Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Singgalang
Tipe: Koran
Tanggal: 2015-01-25
Halaman: 15

Konten


estetika SINGGALANG MINGGU » 25 Januari 2015 (4 Rabiul Akhirl 1436 H ) » Halaman B-15 Malin Kundang Merantau ke Bulan CERPEN KHAIRY RA'IF THAIB silst WAKTU kecil Malin Kun- dang senang sekali melihat bulan, apalagi bulan pur- nama. Pernah suatu kali Malin Kundang berjalan pada malam purnama, ca- haya sangat terang hingga ia tak perlu menyalakan api pada obornya. Waktu itu, Malin Kundang berkata ke- pada temannya,"Aku sangat senang melihat bulan, caha- yanya begitu terang. Malam yang gelap dapat dilihat dengan jernih. Bulan itu baik sekali ya, ia mau susah pa- yah menerangi kita." Betapa indah bulan itu. Be- tapa terang cahayanya. Ma- lin Kundang memperhatikan bulan dalam-dalam. Lalu terlintas dalam benaknya bagaimana kalau bulan itu adalah sebuah tempat ke- hidupan. Barangkali ia akan menemukan berbagai ma- nusia dengan cara hidup yang berbeda-beda, juga beragam ilmu pengetahuan di sana. Malin Kundang terus me- mikirkan tentang bulan, cahaya, dan kehidupan. Be- tapa tertariknya ia pada sebuah bulan. Ia terus ber- pikir dan berpikir. Akhirnya, ia berkeinginan untuk me- rantau ke bulan. "Ya, aku juga suka melihat bulan. Andai bulan itu bisa menjadi teman kita. Tentu kita akan bermain dengan- nya setiap hari." kata teman Malin Kundang. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun Malin Kun- dang memikirkan bagai- mana caranya untuk meran- tau ke bulan. Sejak kejadian itu, ba- yangan tentang bulan me- lekat di kepala Malin Kun- dang. Bulan yang bercahaya terang, bulan yang baik, bulan yang mulia, bulan yang berguna, dan bulan sebagai teman. Jika pada suatu malam bulan tidak muncul, maka Malin Kun- dang sangat rindu akan kedatangan bulan. Pada suatu malam Malin Kundang merasa tidurnya sangat lama dan ia tidak mengalami mimpi apa pun. Yang dilihatnya hanya kelam semesta. *** Malin Kundang terbangun dari tidurnya. Ia meman- dang sekeliling: tak ada or- ang, tak ada tumbuhan, yang ada hanya hamparan pasir yang luas, yang belum per- nah ia lihat sebelumnya. Malin Kundang berdiri. Ia melangkah pelan-pelan. Ta- ngannya berayun dari depan ke belakang mengikuti gerak kakinya. Amstrong kepada Malin Kun dang. Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang melihat te- man-temannya banyak yang pergi merantau. Ada yang merantau ke Jawa, Malaysia, Kalimantan, dan pulau-pu- lau yang lain. Malin Kundang juga sangat ingin merantau. Tapi tidak ke pulau-pulau itu. Karena para perantau yang datang ke pulau-pulau itu jarang yang pulang, bahkan tidak pulang sama sekali, seperti bapak Malin Kun- dang. Bapak Malin Kundang merantau waktu ibu Malin Kundang sedang mengan- dung Malin Kundang. Sam- pai sekarang bapak tidak pernah pulang. Malin Kun- dang pun hanya tahu ba- paknya dari cerita-cerita ibu dan cerita para perantau yang berhasil pulang kam- Dari depan ia lihat seke- lompok orang berjalan ke arahnya. Ia memperhatikan orang-orang itu. Ia melihat orang-orang itu bukanlah or- ang-orang yang biasa dite- muinya. Orang-orang itu berkepala gundul, badannya pendek, mukanya lonjong, telinganya lebar seperti te- linga gajah, dan sepasang tangannya panjang sebelah. Orang-orang itu semakin dekat. sana. Akan saya antarkan Tuan-tuan ke tempat-tempat yang belum pernah Tuan- tuan rasakan keindahan- nyam Teen DR Malin Kundang mence- ritakan keindahan bumi kepada para manusia bulan itu. Ia mengemas cerita de- ngan sangat menarik. Si Manusia bulan sangat antu- sis mendengarkan ceritanya. Karena kepiawaiannya me- mainkan kata hingga mem- buat manusia bulan terlena, Malin Kundang pun dibawa menemui raja. "Saya ke sini dengan mim pi," jawab Malin