Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Republika
Tipe: Koran
Tanggal: 2017-02-13
Halaman: 24

Konten


Teraju tr OLEH HARUN HUSEIN RUU Penyelenggaraan Pemilu sudah mengatur e-voting, tapi masih ala kadarnya. ak ada angin, tak ada hujan, Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy, tiba-tiba me- nyampaikan secara terbuka bahwa komitmen dan kesiapan menerapkan e-voting pada Pemilu 2019, bakal menjadi syarat lulus- tidaknya calon komisioner KPU dan Bawaslu. Alasannya, menurut Lukman Edy, komisio- ner penyelenggara pemilu selama ini menjadi penghambat penerapan teknologi pencoblos- an elektronik dalam pemilu Indonesia. Kok bisa? "Kami akan pilih calon KPU yang menya- takan sanggup, bukan yang menyatakan tidak sanggup," kata Lukman Edy, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), itu, pada Selasa, 24 Januari lalu, seperti dikutip Sindo- news.com. Lukman Edy yang juga Wakil Ketua Pa- nitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu, mengatakan bahwa penerapan e-voting di- perlukan untuk mengantisipasi berbagai per- soalan pemilu. Dari sisi teknologi, kata dia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah siap. BPPT, kata dia, telah menguji coba penerapan e-voting di 560 pemilihan kepala desa (pilkades). "Tingkat keberhasilannya mencapai 98 persen." E-Voting untuk Pemilu 2019? Saat Lukman mengungkapkan 'syarat baru' itu, seleksi calon anggota KPU-Bawaslu sedang memasuki babak akhir. Kala itu, Tim Pasal 329 (1) Pemberian suara untuk Pemilu dilakukan dengan cara: a. Mencoblos satu kali pada nomor, nama, foto Pasangan Calon, dan/atau tanda gambar partai politik pengusung untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; b. Mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik untuk Pemilu Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan Seleksi sedang mewawancarai 38 calon anggota KPU dan 28 calon anggota Bawaslu. Seleksi itu menghasilkan 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu, yang telah diserahkan kepada Presiden, 1 Februari lalu. Nama-nama itu kelak dikirimkan ke Komisi II untuk di-fit and proper test. Dalam proses inilah, komitmen dan kesiapan mene- rapkan e-voting itu akan ditanyakan. c. Mencoblos satu kali pada nomor, nama, dan/atau foto calon untuk Pemilu Anggota DPD. Sesuai Undang-Undang Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dalam fit and proper test DPR akan memilih separuh dari nama-nama yang diajukan itu untuk menjadi komisioner KPU dan Bawaslu periode 2012- PASAL E-VOTING DI RUU PENYELENGGARAAN PEMILU A turan main tentang pemberian suara secara elektronik fe-voting) telah dibunyikan dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu yang kini dibahas di DPR. Meski demikian, pengaturannya masih ala kadarnya. Sudah demikian, saat diatur cara pemberian suara secara elektronik, ternyata tak diikuti dengan pengaturan penghitungan suara secara elektronik. (2) Selain dilakukan dengan cara mencoblos sebagaimana dimaksud pada ayat (1). pemberian suara dapat dilakukan melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik. e-KTP Reader DISABILITAS Terhadap ketentuan di Pasal 329 Ayat (2) ini, dari 10 fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Demokrat yang memberi catatan sebagai berikut: • Fraksi Partai Demokrat mengusulkan agar ketentuan ini dipertimbangkan kembali dan dibahas lebih mendalam lagi di Pansus dan Panja. Pemberian suara melalui sarana peralatan elektronik dengan pertimbangan efisiensi hendaknya dijadikan alternatif selain dengan cara mencoblos secara langsung. Penambahan ayat (2) mencoblos melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik dilaksanakan sebagai pilihan atau alternatif dari mencoblos tanda gambar. ● Alasan: * 1. Mengingat letak geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas beribu pulau, dan keberadaan tenaga 2 Shuttle 3 2017. Yaitu, tujuh anggota KPU dan lima anggota Bawaslu. per 4 Bukan yang pertama Dorongan Komisi II untuk menerapkan e-voting, bukanlah yang pertama. Sejak 2011 silam, Komisi II sudah mewacanakan peng- gunaan e-voting untuk Pemilu 2014. Wacana tersebut mencuat usai studi banding pene- rapan e-voting di India. Studi banding itu dilakukan pada 1-7 Mei 2011, atau 14 bulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menge- luarkan Putusan Nomor 147/PUU-VII/2009 yang memberi peluang penerapan e-voting, EDWIN DWI PUTRANTO/REPUBLIKA listrik kurang merata akan menjadi kerumitan dan kendala yang sangat serius, kerana peralatan elektronik menggunakan tenaga listrik. Seperti KTP-el sampai sekarang masih belum tuntas. 