mengambil sapu tangan dan menyeka Lalu ia in gin buang air kecil. Cepat-cepat ia bangkit dan menuju kamar kecil. Ia tidak langsung buang air Ditatapnya wajahnya di cermin dan dalam hati ia memaki, "Brengsek! Ini gara-gara tidak ada kuliah praktik. Menghadapi klien pertama saja tidak karu an seperti ini Kemudian ia mengguman "Ah, persefan," katanya sambil buang air kecil Hari itu adalah hari pertama Efendi, S.H. beker sebagai pengacars. Umumnya baru dua puluh enam ahun Baru empat bulan tamat dari fakultas hukum la telah selesai menjalani tes dan diterima menjadi tidak cukup, bila kau tampak loyo. Sambil me nepuk bahu Efendi, Abang bicara lagi "Kalau klien salah, katakan salah. Jangan kasih angin sorga Tugas kita di sini bukan hanya membeli, tetapi juga mendidik" Abang Kamal mengorek-ngorek pipa rokokn ya, mengisi tembakau dan menyalahkannya. Sam bil membersihkan kaca mata ternyata ia masih menguliahi Efendi lagi, "Kita di sini tidak boleh menerima honor dari klien. Karena itu, relatif kita dapat lebih objektif." Kemudian ia menyerahkan kepada Efendi map perkara yang berisi data singkat "Saya tidak puas dengan penjelasan Bapak" "Itu hak Anda," Efendi masih ketus "Bapak sudah memihak," melengking suara klien "Mbak tidak mau mendengar kebenaran," Efendi menjerit lebih keras itu Tetapi istri dan anak-anaknya mengeroyok saya, lihat ini bekas cakarannya," sambil berkata begitu pe rempuan itu mencoba menunjukkan bekas luka sedikti di atas buah dadanya yang subur Apa jumlah begitu penting?" "Cukup, saya percaya," sergah Efendi sebelum makin tidak simpati "Penting sekali, Efendi mulai tinggi suaranya, la klien itu memegang kancing dadanya "Apa mereka tahu affair ini?" kosaan Mbak Anda gampang dirayu. Itulah masalah "Kalau sampai sepuluh kali dan rutin, bukan per nya "Dia tidak cuma merayu, dia sering memaksa Mbak Lies tampak kaget dan bersungut-sungut "Bagaimana cara dia memaksa dari belakang." "Dia tarik tangan saya kuat-kuat dan mencium saya "Kenapa Mbak tidak melawan?" "Dia berjanji mengawini saya dan menceraikan "Kalau begitu mengapa mesti minta dikawini? Bukankah itu akan menghancurkan rumah tangga or ang melolong sebaliknya. Para pejabat di Bali seperti girang tif, atau nonliterer. Atau, seperti ulasan Hartando girang gejor, beramai-ramai naik panggung me dan Putu Wirata, studi etnologi akan menelusuri nari Kecak, Jangger dan sebagainya untuk meng- fenomena untuk apakah suatu etnik menari? Jadi, hibur masyarakatnya semua fenomena dan eksistensi kesenian dikum Fenomena-fenomena menarik itu kemudian pulkan dan dibicarakan, tanpa harus memberi kri- menjadi lahan empuk bagi budayawan dan kri- tik dan penilaian tikus seni untuk mengolah, mengasah dan melan- Dalam buku ini, karena berjudul "Enologi Tari carkan kritik serta analisisnya. Kritik seni terasa Ball" yang dibahas adalah fenomena untuk apakah jadi kian penting, menarik dan juga populer. Ada etnik Bali menan? Prof. Dr. I Made Bandem, sebagai yang menganggap kreasi-kreasi sení modern pe penulis, dengan "kesaktiannya" dalam penguasaan sanan itu sebagai suatu pendangkalan, komersial berbagai teori seni, yang bersifat local genius (Bersambung ke hal. 14 kol 4) isasi, involusi kreativitas, dan sebagainya. Ada (Bersambung ke hal. 14 kol 1) "Biarin, sama-sama hancur." perempuan itu Tiba-tiba perempuan itu menangis dan berlari ke pin tu Didorong dan dibantingnya pintu itu. Sambil masih menangis terdengar jeritannya, "Sialan, bukannya Minggu Kliwon, 5 J Paro "Kebo DIBANDINGKAN tahu panggung kesenian kita gan pengulangan. Buku pagelaran seni, tampak menyedot "nafsu ber selama puluhan tahun se dengan baik. Dengan u tidak dimaksudkan untuk panggung kesenian kit melainkan pernyataan se yang menyiratkan ada se garap secara