Tipe: Koran
Tanggal: 1993-01-24
Halaman: 07
Konten
ANUARI 1993 n ama Kanana Bali Post/NOS ena, ketimbang di- bebaskan oleh Bhi- Arjuna, manusia kubenci di dunia n gumamnya pada telah kembali di Is- pura. Dalam kebi- sifat keras kepala- iba Duryadana me- ana agar datang di Karena ulahnya arusnya mendapat- dan naik pangkat hasilannya membe- adana, alih-alih se- ana berpidato pan- ng bernada menya- ana, dia kemudian tuk berduel dan di- ih salah satu sen- menyadari kedudu- mbang mati konyol, il pedang dan terus an Duryadana. Ke- konyol, lebih baik ksatrya pengawal, ecara ksatrya. Toh melawan akan dibu- Duryadana yang an keras kepala itu. an pun akan mati, n tetap akan mati akan buah simala- an ayah mati, tidak à ibu mati. Karena ukanlah tandingan main pedang. ah Oka Supartha) lagi sejumlah cer- menyajikan kemu- g-orang kecil dari pengarang semisal to (Nurjanah), Ah- Mata yang Enak Di- adri Hamdi (Petaka Lan lain-lainnya. s yang terjadi di se- , dan ketika para alam Kado Istimewa menyajikannya, kita terperanjat, me- b. Paling yang da- ma dari buku kum- nini adalah sema- 1. an hubungan nilai ewa ini diakhiri de- enutup dari Nirwan muda yang menjadi anci dalam Kongres 1991 lalu ini meni- elas cerpen terbaik 1 adalah realisme. ma, realisme yang : unia nyata. Seperti wan dan wartawan, ga menghadapi se- a. Kecermatan dan Halah penting. Soal dalah, bagaimana tersebut diamati bih lanjut terhadap pen yang tergabung ini, Nirwan menilai, k selalu menderita: ang hidup ini juga Mereka berada da- sekalipun konflik lu terang-terangan.- hwa mereka nam- m lugu itu, secara ti- g mencerminkan ke- 6). dalam masyarakat *** NYA Kado Istimewa, telah memberi sum- ada khazanah kesu- donesia yang konon erpencil itu. Inilah ebuah koran terke- ublik ini. Kado Bu- wan Suardika). AIK IVERSITY ULUWATU GURAH RAI AIR PORT KUTA BEACH saran Kami: REALTY MENT Estate 90 Denpasar x. 36954 SILITAS KPR ANCANG BANGUN C77 MINGGU, 24 JANUARI 1993 Cok Sawitri ADUH MEME mulih mangkin tiang mulih lawas luas merasé sawat tulung, ampakang korine baang tiang ngeling maguyang aduh meme! merasé bék tangkahe sajé kéto sing adé langit endep yakti kéntén tusing adé satwé bawak bees liu ingetang bees liu ané kekenéhang sampunang sélsélange merasé bakat i bulan buke lutung kesemaran ilang kenéh ilang pangubakti Sang Pangeran dan Bunga Mawarnya Percikan permenungan dari dialog dan pentas Monolog di Lovina TERINGAT anaknya, seo- rang ibu meneteskan air mata, Tak ada bau mesiu Bosnia. Tak ada gigitan kelaparan Somalia yang mematikan secara perlahan-lahan. Yang ada, hem- busan lembut angin garam diki- lah nyanyian kodok serta keha- diran beberapa orang dalam sua- sana sangat apresiatif di markas Teater Manggala, Singaraja. Air mata menetes, sebab ibu itu merasa diingatkan; Apa yang telah ia berikan terhadap anak- nya? Usai menyaksikan pentas Monolog oleh Nyoman Suteja, arahan sutradara Abu Bakar, memainkan naskah: The Day When I Met The Prince, karya pe- nulis Singapura Kou Po Kun. Pe- mentasan yang mengajak kita berpaling sejenak dari pemen- tasan dengan panggung yang le- bih besar, yang telah menguras lebih banyak lagi air mata, bah- kan darah dari saudara-saudara kita, manusia. *** "Bapak-bapak, ibu-ibu seka- lian, inilah Magic Pil anti haus ..." begitulah sang tokoh dalam Monolog tersebut mempromosi- kan dagangannya yang konon dapat mengatasi terbuangnya waktu manusia untuk aktivitas "sekitar" minum. Sementara di duh meme! mulih tiang mulih buké i siap melaib uli pagocékan batis sarat kenéh sawat pesuryak nyamebraye sing magetih panak meme tulung, ampakang koriné! ampakang! meléd biin tiang dadi anak cenik ngeling maguyang nuturang éngsek bayu nyening dados, biin mani puan saratang jé meme! antosang tiang dirurunge apá kerasé pitresnan idup aduh meme! tulung, ampakang korine! tengah kesibukan tokoh terse- but, sahabatnya - Sang pa- ngeran yang berasal dari bintang --, berulang kali menyela dengan pertanyaan tentang cara melin- dungi mawarnya dari gangguan Kambing. Pertanyaan yang terabaikan. Kita jadi diingatkan betapa kita kerap larut dengan per- soalan masing-masing dan mengabaikan persoalan orang lain. Tenggelam dalam gagasan- gagasan "besar" sambil menye- pelekan hal-hal yang bagi orang lain sangat berarti. Dan yang le- bih celaka lagi, kita sering me- rasa terlalu pintar dalam meru- muskan apa yang menjadi kebu- tuhan orang lain tanpa menyelidiki atau bertanya terle- bih dahulu pada mereka. (Bu- kankah sepanjang sejarah ma- nusia cukup banyak keputusan yang mengatasnamakan kepen- tingan rakyat kecil, justru men- celakakan mereka?). Masih banyak gugatan atau pertanyaan yang dapat muncul setelah kita menyaksikan pe- mentasan tsb. Pementasan yang mengajak kita bercermin sambil mengejek dan menertawakan diri