Tipe: Koran
Tanggal: 1990-06-03
Halaman: 05
Konten
3 JUNI 1990 Caesilia warni pa apakah? atap sarang angkan encatatnya d penyatuan besarnya kan untuk papun Ga pahlawan m di antara annya yang an nilainya uk rembu- i din sebe- ebat sela- engan per- an merasa macam itu. alu fanatis at kita toh kan Gajah triaan seo- enakluk itu an sejarah hancurkan si meman- ah. Kasus- asih terlalu Demi apa oleh pe- papun, dia gaja dibuat LENS p. 5.000 090 Juni '90 pt. Store!! de atu a komang a !! C.961. MINGGU, 3 JUNI 1990 POS ANAK- ANAK atahari berada di Matas, ketika pintu kamar- ku diketok dari luar. "Siapa sih?!" tanyaku ketus, lagi asyik berbaring di atas ran- jang. Seraut wajah mungil muncul dari balik pintu de- ngan takut-takut. "Ada apa ketok-ketok pintu?!" "Eng... tolong antar ke toko buku, Kak. Herlien mau beli buku." "Antar lagi! Antar lagi! Apa kamu tidak bisa pergi sendiri?! Terus aja minta diantar, nggak tahu ngeganggu, ya!" bentak- ku sambil melotot memandang Herlien, adikku yang menun- duk ketakutan. "Sekarang mau apalagi ka- mu? Pergi deh sana!" bentakku lagi. Sambil menunduk Herlien berjalan meningalkan kamar- ku. Matanya nampak berka- cak-kaca menahan air mata yang siap tumpah. Ini sudah yang kesekian kalinya Herlien mendapat bentakan-bentakanku bila ia -minta diantar. Dan biasanya Herlien tak cepat menangis bi- la kubentak seperti kemarin- kemarín. Namun saat ini.. ba- ru dibentak sedikit saja sudah menangis. Heran, pikirku. Pit, kamu apakan adikmu tadi?" Tahu-tahu mama sudah nongol di kamarku. "Biasa, Ma," jawabku Namun sampai sore, batang hidung Herlien, adikku, belum juga muncul. Sedangkan jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WITA. Papa dan mama nampak duduk di teras depan sambil berbincang-bincang. Wajah mama nampak gelisah, sekali-sekali melempar pan- dang ke jalan raya. Aku memperhatikan dari ruang tengah dengan sejuta perasaan. Perasaan bersalah Dongeng Kisah Burung Bajan (Cerita Rakyat Kalimantan Barat) i hutan tumbuh Dhon besar rindang dan le- bat. Banyak burung bajan hinggap di sana. Seekor di an- taranya hinggap di puncak po- hon. Gagah, besar dan anggun tampaknya. Itulah yang mera- jai burung-burung bajan itu. Menjelang senja Raja Bajan berpesan pada punggawanya. "Jaga pohon ini baik-baik. Jangan sampai ada jenis bu- rung hitam bermata merah, berdahi benjol boleh hinggap, walaupun hanya sebentar. Ji- ka ini terjadi, celakalah kita seanak turunan kita." Sesudah berpesan, raja Bajan masuk dalam peraduannya un- tuk beristirahat. Matahari -hampir tenggelam, tiba-tiba datang burung hitam ingin bermalam di dahan pohon itu. Dengan cepat burung-burung bajan mengamatinya. Celaka... burung itu merah matanya, benjol dahinya. Ia harus di- usir, begitu pikir mereka. "Ampun, kasihanilah saya. Hari ini aku begitu letih. Aku tak sanggup untuk terbang la- gi. Habis sudah tenagaku. Ka- sihanilah aku," ratap burung hitam itu. Dan burung-burung Bajan iba hatinya. Lebih-lebih meli- hat sifat burung hitam itu, sa- ma sekali tidak memperlihat- kan watak jahat. Bahkan tam- pak tak berdaya, murung rupanya. Kelihatan sekali bah- wa burung hitam itu lesu tak bertenaga lagi. Maka oleh bu- rung-burung bajan, dibiarkan- nya burung hitam itu ber- malam. Esok paginya Raja Bajan ba- ngun, lalu meminta laporan pada punggawanya. Alangkah marahnya Raja Bajan ketika punggawanya menceritakan apa yang terjadi semalam. "Tapi baginda, ia