Tipe: Koran
Tanggal: 2017-02-13
Halaman: 25
Konten
lu 2019? dengan catatan memenuhi syarat kumula- tif." Putusan MK itu dibacakan pada 30 Maret 2010. dan lima enerapkan Sejak 2011 kan peng- 4. Wacana Hing pene- anding itu u 14 bulan K) menge- -VII/2009 me-voting, ANTO/REPUBLIKA d lih, H. tur DEWI FAJRIANUANTARA S Ada 10 legislator yang terbang ke India, dipimpin Ketua Komisi II DPR, Chairuman Harahap (Fraksi Partai Golkar). Di sana, me- reka terpesona pada mesin e-voting buatan India, juga cerita sukses di baliknya. Betapa tidak, satu mesin e-voting yang saat itu ber- harga 200 dolar AS per unit, atau sekitar Rp 1,9 juta, bisa digunakan 1.500 pemilih di satu TPS. Dan, negara demokrasi terbesar di dunia yang memiliki 700 juta pemilih itu, dinilai berhasil menerapkannya. Sepekan setelah pulang dari India, Komisi II menggelar rapat kerja (raker) mengundang Duta Besar RI untuk India, Andi M Ghalib, yang juga mantan jaksa agung era Habibie. Rapat yang digelar Selasa, 24 Mei 2011, itu, juga mengundang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rapat itu menyimpulkan: e- voting akan diterapkan dalam Pemilu 2014, dengan uji coba dalam Pilkada Jakarta 2012, karena saat itu Jakarta sudah menerapkan KTP ber-chip, alias e-KTP seperti di India dan Jembrana, Bali. Raker Komisi II itu menjadi semacam gong dari berbagai upaya untuk menerapkan e-voting di Indonesia. Langkah ke arah itu dimulai oleh Kabupaten Jembrana, Bali, yang menerapkan e-voting pada tingkat pemilihan kelihan banjar dinas alias kepala dusun. Suk- ses di pilkadus, Jembrana mencoba menerap- kannya dalam pilkada. Tapi, UU No 32/2004 tentang Pemeritahan Daerah tak memung- kinan e-voting diterapkan dalam pilkada. Pa- sal 88 UU itu hanya membolehkan men- coblos. Bupati Jembrana, Prof Dr Drg I Gede Winasa, bersama 20 kepala dusun, kemudian Dalam melakukan pemungutan suara elektronik, penyelenggara pemilu wajib memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. transparansi; b. akuntabilitas; c. dapat diaudit; d. mudah digunakan; e. kesiapan sumber daya manusia; dan f. kesiapan teknologi informasi yang digunakan. Sebelum menerapkan pemungutan suara elektronik KPU wajib melakukan kajian dan penelitian secara menyeluruh yang bekerja sama dengan perguruan tinggi dan atau lembaga penelitian. KPU menerapkan pemungutan suara elektronik secara bertahap mulai Pemilu 2019 di beberapa daerah percontohan yang sudah dipersiapkan dalam penggunaan peralatan pemungutan suara secara elektronik. Daerah yang dijadikan percontohan pemungutan suara secara elektronik mendapatkan insentif pembiayaan secara khusus dari negara. Sumber: RUU Penyelenggaraan Pemilu menguji materi pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Pada 30 Maret 2010, MK menga- bulkan penerapan e-voting dengan catatan: terpenuhinya syarat kumulatif. Yaitu, tidak melanggar lima asas pemilu: luber dan jurdil. Selain itu, daerah yang menerapkan harus siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, perangkat lunak, serta masya- ratnya siap. Jembrana menggunakan teknologi Direct Recording Electronic (DRE). DRE ini adalah yang umum digunakan negara-negara yang menerapkan e-voting, termasuk India. Beda- nya, India menggunaan panel elektronik, sedangkan Jembrana menggunakan layar sentuh (touch screen). Tak heran bila harga e-voting Jembrana lebih mahal. Menurut Ketua KPU saat itu, Hafidz An- shary, harga perangkat e-voting Jembrana itu sekitar Rp 20 juta per unit, sedangkan versi lain dari Pemkab Jembrana, harganya Rp 10 juta per unit. Saat itu, Hafidz Anshary, mengaku sudah menghitung