optimal da kita, khususnya sastra. Aspek-aspek kesenian telegensia, sosial dan filo merupakan potensi besar gun citra kebudayaan kita 1 digeletakkan di bawah wa berkeping-keping manaka dan kebenaran publik. Per ak tersedot ke narasi-naras yak mengajarkan kita untuk sementara kesenian yang kan kita lebih manusiawi, menyadari keterbatasan d ta juga kehilangan kohesi Lembaga yang seharu mengkomunikasikan hasi pers. Namun, pers sendi rut bermain dalam proses yang diperlukan narasi-na mainan yang makin meng gat membahayakan piki mang, pers tidak dapat d bernafsu untuk "berjuala politik adalah barang da laris. Hal ini tidak kita ses hal bahwa kita kurang d plasi untuk menemukan r Akibatnya, para pakar dar dayawan lebih banyak te publik yang rancu. Peran pers yang palin budayaan, yakni menjadi g anjang tahun 1996, menj ngkin. Barangkali posisi p an inilah yang juga menye budayaan kita menjadi te gkal. Tidak sedikit senim merasa terjebak dan turu stelasi politik yang terasa sosial, kekerasan, kekuas gampang main gampar- kan kegerahan pada bar dorong para seniman untu yang berteriak. Emha Ainun Nadjib, n lagu "Parodi Saridin" yang Sahilatua dalam album "F tamsilkan kesedihan Saridi mor yang parodis. Lewat kita diingatkan bahwa pem "dewa penyelamat" ken upaya peradaban yang miskinan baru, yakni ke Meskipun secara permuka nasib Saridin (nama orang tersingkang-singkang jus gunan. Kontemplasi kita at kan "rasa malu" bahwa material kita belum merasa bahwa dalam disintegras masih merasa paling berbu mati di lumbung". Inikah Bali dalam tahun "kerbau Dunia itu sendiri tidak le odi. Segala sesuatu yang pada hakikatnya tidak leb sindiran sesuatu terhadap kurang lebih kata George pemikir Prancis-di dalar Anus". Bataille, lebih lanjut puitis: Setiap orang menyada bahwa hidup tak dan karena miskinnya Perunggu parodi dari Udara parodi dari air Otak parodi dan katuli Koitus parodi dari keja Melalui bentuk parodi da seolah-olah Bataille ingin m Seorang Ga SUATU hari di siang bolo di sebuah perempatan jalan a kat pasar, seorang gadis bertub semampai, bercelana panjang k mbrang, mode akhir mutakh yang sedang digemari, itu d baju kaos warna langit yang la mendung, juga bersepatu tum tinggi tengah menghaturka canang di titik tengah peremp tan jalan! Astaga, kenapa tak ad seorang turis pun yang membi ikkan kamera. Bukankah ini par tas dijadikan catatan kaki? Se bagai sebuah gejala yang panta dibikinkan diskusi?-Bagi say berakibat panas hari menjad sejuk seketika di hati. Walau ker amaian di situ, entah di warung penjual nasi lawar sampaipu tempat parkir yang merangka jadi trotoar ditakdirkan seola tidak disempatkan lagi menikmat keanggunan gerak gadis itu, ke tika membungkuk dengan lengan panjang meruncing, kulit agak kuning, meletakkan canang, me masang dupa, memercikkan air suci dan lentik jemarinya berger ak teratur Santi sekali sekaligus santai sekali! Lalu saya ingat wajah purna- ma, cahayanya tetap tersembul sekalipun dari balik pohon rim- bun. Sejuk dan romantik, bikin dada tenteram. Barangkali, tiap siang dia begitu (kecuali datang bulan!), menghaturkan canang. menghaturkan doa, semoga yang lewat, hilir mudik di jalan itu selamat. Saat ini, saya perempat ingat seorang teman, yang bertu twr ketika tanpa sengaja bertemu di Jimbaran dalam acara stand- ing party, dia bilang dalam ba- hasa Bali di tengah aroma par fum dan wine kelas satu, "Semua dat di Bali ini adalah karikatu ral". Oh ya?-saya setuju, ter masuk saat dia mengucapkan kata-katanya itu, dia dan saya tengah "karikatur" banget. Apalagi saat seorang bule kecil dengan bangganya jingkrakan memperlihatkan kostumnya, pa kaian tari baris yang gemerlap! Dia berputar seolah tengah ker auhan! Apa saya harus tertawa untuk 4cm