sendiri. Kini Sang pangeran telah kembali ke bintang asalnya, de- ngan meninggalkan pertanyaan bagi kita; Dapatkah dalam kapa- sitas masing-masing, kita ber- peran--betapa kecil pun -- dalam melindungi mawar kedamaian bumi kita, dari ancaman kam- bing keserakahan, kambing ke- dengkian, kambing amarah, kambing kesombongan ..., yang mungkin telah lama kita peli- hara dan kerap mengembik di dalam diri kita. (Tan Lioe Ie). Cakil dari Selong Lombok Timur SHEILA "BIANG keserakahan yang begitu jago mendoktrin seseorang agar segera bergegas ke warung, adalah penulis iklan," ucap Char- les Dickens, praktisi iklan yang berkaliber dunia itu. "Iklan adalah senjata ampuh untuk merogoh saku para pende- ngar dan pembaca iklan tersebut," katanya juga, "apalagi iklan ter- sebut didengar dan dibaca oleh para konsumen secara berulang- ulang, tentu iklan tersebut akan memenuhi kepala konsumen itu. Anehnya masih banyak yang belum memahami kepiawaian iklan tersebut sehingga banyak yang telah termangsa iklan. Ketika me- reka terkena penyakit ringan saja, semacam sakit panas, batuk, pilek dan demam, maka mereka akan cepat bergegas ke toko obat atau apotik untuk mendapatkan obat yang ditawarkan iklan tersebut. Adalah seorang ibu, tetangga saya, sekali waktu ketika anaknya batuk, menyuruh suaminya membeli obat batuk pada sebuah toko obat. Akan tetapi setiba di rumah, si ibu marah-marah, "Kenapa obat ini? Apa Bapak tak pernah dengar iklan di televisi itu? Kan ada obat batuk yang disukai anak-anak. Ada rasa jeruk, ada rasa apel dan..." Padahal obat yang dimaksudkan oleh si ibu tersebut adalah tergolong obat keras yang cukup membahayakan anak-anak. Pada malam itu pula saya sempat menjenguk anaknya. Saya agak heran, kenapa ia harus malam-malam pergi membeli obat ba- tuk untuk anaknya padahal di halaman rumahnya ada pohon adas, pulosari, saga manis dan bawang merah. "Bahan-bahan itu dicam- pur dan dihaluskan kemudian ditim selama lima belas menit. Ketika diminumkan, campurlah dengan madu. Ramuan ini cukup manjur untuk menghilangkan batuk anak-anak," saran saya. Mungkin saja si ibu itu mengatakan kurang praktis. Akan tetapi nyatanya ia merasa lega karena malam itu pula anaknya bisa terti- dur dengan nyenyak tanpa gangguan batuk. "Pinjam dong pak resepnya," pinta ibu itu keesokan harinya. Dan saya memberinya sebuah buku "Pengobatan dan Penyembuhan berbagai Penyakit Bayi dan Anak dalam Resep-resep Ramuan Tra- disional" karangan Prof. Dr. Salim Lubis, M.A. "Hati-hati dong, Bu. Jangan sampai diperdaya iklan," seloroh saya. Rupanya tidak hanya ibu itu yang termakan iklan, mungkin masih banyak ibu-ibu yang lain. Mereka begitu percaya terhadap produk yang ditawarkan setiap iklan tersebut. Hal itu tentu karena kepia- waian para penulis iklan (Copy Writer) dalam memilih bahasa yang komunikatif sesuai dengan sasaran bidik. Kalau kita amati iklan yang ada pada berbagai media massa ce- tak dan elektronik, maka nyata sekali keampuhan para juru pema- saran (marketing mix) dalam menentukan target audience. Iklan yang untuk ditayangkan di televisi, benar-benar dibuat secara cer- mat oleh praktisi iklan tersebut. Mereka sangat selektif dalam memi- lih juru pesan (Presenter), dan pemeran iklannya (decision maker). Misalnya iklan yang menawarkan produk untuk bayi, maka dicision makernya bayi yang montok, sehingga setiap ibu yang merupakan target audience akan secara tiba-tiba ingin membeli produk tersebut agar bayinya semontok bayi dalam iklan tersebut. Iklan memang menjanjikan banyak harapan. Di balik iklan terse- but juga tersimpan banyak kebohongan. Meskipun kejujuran adalah salah satu dari tata krama periklanan, namun masih sulit menemu- kan iklan yang jujur. Bahkan konsumen semakin mudah saja ditipu karena sikap masyarakat kita semakin pragmatis dan mengingin- kan hal-hal yang semakin praktis. Mereka lebih menyukai makanan yang telah dikemas daripada harus bersusah-payah menyiapkan makanan yang belum jadi. Mereka lebih menyukai barang-barang modern misalnya buah-buahan dalam kaleng. Padahal benda- benda modern bisa menimbulkan alergi. Adalah Sheila Rossal (31 tahun) penyanyi Rock Inggris pada 1981 dengan berat badan 24,5 kg harus diterbangkan ke Texas karena menderita total allergie syndrome, gejala alergi terhadap benda-benda modern seperti plastik, asap bensin, serat karpet dan buah-buahan dalam kaleng. Sebenarnya kita juga punya hobi se- perti itu yakni menyukai barang-barang modern, tetapi kita tak mau bernasib seperti Sheila Rossal. M. Suparta NK LELAKI DI LUAR PAGAR I Wayan Suardika (1992) Dewa Made Tunjung KEBIMBANGAN MENDONGAK ke atas, tiada kata mengusik di sana. Hanya bayang-bayang tahun yang akan datang tidak sanggup bersi- tumpu pada roda-roda kehi- dupan. Pohon-pohon merunduk samar dalam