Kundang. "Bagaimana cara Tuan hanya dengan mimpi ke sini? Sedangkan saya sudah seko- lah dan sudah banyak me- namatkan buku pelajaran. Sudah menghabiskan biaya yang sangat banyak. Bahkan tim kami sudah melakukan berulang kali percobaan dengan menewaskan banyak astronot. Dan sampai seka- rang astronot yang tewas tidak pernah diketahui kebe- radaannya." pung. "Hai manusia bumi! Apa yang kaulakukan di sini?" Malin Kundang terkejut. Orang-orang itu menyapa- nya dengan sapaan 'manusia bumi'. Tapi ia berusaha tenang dan menyembunyi kan keterkejutannya, "Itulah hebatnya saya. Sewaktu kecil saya sering bermimpi kalau saya akan bisa tingal di sini. Mimpi itu pun jadi kenyataan." Dari cerita-cerita peran- tau, Malin Kundang men- dengar kalau bapaknya su- dah jadi saudagar kaya di pulau seberang. Ia memiliki banyak kapal dan banyak anak buah. Ada juga yang berkisah kalau bapak Malin Kundang sudah menjadi raja di kampung orang. Ia me- mimpin dengan adil dan bijaksana. Sehingga para penduduknya hidup dengan rukun, damai, dan sejahtera. "Saya tidak melakukan apa-apa," katanya datar. Kesempatan itu tidak di- sia-siakan oleh Malin Kun- dang. Ia menjadi pendo- ngeng yang handal di ha- dapan raja. Raja sangat terkagum-kagum mende- ngarkan ceritanya. Raja pun berkeputusan bahwa ia akan mengirimkan penduduk bu- lan ke bumi. Dengan pergi- nya orang-orang bulan ke bumi, raja bisa mendapatkan informasi mengenai bumi. Setelah orang-orang itu kem- bali ke bulan, raja sangat berharap kalau orang-orang itu bisa untuk membangun bulan menjadi seindah bumi. "Wah! Hebat Tuan ya. Ka- lau begitu saya tentu boleh belajar sama Tuan." "Lalu mengapa kau sampai ada ke sini." "Ya, kebetulan sekali. Saya juga sedang mencari sese- orang yang bisa saya waris- kan ilmu ini padanya." Sekali lagi Malin Kundang, terkejut. Sebuah pertanyaan yang berat. Tapi Malin Kun- dang tetap berusaha me- nenangkan dirinya. Ia harus tampak seperti orang yang telah terbiasa di tempat itu. "Oh. Terima kasih Tuan. Kalau tak ada Tuan saya mungkin tak tahu akan me- ngapa di sini." Melihat kenyataan yang seperti itu timbullah pikiran pada diri Malin Kundang. Malin Kundang tak ingin jadi perantau yang seperti ba- paknya atau para perantau yang lain. Untuk apa me- rantau kalau ilmu hanya berguna di pulau seberang. Untuk apa kaya kalau tak bisa menafkahi keluarga. Untuk apa jadi raja kalau hanya ingin dipuji orang. Malin Kundang tak ingin jadi seperti itu. "Saya mau berkenalan dengan Tuan-tuan sekalian. Wahai Tuan-tuan yang baik, dapatkah engkau katakan di mana saya berada saat ini?" Malin Kundang menerang- kan bagaimana kondisi bu- lan kepada Neil Amstrong, Ia menceritakan bagaimana kekaguman raja bulan kepa- da bumi. Juga tentang peker- jaannya dan bagaimana se- nangnya orang-orang bulan menerima orang-orang bumi. Demi tercapainya cita-cita raja, Malin Kundang pun diangkat sebagai penasehat raja. Malin Kundang ber- tugas untuk mengatur kapan manusia bulan berangkat ke bumi dan kapan pula mereka harus kembali lagi ke bulan. Di belahan bumi mana ia akan berkunjung dan apa pula yang dapat dibawanya kembali ke bulan. Malin kundang bekerja dengan sebuah komputer sederhana ia harus menjadi lebih pintar yang di dalamnya terdapat daripada orang-orang itu. "Kau ada di bulan. Suatu dunia yang memancarkan cahaya pada bumi." "Wah! Bulan!" Malin Kundang berucap dalam hati. Ia berdiam se- saat. Lalu berpikir. Ia tak ingin kelihatan bodoh diban- ding orang-orang itu. Saat ini Malin Kundang dan Neil Amstrong mengunjungi raja bulan. Di depan raja dan beberapa penduduk bulan, Malin Kundang memper- kenalkan Neil Amstrong. Kemudian 1.ja meminta Neil Amstrong untuk bercerita tentang bumi. Ia ingin menjadi orang yang berguna bagi