Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Bali Post
Tipe: Koran
Tanggal: 1997-01-05
Halaman: 11

Konten


u Kliwon,5 Januari 1997 Minggu Kliwon, 5 Januari 1997 araja Yayati adu dan sang Turwasu. Dari aja Yayati dengan Sarmistha wani Dewi, berputra tiga orang. a sang Anuh dan sang Puru, aberikutnya menurunkan Kau- ya, yang karena kekuaan yoga mpat dinobatkan menjadi raja si, Gandharwa, Paisaca dan oka, menggantikan Dewa In- Keindraan, karena dosanya uhan terhadap Brahmana Tri- Prajapati (Hyang Twashtri). al dari pertentangan batin ant- rapati) dan Hyang Prajapati. usia Maharaja Nahusya yang saya, sampai mau memperis- permaisuri) Dewa Indra, dan marsi dan Rseng Langit, untuk tandu. Akhirnya Maharaja ar jatuh kembali ke bumi dan Yang mengutuk adalah Ma- kepalanya terinjak oleh Ma- at Maharsi Agastya memikul aat melayang di langit. Sebe- episode-episode Kisah Kaca agak panjang, terlebih dahulu beberapa episode kisah Ma- at menjadi raja di Keindraan, manusianya, walaupun me a dan yoga semadi yang ting- gang hegomoni di Keindraan pula ke bumi. Sedangkan ep- Maharaja Yayati dan asal-usul ewayani Dewi dan menjadi Sukra, Mahaguru para Asu- ng memiliki kontekstual den- mu pengetahuan Sang Brah- h kasih Dewayani Dewi yang Brahmana Kaca, akan dike- setelah episode-episode saat menjadi raja di Keindraan sam- lesai semuanya. aharaja Nahusya dan araja Yayati ewa Dharma ↓ ma+Rohini Dewi Budha + Illa Dewi v ata Manu Ikswaku ↓ +Purorawa (Raja Pra ra Sungai Gangga) Aju + Prabu Dewi ↓ araja Nahusya araja Karmada ↓ yati + Dewayani Dewi. Ngurah Oka Supartha i Menari? dengan Forum Apre- yang berkomentar hal sep- erti itu sebagai sesuatu yang wajar. Simpang-siur penda- pat kerap terjadi. Seni bu- daya Bali yang sudah mendapat guncangan dari pengaruh budaya luar, akhirnya juga ditambah oleh guncangan kritik. Namun buku yang ber- judul "Etnologi Tari Bali" ini tidak bermaksusds membicarakan atau menga- jukan tentang kritik kebu- dayaan. Sejak awal dan berkali-kali pada bab pengantar dan pendahulu an, pembaca diingatkan bahwa di dalam buku ini tak bakal ditemui, misalnya kritik terhadap kreasi-krea- si seni modern pesanan tersebut. Meski diakui, kri- tik terhadap pergeseran fungsi dan motivasi kreatif kebudayaan masih terlalu penting karena kritik dapat reator untuk melakukan reflek- an kembali kepada dirinya apa akannya dan bagaimana kreas depan publik. Itu tidak dilaku- seperti yang ditulis pada bagi- ritik seni tidak termasuk dalam Apakah Etnologi Tari Itu? seorang ahli antropologi dari mendefinisikan etnologi tari se- entang kebudayaan dan bentuk- katan yang diungkapkan mela au bagaimana tari berfungsi di Rebudayaan. Peneliti lain, G.P uraian bahwa etnologi tari ad- miah tentang tari-tarian etnis di adayaan, apa dan bagaimana agama atau simbolisme, atau lam masyarakat. Bertolak dari muwan itu, penulis lantas me- angan yang lebih ringkas bahwa ah studi tentang tari dari berb sa yang ditinjau dari segi ebudayaannya. Penulis pun ber pandangan seperti itu. Alasan as di Bab 1, dengan pandangan ar dari penilaian terhadap tarian antu sebagai tarian kuno, primi Atau, seperti olasan Hartando studi etnologi akan menelusuri pakah suatu etnik menari? Jadi, lan eksistensi kesenian dikum makan, tanpa harus memberi kri karena berjudul "Enologi Tari salalah fenomena untuk apakah of De 1 Made Bandem, sebagai saktiannya dalam penguasaan yang bersifat local genius Bersambung ke hal. 14 kol 1) Bali Post APRESIASI HALAMAN 11 Parodi Diri Sendiri Tiga Sajak POSBUD Minggu Ini Bulir Padi untuk Hati Nurani "Kebo Mebalih Gong..... DIBANDINGKAN tahun-tahun sebelumnya, panggung kesenian kita lebih banyak diisi ade- gan pengulangan. Buku-buku sastra, diskusi, pagelaran seni, tampaknya kurang berhasil menyedot "nafsu berkesenian" kita yang selama puluhan tahun sebelumnya terpelihara dengan baik. Dengan ungkapan seperti itu, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa panggung kesenian kita nyaris "sekarat" melainkan pernyataan sekadar "lampu hijau" yang menyiratkan ada sesuatu yang belum di- garap secara optimal dari panggung kesenian kita, khususnya sastra. Aspek-aspek kesenian kita seperti aspek in- telegensia, sosial dan filosofi, yang seharusnya merupakan potensi besar dan dapat memban- gun citra kebudayaan kita ternyata tergeletak dan digeletakkan di bawah wacana politik yang juga berkeping-keping manakala ia kehilangan logika dan kebenaran publik. Perhatian lalu lebih bany- ak tersedot ke narasi-narasi politik yang lebih ban- yak mengajarkan kita untuk bersikap masa bodoh, sementara kesenian yang seharusnya mengajar kan kita lebih manusiawi, cerdas dan arif dalam menyadari keterbatasan dan kekuasaan temya- ta juga kehilangan kohesi sosialnya. Lembaga yang seharusnya dapat menolong mengkomunikasikan hasil kesenian kita adalah pers. Namun, pers sendiri tanpa rasa malu tu- rut bermain dalam proses pendangkalan nalar yang diperlukan