biayanya bila diterapkan di 500 ribu TPS di Indonesia. Jika biayanya seperti Jembrana, maka uang yang dibutuhkan sekitar Rp 5 triliun. Sementara harga electronic voting machine India, hanya sepersepuluhnya. Belakangan, BPPT mendesain mesin e- voting yang teknologinya diklaim lebih maju dari India. BPPT mengembangkan mesin e- voting dengan teknologi DRE-layar sentuh, yang harganya pada 2011 lalu, menurut Kepala Program E-Voting BPPT, Andrari Grahitandaru, sekitar Rp 5 juta per unit. Rencana untuk menerapkan e-voting dalam Pilkada DKI 2012 maupun Pemilu 2014, tak jadi terlaksana. Meski demikian, uji coba penerapan e-voting oleh BPPT terus bergulir dari desa ke desa. Dibicarakan lagi Setelah sempat tenggelam, soal e-voting kembali ramai dibicarakan dalam pembahas- an RUU Pilkada, pasca-Pemilu 2014. E- voting termaktub di Pasal 109 Ayat (1) draf RUU Pilkada. Bunyinya: "Pemberian suara untuk pemilihan bupati/walikota dapat dilakukan dengan cara: b. Memberi suara melalui peralatan pemilihan suara electronic voting (e-voting)."' Tapi, menjelang berakhirnya pembahas- an RUU Pilkada, terjadi perubahan drastis, karena partai-partai yang semula mendukung pilkada langsung, mendadak mendukung pilkada oleh DPRD. Salah satu dalihnya, pilkada langsung berbiaya mahal. Maka, saat RUU Pilkada disetujui dalam rapat paripurna DPR, bukan hanya pilkada langsung yang hilang dari RUU, tapi juga pasal e-voting. Beruntung, penolakan masyarakat atas pilkada oleh DPRD, akhirnya membuat Presi- den SBY bertindak. Presiden mengesahkan RUU Pilkada hasil paripurna DPR menjadi UU No 22/2014, tapi pada hari yang sama SBY meneken Peraturan Pemerintah Peng- ganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2014. Lewat perppu, bukan hanya pilkada langsung yang kembali, tapi pasal e-voting juga dipulihkan, kendati dengan rumusan berbeda. Soal e-voting diatur dalam Pasal 85 Ayat (1) Perppu, dengan redaksi: "Pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara: b. memberi suara melalui peralatan pemilihan suara elektronik." Ini soal pemberian suaranya. Adapun soal penghitungan suaranya, Pasal 98 Ayat (3) menyatakan, "Dalam hal pemberian suara dilakukan dengan cara elektronik, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual dan/atau elektronik." Tapi, tentu saja ketentuan itu tak cukup. Perppu telanjur didesain untuk pelaksanaan pilkada dengan cara mencoblos, sedangkan e-voting hanya diatur sedikit dan sepintas lalu. Pasal 85 Ayat (3) Perppu --yang kemu- dian diubah menjadi UU No 8/2015--me- mang memberi jalan keluar dengan rumusan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU. Namun, legitimasi pengaturan e-voting lewat peraturan KPU disangsikan kekuatannya oleh sejumlah kalangan. Sebab, pencoblosan diatur UU Pilkada, sementara e-voting hanya dialas peraturan KPU. Antara lain karena persoalan tersebut, terlebih belum melakukan kajian penerapan e-voting untuk memenuhi "syarat kumulatif dari MK, KPU tak kunjung membuat per- aturan untuk penerapan e-voting dalam pil- kada serentak tahun 2015 maupun 2017. "Ka- rena KPU tidak kunjung membuat peraturan, yaa e-voting tidak bisa diterapkan dalam pilkada. Kami akhirnya hanya melakukan uji coba di tingkat desa. Sudah di 526 desa," kata Andrari Grahitandaru, kepada Republika, pekan lalu. Apakah tidak kunjung terbitnya peratur- an KPU itu yang kemudian melahirkan tu- dingan dari Komisi II bahwa KPU meng- hambat e-voting? Belum terlalu jelas. Na- mun, KPU sebenarnya telah selesai membuat Kajian Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Pemilu dan Pil- kada, yang