kam- pungnya, bagi bangsa, dan terlebih untuk ibunya ter- cinta. Dilihatnya peta pe- rantauan. Yang ada hanya pulau, pulau, dan pulau. Setiap pulau hanya akan menemukan nasib yang peta bumi. "Apakah Tuan-tuan pernah ke bumi sebelumnya?" tanya Malin Kundang sekenanya. "Kami belum pernah ke bumi. Tapi sebagian dari kawan-kawan kami pernah Sekitar sepuluh langkah dari Suatu hari, ketika Malin Kundang berjalan-jalan sen- dirian, ia melihat sebuah roket tergeletak di tanah. sama. ke bumi. Ada yang kembali, ada juga yang menetap di sana." "Kenapa orang-orang ha- nya merantau ke pulau? Bukankah dunia ini terdiri dari berbagai planet dalam jagat raya?" pikir Malin Kundang. Malin Kundang mendapat- kan celah di mana ia bisa berbicara sebagai orang pintar. Neil Amstrong mencerita- kan tentang pertumbuhan kota-kota yang sangat pesat. Di setiap kota terdapat pa- sar-pasar yang menyediakan semua kebutuhan manusia. Juga terdapat berbagai lapa- ngan kerja. Setiap manusia mempunyai pekerjaan ter- tentu, dan dari pekerjaan itu ia bisa mendapatkan peng- hasilan yang akan diguna- kannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Malin Kundang memikir- kan perihal perantauan. Ia sangat ingin merantau. Tapi tidak ke pulau. Ia mempu- nyai tekad untuk memper- baiki dunia dan menjadi or- ang yang berguna. roket itu dilihatnya sese- orang yang berciri-ciri se- perti dirinya: punya kepala dan berambut, berbadan sederhana, sedang berme- nung sendirian. Malin Kun- dang menghampiri orang tersebut. Setelah ditanya oleh Malin Kundang ternyata orang itu bernama Neil Am- strong, seorang astronot dari Amerika Serikat yang sedang mengadakan ekspedisi di bulan. "Tahukah Tuan-tuan kalau bumi ialah planet yang pal- ing indah di jagat raya ini? Di bumi semuanya ada. Tak seperti tempat tinggal Tuan- tuan ini yang hanya padang pasir yang gersang. Kalau Tuan-tuan mau, saya bisa membawa Tuan-tuan ke Malam itu dipandangnya sebuah bulan purnama yang mengggantung di langit. Kemudian tentang gedung- gedung pencakar langit yang baru-baru ini dibangun. Gedung-gedung itu bisa di- huni oleh ribuan manusia. Dengan alat-alat yang cang- "Bagaimana cara Tuan sampai ke sini?" tanya Neil gih manusia ternyata dapat membuat gedung setinggi dan sekokoh itu. Gedung itu pun tak akan roboh jika dihadang badai atau gempa bumioibudism Raja bulan yang mende- ngar cerita itu mengangguk- angguk sendirian. Matanya tampak nyalang dan jakun- nya turun naik. Neil Amstrong terus ber- cerita dan raja bulan terus mendengarkan. Begitulah hari-hari pertama yang di- lalui Neil Amstrong di bulan. Setelah itu Neil Amstrong dibawa raja untuk jalan- jalan. Neil Amstrong meng- amati kondisi bulan. Ia men- catat segala sesuatu hal yang perlu dan memotret keadaan bulan dengan kamera yang dibawanya dari bumi se- bagai bahan dokumentasi. Berkat bantuan raja bulan Neil Amstrong mendapatkan data yang banyak untuk dilaporkannya ke NASA, sebuah organisasi tentang penelitian luar angkasa tem- pat ia bekerja. Ia pun tak perlu ragu dan tentu akan mudah mempertanggung- jawabkan data-datanya. *** Hari-hari berganti. Seka- rang tibalah waktunya untuk Neil Amstrong pulang ke bumi. Ia berpamitan kepada Malin Kundang, raja bulan, dan segala penduduk bulan. Raja bulan melepas keper- giannya dengan haru. Be- berapa penduduk bulan me- masang wajah sedih. Se- dangkan Malin Kundang sangat berharap kalau di lain waktu Neil Amstrong bisa berkunjung lagi ke bulan. Neil Amstrong masuk ke dalam roket. Ia nyalakan roketnya. Lalu ia terbang menuju bumi. Setelah kepergian Neil Amstrong, Malin Kundang masih melakukan rutinitas yang sama. Mengirim dan memulangkan manusia bu- lan ke bumi. Bahkan hingga saat ini Malin Kundang ma- sih seperti itu. Ia telah