tak berbuat pendek. Pipit...Pipit. Tolong antar- kan adikmu sebentar saja, ke- napa sih?!" tegur mama marah. Hah! Aku mendengus kesal. "Kenapa kamu tak mau mengantarkan adikmu? An- tarkan Herlien sebentar saja ke toko buku, Pit, adikmu itu be- nar-benar perlu buku pelajar- an itu," bujuk mama. "Perlu... perlu.... Kapan nggak perlu, Ma? Kemarin perlu, sekarang perlu, besok perlu lagi... ngeganggu tidur siang Pipit aja!" gerutuku tak beranjak dari ranjang. "Ya, sudah!" kata mama pen- dek sambil keluar dari kamar. Aku hanya mengangkat bahu. Dan siang itu aku tak lagi terganggu oleh rengekan, minta antar sanalah, antar si- nilah. Rupanya Herlien pergi sendiri ke toko buku. Biar bela- jar pergi sendiri, pikirku jengkel. Oleh Adhi Parniti liga haril lagi acara Cepat merasa pesimis. Ia merasa be- lum siap. Tidak seperti Pravita dan Evan yang begitu serius belajar. Sore itu Jaka meng- eposkan naskahnya. Tugas ja- di lebih ringan sekarang. Seti- daknya ia tidak dibebani lagi soal naskah yang harus ia ki- rim. Sejenak Jaka teringat akan Aldo. Tadi Aldo bicara Pembicaraan itu padanya. membuat Jaka jadi terharu. Rupanya Aldo mengerti bahwa selama dua minggu ini Jaka begitu sibuk, sebab selain mengurus dirinya sendiri, Ja- ka juga harus mengurus ru- mahnya. Tanpa sepengetahuan Jaka, apa-apa, malah ia tampak lelah sekali," jawab punggawanya. "Diam! Sudah kukatakan bahwa nanti anak cucu kita akan tertimpa malapetaka," gertak raja Bajan. Ternyata burung hitam itu telah membuang kotorannya. Dan dalam kotoran itu terkan- dung biji pohon ara. Sejenis po- hon yang bijinya sangat dise- nangi oleh burung-burung lainnya. Akhirnya biji pohon itu tumbuh. Dan tidak berapa lama di sekitar tempat itu su- dah penuh oleh pohon ara. Se- ketika itu juga ramailah bu- rung-burung lain pada berda- tangan. Dan tak ayal lagi kea- manan kerajaan burung Bajan mulai terancam. Pada suatu hari lewatlah dua orang pengetah. Keduanya masuk hutan mencari burung. Tampak di dahan pohon ara ba- nyak burung hinggap. Segera keduanya memanjat pohon dan mengoleskan getah di dah- an-dahannya. Ketika burung- burung itu kembali hinggap di dahan itu, mereka tak dapat la- gi terbang. Kaki-kaki mereka terpukat getah. Begitu pula ra- ja Bajan tak luput dari ben- cana. Kedua penggetah itu gembi- ra sekali. Burung yang terpu- kat, mereka masukkan ke da- lam kurungan. Hari itu mere- ka panen besar. Semua burung yang ditangkap akan dijual ke kota. Besar perolehannya, mungkin mereka akan menja- di orang yang kaya mendadak. Tinggal Raja bajan saja yang belum dijualnya. Burung itu sungguh besar, karena itu akan dijual dengan harga sa- ngat mahal. Tapi sampai seka- rang belum juga laku. "Aku jangan kau jual ku- rang dari seribu ringgit," kata Raja bajan kepada para peng- Cerita Bersambung Aryo dan Jaka menderaku, hatiku mulai me- rasa tak tenang. Aku seperti punya firasat akan terjadi se- suatu, tapi entah apa. Tiba-tiba sebuah mobil polisi berhenti di depan halaman. Seorang polisi muda berjalan menghampiri papa dan mama. Aku melihat semua itu dengan hati bertanya-tanya. Mereka nampak berbincang-bincang dengan serius. Ketika polisi itu sudah pergi, aku segera meng- hampiri papa dan mama. "Ada apa, Ma?" tanyaku ter- tegun melihat mama mena- ngis, sedangkan papa berusa- ha menenangkan. "Pit, adikmu..." Suara mama terputus. Mama memelukku sambil terisak-isak. "Ma.... Herlien kenapa, Ma?" tanyaku