tidak merekomendasikan e- voting. Kajian yang dihasilkan oleh para pakar pemilu dan teknologi --termasuk dari BPPT- itu, mengidentifikasi masalah pemilu di Indonesia lebih banyak terjadi pada tahap rekapitulasi berjenjang. Karena itu, kajian itu merekomendasikan penerapan rekapitu- lasi elektronik (e-rekap). RUU Penyelenggaraan Pemilu yang saat ini sedang dibahas DPR, sudah menyebut e- voting. Namun, pengaturannya masih ala kadarnya. Bahkan selangkah lebih mundur dibanding pengaturan di UU No 8/2015. Karena, RUU tersebut mengatur pemberian suara secara elektronik, namun tidak. mengatur penghitungan maupun rekapitulasi suara secara elektronik. Karena masih banyak yang harus dibe- nahi, baik aturan main maupun hal-hal lain sesuai putusan MK, Andrari mengatakan, "Untuk 2019, secara teknologi kami meng- usulkan bukan e-voting, tapi e-rekapitulasi." Jadi, mungkin yang perlu ditanyakan kepada calon komisioner KPU dan Bawaslu bukan komitmen dan kesiapan menerapkan e-voting, tapi e-rekap. ■ Komisi Il mau menjadikan komitmen penerapan e-voting sebagai syarat kelulusan komisioner KPU- Bawaslu. Apa komentar Anda? ANDRARI GRAHITANDARU, KEPALA PROGRAM E-VOTING BPPT Untuk Pemilu 2019, Kami Usulkan E-Rekap Menurut saya, menggunakan teknologi lebih baik ya. Karena, TIK (teknologi informasi dan komunikasi) sudah merupakan keniscayaan, sebagai cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, kualitas pemilu. Itu sudah nggak bisa dibantah lagi. Jadi, menurut saya, tidak hanya e-voting, tapi seluruh proses manajemen kepemiluan harus sesuai standar SNI 17582. DPR mengutip data uji coba e-voting BPPT di pilkades saat menyampaikan syarat komitmen kesiapan menerapkan e-voting untuk calon komisioner. Apakah DPR dapat masukan dari BPPT? Nggak tahu. Lha, kami juga tiba-tiba diundang untuk menjelaskan e-voting dalam RDPU RUU Penyelenggaraan Pemilu. Sebelum RDPU dimulai, anggota-anggota fraksi ngobrol santai dengan kita. Tapi, ngomongnya itu seperti kami yang tertuduh. Ngomongnya begini: "Gimanaa BPPT mau pakai e- voting, komisioner aja nggak ada satu pun yang ngerti IT". Kaget saya, ha-ha-ha... Sekarang BPPT sudah menerapkan e-voting di berapa pilkades? Sudah 526 desa di sembilan kabupaten, lima provinsi: Sumsel, Jateng, Bali, Sulsel, dan Gorontalo. Dan, ini terus bertambah. Tanggal 9 Maret nanti di Bogor, 1 Mei di Mempawah, Kalimantan Barat. Teknologi e-voting-nya tetap DRE (touch screen) dengan VVPAT seperti dulu? Sama. Tapi untuk di Bogor dan Mempawah nanti, akan kita jalankan dengan flashdisk. Jadi, PC layar sentuh nanti tidak ada isinya apa-apa, karena semua aplikasi dan hasilnya ada di dalam flashdisk. Jadi, pagi flashdisk dimasukkan ke PC layar sentuh, nanti dia running semua aplikasi, semua pemungutan suara dan hasilnya masuk flashdisk, setelah selesai hasilnya dicetak, dan flashdisk dicabut. Jadi, semuanya nanti ada di flashdisk. KPU terlibat dalam penyelenggaraan pilkades e-voting selama ini? KPU yang terlibat di pilkades baru Kabupaten Boalemo (Gorontalo) dan Kabupaten Bantaeng (Sulsel). Bantaeng ini sejak 2013, sudah ingin menerapkan e-voting dalam pilkada, karena TPS- nya sedikit, hanya 300-an. Tapi, belum bisa, karena [aturan main menerapkan e-voting dalam pilkada] belum nyantol di UU Pilkada. Waktu itu, masih RUU. Bagaimana tingkat keberhasilan e-voting di 526 pilkades? Seratus persen lah... Pilkada yang sudah uji coba di mana? Belum ada. UU Pilkada, Pasal 85 sudah membolehkan e-voting. Tapi, penggunaan peralatan elektronik itu kan perlu peraturan KPU. Sampai sekarang peraturan KPU belum ada. Mudah- Komisi II