hidup sebagai penasehat raja, wa- laupun raja bulan telah ber- ganti sekian kali. Kalaupun ada Astronot yang datang ke bulan, maka ia tentu akan bertemu dengan Malin Kun- dang. Malin Kundang ba- rangkali akan tetap tinggal di bulan. Selamanya. Padang, 2014 Puisi dalam Zaman ANDESTA HERLI PUISI adalah instrumen paling purba dalam sejarah perjalanan panjang manusia di atas muka bumi, dan terus memperbarui diri dalam menempuh masa demi masa, peradaban demi peradaban. Kehadiran puisi bahkan dapat dilacak sejak manusia masih belum mengerti kenapa dirinya ada dan kenapa pula matahari timbul lalu tenggelam, hingga sampai pada masa modern kini, pada zaman yang jauh melampaui apa yang pernah dipikirkan sebagian besar manusia Tak terhitung sudah berapa banyak peradaban, telah berapa banyak perkembangan pikiran manusia dilewati oleh sesuatu bernama puisi. Umat manusia, di mana pun tanah yang ia pijak, juga kapan pun masa yang ia tenggak, selalu hidup berdampingan dengan puisi. Dari kenyataan ini kita bertanya: hal apa? kepentingan besar macam apa yang memeram dalam sebuah puisi, hingga ia harus ditulis dan dibaca sepanjang waktu, di setiap penjuru tanah umat-umat manusia? Sungguh sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Pada dasarnya puisi adalah ekspresi harfiah setiap manusia, hanya saja, ia kemudian mewujud secara mengagumkan dalam gerak bahasa para penyair. Dan perlu diakui pula, bahwa dalam setiap zaman, penyair bukanlah jenis manusia yang mendominasi dalam sebuah komunitas manusia, melainkan kaum minor, atau yang terasing, yang berbeda dari banyak orang. Muhammad Iqbal, penyair sekaligus filsuf Pakistan itu, menuliskan puisi-puisinya dengant jernih, membiarkan manusia menyelam ke kedalamannya agar menemukan kerikil di dasar berupa keanggunan cinta. Di Eropa, seorang bernama Dante menyatakan betapa cinta adalah substansi yang ruhaniah sekaligus badaniah: "Cinta berucap padaku," ucapnya dengan mengagumkan. Kita mengenal Pablo Neruda sang master Chili, juga Chairil Anwar di Indonesia, yang tak hilang pekik puisinya hingga berpuluh tahun setelah ia sendiri meninggalkan dunia. Nama-nama tersebut adalah milik manusia dari berbagai masa juga berbagai negeri, yang setia menuliskan puisi, entah untuk dirinya sendiri, keluarga, lingkungan, atau pun Tuhan. Dan kita tahu, mereka adalah bagian kecil dari lautan manusia di muka bumi. Mereka adalah yang terasing dan minoritas dalam zamannya. Jika telah begitu, lantas bagaimana puisi bisa hidup "abadi", padahal dalam setiap zaman hanya "dihidupi" oleh satu-dua manusianya? Lagi-lagi pertanyaan yang sulit. Manusia sejatinya dipaut hukum-hukum spritual dan material. Manusia berkelana, menyelami semesta lewat kesadaran spritual, lewat perasaan dan pemahaman akan makna-makna. Dalam waktu bersamaan pula, manusia merasakan ketergantungan yang akut akan hal-hal mate- rial, sebagai konsekwensi dari jasadnya yang panas dan dialiri sungai darah. Maka tampaklah ambivalensi dalam kedirian manusia: spritualitas menginginkan kesadaran, pemahaman, keyakinan, serta perenungan-perenungan yang jernih dan utuh, sementara materi menuntut pemenuhan-pemenuhan atas hal-hal bersifat indrawi. Di antara dua ruang kedirian manusia itu, puisi (bisa ditebak), berada pada wilayah spritual. Ia ada, muncul dari kedalaman ruh, lalu kembali kepada ruh. Puisi berada dalam posisi penting, sebagai salah satu subjek sekaligus objek spritual manusia yang mampu memberikan 16. kejernihan jiwa. Pernyataan ini serta-merta membawa kita kepada jawaban mengenai kemampuan puisi untuk hidup dalam setiap zaman. Jawabannya: karena manusia membutuhkannya. Itulah ide penting, ideal, dan awali yang melandasi saling-kaitnya puisi dengan zamannya, dengan