bingung sambil mengguncang lengan mama yang menangis. Sejenak tak ada yang bicara, yang ada hanya tangis mama. "Pa, ada apa dengan Herlien?" tanyaku lagi. Bayang-bayang kekhawatiran menghantuiku. Aldo membicarakan hal ini pa- da pamannya untuk memberi izin pada Jaka untuk tidak be- kerja beberapa hari agar seti- daknya Jaka bisa berkonsen- trasi untuk acara di TVRI. Paman Aldo dengan penuh pengertian menyetujuinya. Malah beliau begitu kagum de- ngan tanggung jawab Jaka. Coba aku punya saudara seper- ti Aldo tentu menyenangkan, pikir Jaka sembari mengayuh sepedanya lambat-lambat. Ja- ka menyandarkan sepedanya di pagar rumah. "Aryo, sudah gila kamu?" Ja- menyentakkan tangan ka Aryo, sehingga rokok yang tinggal setengah itu jatuh. Aryo tertawa menyakitkan. Papa terdiam. Wajahnya nampak sedih. Aku semakin merasa bersalah. Aku tatap pa- pa dengan sejuta pengha- rapan. "Dia... dia...." "Ada di mana Herlien, Pa?" desakku tak sabaran. "Di rumah sakit," jawab papa lirih. "Hah?! Tuhan...." Aku menjerit, kepalaku ter- asa berat, bumi nampak seperti berputar-putar di hadapanku. Dan aku tak ingat apa-apa lagi. Ketika sadar, yang kulihat hanyalah bik Inah. Kembali kuingat-ingat semua kejadian, mama yang menangis, papa yang sedih, polisi yang da- tang, dan.. Herlien! "Bik, di mana papa dan ma- "Jangan ragu-ragu. Pasti ada orang yang mau membeli- ku seharga seribu ringgit," sambung Raja Bajan. Penggetah itu lalu pergi ke kota lagi. Ia mendatangi ru- mah saudara kaya raya. Dita- warkannya burung itu ke- padanya. Tetapi saudagar itu dengan ucapan mencibir mengejek. "Hanya orang yang kurang waras ingatannya mau mem- beli burung semahal itu," katanya. "Belilah aku. Kau tidak akan menyesal melepas uang seribu ringgit. Aku akan menggantikannya dengan harta yang berlipat ganda," seru burung Bajan. Saudagar itu terperanjat. Baru kali ia menjumpai bu- rung dapat berbicara. Ia makin terheran-heran. Tak pikir pan- jang diberikan saja uang seri- bu ringgit kepada penjual bu- rung. Sebulan, dua bulan, bahkan telah beberapa bulan kekayaan saudagar tidak bertambah. Timbul kemarahannya kepada burung Bajan. "Mana janjimu. Burung pembohong...! Awas akan ku- bunuh kau nanti bila ucapan- mu dusta!" "Lepaskan aku! Aku akan terbang jauh untuk meneliti pasar-pasar. Akan kuberitahu- kan padamu barang apa saja yang sedang laku keras terjual di pasar itu. Dengan begitu kau akan berhasil dalam per- dagangan. Percayalah," janji burung Bajan. Burung Bajan dilepaskan. Ia terbang mengunjungi kota- kota di berbagai negeri. Sesu- "Zaman sekarang, lelaki tak merokok itu banci, tahu!" le- dek Aryo. "Hanya mulut besarmu yang omong gitu. Kalau kau tidak penyakitan, aku tak akan la- rang kau! Sakitmu macam- macam Aryo... tapi kau...." Aryo bergegas masuk ke da- lam sebelum Jaka menyelesai- kan kalimatnya. "Busyet, ka- lau asmanya kambuh, tahu ra- sa dia", pikir Jaka jengkel. "Be- tul-betul lain suasana kalau mama tersayangnya tidak ada," rutuk Jaka. Di rumah ini Aryo yang paling sering sakit. Mulai dari panas, pilek, batuk, asma, ginjal... ah, macam- macam! Kalau kau sakit, per- setan, aku tak akan urus kau, bermacam-macam pikiran ber- kecamuk dalam benak Jaka. getah itu. Mereka berdua sa- ngat kaget, mendengar bu Antara abad ke-17 dan 18, rung yang mereka bawa dapat berbicara. tersebutlah seseorang yang bernama Datuk Candi. Bersama-sama anak gadisnya "Ini pasti burung