DPR akan menjadikan komitmen dan kesiapan menerapkan e-voting sebagai syarat kelulusan komisioner KPU dan Bawaslu. Apa komentar Perludem? Saya kira itu tidak relevan. Terlalu prematur menjadikan komitmen dan kesiapan itu sebagai syarat kelulusan komisioner, ketika parameter dan kelayakan penerapan teknologi dalam pemilu kita masih diperdebatkan. Alih-alih menyelesaikan masalah pemilu kita, syarat itu malah bisa membuat komisioner terpilih tersandera. Komitmen dan kesiapan yang mereka sampaikan hanya akan menyenangkan anggota Dewan yang melakukan fit and proper test, bukan berdasarkan skema yang akuntabel. Menurut Anda ada kepentingan apa di balik sikap Komisi II itu? Itulah yang kita khawatirkan. Menjadi pertanyaan mengapa mereka sebegitu yakinnya ingin menerapkan e-voting, bahkan menjadikan syarat kelulusan komisioner, seolah e-voting akan membuat pemilu dan pilkada kita menjadi lebih jurdil dan tidak lagi diwarnai kecurangan. Padahal, indikator kesiapan belum tersedia. Amerika Serikat saja yang sudah begitu matang dalam soal teknologi, pemilunya masih diwarnai isu peretasan oleh hacker Rusia. REPUBLIKA SENIN, 13 FEBRUARI 2017 Salah satu alasan Komisi II membuat syarat itu karena menilai komisioner KPU dan Bawaslu selama ini menghambat penerapan e-voting... Saya kira anggota KPU dan Bawaslu tidak menghambat. Karena penerapan teknologi dalam pemilu tidak bisa simsalabim, tapi harus berdasarkan parameter yang jelas dan kajian yang matang. Saya yakin, siapapun yang jadi komisioner KPU dan Bawaslu, pasti tidak akan bisa langsung merealisasikan e-voting. Saya justru melihat langkah KPU selama ini sudah tepat, dengan menerapkan teknologi secara gradual pada tahapan pemilu, seperti dalam distribusi logistik, penataan dapil, verifikasi partai, sampai scan C1. KPU juga sudah membentuk tim kajian penerapan teknologi dalam pemilu, sehingga kesimpulannya siap-tidaknya kita menerapkan teknologi, benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Menggunakan teknologi dalam pemilu itu tidak bisa hanya didasarkan pada keinginan, tapi harus berangkat dari kebutuhan. Apa kebutuhan yang hendak kita jawab. Menerapkan teknologi dalam pemilu itu bukan soal kita bisa dan mampu melahirkan teknologi canggih dan mutakhir. Karena pemilu itu bukan soal canggih dan mutakhir, tapi soal bagaimana setiap suara dijaga kemurniannya, dan diterjemahkan sesuai keinginan pemilih. Syarat kesiapan dan komitmen menerapkan e- voting itu harus didrop? TAHTA AIDILLA/REPUBLIKA mudahan nanti Pilkada Bantaeng 2018 bisa. Karena, kalau tidak boleh lagi, keterlaluan. Apa lagi gitu lho? Masyarakatnya kan sudah kenal evoting melalui pilkades. Tahun ini juga ada sejumlah desa di Bantaeng yang pilkades dengan e-voting. Selain Bantaeng, daerah mana lagi yang ditar- getkan e-voting di pilkada 2018? Sekarang saya tinggal tunggu KPU, peraturannya mana? Kalau peraturannya sudah ada, saya baru berani janji. Apa masalah yang ditemui selama penerapan e-voting di pilkades? Setelah kami melakukan ratusan kali pilkades, kami mengamati bahwa masalah di TPS itu bukan hanya pemungutan dan penghitungan suara. Ternyata, ada yang lebih jahat lagi, yaitu DPT. Itu sudah saya sampaikan dalam RDPU dengan Pansus. Maksudnya? Selama ini, ketika seorang pemilih datang ke TPS hanya membawa secarik kertas, Form C6. Itu sesungguhnya nggak cukup. Dalam pemilu yang jujur, validitas pemilih itu adalah yang pertama. Di Form C6 kan kadang-kadang nggak ada NIK. Hanya nama dan alamat. Padahal, dasar penduduk indonesia itu adalah NIK. Sudah tidak ada lagi penduduk yang tidak punya