cahaya bulan dan bintang. Esok, barangkali men- tari pagi belum berkenan mem- biarkan waktu sarat terkoyak kuku airmata. Kita menghentikan langkah di ambang pintu yang lengang,;; luar halaman ada cerita berke- panjangan tentang sepasang anak manusia yang lama meng. ubur cinta. Senandungnya indah dan mencekam para petani yang lewat. Sebait mantram menggelin- ding dari embusan kekuatan jiwa, rumput-rumput mengham- par kunkup sebelum musim mengguyur bebas, telaga-telaga hamnpir kering dan burung. burung ada yang limbung. Kita terus bertanya dalam ketidak- pastian harapan dan pada akhirnya diam dalam lingkaran keragubingungan. (Tanjung, 1992) ●Sri Jayantini DEWI KEMBALI UNTUK apa aku mesti meng- hindar, jika dewi itu meruntuh- kan hasratku. Pada cinta karu- Bali Post satu kesakitan yang kurasakan karena dia tak pernah ingin me- wujudkan mimpiku. Jika malam merayapi sunyi, aku pasti menengok bilikku, su- dahkah aku bisa menerima kesa- daran. Dewi bulan, aku rindu Oppel nia semesta abadi. Jangan biar pada siapa, aku tak tahu. Yang Belajar dari Pengalaman Lalu kan air yang ditawarkannya lumpuh terbuang percuma. Aku tak menyalahkan siapa-siapa jika suatu saat nanti aku harus mengalah. Pernah kukagumi dia yang indah, dewi. Salahkah, usia bajang menggariskan demi- kian. Aku tak mau hanya mere- nung, bila engkau hanya datang sesekali membelai jiwa. Dewi, aku lupa mengunci jen dela bambu bilikku. Dari sana aku lihat purnama tersenyum dan kau sedang bercanda de- ngan keagungan. Aku tiba-tiba rindu pada keinginan untuk menjelajah dunia. Dia datang menghampiri kekalahanku, dan bukankah aku harus memper- tahankan keberadaanku. Dewi, Yahya Umar TENTANG BUNGA SEKUNTUM bunga ber- warna merah. Cerah. Indah nian mekarnya. Mempesona. Kupan dangi dengan takjub. Lama se- kali. Seekor kupu-kupu meng hampiriku dan berbisik di telinga. "Jangan berlebihan meng agumi merahnya. Karena ia se- kadar warna. Ia hanya mampu cerah dan ceria di siang hari, ka- rena sinar mentari. Tapi ia tak mampu bertahan di gelapnya malam. Ia akan larut dan lebur menjadi gelap itu sendiri. Dan kau hanya akan menyesal terlan- jur mengaguminya." Seekor kupu-kupu lain mende- katiku dan berkata pelan. "Ja ngan terlampau terpesona oleh mekarnya. Karena ia sekadar mekar. Ia bukan keindahan. Suatu saat ia akan layu dan ber- guguran dihempas gerak waktu." "Merah hanya pewarna kein- dahan," kupu-kupu pertama menyambung. "Mekar hanya penghias kein- aku adakan hanya sebuah maya. Semuanya menari-nari dipelu- puk mataku. Segalanya terlahir dari jiwa abdiku yang tulus, jika rindupun datang pada nura- niku, jika keinginan untuk men- cinta terwujud dari rahim kemurnian. Pada engkau yang bertahta di utara, bangkitlah. Jenguk aku yang sendiri. Engkau yang di ti- mur, angkatlah aku pada ke- gaiban. Engkau dengar dewi, purnama akan membiarkan aku menikmati keindahan bersama- nya. Aku menutup wajahku pada sutra, lalu kutelusuri danau tanpa mata air. Mengapa aku mesti gelisah lagi? dahan," kata kupu-kupu kedua. "Semuanya itu bukan esensi," kedua kupu-kupu berkata ham- pir bersamaan. "Hakikat kein- dahan itu adalah keindahan itu sendiri." "Dan tentang keindahan itu, jangan berharap kau akan memi- likinya," kata kupu-kupu per- tama setengah berteriak, terbang meninggalkan Aku. "Juga tentang bunga itu, ja- ngan berharap kau dapat meme- tiknya," kupu-kupu kedua me- nyusul kupu-kupu pertama. Kedua kupu-kupu lenyap dari diriku. Tinggal kupandangi terus bunga merah itu. Masih in- dah. Masih mempesona. Aku ber- kata kepada jiwa dan perasa- anku. "Mengagumi dan mencin- tai keindahan bukan berarti harus menjadi keindahan itu. Mengagumi dan mencintai bu- nga merah itu, bukan berarti ha- rus memilikinya." (Singaraja, Nov. '92). Issayoudie GONG BUNYI gong janganlah diar tikan dengan bermakna duga, ta- Cakil Pondok Seni Negara Jembrana ruhlah ia sebagai tanda. BAJINDUL SEORANG teman datang pada saya. Mula-mula dengan berapi- apip ia bercerita tentang dirinya. "Aku ingin menjadi pelukis," ujarnya. Lantas meluncurlah serentetan cerita tentang bagaimana ia mempersiapkan diri untuk itu. Katanya ia selama tiga tahun ini telah mempelajari puluhan bahkan mungkin ratusan buku tentang apa dan bagaimana melukis yang baik. la bilang bahwa telah puluhan pelukis besar didatanginya, diajak ngobrol, diajak berdebat, dicuri sedikit ilmunya bahkan tidak jarang juga ia membantai pelukis- pelukis yang telah dianggap besar itu dengan literatur-literatur yang selama tiga tahun ini dikunyahnya. Teman saya itu juga katanya telah mengunjungi puluhan mu- seum seni lukis, puluhan art shop dan puluhan galeri. "Ini sangat penting," ujarnya pula. "Kita harus tahu dan paham perkembangan seni lukis itu sendiri jika ingin menjadi pelukis yang baik dan besar. Dari sana kita