ajaib. Tapi bagaimana bisa laku semahal itu?" kata seorang penggetah kepada temannya. MAR TIN 90 "Ayik sayang, sakit yaa...!" Jaka bicara pelan. Sebuah per- tanyaan tolol, pikir Jaka. "Ayik nggak apa-apa kok mas Jaka.. Tapi kepala Ayik pusing sekali!" keluh Ayik le- mah. Jaka iba melihatnya. "Ayik sudah minum obat?" Ayik menggelengkan kepala- nya. Jaka meraih lemari obat. Tapi obat penurun panas habis. "Ayik tunggu dulu ya, Mas Jaka ke apotek beli obat. Nggak lama kok!" kata Jaka sembari menaikkan selimut Ayik. Ayik mengangguk. Dengan geram Jaka memelo- toti Aryo yang duduk santai sambil mendengarkan radio kecil. Kenceng amat suaranya, Sesal Oleh Ketut S. Merta Dewi ma sekarang?!" tanyaku sam- bil melompat bangun. Kepala- ku terasa nyeri sekali. "Neng, tidur dulu. Eneng be- lum sembuh," kata bik Inah cemas. "Tidak, Bik! Katakan di ma- na papa dan mama sekarang." Aku berusaha berdiri dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. "Tapi Neng...." cegah bik Inah. "Eneng masih sakit." "Tidak, aku tidak sakit lagi. "Aku pergi, Bik!" kataku sambil berlari ke garasi meng- ambil motor. Tujuanku hanya satu, yaitu pergi ke rumah sa- kit! Sebelum kularikan motor ke jalan raya, masih sempat kudengar suara bik Inah yang Kisah Datuk Candi (Cerita Rakyat Kalimantan Barat) dah mendapat keterangan ten- tang keadaan pasaran, ia kem- bali kepada saudagar itu dan menceritakan segala apa yang dilihatnya. Atas berita itu sau- dagar segera mengambil tinda- kan untuk memproduksi sua- tu barang secara besar- besaran. Dalam waktu yang singkat kekayaan saudagar se- gera berlipat ganda. Dan pada suatu hasi sauda- gar itu pun berkata kepada bu- rung Bajan. "Katakan apa yang kau pin- ta, hai burung Bajan!" tanya saudagar itu. "Hanya satu keinginanku, lepaskan aku. Biarlah aku bebas,biarkan aku hidup di te- ngah hutan lagi Juga lepaskan semua burung Bajan yang ter- kurung dalam kurungan para penggemar burung. Semua- nya...! Biar kami dapat menik- mati alam dunia kami sendiri seperti dahulu," jawab burung Bajan. Permintaan burung Bajan itu segera dipenuhi oleh sauda- gar kaya itu dengan cara mem- beli kembali burung-burung bajan itu dari para penggemar burung dengan harga berapa- pun pasti dibeli oleh saudagar kaya itu sebagai rasa balas budinya terhadap jasa raja bu- rung Bajan. Selanjutnya setelah mereka terlepas semua, mereka kem- bali ke tempat asal mereka du- lu. Raja Bajan kembali ber- tengger di atas pohon rindang, dikerumuni oleh burung Bajan lainnya. Dan akhirnya kejaya- an kerajaan burung Bajan kembali terwujud.*** Diceritakan Oleh Tika T.H. JI. Nangka Gg. Kenari V/7 Denpasar. dengan Jaka. "Heh, pelankan dikit. Ayik sakit. apa kau tahu?" "Tahu!" "Kenapa kau tak berusaha beli obat?" sentak Jaka. Jaka terhenti di pintu kamar Ayik. Ayik terbaring dengan selimut tebal. Jaka mengerut- kan kening, lalu meraba dahi Ayik. Jaka terlonjak kaget. Pa nas sekali! "Selama dua hari ini, aku begitu sibuk, tak per- hatikan Ayik sampai sakit be- TIGA hari kemudian Ayik te- lah sembuh, Malam itu sepu- lang dari TVRI, Jaka tampak lelah. Perutnya sudah lapar. Di babak penyisihan ini mereka memang menang. Entahlah di (4) gini," keluh Jaka. Dikecupnya semifinal nanti, tentu lawan- pipi Ayik dengan sedih. lawan yang akan dihadapi le- bih berat. Melewati meja makan, Jaka tertegun. Makanan telah terhi- dang rapi. Mamakah yang da- tang? pikir Jaka. Tapi kan ba- ru