NIK. Ingat itu. Dan, NIK itu tunggal. Nah, dalam pilkades kami melakukan e- verifikasi pemilih di TPS. Dari situlah kami menemukan banyak pemilih ganda, pemilih yang domisilinya nggak sama, NIK fiktif dan abal-abal. Saya akhirnya mengatakan, luar biasa soal DPT ini, lebih kejam daripada pemungutan dan penghitungan. RAKHMAWATY LA LANG/REPUBLIKA Sebagai sebuah kelembagaan, syarat yang harus diikuti Komisi Il adalah UU No 15/2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Di UU itu sudah jelas syarat untuk menjadi komisioner KPU dan Bawaslu. Kalau DPR menghendaki pemilu elektronik, itu domainnya undang-undang, bukan dalam penentuan anggota KPU dan Bawaslu. Tapi, sudah ada di undang-undang pun, tidak bisa serta merta diterapkan. Filipina saja, walaupun sudah lama mengatur penggunaan teknologi dalam undang- undang pemilunya, namun mereka berproses puluhan tahun sebelum menerapkannya. Jadi, sebelum buru-buru menerapkan e-voting, kita belajarlah ke negara-negara lain, termasuk yang memutuskan untuk tidak lagi menggunakan e-voting seperti Australia, Jerman, dan Belanda. Belanda, setelah melakukan evaluasi --termasuk mengevaluasi pemilu Amerika setelah kabar isu peretasan--, akhirnya kembali ke cara manual. Sejak Januari 2017 ini, mereka memutuskan menghitung surat surat dengan tangan, satu per satu. Cara itulah yang mereka nilai paling tinggi akuntabilitasnya, karena ada bukti fisiknya. 24-25 TITI ANGGAINI, DIREKTUR EKSEKUTIF PERLUDEM E-Voting Tidak Bisa Simsalabim Di RUU Penyelenggaraan Pemilu, soal penggu- naan e-voting sudah diatur... Ya, tapi bahasanya kan "dapat". Jadi, itu sebuah pilihan. Putusan MK kan sudah memberikan prasyarat untuk penerapan e-voting. Bagaimana mungkin undang-undang mewajibkan penerapan e- voting kalau prasyarat dalam putusan MK belum dipenuhi. Katanya di pilkades semua orang saling tahu. Katanya petugas pasti sudah kenal sama yang milih. Huh, apaan! Justru karena saling kenal itulah... DPT tidak akurat jadi persoalan serius ya? Lho... sangat! DPT pilkades itu awalnya dari DP4 plus DPT pemilu terakhir. Ini yang dimutakhirkan oleh pantarlih pilkades, menjadi DPS. Setelah pemutakhiran door to door, pantarlih kemudian menempelkan DPS. Kalau ada sanggahan, diperbaiki, sebelum jadi DPT pilkades. Nah, waktu pemutakhiran oleh pantarlih itulah ditambahkan NIK fiktif, NIK aneh-aneh, orang yang sudah KTP Jakarta masih bisa milih di pilkades Pemalang, Boyolali. Jadi, proses dari DPS menjadi DPT itu saya usulkan untuk diperiksa dulu di Dukcapil. Karena, pantarlih itu nakal. Pantarlih inilah yang menurut saya merusak data kependudukan. Tim pantarlih ini kan biasanya orangnya itu-itu saja. Bagaimana cara verifikasinya di pilkades? Begini, kita mulai dengan undangan yang benar. Karena penduduk Indonesia itu identitasnya di NIK, bukan nama, maka di undangannya ditulis "nama siapa, NIK berapa." Kemudian, KTP elektroniknya ditempel di card reader, dan NIK-nya dibaca. NIK ini kemudian dilempar ke aplikasi DPT dalam laptop yang disambungkan ke card reader, dan langsung ngecek apakah NIK itu ada dalam DPT. Ketika NIK ada, fotonya langsung muncul di layar laptop. Kalau cocok, status yang tadinya tidak hadir, otomatis menjadi hadir. Kalau orang nggak bawa KTP, hanya bawa undangan, dia tinggal menyebutkan saja NIK-nya, kemudian diketik manual. Verifikasinya pakai foto dalam Aplikasi DPT. Kalau orangnya sudah sesuai dengan foto, tinggal double klik, statusnya langsung hadir. Jadi, verifikasinya menggunakan NIK dan foto. Ada satu perangkat lagi yang baca sidik jari, ini lebih otentik lagi. Soal penerapan