akan tahu jika ingin menjadi pelukis yang baik dan besar. Dari sana kita akan tahu celah yang harus kita masuki. Mak- sudnya, kita cari kelemahan-kelemahan yang terjadi. Kita telusuri kekurangan-kekurangannya. Nah, itulah yang harus kita tambal, te- bus dan sekaligus bunuh dengan konsep-konsep yang telah kita rangkum. Kita mesti punya target. Dan targetku adalah 'memperhi- tungkan segala sesuatu' sejak pada langkah awal," teman saya itu menutup mulutnya. Walaupun saya tidak terlalu mengerti dengan omongannya itu, saya manggut-manggut. Bukan maksud saya untuk berusaha menyenang-nyenangkannya, tapi saya hanya berusaha memper- cayainya saja. Seminggu sesudahnya, teman saya itu kembali datang. Kali ini ia membawa banyak sekali kertas-kertas dan bahan lukis lainnya. Sampai menghabiskan sebagian kamar kost saya. "Aku akan me- mulainya sekarang," ia mulai lagi dengnan rencana besarnya untuk menjadi pelukis itu. "Aku akan memulainya dengan belajar melukis realis. Sebab bagaimana pun besar dan hebatnya gagasan kita ten- tang seni lukis, kita harus memulainya dengan bertahap. Dan tahap awal adalah kita mesti menguasai teknik realis. Ini akan dapat me- nambah kepercayaan orang-orang terhadap karya kita kelak di ke- mudian hari." "Kenapa mesti demikian?" saya bertanya. "Ya. Inilah yang bernama proses. Proses kreatif. Orang tidak bisa begitu lahir langsung ingin bisa berlari. Orang mesti melewati pro- ses. Dari mulai belajar merangkak, jalan, baru kemudian berlari sekencang-kencangnya." "Kenapa begitu?" saya kembali bertanya. "Ya. Dari dulu juga begitu. Dan orang-orang juga percaya hal itu." "Dan kamu juga mempercayainya? "Tentu saja. "Jadi kamu juga bisa jadi menganggap lukisan realis itu adalah teknik seni lukis yang paling bawah?" "Bukan?!" Teman saya itu sedikit gelagapan. "Maksudku dengan memulai dari realis, berarti kita mulai dengan belajar anatomi, di- mensi ruang, pencahayaan, ini, itu, anu.....". "O ya? Bagaimana jika kita mulai saja dengan kejujuran? Mak- sudku kita mulai saja dari apa yang ada di dalam tubuh dan rasa kita. Kita mulai saja dari anatomi yang ada dalam kejujuran perasaan kita, yang ada dalam kejujuran dimensi ruang batin kita.......?" "Lho, mana bisa? Orang-orang tak akan pernah percaya itu." "Kenapa?" "Sebab orang-orang akan tetap lebih percaya kekuatan kita bila kita berjalan melalui proses." "Baik. Bagaimana jika proses yang selama ini berlaku kita rubah sedikit? Kamu jalani saja dari yang bernama hati nurani, apa dan bagaimana pun hasilnya kamu tetap jalani sampai akhirnya kau sendiri memang memutuskan untuk melukis secara realis saja. Jadi sekarang kamu tidak usah repot-repot mengikuti keyakinan orang- orang bahwa melukis itu mesti dimulai dari realis. Naj, ini kan proses juga. Teman saya itu tidak menyahut. Ia langsung pamit pulang. De- ngan susah payah ia memikul dan menjinjing alat-alat lukisnya. Setelah tiga bulan tak bertemu, tiba-tiba ia nongol lagi di tempat kost saya. Saya menyambut dengan antusias. "Bagaimana? Sudah berapa lukisanmu yang jadi?" 'Belum ada. Aku sedang mempelajari kemungkinan- kemungkinan yang kamu katakan dulu itu. Sekarang qku sedang mempelajari buku-buku anu, berkunjung ke museum anu, agar be- gini, agar begitu, berdialog dan berdebat dengan pelukis ini, pelukis itu, untuk anu...." Dalam hati saya mengumpat: "Bajindul!" Tapi, sungguh. Saya tidak meremehkan teman saya itu sama sekali. Saya hanya sedang berusaha mempercayainya saja. (41) "Baik, sangat baik," jawab Is- wari gembira. Kamu sudah lihat kamar di sebelah kamarmu itu? "Sorry...." "Trim's, Ratih. Kamu tahu, cintaku kepada lelaki itu tidak Nanoq da Kansas Negara, Desember 1992 haan, karena ia tahu gadis ini tak akan tertarik. Iswari menutup pembicaraan ketika dirasanya tak ada lagi yang dibicarakan. "Trim's atas kamarmu, dan dukunganmu, Ratih!" "O, tak apa-apa. Aku sangat mengerti. Itu lumrah terjadi da- "Sama-sama, Is. Semoga hu- lam pergaulan anak muda bungan kalian jalan terus. Aku akan membantumu sebisaku." zaman sekarang." Ratih meletakkan gagang te- lepon itu. Ia kemudian merebah- kan dirinya di sofa panjang. Ia "Syukurlah," kata Ratih. "Aku tak tahu bagaimana perasaan- gembira mendengarnya," tetapi nya saat itu. Ia benar-benar tak tahukah kamu, Is, betapa hatiku tahu! sakit mengucapkannya? sia-sia." "Lelaki itu ternyata mempu- nyai cinta, Ratih." Bila sewaktu tengah malam kau mendengar gong, bawalah ia kedalam mimpi hingga merasuk kedalam maити. Tapi sekali lagi jangan diarti- kan. Karena ia akan menjadi ke- kasih yang paling setia melebihi rindu hujan bagi mendung. Semasih gong dipersembah- kan zarena kehabisan kata- kata itu artinya kita me- nyimbolikkan menjadi benda atau tak lebih sebuah batu menggumam. Gong terlalu menakutkan bagi kita, ketika gong menggiring kita dan menjadi sekawanan diarak me- nuju kata-kata mendesis........ dan gong menjadi keramat. Dan ketika gong mengguncang meng- awali pembukaan ekspo, appar- temen, seminar-seminar dan gen. derang perang....ia menjadi komponen yang paling rapi. Dan ketika gong menggoyang goyangkan naifnya, digesek oleh tubuh, dimainkan oleh napas, di setubuhi oleh kekosongan..........ia justru menjadi manusiawi. Ketika gong ditambur dengan selaksa birahi, manakala gong menjadi istiadat keraton, dan gong sekadar perunggu, sekadar kata-kata pembuka, atau seong- gok nyawa. Cukuplah. Karena gong tak pernah me- nyempatkan menjadi tanda ta- nya bagi kita selain menjadikan- nya sebagai sebuah arti dan bu- nyi... Gong. Goooooong Goooooong............. Ssssssit!? O Putra Khar Agung NYANYIAN BURUNG cor semua. HUJAN mulai mengguyur ta- nah. Rumah yang aku diami bo- Kasihan anak- anakku. Mereka baru saja kute- taskan. Begitu lahir, mereka ha- rus menghadapi ujian hidup. Sayap yang aku miliki hanya tinggal beberapa lembar, itu pun hanya mampu menutupi seba- gian dari tubuhnya sendiri. Aku bingung, harus berbuat apa. Ingin aku melepaskan sayapku satu-per satu untuk melindungi mereka, dan biarlah aku sendiri yang kehujanan, demi tanggung jawab. Itu hanya keinginan yang menggebu sementara aku tak mampu melakukannya. Sementara di bawah sana, ku- lihat para petani bernyanyi gem- bira, menyenandungkan mantra mensyukuri rahmat hujan seba- gai cinta yang telah lama pergi. Duh, apa yang harus aku lalu- kan? Memaki? Itu hanya memo- jokan aku sebagai mahluk yang egois. Sulit memang memilih antara kewajiban dan dosa yang harus di pikul. Sementara aku harus membesarkan mereka sebagai o rang tua yang bertanggung ja- wab, sementara aku merasa ber- dosa sekali jika mereka besar nanti hanya akan menjadi pe- nyakit bagi kehidupan yang lain. Evaluasi segera Dalam tiap penyelengga- raan PSR, ada saja yang tak puas. Begitu juga pada PSR ke-9 ini. Ada yang tak puas ka- rena juri yang dianggap berat sebelah. Ada soal jadwal yang diubah mendadak. Ada soal waktu yang mengganggu pela- jar yang mempersiapkan tes sumatif. Banyak lagi yang lain. Yang jelas, panitia seharus- nya belajar dari pengalaman lomba tahun sebelumnya. Ma- sak terus mengulangi kesa- lahan yang sama. Padahal, pe- serta tentu ingin tampil prima dan berkompetisi secara sehat. Jadi.. ya, perlu belajar banyak dari pengalaman lalu deh! Mirah II B2 SMAN 1 Denpasar Singaraja Perlu Pelaksanaan Pekan Seni Remaja (PSR) di Denpasar je- las sangat bermanfaat buat para pelajar yang berpotensi. Mereka dapat mengembang- kan bakatnya. Jadi, saya kira pemerintah daerah Buleleng, perlu memikirkan pelaksana- annya di Singaraja. Bukankah potensi pelajar Singaraja pun tak kalah dengan daerah lain? Soal banyaknya kritik dari para peserta PSR saya kira menjadi masukan yang ber- harga buat panitia. Tentu, agar tahun depan tak mem- buat kesalahan yang sama. Wardani 14 SMAN 4 Singaraja Positif Pelaksanaan PSR jelas po- sitif pengaruhnya bagi remaja. Bisa sebagai saluran untuk mengembangkan bakat re- maja. Lewat PSR tidak musta- hil akan lahir kader-kader se- niman yang berbakat besar. Tetapi, ada juga beberapa remaja yang tidak puas terha- dap hasil PSR. Itu wajar. Ini harusnya jadi bahan koreksi bagi panitia. Yang lain, bagi pelajar yang tak ikut PSR, kadang-kadang dia bikin keonaran dalam acara tersebut karena rasa iri terhadap rekannya yang ber- hasil. Yang ini tentu tak baik. Sagung Budiyasri II A3.2 SMA PGRI 1 Badung Halaman 7 Oppel (Opini Pelajar) terbuka untuk pelajar SMTP dan SMTA. Kirimkan opini para pelajar ke : Pengasuh Oppel Bali Post Minggu, Jalan Kepundung 67 A Kotak Post 10 Denpa- sar. Jangan lupa disertai sebuah foto santai! (Redaksi) Wardani Makin Baik Meskipun saya tak terlibat langsung dalam kegiatan PSR, saya kira penyelenggaraannya makin baik. Soal ada yang tak puas tentang jadual dan lain- lain, ini hendaknya menjadi masukan bagi panitia. Apalagi PSR telah diadakan untuk ke- sembilan kalinya. Tentu tak ada alasan lagi berbuat kesa- lahan yang sepele. Akhirnya, semoga tahun depan PSR lebih baik lagi, dan makin banyak melibatkan peserta. Nyoman Sudarsana SMA Wijaya Kusuma Denpasar Topik Mendatang: Atlet Sekolah, Apa Kabar? Bahasan Dinanti Paling Lambat, 28 Januari Duh, dewa ratu, berikan petun- nama untuk merenung dalam ke- juk MU. Kenapa menjadi hidup itu demi kian sulit? "Bukan hidup yang sulit, tapi proses menjalani kehidupan itu yang terlalu ruwet. Hidup itu adalah rahmat yang tak ter- hingga dan mulia. Hidup itu adalah warna-warna. Hidup itu adalah bunga-bunga. Bila itu di- lakukan secara sederhana, siapa bilang sulit?" Ah, begitu gampangkah? Bagaimana hidup itu bisa me- rupakan bunga-bunga? Bagaimana hidup itu merupa- kan