Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Republika
Tipe: Koran
Tanggal: 2017-02-27
Halaman: 07

Konten


Wisata Perbatasan sona ng ih lama. Kecamatan Dawang yang lapan jam : an jam itu pun aat ini. ebut dilintasi leh TNI, sungai yang goh kocek 1,8 juta per of Agency takan, wisata daya tarik dia rsebut sulit erbatas. al objek dan promosi. tiap biro kan paket tersebut. Dia n destinasi jajakan mang kita Kalau Batam, Jakarta met utama. Dia lu diperhatikan frastruktur di antuk lebih me- Pemerintah ju- erbanyak kegi- Dia mengata- bih pemerintah kalender acara inat wisatawan ara budaya atau hingga medical destinasi tidak dikenal masyarakat, jualnya juga bagaimana," ujarnya. Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kalimantan Barat (Kalbar) Kartius menilai, daya tarik wisata alam dan budaya di kawasan perbatasan menjadi percuma tanpa adanya sarana penunjang yang memadai. "Wisatawan masih mau datang karena alamnya bagus, tinggal masalah akses dan sarana penunjang lain saja," katanya. Sementara, pihak Disporapar saat ini tengah menggodok kegiatan baru agar tetap menjadi tujuan wisata. Program seperti Wonderful Borneo atau karapan sapi bisa menjadi alternatif kegiatan. Sayangnya, Disporapar kesulitan untuk mengadakan karapan sapi lantaran kurangnya sumber daya manusia. Beberapa tahun belakangan, dia mengatakan, kegiatan karapan sapi ditiadakan lantaran tidak ada yang berniat melakukan koordinasi pelaksanaan ajang tersebut. "Sayang, kalau tidak segera digarap karena akan tertinggal dengan negara lain. Semakin banyak wisatawan beredar, semakin banyak uang yang mereka belanjakan dan akan berdampak langsung bagi masyarakat," katanya. check-up pun bisa dilakukan untuk meng- gaet wisatawan tersebut. "Jadi, tidak main di satu sektor misal budaya saja," kata dia. Dalam hal ini, Asnawi mengatakan, peme- rintah daerah harus lebih kreatif dalam melancarkan kegiatan dan tidak menunggu ide dari pemerintah pusat. Sebab, dia me- ngatakan, CBT memberikan efek berganda yang langsung dirasakan juga di daerah. "Ka- lau sudah begitu juga beri kemudahan dalam CBT ini seperti imigrasi, bea cukai dan ku- ed: endah hapsari alitas pelayanan," katanya. WILDA FIZRIYANI ibanding Kabupaten Sanggau, Kecamatan Entikong ternyata lebih dikenal masyarakat luas. Kasi Objek dan Daya tarik Wisata (ODTW), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dikparbud) Sanggau, Edi Santana, sering menemukan masyarakat luar yang lebih tahu Entikong dibandingkan wilayah lain, terutama kabupatennya. Padahal, Entikong hanyalah sebagian kecil wilayah di Kabupetan Sanggau yang saat ini masih dalam proses pengembangan diri di bidang wisata. Entikong terkenal karena wilayahnya yang begitu dekat dengan perbatasan Malaysia. Daya tarik wisatawan ke wilayah ini memang lebih pada aspek tersebut. Terlebih lagi, ketika Presiden Joko Widodo mempercantik dan meresmikan perbatasan tersebut, belum lama ini. "Banyak memang yang datang dari luar Sangau untuk berfoto di perbatasan," ujar Edi kepada Republika, belum lama ini. Secara karakteristik, masyarakat Entikong pada dasarnya lebih beragam sukunya, meski pada umumnya etnis asli di wilayah itu merupakan Suku Dayak. Tapi, karena keberagaman itu, Edi menilai, Entikong dapat disebut sebagai "Miniatur Indonesia". Hal tersebut masih berkaitan erat banyaknya pendatang yang datang ke perbatasan yang kemungkinan besar ingin mengadu nasib menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri tetangga. Di wilayah seluas 506,89 kilometer persegi ini, bukan hanya Suku Dayak yang menetap, melainkan juga Melayu dan Cina. Mereka juga telah mengalami akulturasi budaya, termasuk dalam pernikahan. Edi sudah tidak asing lagi menemukan pasangan campuran Melayu dengan Cina, Cina