narasi-narasi politik; suatu per- mainan yang makin mengasyikkan namun san- gat membahayakan pikiran waras kita. Me- mang, pers tidak dapat disalahkan bila terlalu bernafsu untuk "berjualan" dan narasi-narasi politik adalah barang dagangan yang paling laris. Hal ini tidak kita sesalkan, kecuali suatu hal bahwa kita kurang direspons berkomten- plasi untuk menemukan nilai yang lebih tinggi. Akibatnya, para pakar dan (yang mengaku) bu- dayawan lebih banyak terjebak dalam ruang publik yang rancu. Peran pers yang paling minimal dalam ke- budayaan, yakni menjadi gravitasi budaya, sep- anjang tahun 1996, menjadi sangat tidak mu- ngkin. Barangkali posisi pers yang serba risk- an inilah yang juga menyebabkan diskursus ke- budayaan kita menjadi terkesan sangat dan gkal. Tidak sedikit seniman dan kebudayaan merasa terjebak dan turut menyuarakan kon- stelasi politik yang terasa gerah. Ketimpangan sosial, kekerasan, kekuasaan yang cenderung gampang main gampar kemudian melahir- kan kegerahan pada banyak orang-men- dorong para seniman untuk menciptakan karya yang berteriak. Emha Ainun Nadjib, misalnya menulis lirik lagu "Parodi Saridin" yang dinyanyikan Frangky Sahilatua dalam album "Perahu Retak", men- tamsilkan kesedihan Saridin dalam bungkus hu- mor yang parodis. Lewat lirik lagu ini seakan kita diingatkan bahwa pembangunan bukanlah "dewa penyelamat" kemiskinan, melainkan upaya peradaban yang juga membawa ke- miskinan baru, yakni kemiskinan kultural. Meskipun secara permukaan kita menemukan nasib Saridin (nama orang kelas bawah) yang tersingkang-singkang justru oleh pemban- gunan. Kontemplasi kita atas lirik ini menemu- kan "rasa malu" bahwa dalam kepongahan material kita belum merasa "miskin kultural"; bahwa dalam disintegrasi kebudayaan kita masih merasa paling berbudaya ibarat "ayam mati di lumbung" Inikah parodi masyarakat Bali dalam tahun "kerbau" (?) Berbagai Interupsi Dunia itu sendiri tidak lebih dari sebuah par- odi. Segala sesuatu yang tampak di dunia ini, pada hakikatnya tidak lebih dari parodi atau sindiran sesuatu terhadap lainnya. Demikian kurang lebih kata George Bataille- seorang pemikir Prancis-di dalam artikelnya "Solar Anus". Bataille, lebih lanjut menjelaskan secara puitis: segala sesuatu di dunia ini terutama dalam sistem bahasa- eksis disebabkan semata- mata oleh prinsip "pembedaan" (difference). Perunggu dibedakan dengan emas, udara den- gan air, koitus dengan kejahatan; "ruwe- binedha", adalah suatu rangkaian sistem pem- bedaan dalam bahasa yang merupakan salah satu kunci dari filsafat bahasa strukturalisme yang dikembangkan oleh Fredinand de Saus- sure di dalam Course in General Linguistic. Paham semacam itu juga sangat bias dalam aktivitas kebudayaan di Bali. Paradok kebudayaan segara tampak, meskipun sebenarnya lebih menyudut pada sikap pandang dan cara berperilaku kita, dalam segala upaya kita untuk mempertahankan ke- budayaan yang kita anggap paling "adilu- hung" sebagai hanya milik kita. Pandangan semacam ini kemudian berhenti pada pandan- gan aksiomatis bahwa hanya kebudayaan mi- lik kita yang paling baik dan paling agung. Pen- yakit merasa "paling" ini kemudian dilegiti- masi oleh struktur sosial yang ada, hasilnya adalah parodi "ayam mati di lumbung" yang sepi dari kerja keras, kreativitas dan kontem- plasi. Dalam hal tertentu, kreativitas dan kerja keras pada sementara individu (seniman, bu- dayawan dan seterusnya) tertentu memang tidak diragukan lagi, namun secara struktural sosial aspek-aspek tersebut sangat minimal dan belum digarap optimal. Dengan demikian tidak ada upaya untuk mengembangkan kebudayaan dengan sung- guh-sungguh. Parodi yang diterima terbatas hanya merupakan parodi dari sesuatu yang lain, dan belum merupakan parodi dari diri sendiri; mengapa tidak menanduri karang awak"? Mengapa hanya memuji diri sendiri? Sesuatu itu bisa merupakan parodi dari diri sendiri tat- kala ia berhasil mengubah dirinya menjadi ben- tuk-bentuk yang menyimpang dari identitasn- ya sendiri. Dalam hal ini, polisi parodi dari poli- si, pendidikan parodi dari pendidikan dan seni parodi dari seni. Tatanan sosial semacam ini, menurut Bataille lagi, bisa diusik oleh berbagai "interupsi" dan salah satu interupsi yang meru- sak itu adalah pelanggaran pelanggaran hu- kum yang justru dilakukan oleh penguasa yang merasa memahami dunia kesenian. Berkaitan dengan interupsi tersebut, yang kita alami di dunia sekarang adalah perubahan secara total dan simultan pada penampakan (appearence) dan wajah-wajah dunia, disebab- kan terjadinya interupsi pada wajah kota, wa- jah keluarga wajah pendidikan, wajah hukum, wajah seni, dan wajah kita sendiri. Terjadi semacam paralelisme perubahan dalam berb- agai sistem penampakan, produksi atau pen- ciptaan dunia kebudayaan materi, pendidikan, arsitektur, seni, hukum, dan diri sendiri. Seolah- olah perubahan simultan ini dikehendaki oleh suatu sistem gravitasi yang menarik