warna-warna? Sedang yang kulihat adalah beton-beton, asap-asap hitam, air-air keruh, semuanya satu warna: kumuh! Hujan makin lebat turun. An- tara berkah dan kesengsaraan. Entah siapa yang memaki, entah siapa yang memuji, sementara aku masih kebingungan. Ah, ke- napa aku tidak menjadi rajawali atau garuda. (Desember 92). Dewa Made Tunjung PENCARIAN KULIHAT atap meru kian menghitam. Ada lembah meng- hampar dan telaga bening: bayang keris berlabuh di depan nya, merah bermandi darah! Juga seguci tuak tampak samar tatkala senja ngeloyor memasuki peraduan. Adalah lonceng isya- rat berbunyi saat pelabuhan kutinggal? sunyian dari musim ke musim. Sebab, kadang aku berbisik lain sebelum semua keluhan sempat kutuang di sela-sela ketidakpe- dulianku mengingat karib- karibku. Tapi, benarkah kau sak- sikan perjalanan hidup yang mengembus angin maut! (Tanjung, 1992) Goes Aryana LILIN HURUF latin yang aku tulis- kan ada tida penggal banyaknya. Bacalah lamban agar tergapai kedalaman makna. Usah disura- kan. Tulisan itu sepenuhnya me- rah bagai darah dan darah. Huruf latin telah mengalir menjadi nadi, sebatas badan ka- sar cahaya. Usah disuarakan. Pahatan sepasang jejak telan- jang ada yang berbekas, di pan- tai berselang datang malam. Hu- ruf latin aku tuliskan atas wajah-wajah, belum sepenuhnya tereja jelas. Keberangkatan ini perjalanan pulang. Serupa ca- tatan, suatu musim tentang kela- hiran yang kita perbincangkan. Huruf latin kian merasuk menjadi nafas: semua nafas. Te- lah pula menjadi kata. Atau per- jalanan kini yang hingga ke ba- gian waktu. Tuliskan darah. Tu- liskan keringat. Tuliskan tangis. Tuliskan doa. Tuliskan segala tulisan. Usah disuarakan. Tulis- anku huruf latin, masih di tiga penggal banyaknya. Atau, barangkali aku harus meninggalkan kampung ha- (Ultah Sang Praja, Maret laman dalam tempo seratus pur- Cakil dari Mataram Bumi Gora DAN SEJARAH 1992) KETIKA menyaksikan jutaan orang berbondong-bondong ke Bali, apakah yang kita rasakan? Rasa sebagai manusia asing, atau kekukuhan kehendak bahwa Bali punya kita? Andaikan Bali kekasih kita, berapa lama kita bisa melupakannya? Andaikan juga Bali keka- sih setiap orang, berapa lama kita bisa menghayati bahwa Bali juga punya kita? Orang-orang yang datang memang mempersolek Bali dengan berbagai cerita keindahan. Tetapi kini, barangkali cerita keindahan bukan atas dasar pengamatan inti keindahan itu melainkan peni- laian dengan kuantitas mereka yang berkunjung. Seorang pemuda, Marzuki namanya, tidak akan tahu Tanah Lot itu indah. Yang dia cari ke Bali justru keramaiannya, sebuah dampak lain keindahan tersebut: Dia hanya merasakan keindahan itu pada batas akhir yang sudah selesai. Ibarat lukisan Van Gogh yang dinilai bagus ketika orang-orang menyebutnya bagus. Namun mampukah dia menilai seorang diri tatkala antara lukisan Van Gogh dijejerkan dengan pelukis realis sekarang tanpa mengetahui pelukis itu sebe- lumnya? Barangkali ada yang menilai dari sudut hasil, ada pula yang menilai dari sudut sejarahnya. Maka banyak kemungkinan pe- nilaian lukisan si Didi lebih bagus ketimbang Van Gogh. Tetapi akan sebagian besarlah penilaian orang dengan kekaguman melambung melihat lukisan Van Gogh walaupun sebetulnya tak tahu apanya yang mengagumkan. Alangkah bergunanya kalau begitu seorang pengamat seni yang melihat profesi seseorang dari ketekunannya mengabdikan diri pada bidang itu; Alangkah akan sangat berguna- nya sejarah sebagai bentuk penilaian hakiki; sesuatu yang tak lapuk tak usang dan orang-orang akan mengenangnya sebagai bahan bandingan yang tetap lebih tinggi ketimbang generasi penerusnya. Pelukis Affandi, misalnya, mengakui Chairil sebagai seniman yang mengabdikan diri pada bidang itu: Chairil, yang besar karena karyanya suatu ketika melempar ibunya dengan buku yang dipe- gangnya, karena ibunya dirasa mengganggu "senggamanya" de- ngan bacaan itu. Sebagai seorang anak, memang tak patutlah sikap tersebut. Tetapi Hendra Gunawan yang kehabisan kanvas untuk melukis, kemudian menyobek kain istrinya sebagai bidang lukisan. Lantas Affandi menilai, bahwa sebagai seorang seniman ia hormat setinggi-tingginya kepada Hendra Gunawan maupun Chairil namun sebagai sikap seorang manusia, tidak! Dan sejarah akhirnya mencatat Chairil seorang penyairdan Van Gogh seorang pelukis. Kemudian apakah karena sejarah pula Bali semakin ramai? Dan apakah antara keramaian dan sejarah punya hubungan khusus? Kalau tidak, kita harus menyesalkan orang- orang yang datang ke Bali yang hanya karena ingin mencari kera- maian, tanpa mengetahui sejarah Bali itu sendiri hingga disebut se bagai sorga terakhir di bumi. kan tak mungkin! Ia bahkan menggunting dalam lipatan. Memperoleh anakku yang can- tik, dan kekayaanku. Kurang ajar bergajul itu! Jika itu