e-voting sudah masuk dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu... lya, saya sudah baca. Tapi, masih kurang lengkap. Karena yang diatur hanya pasal pemungutan suaranya saja, tidak termasuk penghitungan suaranya. Jadi, harus ditambah pasal yang mengatur penghitungan suara, pengiriman, dan rekapitulasi secara elektronik. Disamakan saja sama UU Pilkada. Untuk Pemilu 2019, e-voting sudah yakin bisa diterapkan? Sebelum dipakai secara nasional, semuanya harus bertahap. Saya nggak pernah memimpikan semua yang serba jreeng, jreeng, jreeng.... Waktu ditanya kesiapan sama Pansus, kami sebutkan lima hal, sesuai syarat dari MK. Secara kelembagaan, yang masih kurang di kita adalah industri. Karena itu, kami mengusulkan ada dulu industri pendukung penyelenggara pemilu, dan ini harus BUMN, pelat merah. Jadi, untuk 2019, secara teknologi kami mengusulkan bukan e-voting, tapi e-rekapitulasi. MK sudah membuat parameter dan prasyarat, perangkat elektronik tersebut harus menjamin terpenuhinya asas luber dan jurdil, kesiapan masyarakat, serta ketersediaan infrastruktur. Sepanjang semua itu bisa dipenuhi, e-voting bisa diterapkan. Nah, untuk mengetahui syarat itu sudah terpenuhi atau tidak, tentu kita perlu bukti yang bisa diukur. Karena itulah harus dilakukan kajian, penelitian, atau studi kelayakan. Kalau ada anggapan teknologi akan menyelesaikan semua masalah pemilu kita, pandangan itu harus kita luruskan. Karena, teknologi itu hanyalah alat bantu yang bergantug pada instrumen-instrumen lainnya, yaitu manusia dan kesiapan masyarakatnya. Kami percaya penggunaan teknologi dalam pemilu sebuah keniscayaan. Karena penggunaan teknologi akan membuat pelayanan kepada pelaku kepentingan lebih baik, transpran, dan akuntabel. Namun, dalam konteks menemukan teknologi yang cocok dan tepat, harus dengan studi kelayakan harus menemukan dulu apa masalah yang ingin kita jawab dari penggunaan teknologi ini. Apa masalah dalam pemilu kita yang perlu dijawab dengan teknologi? Dalam riset, pengkajian, dan penelitian kami, ternyata permasalahan kita bukan dalam pungut- hitung di TPS, tapi ketika suara itu bergerak kecamatan dan desa/kelurahan. Itulah ruang di mana kecurangan banyak terjadi. Kajian kami terhadap sengketa hasil Pemilu 2014 di MK, juga mendapati yang banyak dipersoalkan adalah rekap di kecamatan dan desa/kelurahan. Nah, kalau problemnya di tingkat rekap, apakah tepat menjawabnya dengan evoting? Kedua, pungut-hitung di TPS-TPS kita disebut oleh para pakar pemilu internasional, seperti Peter Erben, sebagai yang paling transaran dan akuntabel di dunia. Proses pungut hitung di TPS-TPS kita tidak hanya menawarkan keterbukan, tapi juga festivity, di mana masyarakat melebur dalam pesta demokrasi. Semua orang bisa menyaksikan dan mengakses hasil penghitungan suara di TPS. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi di TPS, kecuali saat memberikan suara --karena menganut prinsip rahasia. Jadi, pungut-hitung di TPS kita sudah luber jurdil, serta inklusifitas proses: ada partisipasi masyarakat, kebersamaan, dan saling mengawasi. Dan, saya juga sudah membuktikan kebenarannya saat memantau pemilu di sejumlah negara seperti Nepal, Australia, Filipina, Amerika, dan Srilanka. Jadi, Kita benar-benar tidak butuh e-voting ya... Kita lebih membutuhkan e-rekap ketimbang e- voting. Karena, yang harus kita benahi adalah bagaimana rekapitulasi kita bisa lebih tepat, akurat, terpercaya, dan akuntabel dalam menyajikan hasil pemilu. Jadi, kajian KPU yang merekomendasikan e- rekap sudah benar.harun husein 4cm Color Rendition Chart