segala bentuk aspek kehidupan, sehingga tertuju pada suatu model perubahan; atau bagaikan sistem satelit yang memancarkan pengaruhnya ke segala aspek kebudayaan materi. Dengan bahasa mudah dapat dikatakan, dunia seakan-akan memiliki sistem gravitasi dan sistem satelit baru, yang merupakan par- odi dari sistem gravitasi dan sistem satelit alam. Perubahan secara total dan simultan dari ber- bagai aspek kehidupan sekarang ini, merupa- kan fenomena beroperasinya sistem gravitasi dan sistem satelit tandingan, yang seakan-akan menjadi semacam semangat zaman, yaitu se- mangat yang bersifat total dan silmutlan untuk mengubah, mendekonstruksi dan memparodi alam, serta menciptakan alam tandingan beru- pa kebudayaan materi yang dewasa ini didomi- nasi oleh kebudayaan materi dalam bentuk komoditi. L.A.O. Suwati Sidemen ULUWATU sebab tanah yang melahirkan kita mengiba langit pun bersedekah mengiklaskan anak tangga rahimnya memagari anak-anak tanah dan ketika musim membesarkan separuh mimpi kita sesari dalam genggam tak cukup lagi kita makin rakus mengais sesari hingga saling mematahkan iga anak tangga yang jadi pagar mulai letih tersungkur, kembalikan tubuh pada langit AASM Ruscitadewi SAAT Kutanggalkan semua saat langit meributkan masa depan (aku ingin melompat ke dalamnya, meninggalkan badan dan tanah yang kuinjak) Tapi siapakah pengetuk pintu malam hari menggores luka telapak tangan pada dinding Lelaki atau perempuan? Kanak-kanak atau orang tua? para leluhur ataukah dewa-dewi? (untuk kusapa dengan benar, dan aku bisa terbebas dari rasa bersalah) Akhirnya kutrima saat langit menumpahkan tangisnya seperti duka berabad lamanya maka: aku ingin larut bersamanya agar tak lagi punya pertanyaan. sketsa sketsa Subagio BM Cokorda Istri Savitri PECAH BATU tak lagi tukang koran segelas kopi hangatkan pagi, keluh itu telah pecah batu di hati serupa nyeri ditikam pisau lagi katupkan geraham. gemetar tangan serupa taji menuju tujuan nyeri itu. ketika ingatan menggulung membentur dinding langit terhambur debu. Kabut teranyam kita duduk diatas sofa senyummu mengalir di belahan embun dan tangis menguap ketika matahari muncul gerutu di kamar mandi memburu rezeki dan janji sambil memaki terucap rindumu kita menekur menatap kalender aku pertaruhkan kekalahan demi kekalahan dan apakah cinta kemenangan dihari ulang tahun ketika dekap kehilangan wajah hangat hanya pecah batu menyangkut dihela napasku * Catatan buat Wayan Jarrah Begitu pentingkah untuk membuat catatan akhir tahun. Dengannya, adakah peristiwa yang bisa diubah, kesedihan yang bisa dihapus, ataupun den- dam yang dipadamkan? 1996, Bali. Beberapa mayat yang berminggu-minggu tak bisa dikuburkan. Sejumlah orang yang dirampas kemanusiaannya. Ru- mahnya dilempari, anak-anaknya diasingkan, Tuhannya dijauhkan dari mereka. Pada saat yang sama, di tanah yang sama, Yuliarsa Sas- trawan sedang memainkan jarin- ya di tuts laptop terbaru, men- jelajah ke ujung benua via netscape, kabel serat optik, dan mobile phone sembari kaki telan jangnya mengelus lumpur sawah di pedalaman Ubud. Entah di mana kita? (inikah Bali?) Bali, 1996. Betapa banyak kawan yang telah bicara tentang tanah-tanah yang tergadai, ten- tang seni budaya yang dilacur kan, tentang dewa-dewa yang digusur. Betapa banyak pula sa- habat yang bicara tentang masa depan, tentang futuristik, tentang teknologi dan kemajuan. Dan entah berapa banyak pula orang- orang kecil, seperti nenek saya yang panca indranya lelah oleh usia, yang sedang mengurut dada tipisnya, memandangi malam gelap sembari bertanya-tanya kenapa udara terasa makin din gin saja. Terbatuk-batuk, menunggu kepulangan anak anaknya yang pergi dalam diam. (inikah Bali?) (Suatu waktu, saat kita se- dang sibuk berdebat mengenai Tuhan, Wayan Jarrah sedang menghitung jumlah tulang bela- kang seekor ular yang dibunuh ayahnya di halaman rumah.) Masa kini selalu merupakan wilayah tarik menarik antara masa lalu dan masa depan. Karenanya, Bali masa kini pun adalah Bali yang disayat-sayat oleh kenangan masa lalu dan kerinduan akan masa depan. Bali yang satu kakinya ada di zaman para Dalem dan kaki lainnya di zamannya Stephen Hawking Karenanya, jangan heran kalau Yuliarsa yang menjelajah Cy- berspace adalah pula Yuliarsa yang menghabiskan paginya dengan mencangkuli tanah, mer- awat ubi kayu. Pun adalah Yuliarsa yang serupa pula yang begitu fasih bicara tentang Paul Theroux di sebuah cafe dan ten- untuk menyadari bahwa orang tang Mpu Kuturan di sebuah Bali bisa menjadi orang Bali tan- bale bengong. pa perlu disibukkan oleh segala macam pemikiran ruwet tentang waktu, tempat, dan keadaan. Karena, sejatinya Bali itu seder- hana. 1996. Bali adalah Bali yang terbelah jiwanya, Bali yang para- doks. Secarik kain poleng yang belum menemukan abu-abunya. Jadinya ia cuma terisi hitam- putih belaka. Jiwa yang terbelah antara masa lalu dan masa depan belaka. Jadinya, hántam-hanta- man budaya