tujuan- nya, ia harus berhadapan de- ngan aku dulu. "Tetapi tidak dengan Genjo." "Dia lelaki, saya tegaskan, Bu, dia lelaki. Saya menyukainya." "Kamu tahu kan Genjo itu siapa?" "Tentu saja, Genjo itu ba- jingan, bekas pembunuh, bekas napi, dan pernah mengeritik Ibu "Dengarkan, nak, Ibu tetap ketika memperoleh penghar- tak mengubah suasana demo- gaan seni. Tetapi itu masa lalu- kratis dalam keluarga kita. Tak nya, Bu. Manusia tidak akan hi- akan pernah. Tetapi ada hal-hal dup dengan masa lalu." di mana kita segalanya memer- "Ibu tekankan, nak, ia manu- lukan pertimbangan yang baik," sia yang tak beres." bu Sruti memerlukan berhenti "Setiap hari selalu ada yang sejenak sebelum melanjutkkan tak beres pada diri kita, Bu!" En- ucapannya. "Apalagi menyang- tah mengapa, ia dengan lancar kut teman hidup. Dengarkan, SEPULUH mengulang ucapan Genjo. nak, teman hidup. Mencari MEREKA, ibu dan anak itu, Dalam hati, bu Sruti meng- teman hidup tak cukup hanya duduk berseberangan meja. Me- eluh. Inilah hasil dari kebebasan dengan pertimbangan emosional. reka berpandangan. Betapa so- yang ia berikan kepadanya. Ia bahkan lebih dari itu. Ibu te- rot mata mereka penuh dengan Anaknya jadi pintar, pintar un- tap menjunjung hakmu untuk "Itu kamu, Is, tetapi tidak dugaan. Kecurigaan. Satu- tuk sesuatu yang buruk. Ia ham- menentukan pilihanmu. Tetapi Genjo! satunya yang mungkin melem- pir tak mengerti bagaimana lo- Ibu sangat sayang padamu, nak, "Tak ada masalah kan?" butkan suasana adalah musik gika anaknya ini sehingga harus dan tak akan Ibu biarkan kamu Ratih tersenyum sedih. Kamu lembut yang mengalun sayup di memilih Genjo sebagai pacar- terjerembab ke tong sampah!" tidak tahu, Nona, ada ibumu ruangan yang cukup luas itu. nya. Jelas-jelas lelaki itu seorang "Genjo bukan tong sampah, yang akan menjadi penentang "Jadi berita itu benar," bu bergajul, tak bermasa depan, Bu!" jengking Iswari. Ia tak rela dahsyat! Dan itulah masalah ter Sruti mengeluh, rautnya sedikit anak jalanan dan cenderung sin- kekasihnya diibaratkan sekasar besar dalam hubungan kalian! mengendur dari ketegangan. Ia ting. Ya, dia lelaki sinting, itu te- itu. "Bagaimana dengan perte- merebahkan badannya kesan- patnya untuk menyebut lelaki "Ia bahkan lebih buruk dari muan Agung?" tanya Iswari daran kursi di punggungnya. itu. Mula-mula ia mengeritik tong sampah itu sendiri!" bentak membelokkan pembicaraan. "Saya bebas menentukan aku, pikir bu Sruti, kemudian bu Sruti berwibawa. "Dia adalah "Tak ada go publick," sahut teman lelaki," sahut Iswari. Wa- menggaet anakku. Apa maunya sampah. Lelaki itu lahir dari Ratih pendek. Ia merasa per- jah gadis itu tegang dan lelaki itu? Apa ia mau mengkeret sampah yang hanyut di tukad cuma menceritakan soal perusa- cemberut. kekayaanku melalui Iswari? Bu- Badung!" Tetapi Ratih tak yakin. "Kami melakukan itu dengan cinta. Riyanto Rabbah Budiyasri Sudarsana Cakil dari Denpasar Selatan DANGDUT SEORANG teman tiba-tiba mengumumkan, kini ia menjadi pemi- nat dan pencinta musik dangdut. Tentu saja pengumuman itu men- dapat reaksi bermacam-macam. Macam pertama, reaksi senyum melecehkan dari pacarnya, sendiri. Macam kedua, reaksi kritis de- ngan pertanyaan mengapa! Terus macam ketiga, reaksi wajar, menganggap itu sesuatu yang biasa. Yang abadi di dunia ini adalah perubahan. Perubahan selera sesuatu yang wajar. Yang wajar saja! Toh itu cuma pengumuman antar temen, antar pacar! Saya gagal menikmati musik dari barat! Katanya pelahan sambil mengisap rokok putih. Dasinya yang mengkilat menyilaukan mata dan jemari lentiknya nampak lurus, bersih, terawat dengan lingkar cincin yang strategis. Saya tak mengerti apa yang mereka nyanyi- kan, bisiknya pelahan, agak berkerut keningnya. Selama ini saya cuma mengerti judulnya dan terlalu percaya opini dari orang lain bahwa mereka lebih baik dalam bermain musik. Padahal, musik itu ekspreasi, katanya dengan dada menciut, merunduk dan mengisap lagi rokok putihnya. Saya sudah mencoba untuk menikmati, bahkan koleksi yang saya miliki lumayan lengkap, ujarnya pelahan dan me- raih telpon tangan. Memutar beberapa nomor. Lalu tercenung. Saya merasa tidak adil selama ini, keluhnya dan mencicipi anggur yang disodorkan pelayan. Sebab dengan hanya menentukan berdasar- kan ketaktahuan saya telah membuat diskriminasi selera! Padahal, saya sungguh-sungguh hanya pendengar, pendengar buta. Wajah- nya tiba-tiba layu. Teringat pacarnya. Pacarnya sungguh-sungguh berduka. Dengan air mata meng- abuti mata indahnya, kalung berlian di lehernya kian berkilau. Dia mengalami kejenuhan, depresi terselubung. Dia termakan obsesi ingin kerakyat-rakyatan! Sungguh, strategi pemunduran dalam apresiasi musik. Matanya nyaris pecah, nyaris terisak. Bayangkan! Hampir dia terjerat emosi, dia terus