para manusianya. Dalam jalinan spirit dasar manusia itulah, puisi berada. Material dan Praktis Sejak Pragmatisme subur di Amerika lantas menyebar ke seluruh dunia, posisi dan peran puisi turut pula mengalami perubahan dan menjadi perlu diperbin cangkan. Segala perkembangan ilmu-ilmu rasional jauh menggiring manusia pada pemahaman serba-benda, dan segala sesuatu diukur berdasarkan daya rasa indrawi. Masa yang sejatinya telah melampaui modern ini, menempatkan manusia sebagai diri yang bertindak dan berpikir berdasarkan hukum-hukum benda. Bahwa yang tak terlacak, metafisik, yang bersifat mitos, pada akhirnya tidak memberikan kontribusi atau perubahan apa-apa bagi kehidupan manusia. Yang tak tampak tak lagi diperhitung kan, sebab kita kini dipenuhi gairah untuk menemukan serta memperbarui teknologi yang terukur dengan jelas lewat kapasitas akal. Untuk lebih mengerucutkan maksud, baiklah mengacu kepada realitas di Indonesia. Kita boleh bertanya, seberapa penting sebuah puisi, dibandingkan program-program pemerintah yang menjanjikan kemajuan ekonomi rakyat? Lantas siapa yang tahu Goenawan Mohammad, Sutardji Couldzum Bakri, Gus tf, atau penyair-penyair yang tergolong besar dan penting? Sungguh tidak banyak yang tahu, tidak banyak yang berusaha mengenal. Memikirkan bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak tentulah sesuatu hal yang jauh amat penting, dibanding sekadar mengenal para penyair. Namun dengan begitu, apakah puisi serta-merta menjadi barang rongsokan? Sungguh pula tidak. Kita bisa bersaksi bahwa puisi itu tetap hadir dan berdiri pada posisinya yang hakiki, sebagai sumber permenungan yang kaya lagi jernih, yang bijaksana lagi fasih. Meskipun realitas memperlihatkan potret manusia tengah sibuk dengan urusan saku dan perut, toh pada kenyataannya semua orang masih mengenal puisi, terlepas dari faktor dalam atau tidaknya mereka mengenalinya. Hal tersebut memberi gambaran, bahwa bagaimanapun serba-benda-nya zaman hari ini, selagi ia masih dihuni dan ditempati oleh makhluk bernama manusia, maka puisi tetap menjadi lahan yang bernilai bagi kehidupan. Sebab manusia adalah ruh dan tubuh, spritual dan material, meski betapa keras ia menafikkannya. Meski kita juga sadar, puisi mengalami dekadensi popularitas sejak beberapa dasawarsa belakangan. Namun, dengan menyadari betapa absurdnya seorang manusia, tentulah tidak ada satu hal pun yang mesti dicemaskan di sini. Cukuplah para penyair terus menuliskan puisi-puisi. Tak penting seberapa sering ia kelak dibaca, atau seberapa banyak ia didengar. Sebab puisi adalah permenungan, suatu padang jernih dari dan untuk jiwa. Puisi hari ini tentunya tidak sedang bergerak ke arah kemusnahan sebab tidak diminati mayorias manusia, melainkan terus hidup, dan tengah melewati padang zaman yang sedikit terik, berselimut kabut Materialisme. Puisi hanya mesti menjaga agar tidak hilang keanggunan dan kejernihannya (dan memang inilah yang dilakukan puisi dari waktu ke waktu). Sebagai sebuah kontemplasi, puisi menyimpan permenungan tentang hakikat, waktu, masa depan, ide sejati, kebeningan, juga pemahaman akan semesta. Jauh dari itu semua, puisi adalah "keabadian", yang berbicara tentang masa lalu, kini dan masa depan, serta relevansi manusia dengan sebuah zaman. Sebuah puisi adalah nyanyian sunyi sekaligus riuh, yang tidak bisa digilas oleh hiruk arus tekhnologi dan globalisasi yang tengah menerjang bagai air bab. Di sinilah kiranya letak pemahaman kunci mengenai "Reabadtan" puisi dalam kehidupan manusia. Zaman hanya membutuhkan "penyair-penyair yang keras kepala", mengutip bahasa Octavio Paz, untuk terus menuliskan puisi, meski seluruh umat manusia tenggelam dalam lautan mesin dan robot- robot mutakhir. (*)