bisa terjadi tiap hari. Pembela seni moderen saling mengincar leher dengan pembe- la seni tradisi. Dan itu berlanjut hingga ke bagian-bagian kehidu- pan yang lain. Bisa tentang seks, makanan, demokrasi, media, ilmu hitam, dan seterusnya. Selama orang Bali belum be- lajar untuk letting go, untuk sumarah, untuk menerima bah wa masa lalu tak bisa diapa-apa- kan lagi, karena itu telah terjadi. Untuk menerima bahwa kekha- watiran akan masa depan se- sungguhnya tak perlu meng- ganggu, karena itu belum terja- di. Untuk menerima bahwa sen- yata-nyatanya waktu adalah saat ini, di sini. Maka akan sulit un- tuk menambah warna abu-abu di antara hitam-putih. Akan sulit untuk mengutuhkan kembali jiwa yang terbelah. Akan sulit (Buat yang tak tahu siapa Wayan Jarrah, kepada siapa catatan ini dipersembahkan, coba bayangkan seorang anak kecil buah perkawinan dua bangsa. Wayan fasih bicara Ing- gris, Indonesia, ataupun Bali. la pun terampil komputer, bersilat, ataupun main air. Jangan heran kalau nanti ia juga lihay nyas- tra, bermain sitar, ataupun non- gkrong di bale banjar. Wayan Jarrah, bagi saya, adalah pro- totipe manusia Bali yang utuh, yang mampu memampatkan masa lalu dan masa depan dalam masa kini. Karena ia tak pernah khawatir tentang hal-hal remeh temeh, misalnya mengenai post- modernisme, degradasi budaya, dekadensi moral. Karena Way- an Jarrah lebih tertarik kepada hal-hal besar nan substantial seperti apa rasanya ubi bakar plus keju. Atau, berapa sesung- guhnya jumlah tulang belakang seekor ular. Begitu sederhana.) Wayan Juniarta Menolak Kehendak buat Berkuasa DALAM Konferensi Pers itas, sebaiknya Oleh Jiwa Atmaja konflik, maka dan penguasa harus mempunyai menjelang pembacaan puisi- digunakan un- puisi Chairil Anwar di TIM, tuk menyusun kredo intelektu- Jakarta (27-29 April), Rendra alisme yang sejati. "Vitalitas mengaku tidak berarti (apa-apa) adalah sesuatu yang tidak bisa di depan (sajak-sajak) Chairil dielakkan dalam mencapai Anwar (Suara Karya, 24/4, keindahan serta seniman adalah halaman 1). Lalu, ia merasa tanda dari hidup yang melepas- terseret ke dalam perjalanan lepas," kata Chairil dalam se- spiritualitas Chairil Anwar dan buah pidato radionya. terlepas dari kronologi pen- ciptaan sajaknya: "Saya makin ragu dan makin kurang mema- hami sajak-sajak Chairil An- war," katanya setelah mengaku membaca berulang kali sajak sajak Chairil Anwar. Barangkali itulah pengakuan yang paling jujur dari seorang penyair yang sedang berada di puncak zamannya. Kejujuran in- telektualisme yang demikian itu menjadi sebuah daya yang menggerakkan umat manusia untuk memandang sejarah manusia dalam keseluruhan se- bagai bukan sejarahnya sendiri. Sejarah, apalagi sejarah moral- itas tidak hanya berhenti pada diri sendiri seperti sang surya yang memberi sepenuhnya; ia memperkaya yang lain. "Dalam yang sama dengan penguasa. Perbedaan semacam ini biasan- ya berakhir dengan peneguhan keyakinan masing-masing pihak bahwa dengan berada di dalam kekuasaan, maka gagasan- gagasan pembaharuan (yang dilontarkan kaum intelektual) lebih bisa direalisasikan secara efektif di satu pihak dan di pi- hak lain, dengan tetap berada di luar kekuasaan, kaum intelektu- al (masih) bisa mempertahan- kan independensinya dalam ber- pikir dan bernalar. Bagaimana Chairil mempertahankan inde- pendensinya? Secara tersirat, seperti ditafsirkan atas sajak "Perjanjian..." ialah dengan memilih hidup melepas-lep- as"; mengutamakan kebebasan berpikir dan berkreasi. Jika demikian, masalahnya terletak pada apa yang menjadi preferensi kaum intelektual: Kebebasan berpikir atau realisa- si pemikiran ke dalam realitas Catatan Budaya Minggu Ini keadaan yang demikian", tulis harus berkolusi (atau melakukan dengan sehamparan laut. Perka- kongkret melalui kebijakan-ke- DARI BANTEN SELATAN : ANTARA MULTATULI DAN MULTITULI Terayun dalam bis tua antara Depok dan Lebak, saya jadi teringat akan acara Kemah Budaya Apuaan, di kampung hala- man Bli Wianta sekian tahun lalu. Dalam bayangan saya, Jambore Wisata Budaya dan Pesta Musik Jalanan di Pantai Emas Talanca Banten Selatan ini, tentu tak kalah serunya dengan kemah budaya itu. Apalagi dalam surat undangan dijelaskan, selain sekian nama penyair pilihan, akan hadir juga beragam seniman yang mumpuni di republik ini. Sebut saja, misalnya Rendra dengan Bengkel Teater-nya, Iwan Fals, Sawung Jabo, beberapa pelukis ternama, Kelompok Topeng Bandung, kelompok teater, Kelompok Musik jalanan dari Bogor, Jakarta dan Yogyakarta, dan partisipan lainnya dari segala penjuru negeri. Nietzche dalam Gotzen-dam- merung, orang memperkaya se- galanya dari kepenuhan dirinya apa pun yang ia kehendaki, ter- sendiri: Apa pun yang ia lihat, lihat kembang, kencang, kuat dengan tenaga yang melimpah- limpah (dalam Goenawan Mo- hamad, Kalam No.7). ra siapa yang menggarami" bijakan pemerintah. Maksudn- siapa atau siapa yang mengapi ya, kalau berada di luar