2. Di banyak negara pemungutan suara elektronik sudah mulai ditinggalkan karena sulitnya melakukan audit dan akuntabilitas penggunaan masih dipertanyakan. DEWI FAJRIANI/ANTARA (3) Pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan Pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilu. (4) Pemberian suara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan Pemerintah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. Terhadap ketentuan ini, hanya Fraksi PKS yang memberi catatan: dengan catatan memenuhi "syarat kumula- tif." Putusan MK itu dibacakan pada 30 Maret 2010. Ada 10 legislator yang terbang ke India, dipimpin Ketua Komisi II DPR, Chairuman Harahap (Fraksi Partai Golkar). Di sana, me- reka terpesona pada mesin e-voting buatan India, juga cerita sukses di baliknya. Betapa tidak, satu mesin e-voting yang saat itu ber- harga 200 dolar AS per unit, atau sekitar Rp 1,9 juta, bisa digunakan 1.500 pemilih di satu TPS. Dan, negara demokrasi terbesar di dunia yang memiliki 700 juta pemilih itu, dinilai berhasil menerapkannya. Sepekan setelah pulang dari India, Komisi II menggelar rapat kerja (raker) mengundang Duta Besar RI untuk India, Andi M Ghalib, yang juga mantan jaksa agung era Habibie. Rapat yang digelar Selasa, 24 Mei 2011, itu, juga mengundang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rapat itu menyimpulkan: e- voting akan diterapkan dalam Pemilu 2014, dengan uji coba dalam Pilkada Jakarta 2012, karena saat itu Jakarta sudah menerapkan KTP ber-chip, alias e-KTP seperti di India dan Jembrana, Bali. Raker Komisi II itu menjadi semacam gong dari berbagai upaya untuk menerapkan e-voting di Indonesia. Langkah ke arah itu dimulai oleh Kabupaten Jembrana, Bali, yang menerapkan e-voting pada tingkat pemilihan kelihan banjar dinas alias kepala dusun. Suk- ses di pilkadus, Jembrana mencoba menerap- kannya dalam pilkada. Tapi, UU No 32/2004 tentang Pemeritahan Daerah tak memung- kinan e-voting diterapkan dalam pilkada. Pa- sal 88 UU itu hanya membolehkan men- coblos. Bupati Jembrana, Prof Dr Drg I Gede Winasa, bersama 20 kepala dusun, kemudian akuntabilitas; Dalam melakukan pemungutan suara elektronik, penyelenggara pemilu wajib memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. transparansi; b. c. dapat diaudit; d. mudah digunakan; e. kesiapan sumber daya manusia; dan f. kesiapan teknologi informasi yang digunakan. a Sebelum menerapkan pemungutan suara elektronik KPU wajib melakukan kajian dan penelitian secara menyeluruh yang bekerja sama dengan perguruan tinggi dan atau lembaga penelitian. KPU menerapkan pemungutan suara elektronik secara bertahap mulai Pemilu 2019 di beberapa daerah percontohan yang sudah dipersiapkan dalam penggunaan peralatan pemungutan suara secara elektronik. Daerah yang dijadikan percontohan pemungutan suara secara elektronik mendapatkan insentif pembiayaan secara khusus dari negara. Sumber: RUU Penyelenggaraan Pemilu menguji materi pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Pada 30 Maret 2010, MK menga- bulkan penerapan e-voting dengan catatan: terpenuhinya syarat kumulatif. Yaitu, tidak melanggar lima asas pemilu: luber dan jurdil. Selain itu, daerah yang menerapkan harus siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, perangkat lunak, serta masya- ratnya siap. Jembrana menggunakan teknologi Direct Recording Electronic (DRE). DRE ini adalah yang umum digunakan negara-negara yang menerapkan e-voting, termasuk India. Beda- nya, India menggunaan panel elektronik, sedangkan Jembrana menggunakan layar sentuh (touch screen). Tak heran bila harga e-voting Jembrana lebih mahal. Menurut Ketua KPU saat itu, Hafidz An- shary, harga perangkat e-voting Jembrana itu sekitar Rp 20 juta per unit, sedangkan versi lain dari Pemkab Jembrana, harganya Rp 10 juta per unit. Saat itu, Hafidz Anshary, mengaku sudah menghitung biayanya bila diterapkan di 500 ribu TPS di Indonesia. Jika biayanya seperti Jembrana, maka uang yang dibutuhkan sekitar Rp 5 triliun. Sementara harga electronic voting machine India, hanya sepersepuluhnya. Belakangan, BPPT mendesain mesin e- voting yang teknologinya diklaim lebih maju dari India. BPPT mengembangkan mesin e- voting dengan teknologi DRE-layar sentuh, yang harganya pada 2011 lalu, menurut Kepala Program E-Voting BPPT, Andrari Grahitandaru, sekitar Rp 5 juta per unit. Rencana untuk menerapkan e-voting dalam Pilkada DKI 2012 maupun Pemilu 2014, tak jadi terlaksana. Meski demikian, uji coba penerapan e-voting oleh BPPT terus bergulir dari desa ke