satu minggu. Jaka melo- ngokkan kepalanya ke kamar Ayik. Ayik tampak tertawa- tawa sendiri dengan majalah Donald Bebek-nya. Bali Post "Yee, kan duitnya kau yang bawa!" Aryo menjawab dengan santai. "Tapi kau kan bisa pakai uangmu dulu. Nanti kan aku ganti. Kau memang tak punya hati Aryo!" napas Jaka turun naik. Marah. Aryo tertawa hambar, Jaka tak tahan. Di- tamparnya pipi Aryo. Ia betul- betul kecewa dengan sikap Aryo. Kecewa sekali. Aryo me mandang Jaka dengan mata menyipit. Aryo ingin memba- las, tapi ia tak berani, ia tahu kalau Jaka jauh lebih kuat dari padanya. Papa dan mama di mana? Di rumah sakit?" Rasa nyeri kem- bali menyerang kepalaku, wa- laupun begitu sempat kulihat bik Inah mengangguk dengan pelan. *** yang berusia lebih kurang 17 tahun, ia mendiami sebuah ru- mah dekat kampung Pariwara, tidak jauh dari bekas istana al- marhum baginda raja Candi Agung. Pada suatu hari penduduk kampung menjadi gempar. Se- bab tampak oleh mereka beber- apa kapal perang kompeni Be- landa melayari sungai Taba- long dan mendarat di kota Amuntai. Di antara orang- orang yang berlari ketakutan itu, terdapat anak Datuk Can- di. Dari tepi sungai tempat ia bermain-main itu, ia berlari langsung menuju rumah ayahnya. Datuk Candi segera sadar akan bahaya yang terutama mengancam keselamatan putrinya yang cantik jelita itu. "Anakku pasti akan menjadi incaran serdadu-serdadu Be- landa itu," pikirnya. Maka segera dilarikannya putrinya ke hutan sungai Ma- lang. Di hutan itulah Datuk Candi mendirikan sebuah pon- dok kecil yang bertiangkan ba- tang haur kuning. Dan untuk hidup sehari-hari, Datuk mem- buka ladang dan bertani pala- wija. Dengan hati tentram, di sana ia mengerjakan amal iba- dah menurut ajaran agama Is- lam. Lebih-lebih oleh karena ti- dak kedengaran lagi tentang berita serdadu Belanda di seki- tar kampung tempat ting- galnya. Pada suatu hari, selesai mengerjakan sholat Dhuhur, Datuk bermaksud hendak me- ninggalkan ladangnya untuk pulang makan siang di pon- doknya. Maka terjadilah suatu keganjilan atas dirinya. Datuk Candi berjalan, menu- ju pondoknya, namun ia tak kunjung sampai ke tempat tujuan. Seolah-olah ada yang menghalanginya. Ia masih sa- ja ada di ladangnya. Tiba-tiba ia pun jatuh pingsan. Dalam keadaan pingsan itu- lah, Datuk Candi merasa di- hampiri oleh tujuh orang putri berpakaian serba kuning se- kompor.." "Ayik kuat angkat kompor itu?" "Dipaksa-paksain aja. De- ngerin dulu dong, terus Ayik masak nasi. Eh, Ayik nggak tahu seberapa ngisi airnya. La- lu Ayik masak sayur. Ih, rasa- nya nggak karuan-karuan. Akhirnya malah si Moppy, an- jingnya Janet yang makan!" je- las Ayik. "Lalu di meja makan itu?" "Itu Ayik beli di warung nasi sebelah' "Duitnya dari mana?" kasih, sebagian Ayik tabung. "Uang jajan yang mas Jaka Nah, duit itu yang Ayik pakai Mas Jaka maem dulu. Pasti la- beli!" kata Ayik. "Sekarang par. Makan bareng-bareng Ayik ya!" Ayik bergegas me- lompat dari tempat duduknya. Jaka mengacak rambut Ayik dengan sayang. "Aryo mana Yik?" "Dari tadi sore mas Aryo su- dah tidur. Mas Aryo sakit. Tapi belum minum obat. Habisnya, Ayik nggak tahu obat yang mana!" jelas Ayik. Aryo sakit? Syukurin, batin Jaka. "Sudahlah Yik, biar saja. Orang bandel kayak gitu. Udah ah, kita makan aja yuk!" kata Jaka cepat. "Mas Jaka kok gitu ngo- mongnya" Ayik tampak tak se- nang. "Sudahlah, makan dulu!" ka- ta Jaka lagi. "Ayik, siapa yang siapkan