sistem siapa bukanlah hal yang terpent- kekuasaan, kaum intelektual ialah proses membentuk visi densi, ing, sebab yang lebih penting (masih) bisa berpikir indepen- yang sama atas sebuah zat se- pemikiran itu tidak akan bany- cara pluralistik. Di atas budaya ak berpengaruh terhadap reali- namun pemikiran- pluralisme, yang ada hanyalah tas kehidupan bersama. nal seputar siapa menguasai sia- perbedaan gaya ucap, yang tidak Dalam bahasa sarkistis, hal perlu membentuk sebuah komu- itu bisa dilukiskan sebagai dua kepentingan (dan banyak mampu mengubah arah per- "gonggongan anjing" di padang kepentingan) yang berbeda jalanan kafilah. Atau, seperti un- pa. Karena tarik menarik antara pasir yang maha luas, yang tidak menangan berpihak pada sebuah mu di zatku kapal-kapal kita demikian kuatnya, maka ke- gkapan Chairil Anwar 'di zat- komunalitas yang memiliki in- bertolak dan berlabuh". Seba- kekuasaan, kaum intelektual strumen kekuasaan, maka inde- liknya, kalau berada di dalam gagas visi (zat) kebersamaan memang kurang memiliki kebe- menjadi sesuatu yang maha basan (karena harus mengikuti penting. sistem dan mekanisme yang gagasan mereka sangat dimu- berlaku), namun sekecil apa pun ngkinkan untuk diwujudkan ke dalam kenyataan. benturan atau depan antara kaum intelektual kejadian yang "membinatang- visi yang sama, meskipun in- kan" salah satu pihak, harus di- telektual sendiri menolak men- lawan. Untuk itu diperlukan jadi penumpang dalam kapal apresiasi yang terus menerus mengenai zat kebersamaan itu, zatmu dan zatku satu urut", kata Chairil Anwar dalam sa- jak itu, lalu kredo intelektualis- Belum jelas, apa yang di- me adalah api yang bisa meng- maksud dengan seniman (intele- garami lautan masing-masing. ktual) yang harus hidup "me- Karena itu, manusia harus sam- lepas-lepas". Bila membayang- pai ke laut ke hilir sekaligus kan riwayat kepenyairannya bermuara, setelah ia menyadari yang cenderung "urakan", bahwa dirinya adalah sehampa- tidaklah sulit menafsirkan per- ran sungai yang tercemar: "Se- kataan "melepas-lepas"; suatu sungguhnyalah manusia itu kredo intelektualisme yang sebatang sungai tercemar," dikhotbahkannya, yang seharus kata Zarathustra, dan orang nya dijadikan pegangan hidup harus menjadi sehamparan lau- oleh kaum intelektual sekarang tan untuk menerima sebatang ini dan kapan pun. Rendra sungai yang tercemar tanpa ia sendiri memilih ungkapan sadari untuk menjadi najis. "berumah di atas angin", dari Kekuasaan adalah sehampa- seperti angin dan kembali ke ran laut yang menerima seba- angin. Kontekstualisasi per- tang sungai yang tercemar dan kataan "melepas-lepas" kemu- bukan sebaliknya. Karena itu, dian menemukan banyak prefe- kerja sama antara intelektual rensi intelektual, yang be- dan penguasa adalah kerja sama rangkat dari asumsi mendasar alami dan organik antara sejum- sekali: "Apakah intelektual lah batang sungai yang tercemar kooptasi) dengan penguasa?" "Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji gar bicaranya, di gang-gang", aku sudah cukup lama den- ungkapan keseharian dalami sa- jak "Perjanjian dengan Bung Karno" (Chairil Anwar) me- menurut Nietzche lagi jika antara seniman seniman (intele- mang secara permukaan seakan Keadaan itu bisa terjadi menganjurkan ikatan kerja sama kita bertaut kembali dengan ktual) dengan penguasa atau re- kekuatan yang kita sebut hidup, zim yang sedang berkuasa (ke- yakni suatu tenaga; suatu daya, tika itu Bung Karno). Akan teta- yang menumbuhkan kita dan pi, melihat kontekstualisasi sa- menggerakkan sejarah: Apa jak 'Perjanjian..", interpretasi yang oleh Nietzche sering han yang demikian itu tidak sepenu- penuh lobang dan rusak parah itu, saya dan teman-teman hendak"-kependekan dari der sendiri lebih memilih untuk pendensi berpikir dan meng- Jadi, walau tubuh letih terayun selama delapan jam di jalan ya disebut sebagai "sang ke- hnya tepat. Chairil Anwar tetap riang. Setengah bergurau Totok, penyair Purworedjo wille zur Macht, kehendak un- menahodai kapalnya sendiri yang merasa masih keturunan Colombus berkata, "Kita akan tuk berkuasa. Goenawan Mo- daripada harus menjadi penum- segera sampai ke tanah harapan, tanah masa depan." Sung- hamad menganalogikan ke- pang di atas kapal penguasa: guh, tak teringat oleh saya, bahwa Kabupaten Lebak yang hendak itu dengan libido Freud Di zatmu dan zatku kapal- dituju itu adalah tanah yang bersejarah. Saya sama sekali ian, meskipun tidak sepenuhnya kapal kita bertolak dan ber- mudian di manakah masih dite Pertanyaan yang muncul ke- lupa bahwa lewat pena Sang Empu Multatuli telah terangkum tepat, karena kehendak itu bu- labuh". Di sini, kaum intelek mui kebebasan berpikir dan kisah Saijah dan Adinda yang memang sajan-sajan itu. Seperti dijelaskan buku Paduan Panitia yang cukup me- bukan sesuatu yang psikis. Na- kehendaknya ternyata berbeda dalam wilayah kekuasaan, atau kanlah sesuatu yang fisik dan tual mempunyai