desa. Color Rendition Chart Dibicarakan lagi Setelah sempat tenggelam, soal e-voting kembali ramai dibicarakan dalam pembahas- an RUU Pilkada, pasca-Pemilu 2014. E- voting termaktub di Pasal 109 Ayat (1) draf RUU Pilkada. Bunyinya: "Pemberian suara untuk pemilihan bupati/walikota dapat dilakukan dengan cara: b. Memberi suara melalui peralatan pemilihan suara electronic voting (e-voting)." Tapi, menjelang berakhirnya pembahas- an RUU Pilkada, terjadi perubahan drastis, karena partai-partai yang semula mendukung pilkada langsung, mendadak mendukung pilkada oleh DPRD. Salah satu dalihnya, pilkada langsung berbiaya mahal. Maka, saat RUU Pilkada disetujui dalam rapat paripurna DPR, bukan hanya pilkada langsung yang hilang dari RUU, tapi juga pasal e-voting. Beruntung, penolakan masyarakat atas pilkada oleh DPRD, akhirnya membuat Presi- den SBY bertindak. Presiden mengesahkan RUU Pilkada hasil paripurna DPR menjadi UU No 22/2014, tapi pada hari yang sama SBY meneken Peraturan Pemerintah Peng- ganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2014. Lewat perppu, bukan hanya pilkada langsung yang kembali, tapi pasal e-voting juga dipulihkan, kendati dengan rumusan berbeda. Soal e-voting diatur dalam Pasal 85 Ayat (1) Perppu, dengan redaksi: "Pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara: b. memberi suara melalui peralatan pemilihan suara elektronik." Ini soal pemberian suaranya. Adapun soal penghitungan suaranya, Pasal 98 Ayat (3) menyatakan, "Dalam hal pemberian suara dilakukan dengan cara elektronik, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual dan/atau elektronik." Tapi, tentu saja ketentuan itu tak cukup. Perppu telanjur didesain untuk pelaksanaan pilkada dengan cara mencoblos, sedangkan e-voting hanya diatur sedikit dan sepintas lalu. Pasal 85 Ayat (3) Perppu --yang kemu- dian diubah menjadi UU No 8/2015-- me- mang memberi jalan keluar dengan rumusan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU. Namun, legitimasi pengaturan e-voting lewat peraturan KPU disangsikan kekuatannya oleh sejumlah kalangan. Sebab, pencoblosan diatur UU Pilkada, sementara e-voting hanya dialas peraturan KPU. Antara lain karena persoalan tersebut, terlebih belum melakukan kajian penerapan e-voting untuk memenuhi "syarat kumulatif" dari MK, KPU tak kunjung membuat per- aturan untuk penerapan e-voting dalam pil- kada serentak tahun 2015 maupun 2017. "Ka- rena KPU tidak kunjung membuat peraturan, yaa e-voting tidak bisa diterapkan dalam pilkada. Kami akhirnya hanya melakukan uji coba di tingkat desa. Sudah di 526 desa," kata Andrari Grahitandaru, kepada Republika, pekan lalu. Apakah tidak kunjung terbitnya peratur- an KPU itu yang kemudian melahirkan tu- dingan dari Komisi II bahwa KPU meng- hambat e-voting? Belum terlalu jelas. Na- mun, KPU sebenarnya telah selesai membuat Kajian Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Pemilu dan Pil- kada, yang tidak merekomendasikan e- voting. Kajian yang dihasilkan oleh para pakar pemilu dan teknologi --termasuk dari BPPT-itu, mengidentifikasi masalah pemilu di Indonesia lebih banyak terjadi pada tahap rekapitulasi berjenjang. Karena itu, kajian itu merekomendasikan penerapan rekapitu- lasi elektronik (e-rekap). RUU Penyelenggaraan Pemilu yang saat ini sedang dibahas DPR, sudah menyebut e- voting. Namun, pengaturannya masih ala kadarnya. Bahkan selangkah lebih mundur dibanding pengaturan di UU No 8/2015. Karena, RUU tersebut mengatur pemberian suara secara elektronik, namun tidak mengatur penghitungan maupun rekapitulasi suara secara elektronik. Karena masih banyak yang harus dibe- nahi, baik aturan main maupun hal-hal lain sesuai putusan MK, Andrari mengatakan, "Untuk 2019, secara teknologi kami meng- usulkan bukan e-voting, tapi e-rekapitulasi." Jadi, mungkin yang perlu ditanyakan kepada calon komisioner KPU dan Bawaslu bukan komitmen dan kesiapan menerapkan e-voting, tapi e-rekap. ■ 4cm U P a Ta N V 0 be pr Da Bo SC ak se apl pac dia sua has ser e-v Boa (Sul mer nya [atu belu pilka F mem elekt sekar TIT E Kc kesia keluli komer Sa menja syarat kelayal masih masala komisie kesiapa menyer and pro akuntab Men sikap K Itula mengap meneraj kelulusa membua dan tidak indikator saja yang pemiluny Rusia. Salah karena selama in Saya mengham pemilu tid berdasark matang. S KPU dan E merealisa Saya ju sudah tepa gradual par distribusi le sampai sca kajian pene kesimpulan teknologi, E dipertangg Menggu bisa hanya berangkat c hendak kita pemilu itu b melahirkan pemilu itu be soal bagaim dan diterjem Syarat k voting itu ha