Ayik mengangkat bahu. makan malam?" tanya Jaka Tengah malam Jaka terba- "Ayo tebak, siapa coba?" ngun dari tidurnya. Jaka me- Ayik balik bertanya. rasa gerah, Dihidupkannya ki- "Ayik ya?!" tebak Jaka. pas angin. Jaka mendengar ba- Ayik mengangguk. "Gini mas tuk Aryo dari kamarnya. Alaa, ceritanya. Tadi Ayik pengen persetan! Jaka sungguh- masak buat mas Jaka. Soalnya sungguh merasa tak perduli, habis dari TVRI, mas Jaka pas- tapi hati kecilnya berkata lain. ti lapar. Terus Ayik turunin Jaka mengintip lewat lubang berusaha mencegahku. Sampai di rumah sakit, aku tergesa-gesa menyusuri gang- gang. "Maaf Sus, mau tanya seben- tar. Kamar pasien Herlien di mana, ya?" sapaku pada seo- rang suster yang kebetulan berpapasan denganku. "O... adik ini kakaknya?" ta-- nyanya tersenyum ramah. Aku mengangguk cepat. "Kamarnya di sana, Dik, di ujung jalan ini." "Oh, terima kasih, Sus," ucapku. Dengan berlari-lari, aku sampai tepat di depan pintu. Aku melangkah masuk. Mama nampak menangis tersedu- sedu, sedang papa... seumur hidup baru pertama kali kuli- hat papa menangis! "Pa.... Ma...." Seruku sambil berlari ke tepi tempat tidur. Sesosok tubuh yang terbujur kaku terlentang di atas tempat tidur, mata indah yang biasa- nya berbinar-binar itu kini ter- katup. Darah yang sudah membeku menempel di kepala dan wajah mungil yang sudah kuhafal sejak kecil. "Her... Herlien, bangun dong!" usikku mengguncang lengan yang sudah dingin. Mataku terasa berkabut. "Pa... Ma... Herlien kok tidak bangun-bangun juga? Ba- ngunkan Herlien, Pa, bangunkan....!!" teriakku se- perti orang gila. "Pit, tenang Pit... Herlien. Herlien... sudah tidur untuk .... untuk selama-lamanya," je- las papa terputus-putus. "Tidakkk.... tidakkkkk.....!! Herlien tidak pergi, Herlien masih hidup. Herlien...." Aku berteriak histeris berusaha me- meluk sosok kaku yang tetap diam seperti patung. "Tenang Pit, tenang, perti para pengawal Putri Tun- jung Buih. "Wahai paman Datuk Candi mengapa paman berani mene- bang pohon Kembang Tanjung di tepi kebunmu itu? Hati-hati paman, pohon itu tempat berte- Candi duh baginda Raja Agung," kata salah satu putri itu. Setelah berkata demikian, kemudian ketujuh orang putri itu menghilang. Setelah siuman, Datuk Candi merasa takut akan bahaya yang mengancam dirinya. Ia mengaku berbuat salah, kare- na ia memang telah menebang pohon itu. Ia ingin meminta ampun atas kesalahan yang ia perbuat tanpa sengaja itu. Alangkah kagetnya Datuk Candi, sebab tampak berdiri di depannya makhluk raksasa buas. Tubuhnya separoh ma- nusia separoh gajah. Melihat gerak-gerik makh- luk itu yang hendak me- nyerang, Datuk Candi segera mohon perlindungan Tuhan. Sambil mengumpulkan tena- ga, ia mengucapkan doa kepa- da Tuhan. "Seandainya aku mati terbu- nuh, Insya Allah aku mati da- lam keimanan. Tiada Tuhan yang kusembah selain Allah. Dan Muhammad ialah Rasul- nya," demikian kata Datuk Candi dalam hatinya. Terjadilah perkelahian yang sangat dahsyat dan menggem- parkan penduduk kampung Meracik - buah busuk di perjalanan atau diti- pu pembeli, bisa dihindarkan," ucapnya bersemangat. Selain de- ngan cara itu, pelopor petani salak di Sibetan ini, juga mempunyai has- rat untuk menjual salaknya pada masa mendatang dengan cara le- lang di kebun. Hidup Enak Kerugian pada masa lalu yang pernah dialaminya, kini memang telah terobati. Berkat ketekunan dan kiat barunya, setiap kali panen salak, dari