kehendak dan menggagas ideologi? Apakah di wah itu, lokasi jambore di sekitar Malingping itu sungguh ide- mun demikian, hidup sebagai dengan kehendak Persoalan di sini adalah ada- al. Dikepung pohon kelapa dan semak belukar serta berhadap suatu kasus yang istimewa dari (Soekarno), meskipun kehendak me? Karena asumsi yang mun- rezim di dalam wilayah intelektualis- kah daya keintelektualitas itu hadapan langsung dengan laut, tak pelak kami pun merasa kehendak untuk berkuasa, lalu itu haruslah diberangkat dan di- cul kemudian lebih menuntut menokohkan sang pemikir se- masih hidup untuk tetap menemu tanah harapan. Menempati tiga ratus gubuk kecil beratap rumbia dan ber- tuk menambah kekuatan atau sama, yakni zat Tuhan, yang mempertahankan kebebasan alternatif terhadap sebuah ke- menitahkan diri kita sendiri un labuhkan dari dan ke zat yang wilayah intelektualisme untuk bagai suatu suara antitesis dan SUATU hari di siang bolong kelucuannya atau keanehannya, mu? Yah-yah, daya kandung dinding bambu yang khusus didirikan itu, kami pun mulai daya untuk berkuasa. di sebuah perempatan jalan de atau antusias akan kejujurannya untuk melihat apa yang pantas gurauan dan nyanyian serta petikan gitar, tak terasa malam yang esa, sungguh disayangkan menjadi berbeda ketika merasu berpikir, maka khotbah klasik hidupan yang hanya bergerak membuat lingkar-lingkar kecil. Baca puisi bergilir, diselingi kat pasar, seorang gadis bertubuh sebagai anak kecil umumnya? Kekuatan atau daya asas ki tubuh-tubuh yang berbeda. "disenyumi" tiap hal yang ber Harry J. Benda bahwa para in- antara keadaan "menguasai" semampai, bercelana panjang ko Apa bedanya dia dengan keingi kelebat sengaja, tak sengaja, ter- pertama lewat. Saat itu tak terlintas dalam pikiran saya, bah- bila digunakan untuk mengubah manusia ialah bahwa ia hanya bersekutu dengan kekuasaan maka dunia intelektualisme Apa yang besar pada diri telektual yang memburu dan dan "dikuasai". Jika tidak, mbrang, mode akhir mutakhir nan keponakan saya memakai paksa atau dipaksa-paksa, kepep wa disekelilingi di perkampungan tepi pantai yang tampak sejarah keseluruhan manusia sebatang titian, dan bukan suatu pada yang sedang digemari, itu dia baju Superman dan Batman lalu et atau karena keharusan, tidak tenteram itu masih tersembunyi banyak Saijah dan Adinda menjadi seperti sejarah diri tujuan. Atau, menurut ungkapan mengkhianati "jati diri" kein- sungai yang penuh pencemaran dasarnya baju kaos warna langit yang lagi melompat seolah terbang seperti lagi karena itu menyangkut, dulu lain. Yang kisah hidupnya tak kalah perih dengan kesaksian sendiri: "Di zatmu di zatku Chairil bahwa manusia han- telektualitasannya merupakan tanpa sehamparan laut yang ber- telah hanya akan menjadi sebatang mendung, juga bersepatu tumit (bukan gatot kaca atau hanoman) biasanya tidak begitu, sekarang yang ditulis Multatuli itu. Bayangkan, 300 kilometer dari Ibu kapal-kapal kita bertolak dan yalah kapal, yang acapkali di- kredo intelektualisme berlaku sedia membersihkannya. Untuk tinggi tengah menghaturkan seperti gerak mekanik mario kok begini. Karena perubahan itu Kota Republik, Jakarta, ada suatu daerah seakan-akan be- berlabuh" (Sajak "Perjanjian belokkan oleh kehendak untuk umum. canang di titik tengah perempa- bros dalam supermitindo. Banyak bukan urusan fisik! Kalau pun bi- lum merdeka. Menyedihkan sekali- tak sedikit gadis di situ dengan Bung Karno"). Bagi tidak pernah sampai ke tujuan tan jalan! Astaga, kenapa tak ada hal yang tengah berubah, sudah cara nonfisik, yang hidup itu pun yang belum genap berumur 17 tahun, tetapi sudah menjanda Chairil Anwar zat yang mam zat kebersamaan. Agar kapal- pula dalam sajak "Perjan hendak buat berkuasa. keseimbangan itu, diperlukan Visi demikian tertangkap keberanian untuk menolak ke- seorang turis pun yang membid berubah, berubah dan berubah harus pula dinilai dan dihargai tiga atau empat kali ikkan kamera. Bukankah ini pan- Itu tidak diucapkan dengan ba memiliki sebagai yang memiliki Kenyataan yang terlambat kami ketahui itu, menyebabkan pu memberdayakan manusia, kapal dapat bergerak secara plu- jian..." Chairil Anwar di atas. Jiwa Atmaja, badijadikan catatan kaki? Se. hasa cemas. Tidak selalu harus sistem besar dengan kompleks hari-hari selanjutnya di pantai itu, terasa tak indah lagi. Acara yang acapkali disebutnya vital ralis tanpa harus mengalami Bahkan, dalam wawasan ke bagai sebuah gejala yang pantas dengan hiruk-pikuk, bahwa yang serta jalan liku-liku, naik turun musik Iwan Fals, Sawung Jabo dan kelompok musik lainnya Staf pengajar Faksas Unud dibikinkan diskusi? Bagi saya berubah itu pastilah akun psts lembah, bukit, gunung serta gua yang tadinya diharap bisa jadi acara pamungkas, justru se- berakibat panas hari menjadi psst! Membikin isi kepala berkel gua rahasia, yang kadangkala baliknya seakan-akan menegaskan lagi gaya hidup orang kota. sejuk seketika di