memutar musik dangdut setiap kali kami pergi berdua. Sungguh, dia sudah mulai mengalami erosi kepekaan, rasionalitasnya terganggu dan mungkin kesadarannya telah termakan irama kendang! Teman dari seorang teman mencoba bijak. Kemerdekaan adalah dimulai dari rasa mengakui adanya perbedaan. Pengakuan sema- cam itu haruslah dibarengi sikap adaftif terhadap penghormatan terhadap persamaan-persamaan. Lalu, dia tertegun, agak bingung. Sebetulnya, ucapnya mulai gagap, intelektualitas yang kita semat- kan di dahi itu menjadi jembatan. Sunyi. Kesunyian menghentikan konprensi terbatas antarteman, antar pacar itu. Tidak ada deklarasi yang pantas untuk dikumandangkan. Saya butuh kejujuran, ujar seorang teman dengan arif. Dalam ketidakjelasan, kejelasan sikap dalam mengakui musik apa yang disukai adalah sesuatu yang menghibur, ujarnya agak pahit. Dan teman saya itu tidak mudah untuk memulai secara terbuka menen- tukan apa yang harus diucapkan, ucapnya tanpa maksud membela sebuah selera. Tanpa maksud menggugat. Dan pembantu sebelah dengan riang mengingatkan, kepala sama hitam, kulit sama hitam........... trala-la! Cok Sawitri Endang Susanti Rustamaji NYANYIAN KASMARAN Seusai pesta, kautempelkan wajahmu di kaca. Pijar-pijar asing yang tak kaukenal melekati manik mata. Ketika kaukerjapkan, yang terserak adalah kenangan. Bergegas kaubuka tirai jendela yang sekian lama tertahan kerentaan usia. Di lembar - lembar kertas bergambar bunga, hati hati kautulis senyumnya. Di lembar lembar kanvas beraroma bunga, perlahan kaulukis wajahnya. Dan kaubiarkan gelisahmu memfosil pada buku buku tua. Malam begitu cepat melarutkan hatimu dalam kelengangan yang pekat. Segera kaukibaskan namanya yang kembali melekat di lipatan gaun pestamu. Kau pun berlari. Pintu pintu telah terbuka oleh parfum dingin yang menetes dari tubuhmu. Resah menguarkan karsa: Dia datang dan kerumah di mimpimu, hingga halimun menaburkan pagi di batinmu. Yogyakarta, 1992. Iswari terpana. Untuk per- bara arang yang ditiup kencang. pakaiannya, mereka berkakuan tama kali sepanjang hidupnya Bu Sruti sendiri kaget dengan kembali di ruang kerja bu Sruti ibunya membentaknya, dan perubahan wajah anak gadis- yang luas itu. Iswari menunduk menghina sesuatu yang ia saya- nya. Dan lebih kaget lagi ketika saja, sementara bu Sruti mena- ngi, persis di depan matanya sen- Iswari melepaskan pakaiannya tap anaknya dengan kecemasan diri. Iswari menggeretak gigi- satu persatu. "Saya kembalikan seorang ibu. Ia tak mungkin nya, dan ia tak dapat menahan semua pemberian Ibu, hingga se- "membuang" anak satu-satunya. bibirnya yang gemetar. Masih suatu yang melekat dalam tubuh Iswari adalah tumpuannya, bu- dengan bibir gemetar, Iswari saya ini. Hanya kasih sayang kan saja bagi dirinya, tetapi juga berujar, "Jika Ibu mau bergaul Ibu, pendidikan yang Ibu ber- penerus sekian perusahaan yang seminggu saja dengan Genjo, Ibu ikan kepada saya selama ini, dan mereka miliki. Sekalipun ia seo- akan mengubah penilaian Ibu asuhan Ibu, yang tak mungkin rang wanita! tentang Genjo." saya kembalikan. Sekarang, "Pikiran kita sedang tidak jer- "Seminggu dengan sampah saya tak meminta apapun dari nih sekarang, nak. Kamu mau is- tak akan membuat kita menjadi Ibu. Tidak juga warisan," Iswari tirahat?" tanpa menunggu per- lebih baik kan, nak?" bu Sruti melangkah keluar dengan telan- setujuan anaknya, bu Sruti masih tetap sinis. jang bulat. Wajahnya kini berlu- menghampiri anaknya, mem- Kebekuan di antara mereka muran air mata. bimbingnya keluar ruangan, masih begitu menyengat ketika Bu Sruti bergegas mengham- mengantarnya sampai ke ka- alunan musik di ruangan itu ber- piri anaknya. Ia sendiri tak ku- marnya. "Besok, atau entah henti. Mereka seperti tak berniat rang kalutnya. Ia tak me- kapan, mungkin kita dapat ber- membalikkan kaset dari tape di nyangka anaknya demikian ke- bicara dengan lebih baik. Seka- pojok ruangan itu. Segalanya se- ras hati. Tak pula ia menyangka rang, istirahatlah!" kata bu Sruti perti begitu panas. Iswari demikian tersinggungnya di ambang pintu kamar anak "Saya tetap pada pendirian ketika ia membicarakan soal wa- gadisnya. saya!" tegas Iswari, seolah tak risan. Bu Sruti berhasil meme- mau tahu dengan kemarahan gang tangan anaknya, lalu dipe- ibunya. luknya gadis itu. "Ibu tak "Boleh," kata bu Sruti dingin. sungguh-sungguh, nak. Percaya- "Dan jangan kira kamu mempe- lah, Ibu tak sungguh-sungguh. roleh warisan apapun dari ibu, Mari, kenakan dulu pakaianmu. jika kamu bersikeras memilih Kita bicara baik-baik. Ayolah, Genjo sebagai pacarmu, teman nak!" bu Sruti membimbing Is- hidupmu kelak!" wari dan ia sendiri memungut Tiba-tiba Iswari berdiri. Wa- pakaian anaknya. jahnya memerah hebat seperti Setelah Iswari mengenakan 2cm Color Rendition Chart