dengan Dayak, Dayak dengan Melayu, maupun Cina dengan Melayu. Keseluruhannya telah menyatu dan membaur satu sama lain serta tanpa perbedaan. Hal terpenting adalah para pendatang harus bisa menyesuaikan dengan adat istiadat setempat, termasuk menjaga tata kramanya. Banyaknya pernikahan campuran itu juga membuktikan masyarakat setempat sangat terbuka dalam hal apa pun. Tidak hanya dalam menerima pendatang, tapi juga dalam meningkatkan perekonomiannya melalui pariwisata. Banyak yang sudah tergerak untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal ini. Menurut Edi, masyarakat Entikong pada umumnya memang berprofesi sebagai petani di ladang maupun berkebun. Tapi, di sisi lain, banyak juga yang telah bekerja sebagai pedagang yang sebagian dari mereka merupakan pendatang. Meski demikian, keterbukaan mereka dalam meningkatkan pariwisata cukup besar. Edi mengungkapkan, beberapa di antara mereka sudah ada yang mau membentuk kelompok sadar wisata. Mereka juga PAR W Miniatur Indonesia di Tanah Perbatasan Beragam etnis mampu membaur dengan harmonis di Entikong. VIP LOUNGE DOK SITI LIZA KONSER MUSIK DI ENTIKONG memiliki sanggar tari dan komunitas adat yang selama ini ditinggal oleh para generasi baru. Banyak juga warga yang bersedia dilatih kerajinan tangan setelah menjalankan aktivitasnya di ladang. "Jadi, mereka juga mau belajar muatan lokal atau kearifan lokal kita. Selama ini kan yang seperti itu orang tetua. Nah, sekarang mereka yang tua itu yang jadi narasumber bagi generasi muda untuk memberikan pelatihan," tegas Edi. Edi menyebutkan, salah satu contoh tentang adat istiadat di Desa Nekan yang selama ini lebih diketahui orang tertua. Saat ini, mereka sudah mulai mengajarkan keilmuan kepada anak-anak melalui sanggar setempat. Kemudian, desa tersebut juga memiliki fasilitas kreasi yang memberikan pengajaran kerajinan tangan kepada masyarakat. Pada aspek kerajinan tangan, pemerintah setempat juga mencoba memberikan improvisasi ketika memberikan ilmunya. Seperti, tas anyaman yang selama ini lebih sering memakai rotan dan bambu. Agar lebih menarik, masyarakat diajarkan untuk memodifikasinya dengan bahan unik dan modern lainnya. Salah satunya, dia melanjutkan, dengan menggunakan plastik yang lebih awet. Dari contoh tersebut, Edi menegaskan, masyarakat sebenarnya sudah berniat untuk maju. Hanya, tinggal keseriusan pemerintah daerah setempat. Sebab, terkadang beberapa di antara mereka hanya mau bekerja jika ada pendampingan dari pemerintah setempat. "Dan kendalanya ini memang masih klasik, yakni anggaran. Apalagi, kita tentu maunya yang dibina tidak hanya satu atau dua desa terus, tapi merata," tambah dia. Jika pelatihan dan bimbingan itu terus diadakan, Edi yakin, pariwisata setempat akan meningkat. Begitu pula, dengan wisatawan mancanegara yang diharapkan dapat bertambah jumlahnya. Apalagi, dia menegaskan, wisatawan yang sebagian besar dari Malaysia dan Brunei Darussalam ini tidak terlalu neko-neko ketika berwisata di Indonesia. Menurut Edi, wisatawan Malaysia dan Brunei Darussalam pada hakikatnya lebih menyukai hal-hal unik, termasuk yang bernuansa lokal dan tradisional dalam masyarakat. Sebab, wisata mereka (di negeri tetangga) memang lebih terkesan buatan seperti rumah makan dan gazebo yang berada di tengah- tengah danau. Kelebihannya, dia melanjutkan, wisata negara tetangga memang terlihat lebih bersih, rapi, dan tidak dipungut biaya. REPUBLIKA SENIN, 27 FEBRUARI 2017 "Jadi/ mereka itu suka yang natural karena di sana sudah susah carinya. Hal yang tradisional, menurut mereka, itu unik dan menarik. Padahal, kita anggapnya biasa saja selama ini," kata Edi. Sejauh ini, Sanggau, terutama wilayah perbatasan Entikong, memang lebih mengutamakan atraksi, semisal, festival