hati. Walau ker onengan. Setidaknya, gadis itu, di menjadi abstrak, karena banyak Tak paham Desa Kala Patra, dan egois, manja serba komer amaian di situ, entah di warung siang bolong telah bicara, tanpa alasan, mengapa itu kok abstrak sial. Padahal dalam batin sempat terucap syukur, betapa penjual nasi lawar sampaipun harus membusakan bibirnya yang Bali kini dalam perdebatan murah hatinya para penggagas acara ini, sengaja menghad- tempat parkir yang merangkap tipis. Dia menghaturkan canang, demikian abstraknya, kata teman irkan mereka guna menghibur masyarakat sekitar. Tetapi as- jadi trotoar ditakdirkan seolah masih dengan santun, tujuannya saya dengan kepala terkerut taga, pertunjukan itu ternyata bertiket lima ribu rupiah. Bay- tidak disempatkan lagi menikmati jelas mulia. Namun sudah tentu Setelah pulang dari Sidney, angkan, betapa berharganya uang sebesar itu untuk keanggunan gerak gadis itu, ke tidak seperti ketika dulu, genera dia sungguh-sungguh mengata masyarakat yang terpencil dan tertinggal itu. tika membungkuk dengan lengan si neneknya bila akan mebanten kan pada saya, perdebatan ketika oleng di dalam bis tua merayap pulang ke kota Jakarta Maka bisa dibayangkan, bagaimana galaunya batin kami panjang meruncing, kulit agak harus memakai kain dan kebaya, sekarang entah di koran, di sem kuning, meletakkan canang, me mutlak Yah-yah! Di rumah, dari inar diskusi, khususnya tentang yang megah itu, terlebih lagi, peristiwa Tasikmalaya justru masang dupa, memercikkan air pembantu, adik sampai kepona Bali, abstrak dan abstrak!!-Oh meletus dan kami dengar di tengah acara Jambore itu. Dan suci dan lentik jemarinya berger kan pun masih rajin menghatur ya? saya sendiri tidak mengerti, entah itu anggapan saya saja, kok rasanya peserta Jambore ak teratur Santi sekali sekaligus kan canang plus Tri Sandya. Han apa itu abstrak?-(asbak den itu seperti tak hirau akan kejadian yang memprihatinkan itu. ya saja, tidak lagi berkutetan dengan tulisan abstrak saya tahu Walau sedikit terhibur, sebab para penyair sempat juga terli- Lalu saya ingat wajah purna gan kain dan kebaya, asal bersih, dan punya empat biji). Tetapi ya bat perdebatan untuk membuat surat pernyataan prihatin, atau ma, cahayanya tetap tersembul kaos bertuliskan Go to Hell pun sudah, itulah pendapatnya. sejenis repleksi akhir tahun. sekalipun dari balik pohon rim mendukung kekhusukan Apalagi cuma yang dimaksudkan Setiap orang menyadari bahwa hidup tak lebih dari parodi dan karena miskinnya akan interpretasi Perunggu parodi dari emas Udara parodi dari air Otak parodi dan katulistiwa Koitus parodi dari kejahatan. Melalui bentuk parodi dan analogi tersebut, seolah-olah Bataille ingin mengatakan bahwa Kebetulan perubahan wajah dunia yang demikian itu, diiringi oleh tahun kerbau yang secara simbolik diartikan sebagai parodi "ke- malasan". Malas bukan berarti semacam perasaan tidak ingin bekerja keras, melainkan tidak dapat berpikir apa yang harus dilakukan. Pernahkah kita memperhatikan "kerbau me- lihat ombak"? Daun telinganya bergerak-ger- ak, sementara matanya melotot, sang kerbau pun tidak berniat menjilat rumput hijau di bawah mulutnya yang bergerak-gerak itu. Orang Bali pun mempunyai parodi cara kebo mebalih gong", dalam olah sastra modern mungkin kita akan terkena parodi itu. ●Jiwa Atmaja Seorang Gadis Menghaturkan Canang santai sekali! baru. Yaa, siapa tahul Maka Ibu Kota Republik yang gemerlap itu, sungguh tera bun. Sejuk dan romantik, bikin Yah-yah. Saya jadi berpikir itu hanyalah perdebatan. Ken- sa amat sangat jauh dan asing. Entah bergurau atau sung dada tenteram. Barangkali, tiap apa iya tiap sudut di Bali sudah yataannya apa abstrak, tidak guh-sungguh, kami pun saling ledek. "Wah, kita ini bukan siang dia begitu (kecuali datang demikian karikatural kini?-(Di kan? iya kan? Sementara gadis Multatuli, tetapi Multituli." Sahut saya dalam hati, jangan-jan- bulan!), menghaturkan canang, mata teman saya, termasuk dia itu sudah menyeberang lagi dengan Jambore itu justru melahirkan Adipati Adipati Lebak yang menghaturkan doa, semoga yang dan saya kalau iseng bercermin!) gan nampan di tangan, asap lewar, hilir mudik di perempat Seorang gadis menghaturkan dupa mengepul. Saya menerima jalan its selamat Saat itu, saya canang dengan celana panjang, sebungkus nasi lawar Ngebut ingat seorang teman, yang bernu kombrang model masa kini, apa dengan pikiran sejuk. Dalam pe bur ketika tanpa sengaja bertemu itu karikatural? Yah-yah kalau itu rubahan pakaian, makanan, apa di Jimbaran dalam acara stand diintip dari kacamata tahun 30 saja, tetapi dia tengah berdoa, Riki Dhamparan Putra DARI LILIN Warih Wisatsana PERGANTIAN TAHUN sudah habis. Tetapi kok, saya merasa belum menulis apa apa? ing party, dia bilang dalam ba an, 60-an, 70-an barangkali tidak hanya untuk diri sendiri yang saya temukan hanyalah Saya bicara tentang kota, hasa Bali di tengah aroma par masih bisa mengundang senyum, Saya ingat nasihat seorang pan fum dun wine kelas satu, "Semua gelitik di jiwa. Bisa jadi berita dita, kalau kau ber-Tri Sandya, jalan raya yang sempit, penuh chat di Bali ini adalah karikan dan catatan kaki di calon buku ucapkan dengan hati lapang dan kecewa dan kesal pada hujan dipaksa menyaksikan pameran Pada saat semua orang kendaraana. Dan orang orang rol" Oh ya?