kebunnya bisa dipetik keuntungan di atas Rp. 3 juta. Be- lum lagi hasil dari 4 Ha sawahnya, kunci kamar Aryo. Tubuh Aryo mengigil dan terdengar samar-samar mengigau me- manggil mama. Wajah Aryo tampak pucat sekali. Jaka menimbang-nimbang. Sejenak ia ingin ke kamar Aryo, tapi rasa ibanya segera lenyap, berganti dengan rasa benci pada kakaknya yang ter- paut usia hanya satu tahun itu. Dengan cuek Jaka ninggalkan kamar itu lalu me- lanjutkan tidurnya. Baru saja Jaka hendak memejamkan matanya, pintu kamar Jaka berderit. Ayik! me- "Lho Ayik, ada apa?!" tanya Jaka melihat roman muka Ayik yang murah. "Mas Jaka...." panggil Ayik pelan. "Ada apa, sayang?" Jaka membelai rambut Ayik. "Kasihan Mas Aryo. Mas Aryo sakit. Cariin obat dong" kata Ayik. Jaka menghela nafas. "Sudah mas Jaka kasih obat!" Jaka berdusta. "Bo'ong!" tuntut Ayik me- mandang mata Jaka. Ayik ta- hu betul kalau kedua kakak- nya itu saling membenci. "Ayik sudah nggak percaya lagi dengan mas Jaka?" Jaka berusaha meyakinkan Ayik. Ayik menunduk. Mengang- gukkan kepalanya perlahan. Begitu lugu. "Ayik ingin, Mas Jaka juga baik sama mas Aryo!" kata Ayik lirih dan beranjak me- ninggalkan kamar Jaka sam- bil memeluk bonekanya. Jaka terpana. Tapi tampaknya hati Jaka sudah membatu. Begitu Ayik pergi, Jaka menutup pin- tu kamar dan melanjutkan ti- durnya. Mending tidur, ketim- bang ngurus kunyuk itu, pikir Jaka santai. (Bersambung). sadarlah!" Aku menangis sekuat- kuatnya, tak kuasa menghada- pi kenyataan ini. "Pa, Pipit sa- lah! Pipít berdosa pada Herlien, Pa, Ma. Pipit berdosa.... berdo- sa... Hu... hu... hu..." Mama memelukku sedih, dadanya turun naik menahan isak tangis. "Ma, maafkan Pipit. Pipit sa- lah, Pipit membiarkan Herlien pergi sendiri... Pipit berdosa... dosa besar!" "Sudahlah Pit, relakan saja adikmu pergi, itu sudah takdir dariNya. Terimalah dengan la- pang dada, tabahkan hatimu. Herlien telah memaafkanmu sebelum ia menutup mata un- tuk selama-lamanya." Aku memandang mata ma- ma yang berselimut duka. Aku tahu, mama begitu terguncang atas kejadian ini, tapi mama te- lah menghadapi. "Herlien, adikku sayang, maafkan kakakmu ini. Aku berdosa padamu, andaikan sa- ja waktu itu aku mau mengan- tarkanmu. Her... Herlien, ka- mu mau memaafkanku, kan? Aku berdosa, aku sangat me- nyesal, aku begitu kehilangan. Kamu dengar Herlien, adikku sayang?! Dengan Her, dengar....?!" seruku kuat-kuat seakan ingin agar terdengar ke tempat Herlien, adik Pipit tersayang!" Ucapku sembari mendekati tepi tempat tidur. Kuraih dan kucium tangan mungil itu, lalu pipinya... ke- ningnya... hidungnya. Dan ti- ba-tiba kepalaku kembali ter- asa berat, mataku berkunang- kunang dan aku tak ingat apa- apa lagi. Yang kuingat ha- nyalah ciuman terakhir untuk Herlien, adikku sayang!*** Jln. Pulau Adi 16 Denpasar 80113 sekitarnya. Itu dikarenakan pohon-pohon jatuh bergelim- pangan dan bumi seperti ber- guncang-guncang. Clap...! Datuk Candi menan- capkan tombaknya yang ber- nama Batu Hijau Segi Tiga ke dada raksasa, lawannya itu. Ternyata, raksasa itu sangat sakti. Siapakah sebenarnya raksasa itu? Seorang kakek- kakek tiba-tiba menghampiri Datuk Candi dengan me- nyerahkan sebilah keris ber- mata intan. "Kakek kagum akan ilmumu yang luar biasa itu. Simpanlah baik-baik keris itu," kata ka- kek itu. Kelak senjata itu akan besar gunanya dalam peper- angan," sambungnya lagi. Dan setelah mengucapkan kata-kata itu, kakek itu tiba- tiba menghilang. Datuk Candi hanya bengong saja, sehingga lupa menanyakan siapakah se- benarnya dia. wa Rakyat menduga-duga, bah- kakek itu sebenarnya jelmaan Raden Putera atau Pa- ngeran Surya Nata, yaitu pu- tra angkat raja Majapahit dan suami Tunjung Buih. Hal ini menjadi pelajaran ba- gi penduduk di sana untuk ti- dak mengganggu kembang Tunjung yang dianggap kera- mat itu.