bernuansa tradisonal. Hal ini karena untuk lokasi destinasi wisata, seperti pada umumnya masih dalam proses pengembangan. Menurut Edi, terdapat tiga lokasi yang saat ini 6-7 masih dikembangkan untuk menjadi destinasi wisata, seperti Kampung Sentana, Air Terjun Pancur Aji, dan Air Panas Sipatn Lotup Sanggau. Selain itu, wisata kuliner juga didorong untuk semakin diperbanyak. Seperti, makanan khas yang bernama sungkui yang biasanya hanya dijual dan dibuat setiap hari raya. Kini, makanan demikian diharapkan akan diperdagangkan pada hari biasa agar wisatawan dapat menikmatinya. "Kita nggak mungkin mengecewakan wisatawan yang jauh-jauh ke sini untuk menikmati kuliner itu yang ternyata selama ini cuma ada pas hari raya."ed: endah hapsari Lebih Ramah, Lebih Memikat Κ berurusan dengan soal menarik wisatawan. Kasi Objek dan Daya tarik Wisata (ODTW), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dikparbud) Sanggau, Edi Santana, sempat menyoroti masalah keramahan para petugas di perbatasan yang disebutnya pelit senyuman. emudahan berwisata tidak hanya terkait dengan urusan akses, amenitas, dan atraksi. Masalah Menurut dia, petugas penjaga perbatasan Indonesia lebih ketat dan jarang menunjukkan keramahan sekalipun pada masyarakat pribumi dibandingkan polisi atau tentara Malaysia. "Kalau masuk ke Malaysia, tidak seketat kita. Maka itu, banyak dari kita main ke sana. Saya pribadi kalau masuk ke sana diberi senyuman, malah mau diajak berfoto. Ini beda sekali kalau saat kita mau balik lagi ke Indonesia. Para penjaganya sangar dan jarang senyum, mau menegur pun takut," ujar Edi. Meski terdengar sepele, Edi menegaskan, hal tersebut jelas akan berpengaruh pada daya tarik wisatawan mancanegara, terutama di perbatasan. Masukan ini sebenarnya telah disampaikan ke pihak terkait di wilayah setempat. Sayangnya, hal ini tidak berdampak mengingat para penjaga perbatasan itu didatangkan langsung dari pusat. "Padahal, akses di kecamatan terdekat dengan perbatasan itu mudah sebenarnya. Masyarakat kedua kecamatan terdekat, baik dari Malaysia maupun Indonesia tidak perlu menggunakan paspor untuk masuk," ujar dia. Sep i diketahui, kecamatan terdekat di kedua negara biasanya memiliki kemudahan untuk masuk-keluar tanpa paspor. Masyarakat tersebut diberi kemudahan, termasuk dalam berbelanja. Tak jauh dari perbatasan Entikong, terdapat minimarke/ Malaysia yang menyediakan berbagai macam barang yang acap dibeli warga Indonesia. Mereka dapat membeli barang apa pun, baik menggunakan uang rupiah maupun ringgit.. Sementara, dari segi fasilitas penginapan, Edi menyebutkan, pada dasarnya sudah tersedia. Akan tetapi, level hotel yang tersedia belum bertaraf internasional. Padahal, dia melanjutkan, tingkat kehunian para wisatawan maupun masyarakat setempat cukup tinggi. "Kelemahan kita ada di investor yang belum berani mendirikan hotel taraf internasional di sini. Harapan kami, ya mudah- mudahan ada yang mau bangun," kata Edi. Tingkat kehunian di Sanggau, terutama Entikong memang cukup tinggi. Hal ini tidak terlepas dengan atraksi yang disediakan masyarakat dan pemerintah setempat. Edi mengatakan, sejauh ini kawasan perbatasan memiliki empat konser yang diselenggarakan setiap tahun. Kegiatan yang dikenal dengan sebutan Wonderful Indonesia ini merupakan kerja sama pemerintah pusat dengan daerah. Untuk 2017, Edi mengungkapkan, kegiatan tersebut sepenuhnya akan dipegang oleh pemerintah setempat. Pemerintah pusat menyerahkan segalanya ke daerah, seperti konsep festival, pengisi acara, dan lamanya penyelenggaraan. Kementerian Pariwisata (Kemenpar) hanya menggelontorkan anggaran yang dibutuhkan. "Dan ini beda dengan sebelumnya, karena pada 2016 kita cuma menyediakan tempat," ujar dia. 4cm Color Rendition Chart