-saya setuju, ter penulis asing yang tengah me jangan ragu keras keraslah, yang turun "full action" di pameran di sepanjang jalan masak saat dia mengucapkan mantau Bali yang bergerak mod maka semestopun ikut bernyanyi malam pergantian tahun, lilin di raya itu Yang gagal, pameran kata-katanya itu, dia dan saya eren Tetapi sekarang kalaul Karena gadis ine, saya ikut bern kamar saya menyala dengan dengan keluh kesahnya. Seba tengah karikatur banget ah dulu seorang ibu muda den yanyi di hati, tidak sempat terta aman. Di malam yang gelap dan liknya yang sukses pameran Apalagi saat seorang bule kecil gan bangga memperlihat payu wa seperti bila melihat karikatur hajan begits, betapa berarti se- pula dengan merek mobil me dengan bangganya jingkrakan daranya, bayinya bergelantingan karya teman saya tentang Bali batang lilin memperlihatkan kostumnya, pa sampai asia tiga tahun, apa Habis, gadis itu tidak abstrak wah, parfum mahal, pakaian kaian tari buris yang gemerlap! sekarang mengundang senyum jelas dan bertujuan Berkatnya, lin yang temaram, saya membo pula Dengan bantuan cahaya li mahal, dan segala gayanya Dia berputar seolah tengah ker kecil, bila seorang bayi me saya pun kecipratan, selamat lak balik catatan catatan yang ahun! masang spanduk di jalan, susui melewati perempatan jalan Kesannya sering terlalu an saya tulis dua tahun terakhir ini gkak di mata orang kecil dan Apa saya harus tertawa untuk lah kami, bu di sela kesibukan Cokorda Istri Savitri Begitu banyak kertas yang pinggiran seperti saya 'gang Begi yang kelat kelat wangi. Saya pernah menyalahkan mereka, karena keseringan ma- buk. Tetapi saya pikir, biar saja lah. Toh, itu bisa menghibur mereka. Saya menulis tentang Tanah Air. Tetapi Tanah Air begitu be- gitu saja. Yang kuat menang. yang menang tidak meneng- gang. Terus berpikir bagaima na caranya menumpuk tujuh tu- runan kemenangan lagi. Ah, seluruh catatan saya be- nar benar menyebalkan. Apala- gi yang bisa saya tulis agar da- Saya mencatat tentang nasib, pat menyenangkan hati? sendiri. Tetapi kenapa sedikit menyala ketika catatan catatan semua orang punya nasibnya Lilin di kamar saya masih sekali yang mau senasib sepen itu selesai saya bolak balik. Hu anggungan dengan orang lain? jan turun deras di luar. Hingga Padahal bangsa ini ada karena jam 00 tidak berhenti juga. Li perasaan senasib sama sama lin saya padam. Bah, sudah ber dijajah dan sama sama ingin tukar pula tahun. Apakah semua merdeka. Setelah merdeka yang saya catat tetap akan perasaan senasib itu hilang ke menyebalkan? Saya butuh lilin mana, ya? Apa turut lepas sete yang baru. Tolonglah! lah orang merasa dirinya bebas untuk berbuat semaunya? Satu buku tebal saya lagi. penuh untuk mencatat segala lama menjadi kuli pipa. Di perangai kawan kawan saya se dalamnya ada mimpi mimpi dan kecewa. Kebanyakan kawan saya merasa dirinya orang gagal. Menganggap hidup dan pergantian usia adalah sesan yang samar samar Mungkin karena itu pula mereka sering menghibur diri dengan lagu lagu Koes Plus atau Panbers yang cengeng Sambil menghabiskan arak sketsa Subagio BM Agenda Kantong Apresiasi '97 Besakih KATA Besakih'97 Kumandang Apresiasi Tanah Aron... (Bali Timur) Sekali sebulan tiap Tanggal Belasan LONTAR Keempat (4) Duet SMU Saras dan SMEA Saraswati Pengarah Nyoman Tusthi Eddy, Wayan Arthawa, IDK Raka Kusuma dan Reina Caesilia (Instruktur Tamu...) Minggu SORE 12 Januari'97, pukul 15.00 WITA Hubungi Besakih KATA Besakihnya Jana dan Enal dkk Jln Diponegoro 99. Telp 21917 (0363) Amlapura 80811 DUET (DUEL) Solo-Run'97 Agung Bawantara (Jakarta) versus Sindu Para SB (Denpasar) Tegas Isyarat di Langit, jelas Tanda-tanda di Tanah dan Sinyal Wanti-wanti di Karang Awak BParadoks JAGA di BPM Edisi 19 Januari 1997 (Real-Solo-Rum???) Trio KAMPUNG - KAMPUS'97 Dari Kampus Kuning-Kampus 1000 Jendela ke Negara. Edisi Kroyokan model Kampung dan Kampus Eksperimen '97 JAGA di BPM Edisi 26 Januari 1997 Tadarrus PUISI Religius'97 Menimang Suasana Puasa, Menimbang Karunia Budaya Sekali sebulan Gradaggrudug KPSJ Negara Bali Barat Hubungi Achmad Saichu Imran, Pramono AG dkk Jin Kato Lampo 29 Loloan Barat Negara atau Telp 40031 (0365) PONDOK SENI Negara Jembrana HUT STKIP SAR *** Hallo Kampus 1000 Jendela!!! Ulangtahun STKIPSAR 11 Februari 97 dimajukan jadi di BPM 2 Februari'97 karena Hari Raya Idul Fitri-9. 10 Februari'97, Halilloooooo Kampus 1000 Jendela!!! Pesta SENI Kodya Denpasar '97 Selamat Harijadi Kodya Denpasar Senggol Pesta Paisi JAGA di BPM Edisi 23 Februari 1997. 4cm Color Rendition Chart