*** Diceritakan Oleh : Wulan H. Pattimura 61 Denpasar (Sambungan Hal I) yang dibeli berkat salak juga. Keuntungan yang diperoleh dari salak, selain diinvestasikan untuk membeli tanah, dipergunakan juga untuk membesarkan rumah, biaya sekolah anak-anak dan membeli se- buah kendaraan "Carry" untuk memperlancar pemasaran salak- nya. Jika sewaktu-waktu memerlu- kan uang, Dong Dong tak terlalu pusing karena memiliki uang sim- panan di bank lebih dari Rp. 5 Juta. Berkat salak, Nengah Dong Dong kini hidupnya memang lebih enak. (Agus Rochdianto). PUSAT HIDANGAN DENGAN ANEKA MAKANAN DAN MI NUMAN ARENA PARKIR LUAS FASILITAS TELPON UMUM KOIN DAN KARTU Yuk... yuk kita kenalan, adik yang kelihatannya pemalu ini ingin berkenalan dengan teman seusianya di bumi persada ini. Adik ini mempunyai nama I Gd. E. Narendra yang lahir tanggal 31 Maret tahun 1988 di bawah naungan bintang Aries dengan alamat rumah Jl. Sakura IV/3 Denpasar mempunyai cita-cita menjadi pemain sepak bola yang tersohor. Habis pemain sepak bola kita dewasa ini belum ada yang tersohor. Okey ya, cukup dulu dan nitip salam buat temen seusianya. Daaa... ag. "Haloo sobat, kenalan yuk....", ajak adik manis ini. Namanya Wayan Eka Kusumaningtyas. Dilahirkan enam tahun yang lalu dari pasangan N Suma Antara dengan Kt. Muji, tepatnya 22 Januari 1983. Kini Eka sudah pintar membaca dan menu- lis. Bagi teman-teman mau kirim surat buatnya pasti dibalas dan kirim ke alamat rumahnya Lingkungan Bukitjangkrik, Samplangan-Gianyar. Lewat rubrik ini ia nitip salam persau- daraan buat teman-teman kelas I di SD No. 5 Samplangan selamat belajar dengan baik mudah-mudahan cita-cita yang diharapkan orang tua dapat berkenan dihatinya. PROGRAM STICKER PERIODE II 1 JUNI 1990 S/D 5 NOPEMBER 1990 HADIAH2 LEBIH MENARIK DAPATKAN MINUM GRATIS BERUPA 1 BOTOL COCA COLA, SPRITE ATAU FAN- TA BAGI 1500 LANGGANAN PERTAMA PROGRAM STICKER PERIODE II DAPATKAN HADIAH MENARIK BAGI 5 (LIMA) PENGUMPUL STICKER TERBA- NYAK SELAMA BULAN JUNI 1990. GRATIS: Satu botol minyak goreng Golden Soya untuk setiap pembelian Rp 35.000.00 Dewata Ayu BUAH HATI Adik yang mengenakan kaca mata di kepala ini bernama Komang pramana Kusuma. Sehari-hari dipanggil Komang Tyson. Lahir 8 April 1989. Cita-cita besar nanti pingin jadi penerbang. Alamat rumah Jln. Gunung Indrakila VII/117 Perumnas Monang-maning Denpasar, Melalui rubrik ini ia nitip salam buat teman-teman sejawat yang lagi berapa saja dan juga untuk Om Agust Tana serta keluarga di Bebetin, Singaraja selamat hari Minggu semoga sejahtera selalu. pusat perbelanjaan serba ada Dewata Ayu Jln. Jendral Sudirman No. 20 Denpasar Telp. 35435 & 35436 HALAMAN V the Pusat Hidangan LUIII Lt.I PUSAT BELANJA BERSUASA- NA TENANG. AMAN DAN NYAMAN, TAMPIL DENGAN ANEKA KEBUTUHAN RU MAH TANGGA, ALAT TU- LIS, MAINAN ANAK-ANAK. DLL ANEKA RAGAM BUSANA. COSMETIC ACCESORIES DAN SEPATU MASA KINI ARENA MAINAN ANAK- ANAK DAPATKAN DISCOUNT LANGSUNG 5 = 25 % PADA COUNTER BERTULISAN DISCOUNT C 896 2cm Color Rendition Chart
